Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM

HAMA TANAMAN PERTANIAN


Nama : Ellen Artasya
NIM : 21/474146/PN/17116
A. Spesies hama penting tanaman pangan
1. Hama walang sangit (Leptocorisa oratorius) pada tanaman padi (Oryzae sativa)

Gambar 1. Hama walang sangit


Sumber : dokumen pribadi
 Morfologi
Serangga dewasa berbentuk ramping dan berwarna coklat dengan ukuran panjang sekitar 14-17 mm
dan lebar 3-4 mm dengan tungkai dan antena yang panjang. Perbandingan antara jantan dan betina 1:1,
setelah menjadi imago serangga ini baru dapat kawin. Lama periode bertelur rata-rata 57 hari sedangkan
walang sangit dapat hidup selama rata-rata 80 hari. Hewan ini berwarna coklat kelabu atau hijau, berkaki
panjang dan memiliki "belalai" (proboscis) untuk menghisap cairan tumbuhan. Walang sangit dewasa
berbentuk lebih besar dari pada nimfa tetapi masih berbentuk ramping dengan kaki dan antena yang
panjang. Walang sangit adalah anggota ordo Hemiptera (bangsa kepik sejati). Serangga ini mengeluarkan
aroma yang menyengat hidung sehingga dinamakan "sangit”. Telur berebentuk lonjong dan berkaki
panjang. Morfologi walang sangit jantan dan betina memiliki perbedaan dimana ujung ekor (abdomen)
walang sangit jantan terlihat agak bulat atau terlihat seperti “kepala ulat” sedangkan walang sangit betina
lancip dan lebih besar daripada walang sangit jantan. (Indiati, 2019).
 Gejala serangan/ kerusakan
Walang sangit menyerang tanaman padi terutama dengan merusak biji atau malai padi yang sedang
berkembang dengan cara menghisap cairan susu dari biji padi pada waktu fase awal pembentukan biji. Alat
pengisapnya ditusukkan kulit penutup biji padi dan menghisap cairan yang masih masak susu dari biji yang
sedang berkembang. Akibat dari serangan ini akan mengurangi ukuran dan kualitas biji padi. Biji padi yang
terkena serangan ini akan berwarna lebih gelap atau terdapat bercak hitam, serta pada bagian kulit biji
tampak hitam kecoklatan berbentuk lingkaran bekas tusukan hama. Malai yang terserang akan tampak lebih
ringan daripada malai sehat. Walang sangit juga memakan biji sebelum bunga membuka. (Telaumbanua et
al., 2020).

Gambar 2. Gejala pada malai padi di Pati, Jawa Tengah


Sumber : dokumen pribadi
 Biologi dan Ekologi
Tanaman inang alternatif hama walang sangit adalah tanaman rumput-rumputan antara lain: Panicum
spp, Andropogon sorgum, Digitaria consanguinaria, Eleusine coracoma, Setaria italic, Cyperus
polystachys, Paspalum spp, dan Pennisetum typhoideum. Walang sangit adalah anggota ordo Hemiptera
(bangsa kepik sejati). Walang sangit menghisap cairan tanaman dari tangkai bunga (paniculae) dan juga
cairan buah padi yang masih pada tahap masak susu sehingga menyebabkan tanaman kekurangan hara dan
menguning (klorosis), dan perlahan-lahan melemah. Serangga betina menghasilkan 100-200 telur, yang
diletakkan pada daun bendera padi. Nimfanya berwarna hijau, yang berangsur-angsur menjadi coklat, dan
mengalami ganti kulit 5 kali. Nimfa (nymph) merupakan Stadium serangga muda yang keluar dari telur
dengan bentuk morfologi yang relatif maju, berbeda dari yang dewasa karena ukuran keseluruhannya dan
sayap serta genitalianya yang belum sempurna; tingkat pradewasa serangga dengan metamorfosis tak
sempurna. Stadia nimfa terjadi selama 17-27 hari. Pada kondisi yang cocok, imago dapat hidup hingga 115
hari. Nimfa dan imago menyerang dengan cara menghisap cairan buah, sehingga buah menjadi hampa.
(Bajber et al., 2020)
Telur walang sangit yang warnanya merahcoklat gelap diletakkan berbaris dalam kelompok yang
jumlahnya sampai 20 butir sepanjang tulang daun pada bagian atas daun. Perkembangan telur memerlukan
waktu 5-8 hari hingga nimfa (anakan) pertama muncul. Stadia nimfa terjadi selama 17-27 hari dan
mengalami ganti kulit (instar) 5 kali hingga menjadi imago. Serangga dapat kawin pada fase ini setelah 4-
6 hari. Pada kondisi yang cocok, imago dapat hidup hingga 115 hari pada suhu antara 27-30℃, curah hujan
rendah dan sinar matahari terang serta berkembang biak di lahan dataran rendah maupun dataran tinggi.
Namun rata-rata dapat hidup selama 80 hari. (Bajber et al., 2020).
Menurut Nofiardi et al. (2021), Telur diletakkan berkelompok pada permukaan atas atau bawah daun
serta pada polong, berderet 3 - 5 butir. Telur berbentuk bulat dengan bagian tengah agak cekung, berwarna
biru keabu-abuan dan berubah menjadi coklat suram serta berdiameter 1,2 mm. Setelah 6 - 7 hari, telur
menetas dan keluar kepik muda (nimfa). Dalam perkembangannya, kepik muda mengalami 5 kali
pergantian kulit. Tiap pergantian kulit terdapat perbedaan bentuk, warna, ukuran dan umur. Kepik muda
mirip semut hitam. Rata-rata panjang tubuh nimfa pertama sampai ke lima berturut-turut adalah 2,6 mm,
4,2 mm, 6,0 mm, 7,0 mm dan 9,9 mm.
Mereka aktif terbang dari rumpun ke rumpun pada waktu pagi dan sore hari, berada pada pangkal
tanaman pada siang hari karena walang sangit tidak banyak beraktivitas di siang hari. Walang sangit dewasa
sangat kuat terbang dan dalam jumlah banyak dapat bersama-sama terbang menuju lahan pertanaman lain
dengan cepat. Walang sangit dapat berpindah tempat (migrasi) dari rumput-rumputan, gulma, atau dari
daerah tumbuhtumbuhan berkayu yang ada disekitar pertanaman padi. Setelah tanaman padi berbunga,
walang sangit dewasa pindah ke pertanaman padi dan berkembang biak satu generasi sebelum tanaman
padi tersebut dipanen. Banyaknya generasi dalam satu hamparan pertanaman padi tergantung dari lamanya
dan banyaknya interval tanam padi pada hamparan tersebut. Makin serempak penanaman padi,
maka jumlah generasi perkembangan walang sangit semakin sedikit. (Nofiardi et al., 2021).
 Cara merusak
Walang sangit muda dan dewasa mengisap cairan biji dengan cara menusukkan stiletnya pada kulit biji
dan terus ke biji kemudian mengisap cairan biji. Serangan terjadi pada fase perkembangan biji dan
pertumbuhan polong. (Indiati, 2019).
 Karakter lingkungan yang mendukung eksistensi hama
Hama walang sangit sangat tertarik pada bau busuk atau bau bangkai. Di dalam senyawa yang
membusuk tersebut terdapat senyawa volatil yang mampu menarik serangga, termasuk walang sangit. Ada
perbedaan ketertarikan antara walang sangit dewasa jantan dengan yang betina terhadap kepiting yang
membusuk, yaitu walang sangit jantan dewasa tertarik pada bahan membusuk sedangkan walang sangit
betina tidak tertarik. Penemuan dan pengenalan inang oleh serangga dipengaruhi oleh faktor fisik tanaman,
yaitu warna, nutrisi, serta senyawa volatil yang dikeluarkan oleh tanaman inang. Hama walang sangit
tertarik pada biji- bijian yang masih masak susu sehingga memberikan nutrisi berupa cairan susu. Walang
sangit juga tertarik pada spektrum warna hijau serta tumbuhan jenis rumput-rumputan yang menjadi
inangnya. Kondisi lingkungan yang lembab serta keberadaan musuh alami yang sedikit mendukung
pertumbuhan dari hama tersebut. Tanah berstruktur gembur, dengan kandungan bahan organik tinggi, dan
kelembapan yang cukup dapat mendukung perkembangan hama. (Indiati, 2019).

