PENDAHULUAN
ISI
2.1.1 Alelopati
Alelopati berasal dari bahasa Yunani, allelon yang berarti "satu sama
lain" dan pathos yang berarti "menderita". Alelopati didefinisikan sebagai suatu
fenomena alam dimana suatu organisme memproduksi dan mengeluarkan suatu
senyawa alelokimia ke lingkungan dan senyawa tersebut mempengaruhi
perkembangan dan pertumbuhan organisme lain di sekitarnya. Sebagian alelopati
terjadi pada tumbuhan dan dapat mengakibatkan tumbuhan di sekitar penghasil
alelopati tidak dapat tumbuh atau mati (Rohman, 2001).
Alelopati merupakan interaksi antar populasi, dimana populasi yang satu
menghasilkan zat yang dapat menghalangi tumbuhnya populasi lain. Contohnya,
di sekitar pohon walnut (juglans) jarang ditumbuhi tumbuhan lain karena
tumbuhan ini menghasilkan zat yang bersifat toksik. Pada mikroorganisme istilah
alelopati dikenal sebagai anabiosa. Contoh jamur Penicillium sp. dapat
menghasilkan antibiotika yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri tertentu
(Rohman, 2001).
Alelokimia pada tumbuhan dibentuk di berbagai organ, akar, batang, daun,
bunga dan atau biji. Tetapi organ pembentuk dan jenis alelokimia bersifat spesifik
pada setiap spesies. Pada umumnya alelokimia merupakan metabolit sekunder
yang dikelompokkan menjadi 14 golongan, yaitu asam organik larut air, lakton,
asam lemak rantai panjang, quinon, terpenoid, flavonoid, tanin, asam sinamat dan
derivatnya, asam benzoat dan derivatnya, kumarin, fenol dan asam fenolat, asam
amino non protein, sulfida serta nukleosida. Pelepasan alelokimia pada umumnya
terjadi pada stadium perkembangan tertentu, (Michael, 1995).
Fungsi dari alelokimia dapat mengendalikan gulma dengan cara
menghambat pertumbuhan dan perkembangnnya dengan menurunkan kecepatan
penyerapan ion-ion oleh tumbuhan sehingga terjadi penurunan dalam penyerapan
unsur hara. Menghambat pembelahan sel akar tumbuhan. Menghambat respirasi
akar. Menghambat sintesis protein, menurunkan daya permeabilitas membran
pada sel tumbuhan. menghambat aktivitas enzim. Selain itu juga memperlambat
perkecambahan biji, gangguan sistem perakaran. (Tetelay, 2003)
Kuantitas dan kualitas senyawa alelopati yang dikeluarkan oleh tumbuhan
dapat dipengaruhi oleh kerapatan tumbuhan alelopat, macam tumbuhan alelopat,
saat kemunculan tumbuhan alelopat, lama keberadaan tumbuhan alelopat, habitus
tumbuhan alelopat, kecepatan tumbuh tumbuhan alelopat, dan jalur fotosintesis
tumbuhan alelopat (Tetelay, 2003)
Penelitian Aidil amar (2015), menunjukkan bahwa alelopati cairan perasan
gulma jenis alang-alang, teki, dan rumput grinting efektif dalam mengendalikan
gulma bayam duri dan jejarongan. Dalam penelitian ini, Aidil Amar menguji coba
hasil perasan gulma, alang-alang, teki, dan rumput grinting melalui 2 perlakuan,
yaitu kontrol dan konsentrasi. Hasil perlakuan kontrol menunjukkan bahwa
setelah 21 hari gulma bayam duri dan jejarongan mengalami tingkat keracunan
tanaman. Serta perlakuan yang menggunakan konsentrasi tidak menunjukkan
pengaruh yang nyata.
Beberapa contoh dari tanaman yang dapat melakukan alelopati adalah:
Mimba
(Azadirachta Menghambat tanaman yang tumbuh
indica) dan dalam jarak 5 meter.
eukaliptus
Dapat mencegah
fungi Verticillium penyebab penyakit
Brokoli layu pada beberapa tanaman sayur,
contohnya kembang kol dan brokoli
sendiri.
Penekanan pertumbuhan gulma
Gandum apabila gandum tersebut digunakan
sebagai tanaman pelindung.