Gambar 3. Lingkungan pertanaman padi


Sumber : dokumen pribadi
 Musuh alami
Hama walang sangit pada habitat alaminya diketahui diserang oleh dua jenis parasitoid telur yaitu
Gryon nixoni Mesner dan O.malayensis Ferr. Parasitasi kedua parasitoid ini di lapangan dibawah 50%.
Pengamatan yang dilakukan pada tahun 1997 dan 2000 pada beberapa daerah di Jawa Barat menunjukkan
parasitoid G. nixoni lebih dominan dibandingkan dengan parasitoid O. malayensis. Parasitoid O.
malayensis hanya ditemukan pada daerah pertanaman padi di daerah agak pegunungan dimana disamping
pertanaman padi banyak ditanaman palawija seperti kedelai atau kacang panjang O. malayensis selain
menyerang telur walang sangit juga menyerang telur hama Riptortus linearis dan Nezara viridula yang
merupakan hama utama tanaman kedelai. Berbagai jenis laba-laba dan jenis belalang famili Gryllidae dan
Tettigonidae menjadi predator hama walang sangit. Jamur Beauveria sp juga merupakan musuh alami
walang sangit. Jamur ini menyerang stadia nimpa dan dewasa. (Bajber et al., 2020).
 Cara pengendalian
Pengendalian Secara Kultur Teknik yaitu pertanaman serempak. Pertanaman yang paling lambat tanam
akan mendapatkan serangan yang relatif lebih berat karena walang sangit sudah berkembang biak pada
pertanaman yang berbunga lebih dahulu. Dianjurkan beda tanam dalam satu hamparan tidak lebih dari 2,5
bulan. Selain itu, pengendalian secara biologi yaitu, pemanfaatan parasitoid dan jamur, contohnya O.
malayensis sedangkan jenis jamurnya adalan Beauveria sp dan Metharizum sp. Pengendalian dengan
menggunakan perilaku serangga yaitu, walang sangit tertarik oleh senyawa (bebauan) tanaman Lycopodium
sp dan Ceratophylum sp. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk menarik hama walang sangit dan kemudian
secara fisik dimatikan. Pengendalian kimiawi yaitu, pengendalian kimiawi yaitu, insektisida yang
berbentuk cair atau tepung sedangkan yang berbentuk granula tidak dapat dianjurkan untuk mengendalikan
walang sangit. Insektida anjuran untuk tanaman padi yang cukup efektif terhadap walang sangit adalah
yang berbahan aktif fipronil, metolkarb, propoksur, BPMC dan MIPC. (Telaumbanua et al., 2020).
2. Hama lalat bibit (Athergona exigua) pada tanaman jagung (Zea mays)

Gambar 4. Hama lalat bibit


Sumber : dokumen pribadi
 Morfologi
Telur berbentuk memanjang, berwarna putih, berukuran panjang 1,5 mm; diletakkan di dekat tulang
daun padi secara satu-persatu atau dalam kelompok-kelompok kecil. Larva (belatung) berwarna kuning
mengkilat. Pupa berwarna cokelat dan berukuran kecil. Imago berwarna kelabu kekuningan, berukuran
panjang sekitar 3-3,5 mm; memiliki bentuk kepala yang kaku dengan sepasang antena. Pada bagian dorsal
tubuhnya terdapat 2-3 pasang bercak warna hitam yang letaknya terdapat di bagian abdomen yang berwarna
kuning. Imago betina dapat menghasilkan 100 telur selama masa hidupnya (3-7 hari). Telur-telur tersebut
diletakkan secara tunggal atau dalam suatu kelompok-kelompok kecil yang dilekatkan ke bagian tulang
daun oleh lalat betina. Masa inkubasi telur berlangsung selama 3 hari dan biasanya telur menetas pada saat
pagi hari. Air embun pada pagi hari memungkinkan larva lalat dapat bergerak dari bagian daun menuju
pucuk (titik tumbuh). Telur tersebut akan menetas selang 33 jam atau maksimal empat hari setelah
diletakkan. (Koswanudin, 2020).
 Gejala serangan/ kerusakan
Titik tumbuh mulai membusuk dan jaringan lain pun ikut membusuk. Massa yang membusuk ini
merupakan pakan yang cocok untuk larva. Larva memerlukan banyak air hingga serangnya banyak terjadi
pada waktu musim hujan (kelembaban tinggi). Gejala kerusakan akan nampak berupa bercak-bercak kuning
yang dapat dilihat di sepanjang tepi daun yang baru muncul dan daun yang terserang mengalami perubahan
bentuk. Larva menyerang pada bagian antara helai daun dan pangkal tempat menempelnya daun. Tanaman
menjadi kerdil, kekuningan, terjadi pembusukan pada jaringan yang rusak. Larva juga menyerang titik
tumbuh dengan suplai makanan tinggi. Apabila bagian yang layu dicabut akan mudah lepas serta kelihatan
membusuk. (Salaki dan Watung, 2022).

Gambar 5. Gejala pada jagung di Condong Catur, Depok, Sleman


Sumber : dokumen pribadi
 Biologi dan Ekologi
Jumlah telur A exigua yang diletakkan pada kelompok plasma nutfah jagung yang rentan berkisar antara
11-112 butir/10 tanaman, pada kelompok yang agak rentan antara 58-65 butir/10 tanaman, pada kelompok
yang agak tahan antara 18-26 butir/10 tanaman, dan pada kelompok yang tahan antara 8-20 butir/10
tanaman. Jumlah telur yang diletakkan berkorelasi positif dengan tingkat ketahanan tanaman jagung
terhadap A exigua. Semakin rentan tanaman jagung semakin banyak telur yang diletakkan. Lalat bibit A
exigua (Diptera; Anthomydae) menyerang tanaman jagung pada awal pertumbuhan hingga tanaman
berumur satu bulan. . Serangan yang paling tinggi biasanya terjadi pada musim hujan dan hama ini
menyukai tanaman muda yang berumur 5-10 hari. Belatung lalat bibit menggerek tanaman dan masuk
sampai ke dalam batang. (Koswanudin, 2020).
 Cara merusak
Serangan lalat bibit berasal dari lalat berukuran kecil, panjang 3-3,5 mm berwarna kelabu. telur menetas
menjadi larva atau ulat, kemudian masuk ke dalam pelepah daun dengan bantuan lapisan air pada
permukaan daun dan terus masuk ke dalam gulungan daun sampai ke pangkal batang dimana larva tersebut
makan. Larva lalat bibit/lalat semai bergerak masuk ke dalam titik tumbuh dan menggigit dasar daun dan
titik tumbuh. Seekor lalat bibit mampu bertelur 20-25 butir dengan warna telur putih mutiara. siklus hidup
lalat bibit kurang lebih 15-25 hari. Serangan awal lalat bibit itu sendiri dimulai saat serangga dewasa
(imago) betina yang memiliki panjang 2,5-4,5 mm meletakkan telurnya secara tunggal di bawah permukaan
daun atau pada batang padi yang ada di dekat permukaan tanah. Jumlahnya berkisar 7-22 butir, bahkan bisa
juga hingga 70 butir. Lalat bibit meletakkan telur pada pelepah daun padi pada saat sore hari dimana
matahari mulai tenggelam. Larva muda masuk ke dalam pelepah daun dan terus masuk ke dalam gulungan
daun sampai pangkal batang tempat larva makan. (Salaki dan Watung, 2022).
 Karakter lingkungan yang mendukung eksistensi hama
Area pertanaman jagung yang terserang hama tersebut biasanya dekat dengan tanaman yang merupakan
inang lalat bibit, selain itu pola tanam monokultur mendukung distribusi dan penularan hama. Beberapa
faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan hama antara lain, suhu (berkembang pada suhu 10-
300C, telur dapat menetas pada suhu 5-300C dalam kurun waktu 30-36 jam, kelembapan (semakin tinggi
kelembapan udara semakin panjang waktu yang dibutuhkan untuk mencapai imago. Kelembapan optimum
berkisar 70-80%), serta cahaya matahari, lalat aktif pada keadaan terang (siang hari) dan kawin pada
intensitas cahaya rendah. (Salaki dan Watung, 2022).

.
Gambar 6. Lingkungan pertanaman jagung
Sumber : dokumen pribadi
 Musuh alami
Pengendalian dengan memanfaatan musuh alami dapat menggunakan parasitoid Thricogramma spp.
yang bisa memarasit telur, atau Opius sp. dan Tetrastichus sp. yang mampu memarasit larva.
Sedangkan Clubiona japonicola bisa menjadi predator bagi imago lalat bibit. (Salaki dan Watung, 2022).
 Cara pengendalian
Pengendalian yang dapat dilakukan antara lain, pengaturan waktu tanam, pergiliran tanaman,
penanaman serempak, perlakuan benih dengan insektisida yang diaplikasikan pada benih atau seed
treatmen sebelum tanam yang berbahan aktif thiodikarb atau karbofuran, dan penyemprotan insektisida
terutama di awal pertumbuhan. (Salaki dan Watung, 2022).
3. Hama ulat grayak (Spodoptera litura) pada tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea)

Gambar 7. Hama ulat grayak


Sumber : dokumen pribadi
 Morfologi
Umumnya larva S. litura mempunyai titik hitam arah lateral pada setiap abdomen. Larva muda
berwarna kehijau-hijauan, instar pertama tubuh larva berwarna hijau kuning, panjang 2,0 sampai 2,74 mm
dan tubuh berbulu-bulu halus, kepala berwarna hitam dengan dengan lebar 0,2-0,3 mm. Instar kedua, tubuh
berwarna hijau dengan panjang 3,75-10,0 mm, bulu-bulunya tidak terlihat lagi dan pada ruas abdomen
pertama terdapat garis hitam meningkat pada bagian dorsal terdapat garis putih memanjang dari toraks
hingga ujung abdomen, pada toraks terdapat empat buah titik yang berbaris dua-dua. Larva instar ketiga
memiliki panjang tubuh 8,0-15,0 mm dengan lebar 0,5-0,6 mm. Pada bagian kiri dan kanan abdomen
terdapat garis zig-zag berwarna putih dan bulatan hitam sepanjang tubuh. Instar keempat, kelima dan
keenam agak sulit dibedakan. Untuk Panjang tubuh instar keempat 13-20 mm, instar kelima 23-35 mm, dan
instar keenam 35- 50 mm. (Ramadhan et al., 2019).
 Gejala serangan/ kerusakan
Gejala serangan berupa daun berlubang karena larva memakan jaringan daun hingga menyisakan
epidermis dan tulang daun. Hama tersebut dapat ditemukan di tanaman pakcoy maupun sawi yang telah di
panen. Pengendalian yang dilakukan dapat menggunakan insektisida maupun diambil secara langsung,
selain itu untuk ngengat dapat menggunakan perangkap. (Ramadhan et al., 2019).