(Tetelay, 2003)
2.1.2. Kompetisi
Kompetisi merupakan terjadinya persaingan antar populasi karena
adanya lebih dari satu macam organisme yang membutuhkan bahan yang sama
dari lingkungan. Sesuai dengan hukum rimba yang kuatlah yang menang dalam
kompetisi populasi yang kuat akan memenangkan persaingan dalam
memperebutkan syarat untuk hidup, sedangkan yang lemah akan ditekan, dan ini
cenderung membuat populasinya menjadi lebih kecil dan memungkinkan pula
punah dengan sendirinya bila tidak mampu bersaing. Persaingan di antara dua
atau lebih populasi terhadap sumber daya alam akan menimbulkan efek yang
merugikan kedua belah pihak. Bahkan salah satu spesies yang bersaing dapat
tersingkir akibat persaingan. Persaingan ini semakin keras ketika sumber daya
alam yang diperebutkan persediaannya semakin terbatas (Kastono, 2005).
Agar suatu populasi dapat melanjutkan kehidupan, ada beberapa yang
menjadi faktor mempengaruhi kelangsungan hidup suatu populasi, diantaranya
adalah keaktifan memperebutkan ruang tempat hidup, keaktifan memperebutkan
makanan, keaktifan memperebutkan unsur hara, keaktifan memperebutkan agen
penyerbukan (Indriyanto, 2006)
Persaingan antarpopulasi dapat berakibat pada ekosistem jangka pendek
maupun jangka panjang. Persaingan jangka pendek menyebabkan perubahan
ekologi, misalnya apabila singa atau kelompok predator lainnya kalah dalam
persaingan dan akhirnya punah maka kelompok mangsa seperti kerbau, rusa dan
lainnya akan mengalami peningkatan populasi, dan hal ini tentu saja
mengakibatkan perubahan pada alam. Persaingan jangka panjang menyebabkan
terjadinya evolusi. Contohnya evolusi dari kehidupan di laut ke darat. Sel yang
berkembang di laut, menurunkan jenis hewan dan tumbuhan air yang hidup dan
berkembang biak di dalam air. Karena adanya kompetisi, organisme itu ada yang
mencoba hidup ke darat. Setelah hidup di darat terjadi kompetisi dalam
memperebutkan makanan dan tempat hidup. Beberapa populasi berusaha kembali
ke air. Dalam upaya kembali ke air itu ada yang behasil, ada pula yang tidak
berhasil. Contohnya yang berhasil adalah lumba-lumba, paus, yang sepenuhnya
hidup di air. Sedangkan yang tidak berhasil misalkan buaya (Kastono, 2005).
Penelitian Rivo Manopo (2013) menunjukkan bahwa kompetisi antara
walang sangit dan kepik hitam dalam menyerang bulir tanaman padi, walang
sangit lebih tinggi populasinya daripada kepik hitam, dikarenakan rumpun
tanaman padi sudah terlebih dahulu diserang oleh walang sangit sehingga tidak
diserang lagi oleh hama kepik hitam. Sesuai dengan teori yang dijelaskan Sembel
(1989), bahwa dua jenis spesies yang hidup dalam suatu areal yang sama dan
mengambil sumber makanan dan hidup dalam suatu tempat yang sama biasanya
tidak akan dapat hidup bersama dalam jangka waktu yang lama. Hal ini
disebabkan oleh adanya kompetisi akan makanan dan tempat sehingga terjadi
pergeseran oleh satu populasi yang mempunyai kemampuan bertahan atau
berkompetisi yang lebih kuat dari yang lain sehingga akhirnya populasi yang
lemah akan tergeser atau hilang.
Asal Dari jenis yang sama yaitu Dari jenis yang berbeda
serangga (Contoh: mamalia seperti
manusia)
: Xanthopimpla sp
(Sumber: Gomez et.al, 2014, Trisawa et.al, 2007 dan Octriana, 2010)
a b
a b
Gambar 2.3. Parasitoid telur . Ket: imago parasitoid telur; telur inang
terparasit (Sumber : Juniawan, 2013)
Parasitoid telur-larva (idiobiont) berkembang mulai dari telur hingga larva.
Cara hidupnya adalah tabuhan dewasa meletakkan telur pada telur inangnya
(hama). Telur inang menetas menjadi larva dan telur parasitoid terbawa larva.
Telur parasitoid menetas dan larva inang menjadi imago (dewasa).
Contoh: Chelonus sp., parasiotid pada Batrachedra arenosela. Sedangkan
parasitoid larva (lihat Gambar 2.4.) merupakan parasitoid yang meletakkan telur
pada larva inangnya, setelah menetas hidup dalam tubuh inang dan keluar lagi
ketika akan menjadi pupa. Parasitoid dari jenis ini memilih inangnya berupa larva
(ulat) dari berbagai jenis hama.