Gambar 8. Gejala serangan ulat grayak di Kotagede, DIY


Sumber : dokumen pribadi
 Biologi dan Ekologi
Siklus hidup hama tersebut yaitu telur-larva-pupa-imago. Seekor serangga betina dapat menghasilkan
kurang lebih 2000 sampai 3000 butir telur. Dalam suatu kelompok telur terdapat 30-100 butir bahkan dapat
mencapai 350 butir. Telur-telur dapat menetas dalam waktu 2-5 hari dan telur umumnya menetas pada pagi
hari. Peletakan telur berlangsung selama 2 sampai 3 hari, bahkan diperpanjang lebih dari 3 sampai 7 hari
dan imago Spodoptera litura, stadianya berkisar antara 9 sampai 10 hari. Siklus hidup hama tersebut
berlangsung selama 40 - 49 hari dengan umur dari telur sampai mati berlangsung selama 28 - 53 hari.
(Ramadhan et al., 2019).
 Cara merusak
Mekanisme serangan hama tersebut yaitu mula-mula imago betina meletakkan telur pada malam hari,
telur diletakkan secara berkelompok pada permukaan daun tanaman bawang merah dan telurnya berbentuk
oval. Kelompok telur di tutupi oleh rambut-rambut yang halus yang berwarna putih, kemudian telur berubah
menjadi kehitam-hitaman pada saat akan menetas. S. litura merusak saat stadia larva, dengan memakan
daun sehingga menjadi berlubang- lubang. Larva menyerang tanaman secara bergerombol, karena telur
diletakkan mengelompok. Larva instar satu terutama menyebar kebagian pucuk-pucuk tanaman dan
membuat lubang gerekan pada daun, kemudian masuk kedalam kapiler daun. Larva mengalami perubahan
warna sesuai dengan perubahan instar yang dialaminya. Larva instar satu biasanya berwarna hijau muda,
kemudian berubah menjadi hijau tua saat memasuki instar dua. Pada larva instar tiga dan empat warnanya
menjadi hijau kehitam-hitaman pada bagian abdomen, pada abdomen terdapat garis hitam yang melintang.
(Ramadhan et al., 2019).
 Karakter lingkungan yang mendukung eksistensi hama
Ulat grayak umumnya menyerang pada malam hari, sedangkan pada siang hari ulat ini bersembunyi di
bawah tanaman, mulsa atau dalam tanah. Tempat favorit dari ulat grayak adalah di daun muda yang masih
menggulung pada tanaman, di mana ia terlindungi dan berkembang pada makanan favoritnya yakni daun
muda yang empuk. Daun yang dimakan larva akan terus tumbuh menyebabkan lubang-lubang di daun
tanaman yang merupakan ciri khas serangan ulat grayak. Beberapa tanaman inang ulat grayak yang telah
diketahui adalah tanaman kacang-kacangan, tembakau, jarak, cabai, tomat, kapas, bunga matahari, bayam,
dan lain – lain. Umumnya ulat grayak menyukai tempat yang jarang terkena cahaya matahari. Dapat
berkembang dengan pesat pada saat musim peralihan dari musim hujan ke musim kemarau. (Ramadhan et
al., 2019).

Gambar 9. Lingkungan pertanaman kacang tanah


Sumber : dokumen pribadi
 Musuh alami
Musuh alami dari hama ini yaitu jenis parasitoid Trichogramma spp. dan jenis predator cecopet,
kumbang kepik, dan semut.
 Cara pengendalian
Cara pengendalian yang dapat dilakukan antara lain, rotasi tanaman untuk memutus daur hidup hama,
pengolahan tanah yang baik (selama 1 bulan) untuk mengangkat kepompong hama dari dalam tanah agar
mati terjemur oleh sinar matahari, serta pemasangan perangkap berferomon yaitu feromon Exi sebanyak 20
buah per hektar. (Ramadhan et al., 2019).
4. Hama kepik hijau (Nezara viridula) pada tanaman kedelai (Glycine max)

Gambar 10. Hama kepik hijau


Sumber : dokumen pribadi
 Morfologi
Telur berbentuk seperti cangkir berwarna kuning dan tertata rapi. Ukuran telur 1,2 x 0,75 mm. Pada
awalnya telur berwarna kuning, kemudian Ketika akan menetas berubah menjadi merah bata. Telur yang
terserang parasite berubah menjadi hitam, sedangkan telur yang akan menetas berubah menjadi merah bata
dan telur yang steril tidak berubah warnanya. Nimfa instar 2 berwarna hitam dengan bitnik putih. Nimfa
instar 4 masing – masing berwarna hijau berbintik – bitnik hitam dan putih. Imago berwarna hijau dengan
antenna yang membentuk huruf V. bagian kepala dan toraksnya mempunyai kombinasi warna jingga atau
kuning kehijauan dengan tiga bintik hijau di punggung. Pada sisi kiri dan kanan toraks terdapat duri yang
merupakan ciri khas hama ini. Serangga ini juga memiliki tubuh pipih persegi lima dengan panjang sekitar 1
cm. (Fitri et al., 2020).
 Gejala serangan/ kerusakan
Berupa bintik-bintik cokelat, baik pada kulit polong bagian dalam maupun pada biji kedelai. serangan
berat akan mudah dilihat dengan mata telanjang, namun untukn mengamati serangan ringan diperlukan
bantuan mikroskop. kerusakan pada kulit polong maupun biji sering kali merupakan akibat kontaminasi
serangan jamur yang terbawa sewaktu serangga menghisap cairan biji. Biji menjadi hitam, busuk, kulit biji
keriput, dan bercak-bercak coklat; kadang-kadang polong kempes dan gugur dan daun bintik-bintik. Pada
tanaman kacang kedelai nilai ambang ekonomi hama ini yaitu 3 ekor/5 tanaman umur 45 hari. (Fitri et al.,
2020).
Gambar 11. Gejala hama kepik hijau pada kedelai di Pati, Jawa Tengah
Sumber : dokumen pribadi
 Biologi dan Ekologi
N. viridula (L.) mengalami metamorfosis bertahap (paurometabola) yaitu dimulai dari stadia telur,
nimfa dan imago. Proses pergantian kulit dari masing–masing instar berkisar antara 5 – 15 menit dan sesaat
setelah berganti kulit seluruh tubuh serangga berwarna lebih muda dari kondisi sempurna berganti kulit,
setelah 30 – 45 menit. maka akan berubah warna sesuai dengan warna instar masing–masing. Umur N.
viridula (L.)) dari telur sampai mati berlangsung selama 6 - 115 hari. Pada pagi hari, kepik biasanya diam
di permukaan atas daun untuk berjemur. Pada saat matahari mulai terik, serangga turun untuk berteduh
sambil memakan polong, terutama polong yang masih muda. (Fitri et al., 2020).
 Cara merusak
Kepik hijau selain menyerang tanaman kedele juga menyerang tanaman kacang hijau, kacang tunggak,
padi, orok-orok, kacang gude, jagung dan kapas. Imago mulai datang di pertanaman sejak pembentukan
bunga. Serangan hama ini menyebabkan biji dan polong kempis, polong gugur, biji menjadi busuk,
berwarna hitam,kulit biji keriput dan adanya bercak-bercak coklat pada kulit biji. Periode kritis tanaman
terhadap serangan kepik hijau adalah stadia pengisian biji. (Fitri et al., 2020).
 Karakter lingkungan yang mendukung eksistensi hama
Kepik hijau memiliki habitat tanaman inang yang cukup luas meliputi tanaman pangan, buah-buahan,
tanaman hias, sayuran bahkan beberapa jenis gulma. Suhu optimal adalah 26°C. Situasi hibernasi umumnya
dimulai pada suhu 15°C, dan aestivasi pada suhu 38°C-45°C. Tanah berstruktur gembur, dengan kandungan
bahan organik tinggi, dan kelembapan yang cukup, dapat mendukung perkembangan hama (Fitri et al.,
2020).

Gambar 12. Lingkungan pertanaman kedelai


Sumber : dokumen pribadi
 Musuh alami
Parasitoid ada beberapa jenis yaitu Anastatus Sp., Ooencyrtus Sp., Telenomus Sp., Trissolcus Sp., dan
Gryon C
 Cara pengendalian
Dapat dikendalikan dengan pergiliran tanaman, tanaman serempak, penyemprotan insektisida, apabila
ditemukan intensitas serangan penggerek polong 2 , populasi penghisap polong dewasa sepasang pada umur
45 hari setelah tanam dan populasi kepik hijau dewasa sepasang pada umur 45 hari setelah tanam.
B. Spesies hama perkebunan
5. Hama tonggeret (Cicadas) pada tanaman tebu (Saccharum)
Gambar 13. Hama tonggeret
Sumber : dokumen pribadi
 Morfologi
Serangga ini mempunyai sepasang mata faset yang letaknya terpisah jauh di kepalanya dan biasanya
juga memiliki sayap yang tembus pandang. Bentuknya kadang-kadang seperti lalat yang besar, meskipun
ada tonggeret yang berukuran kecil. Bagian tubuh nimfa tonggeret instar akhir yang dapat dijadikan sebagai
penanda spesies meliputi, femoral comb/sisir atau gerigi pada femur, spine/duri pada kaki belakang, ventral
genitalia/kenampakan pada ujung abdomen (alat kelamin) jantan maupun betina. Tubuhnya yang besar dan
akustik luar biasa yang dihasilkan dari alat penghasil suara di bawah sayapnya. Sayapnya besar, kokoh dan
tembus pandang, sehingga semua venasinya atau pertulangannya terlihat jelas. Warna tubuhnya hijau muda
dengan motif batik dibagian atas thoraknya. Di bagian bawah perut pada sisi ruas 1 dan 2 terdapat sepasang
alat bunyi sebagai salah satu alat komunikasi. Imago memiliki badan tebal dengan dua pasang sayap
berukuran 1,5 – 2,5 cm. Abdomen terdiri dari 9-10 segmen.(Budi et al., 2021).
 Gejala serangan/ kerusakan
Dalam populasi yang tinggi tonggeret dapat mengakibatkan kerusakan dan kematian tanaman atau
tumbuhan dengan cara menghisap cairan batang. Menimbulkan adanya warna hitam kecoklatan bekas
hisapan. Tonggeret akan makan getah pohon, namun biasanya tidak sampai merusak tanaman secara
signifikan. Menyebabkan kandungan gula dalam batang tebu habis, Batang mudah roboh. (Budi et al.,
2021).

Gambar 14. Gejala hama tonggeret di Condong Catur, Depok, Sleman


Sumber : dokumen pribadi
 Biologi dan Ekologi
Nimfa tonggeret akan muncul ke permukaan tanah dan merayap menuju batang atau ranting pohon
terdekat untuk melakukan metamorfosis menjadi fase dewasa yang berlangsung selama 15-19 hari. Individu
tonggeret akan melakukan molting saat malam hari untuk mengurangi resiko serangan predator. Setelah
proses molting, tonggeret dewasa hanya dapat hidup selama dua hingga enam minggu. Eksuvia tonggeret
betina terdapat dua tonjolan posterior marginal khas yang mirip dengan ovipositor tonggeret betina dewasa.
Untuk eksuvia tonggeret jantan, terdapat tonjolan dengan bentuk bervariasi pada setiap spesies namun
ukurannya lebih kecil dari tonjolan pada betina. Fase nimfa menghabiskan waktu sekitar 6-7 tahun didalam
tanah. Selama masa perkembangan, tonggeret mengalami 4 kali ganti kulit. (Budi et al., 2021).
 Cara merusak
Nimfa tonggeret mengambil nutrisi dari xilem akar hingga batang tumbuhan hingga dapat
menyebabkan kerusakan pada tumbuhan inangnya tersebut. (Budi et al., 2021).
 Karakter lingkungan yang mendukung eksistensi hama
Tonggeret hidup di daerah beriklim sedang hingga tropis dan sangat mudah dikenali di antara serangga
lainnya, Hidup pada kondisi tanah dan lembab serta lingkungan yang lembab dan tidak terkena sinar
matahari. (Budi et al., 2021).

Gambar 15. Lingkungan pertanaman tebu


Sumber : dokumen pribadi
 Musuh alami
Hewan yang memangsa tonggeret adalah burung, katak, kadal, ular, monyet, mamalia kecil dan
serangga predator.
 Cara pengendalian
Dapat dikendalikan dengan cara melakukan sanitasi lahan, menjauhkan dari tanaman inang tonggeret,
pengendalian dengan insektisida, serta pergiliran tanaman. (Budi et al., 2021).
C. Spesies hama perkebunan tahunan
6. Hama Helopeltis spp. pada tanaman kakao (Theobroma cacao)

Gambar 16. Hama Helopeltis spp.