Gambar 2.4. Parasitoid larva. Ket : lalat Tachinid akan meletakkan telur
pada ulat (inang); dua telur Thacinid pada ulat; pupa
parasitoid larva family Braconidae disamping inang yang sudah mati;
Tawon pinggang ramping ( ) sebagai parasitoid larva dari family
Ichneumonida (Sumber : Juniawan, 2013)
Tipe hiperparasitisme
Parasitoid sekunder atau hiperparasitisme mempunyai beberapa tipe antara
lain sebagai berikut:
a) Langsung, yaitu suatu parasitoid meletakkan telurnya langsung pada atau di
dalam tubuh inang parasitik.
b) Tidak langsung, yaitu suatu parasitoid sekunder meletakkan telurnya di dalam
tubuh inang non-parasitik dan tidak terparasit. Biasanya telur tidak berkembang
sampai inang non parasitik ini diparasit oleh suatu parasitoid primer, yang
kemudian telur tersebut berkembang sebagai inang parasitoid sekunder.
c) Fakultatif yaitu parasitoid sekunder berkembang seperti suatu parasitoid primer
di bawah kondisi yang sesuai.
d) Obligat, yaitu parsitoid sekunder hanya dapat berkembang di dalam parasitoid
primer.
e) Autoparasitisme yaitu parasitoid yang hewan jantannya berkembang sebagai
hiperparasit (kadang-kadang terhadap parasitoid betina dari jenis yang sama)
dan yang betina berkembang sebagai parasitoid primer.
f) Kleptoparasitisme yaitu bukan hiperparasitisme yang sesungguhnya. Parasitoid
memilih menyerang inang yang telah diparasit oleh jenis parasitoid lain dan
kemudian bersaing dengan parasitoid pertama untuk mendapatkan nutrisi di
dalam inang tersebut. Kleptoparasitoid biasanya memenangkan kompetisi.
(Basukriadi, 2005)
A
B
Gambar 2.5. A: Tipe Telur Parasitoid; B: Parasitoid sedang meletakkan telur pada
inangnya; dan C: posisi telur parasitoid pada inang berupa larva (Sumber: Doutt,
1964)
Stadia larva parasitoid terdiri atas larva instar 1, larva planidium, larva
triungulin serta larva instar pertengahan dan akhir. Larva instar I berbentuk seperti
tempayak. Larva planidium merupakan larva instar I yg mempunyai setae yang
panjang dan terdapat pada toraks atau caudal dan membantu larva bergerak
menuju inang setelah menetas dari telur. Larva triungulin merupakan larva instar I
yang mempunyai tungkai beruas yang membantu untuk bergerak menuju inang
setelah menetas dari telur. Larva instar pertengahan dan akhir yaitu larva yang
pada tahap ini terjadi perubahan bentuk sangat berbeda dengan larva instar 1.
A B
C
D
Gambar 2.6. Stadia Larva Parasitoid. A : larva instar 1; B: fase larva planidium; c:
fase larva triungulin; dan D : fase larva yang sudah matang (Sumber: Doutt, 1964)
a b
Amar, Aidil. 2015. Potensi Alelopati Cairan Perasan Gulma Sebagai Herbisida
Hayati Untuk Mengendalikan Gulma Pada Tanaman Kedelai. Fakultas
Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. (Online)
(http://www.alelopati, diakses pada tanggal 18 November 2016)
Gomez, I.C., Saaksjarv, I.E., Broad, G.R., Puhakka, L., Castillo, C., Pena, C. &
Padua, D.G. 2014. The Neotropical Species of Xanthopimpla Saussure
(Hymenoptera: Ichneumonidae: Pimplinae). Zootaxa, 3774(1): 057-073.
Manopo, Rivo. 2013. Padat Populasi Dan Intensitas Serangan Hama Walang
Sangit (Leptocorisa Acuta Thunb.) Pada Tanaman Padi Sawah Di
Kabupaten Minahasa Tenggara. Fakultas Pertanian,Universitas Sam
Ratulangi Unsrat Mando. Online, (http://www.portalgaruda.com, diakses
tanggal 18 November 2016).
Trisawa, I., Raui, A. & Kartosuwondo, U. 2007. Biology of Anastatus dasyni Ferr.
(Hymenoptera: Eupelmida) on Egg of Dasynus piperis China (Hemiptera:
Coreidae). Journal of Bioscience, 14(3): 81-86.