Sumber : dokumen pribadi
 Morfologi
Telur berwarna putih berbentuk lonjong, diletakkan pada tangkai buah, jaringan kulit buah, tangkai
daun muda, ranting atau permukaan buah muda dengan ukuran kisaran 1 mm. Lama periode telur 6 – 7
hari. Helopeltis sp dewasa (imago) pada bagian tengah tubuhnya berwarna jingga dan bagian belakang
berwarna hitam atau kehijau-hijauan dengan garis putih. Pada bagian tengah tubuh (mesoskutelum) terdapat
embelan tengah lurus berbentuk jarum pentul, sayap dua pasang, tipis dan tembus pandang. Serangga betina
dewasa selama hidupnya dapat meletakkan telurnya hingga 200 butir selama 34 hari. Serangga jantan
berwarna coklat kehitam-hitaman, sedangkan serangga betina berwarna coklat kemerah-merahan, tungkai
berwarna coklat kelabu, punggung berwarna hijau kelabu, dan panjang tubuhnya 6,5 sd 7,5 mm. (Nelly et
al., 2020)
 Gejala serangan/ kerusakan
Ditandai dengan bercak-bercak berwarna cokelat kehitaman. Serangan pada buah muda (ukuran ± 8
cm) menyebabkan layu pentil dan umumnya buah akan mengering kemudian rontok. Apabila pertumbuhan
buah terus berlanjut maka kulit buah akan mengeras dan retak-retak, dan akhirnya terjadi perubahan bentuk
buah yang dapat menghambat perkembangan biji di dalamnya. Apabila serangan terjadi pada pucuk maka
akan menyebabkan mati pucuk. Pada kulit buah kakao tua tampak bercak-bercak bekas tusukan berwarna
cokelat kehitaman. (Nelly et al., 2020)
Gambar 17. Gejala pada buah kakao di Depok, Sleman
Sumber : dokumen pribadi
 Biologi dan Ekologi
Serangga ini mempunyai tipe metamorfosa tidak sempurna terdiri dari telur, nimfa dan imago. Telur
berbentuk lonjong, berwarna putih, pada salah satu ujungnya terdapat sepasang benang yang tidak sama
panjangnya. Telur diletakkan pada permukaan buah atau pucuk dengan cara diselipkan di dalam jaringan
kulit buah atau pucuk dengan bagian ujung telur yang ada benangnya menyembul keluar. Pada fase imago
inilah intensitas serangan penghisap buah kakao akan semakin tinggi, karena selain melakukan pengrusakan
terhadap buah-buah kakao, imago akan kawin dan kembali meletakan telur-telur yang dihasilkannya ke
dalam jaringan kulit untuk melanjutkan siklus keturunannya. Hama penghisap buah dapat menyerang buah
kakao saat pagi dan sore hari. Karena ia tidak menyukai keberadaan cahaya, ketika siang hari hama ini
biasanya bersembunyi di bagian tanaman yang gelap seperti sela-sela atau bagian daun yang menghadap
ke bawah. (Nelly et al., 2020)
 Cara merusak
Serangga muda (Nimfa) dan dewasa (imago) menyerang pucuk dan buah muda tanaman kakao dengan
menusukkan alat mulutnya (stilet) ke jaringan tanaman kemudian mengisap cairan di dalamnya. Stilet
membentuk dua saluran, yaitu saluran makanan dan saluran air liur. Ketika stilet melakukan penetrasi ke
tanaman inang maka air liur akan dipompa ke bagian tersebut menyebabkan jaringan tanaman menjadi lebih
basah sehingga lebih mudah untuk diisap. (Nelly et al., 2020)
 Karakter lingkungan yang mendukung eksistensi hama
Hama ini menyukai lingkungan yang teduh dengan kelembaban sedang dan peka terhadap sinar
matahari langsung, sehingga kondisi pertanaman yang rimbun dan kotor sangat disukai oleh hama ini.

Gambar 18. Lingkungan pertanaman kakao


Sumber : dokumen pribadi
 Musuh alami
Musuh alami golongan predator adalah Chrysoperla carnea (Neuroptera: Chrysopidae), Mallada sp.
(Neuroptera: Chrysopidae), dan Oxyopes sp. (Arachnida: Oxyopidae). Jenis predator lainnya
yaitu Coccinella sp., semut hitam (Dolichoderus thoracicus) dan semut merah (Oecophylla smaragdina).
(Nelly et al., 2020)
 Cara pengendalian
Penggunaan Varietas Resisten yaitu, ICCRI 01, ICCRI 02, ICCRI 03, ICCRI 04, dan RCC 70-71.
Pemupukan yang lengkap dan seimbang akan menjadikan tanaman tumbuh dengan baik, serta sanitasi
lahan. (Nelly et al., 2020)
7. Hama pucuk teh Empoasca spp. pada tanaman teh (Camellia sinensis)

Gambar 19. Hama Empoasca spp.


Sumber : dokumen pribadi
 Morfologi
Telur berbentuk silinder agak melengkung seperti pisang, berwarna putih agak krem dengan panjang
rata-rata 0,75 mm, diameter 0,15 mm. Dewasa/imago berwarna hijau kekuningan panjangnya 2,33–2,65
mm. Perbedaan antara jantan dengan betina ditunjukan pada bagian abdomen. Abdomen imago betina
meruncing mulai dari pangkal hingga ruas terakhir, sedangkan abdomen jantan membulat dengan ruas
terakhir meruncing. Lama hidup imago jantan 8 -9 hari dan betina 17-36 hari. (Indriati dan Funny, 2019).
 Gejala serangan/ kerusakan
Serangga dewasa dan nimfa E. vitis mengisap cairan pucuk teh, menyebabkan bagian tepi daun
menguning, keriting, layu, seperti terbakar (hopperburn) dan pertumbuhan lambat lalu kerdil. Daun yang
terserang akan timbul noda kemerahan seperti daun terbakar kemudian daun mengering, tepi daun
menggulung ke bawah. Pertulangan daun menjadi cokelat akibat tusukan stilet dan cairan daun yang diisap.
(Indriati dan Funny, 2019).

Gambar 20. Gejala pada tanaman the di Batang, Jawa Tengah


Sumber : dokumen pribadi
 Biologi dan Ekologi
Wereng daun Empoasca spp. mengalami metamorfosis bertahap (paurometabola) yang terdiri atas
stadia telur, nimfa, dan imago. Stadia telur berkisar 8–14 hari. Telur diletakkan satu per satu di dalam
jaringan tulang daun pada permukaan bawah daun atau ketiak daun. Telur lebih banyak diletakkan pada
bagian pucuk dan daun muda teh. Dipilihnya pucuk tanaman sebagai tempat peletakkan telur berkaitan
dengan kelembaban dan ketersediaan cairan tanaman yang mendukung telur. Nimfa terdiri dari lima instar,
menyebar di bawah permukaan daun terutama di bagian pucuk. Nimfa instar ke-1 dan ke-2 hanya dapat
bergerak ke samping sedangkan nimfa instar ke-3 hingga ke-5 dapat bergerak ke samping dan melompat.
Lama hidup nimfa dan mencapai imago 8-22 hari dengan rata-rata 12,5 hari. Betina meletakan telur di
dalam jaringan daun, periode oviposisi 5 – 7 hari. Telur menetas menjadi nimfa 6-13 hari tergantung suhu.
(Indriati dan Funny, 2019).
 Cara merusak
Hama tersebut menyerang dengan cara mengisap daun teh dan menyebabkan bagian tepi daun teh
keriting, layu dan menguning.
 Karakter lingkungan yang mendukung eksistensi hama
Pada curah hujan lebih dari 140 mm, suhu lebih dari 28°C dan kelembapan udara lebih dari 80%
intensitas serangan Empoasca menurun. Kelembapan udara yang lebih tinggi dari 80% dibutuhkan untuk
pertumbuhan hama. Demikian pula dengan curah hujan yang tinggi selama beberapa hari berturut-turut (7-
10 hari) akan memicu munculnya hama tersebut. (Rezamela et al., 2018).

Gambar 21. Lingkungan pertanaman the


Sumber : dokumen pribadi
 Musuh alami
Pemanfaatan musuh alami parasitoid telur E. vitis yaitu Anagrus atomus. (Indriati dan Funny, 2019).
 Cara pengendalian
Pengendalian secara fisik menggunakan sticky trap. Penggunaan feromon, serta penggunaan
insektisida. (Indriati dan Funny, 2019).
D. Spesies hama tanaman sayuran
8. Hama tungau (Acarina) pada tanaman cabai

Gambar 22. Hama tungau


Sumber : dokumen pribadi
 Morfologi
Tungau mempunyai ukuran tubuh yang sangat kecil bahkan mata telanjang pun sulit menemukannya.
Tungau terkecil memiliki panjang tubuh 1 mm atau 0,1 cm dan tungau yang terbesar memiliki panjang
tubuh sekitar 6 mm atau 0.6 cm. Telur berbentuk oval atau lonjong dengan warna yang berbeda tergantung
jenis tungau. Warna telur akan berubah menjadi oranye ketika akan menetas. Ukuran betina lebih besar dari
jantan, dan ujung abdomen jantan meruncing. Bentuk tubuh hewan ini mirip seperti kutu yang hanya
mempunyai 2 bagian yaitu cephalothorax atau kepala tidak terpisah dan opisthosoma atau perut. Sebagian
besar tubuh mereka berwarna cokelat, putih, hijau maupun merah. (Meilin, 2014).
 Gejala serangan/ kerusakan
Awalnya akan muncul bintik berwarna kuning di permukaan daun yang mana bintik kuning tersebut
lama kelamaan berkembang dan menyebar ke seluruh daun hingga daun berubah warna jadi cokelat dan
akhirnya hitam. Daun yang terserang juga akan mengalami keriting , menebal, menggulung ke arah bawah,
dan memiliki bentuk seperti sendok yang terbalik. Di bagian bawah daun tersebut terdapat benang – benang
halus dan warnanya berubah seperti warna tembaga. (Meilin, 2014).
\
Gambar 23. Gejala pada tanaman cabai di Panjatan, Kulon Progo
Sumber : dokumen pribadi
 Biologi dan Ekologi
Tungau mampu menetas dalam waktu 3 hari dan dalam waktu 5 hari mereka mampu menjadi tungau
dewasa secara seksual. Tungau betina sekali bertelur dapat mengahsilkan telur hingga 20 butir per hari yang
masa hidupnya selama 2 – 4 minggu, sehingga bisa menghasilkan ratusan telur. (Meilin, 2014).
 Cara merusak
Para tungau biasanya akan bersembunyi di balik daun. Cara para tungau menyerang adalah dengan cara
menghisap cairan daun yang ada pada jaringan mesofil sampai jaringan tersebut rusak. Akibat kejadin ini
maka proses fotosintesis tanaman cabe tersebut menjadi terhambat. (Meilin, 2014).
 Karakter lingkungan yang mendukung eksistensi hama
Para tungau ini mampu berkembang biak secara cepat, dalam suhu 27 derajat celcius. Biasanya
serangan tungau kuning terjadi ketika musim kemarau tiba, hal ini dikarenakan para hama tungau bisa
berkembang biak dengan cepat ketika kondisi kering. Jarak tanam yang terlalu dekat serta keberadaan inang
alternatif membuat populasi berkembang dengan pesat. Selain itu, pola tanam monokultur membuat migrasi
tungau menjadi cepat. (Meilin, 2014).

Gambar 24. Lingkungan pertanaman cabai


Sumber : dokumen pribadi
 Musuh alami
Musuh alami tungau kuning seperti kumbang Amblysiuscucumeris Oriusminutes, Coccinellidae
Coccinellarepanda, patogen Entomophthora sap dan arachnidea. (Meilin, 2014).
 Cara pengendalian
Pengendalian yang dapat dilakukan adalah pengendalian secara kultur teknis, biasanya tungau kuning
akan menyerang ketika tanaman cabe berusia 14 hari setelah tanam, guna mencegahnya dapat
menggunakan mulsa plastik dan tanaman perangkap caisin, sisa – sisa pembakaran mulsa yang telah dipakai
selama proses pertanaman, serta jika tanaman terserang tungau kuning, maka nada harus melakukan sanitasi
dan pemusnahan.
9. Hama Plutella xylostella pada tanaman kobis (Brassica oleracea L.)
Gambar 25. Hama Plutella xylostella
Sumber : dokumen pribadi
 Morfologi
Bentuk tubuh larva melebar dibagian tengah dan meruncing ke arah anterior dan posterior dengan dua
proleg sampai segmen terakhir membentuk huruf V. Ukuran panjang pupa bervariasi mulai dari 4,5 -7,0
mm. Ngengat hama ini berwarna abu-abu hingga cokelat kelabu. Panjangnya 1,5-1,7 mm dengan rentang
sayap 14,5-17,5 mm. Bagian tepi sayap berwarna terang dan bagian depan terdapat tiga titik seperti intan.
Ngengat berbentuk ramping, berwarna coklat sampai kelabu. Ngengat Plutella xylostella memiliki
keunikan tersendiri yaitu terdapat corak berlian pada sayap depan dibagian dorsal. Sehingga hama ini
dikenal dengan ngengat punggung berlian. (Susniahti et al., 2018).
 Gejala serangan/ kerusakan
Dapat merusak tanaman mulai dari pembibitan sampai panen. Serangan berat dari hama ini yakni dapat
mengakibatkan tanaman hanya tertinggal tulang-tulang daunnya saja. Menyisakan tulang daun dan
epidermis daun bagian atas. Apabila jumlah larva relatif banyak maka dapat memakan semua bagian daun
tanaman. (Susniahti et al., 2018).

Gambar 26. Gejala pada tanaman kobis di Klebengan, Depok, Sleman


Sumber : dokumen pribadi
 Biologi dan Ekologi
Telur Plutella xylostella L. berukuran sangat kecil dan berbentuk agak bulat telur. Telur diletakkan di
bawah daun secara tunggal. Serangga Plutella xylostella L. mampu memproduksi telur berkisar antara 180-
320. Telur diletakkan secara terpisah pada permukaan daun yang lebih rendah. Stadium telur antara 3-6
hari. Larva Plutella xylostella L. di lapangan perkembangannya mencapai 4 instar. Larva instar pertama
adalah larva baru keluar dari telur. Populasi larva yang umumnya berlangsung pada 6 sampai 8 minggu
sesudah tanam, dan pada saat seperti ini larva dapat menyerang sampai mengakibatkan kerusakan yang
parah pada tanaman Brassica oleracea L. Kerugian hasil yang terjadi dapat mencapai 58 – 100 persen
(Susniahti et al., 2018).
 Cara merusak
Larva yang baru menetas akan merayap kepermukaan daun dan melubangi epidermis. Pada umumnya
larva memakan permukaan daun bagian bawah. (Susniahti et al., 2018).
 Karakter lingkungan yang mendukung eksistensi hama
Rata-rata lama fase larva yaitu 12,75 – 13,38 hari pada suhu berkisar 24 - 27 dan kelembaban 67% -
82%. Suhu dan kelembaban optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan P. xylostella adalah 17 – 25
dan kelembaban 60%- 90%. Faktor suhu akan berpengaruh terhadap proses metabolisme serangga. Apabila
suhu lingkungan naik, maka proses metabolisme semakin cepat, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan perkembangan serangga akan semakin cepat. (Susniahti et al., 2018).
 Musuh alami
Parasitoid Diadegma semiclausum telah dimanfaatkan di Indonesia terutama pada pertanaman kubis di
dataran tinggi. (Susniahti et al., 2018).
 Cara pengendalian
Pengendalian atau pembasmian hama dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satu cara yaitu
dengan pestisida kimia dan pestisida alami. Selain itu, dapat dikendalikan dengan sanitasi lahan,
penggunaan tanaman refugia, serta pergiliran waktu tanam. (Susniahti et al., 2018).
E. Spesies hama tanaman buah
10. Hama penggulung daun (Erionata thrax L ) pada tanaman pisang

Gambar 28. Hama penggulung daun pisang


Sumber : dokumen pribadi
 Morfologi
Telur berwarna kuning dan menetas setelah mencapai umur 5-8 hari setelah diletakkan. Imago
meletakkan telur secara berkelompok kira-kira 25 butir pada permukaan bawah daun yang utuh pada malam
hari. Larva yang ditemukan biasanya masih hidup dan tubuhnya berwarna hijau dan ditutupi tepung
berwarna putih. . Larva yang berukuran kecil (< 3 cm) tubuhnya belum ditutupi oleh tepung berwarna putih.
Pupa berada di dalam gulungan daun, berwarna kehijauan dan dilapisi lilin. Panjang pupa lebih kurang 6
cm dan mempunyai belalai (probosis). Imago E. thrax adalah kupu-kupu berwarna coklat dengan bintik
kuning pada kedua sayapnya. Panjang rentangan sayapnya kira-kira 7.5 cm. (Putra dan Utami, 2018).
 Gejala serangan/ kerusakan
Daun yang diserang ulat biasanya digulung sehingga menyerupai tabung, dan apabila dibuka akan
ditemukan larva di dalamnya. Larva memotong bagian tepi daun kemudian digulung mengarah ke dalam.
Daun yang terserang akan terdaspat bekas gigitan pada bagian tepi daun dan daun tampak menggulung dari
tepi hingga pangkal daun. (Putra dan Utami, 2018).

Gambar 29. Gejala pada tanaman pisang di Depok, Sleman


Sumber : dokumen pribadi
 Biologi dan Ekologi
Stadium larva berlangsung selama 28 hari. Mortalitas larva cukup tinggi pada larva muda karena pada
permukaan tubuhnya belum ditutupi lilin dan gulungan daunnya masih terbuka. Stadium prapupa lamanya
adalah 3 hari, sedangkan stadium pupa selama 7 hari. Serangga berkepompong dalam gulungan daun.
Imago aktif pada sore hari dan pagi hari. Siklus hidup E. thrax 5 – 6 minggu. Penyebaran E. thrax kedaerah-
daerah baru sangat cepat (hingga 500 km/tahun). Mekanisme penyebaran yang mungkin dari hama ini
melalui, penerbangan imago, transportasi telur atau larva muda melalui transportasi daun yang digunakan
sebagai pembungkus. (Putra dan Utami, 2018).
 Cara merusak
Larva makan dari bagian dalam gulungan tersebut, kemudian membentuk gulungan yang lebih besar
sesuai dengan perkembangan larva sampai instar akhir. Imago menghisap madu atau nektar bunga pisang.
Larva yang masih muda memotong tepi daun secara miring, lalu digulung hingga membentuk tabung kecil.
Apabila daun dalam gulungan tersebut sudah habis, maka larva akan pindah ke tempat lain dan membuat
gulungan yang lebih besar. (Putra dan Utami, 2018).
 Karakter lingkungan yang mendukung eksistensi hama
Suhu yang baik untuk perkembangan hama adalah berkisar antara 15 – 380C dengan suhu optimum
270C dimana pada suhu tersebut tanaman pisang juga dapat berkembang secara optimal. Tanaman pisang
dapat ditanam pada berbagai macam topografi tanah, baik tanah datar ataupun tanah miring dan keasaman
tanah pada pH 4.5-7.5. (Putra dan Utami, 2018).

Gambar 30. Lingkungan pertanaman pisang


Sumber : dokumen pribadi
 Musuh alami
Musuh alaminya yaitu Ooencyrtus, Agiommatus dan Anastatus yang merupakan parasitoid telur E.
thrax.
 Cara pengendalian
Pengendalian secara kimia dilakukan dengan insektisida racun kontak maupun racun perut misalnya
insektisida yang mengandung bahan aktif diazinon, endosulfan, dieldrin dan dimethoathe. Pengendalian
mekanis dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan telur, larva dan daun yang menggulung, kemudian
melenyapkannya. Pengendalian ini kurang efisien karena tidak cocok pada pertanaman yang luas. (Putra
dan Utami, 2018).
11. Hama ulat peliang daun (Phyllocnistis citrella) pada tanaman jeruk

Gambar 31. Hama ulat peliang daun


Sumber : dokumen pribadi
 Morfologi
Ulat berukuran 1,5-2,5 cm. Stadia hama larva memiliki warna hitam coklat kekuningan dengan bagian
bawah lebih besar dari bagian atas. Memiliki antena pada sisi anterior yang berwarna putih hingga kuning.
Berjalan menggunakan perutnya. Pada bagian tengah tubuh terdapat garis berwarna putih dan hitam
disebelahnya. Ngengat dari ulat tersebut berwarna coklat dengan bercak-bercak hitam pada sayapnya. (Sari
et al., 2018).
 Gejala serangan/ kerusakan
Larva pengorok daun adalah adanya korokan di sepanjang daun yang berwarna keperakan atau garis
putih yang berkelok-kelok dan garis berwarna kecoklatan. Saat menyerang daun tersebut larva membuat
lorong di dalam jaringan daun. Larva hama ini menyerang dengan cara memakan bagian mesofil daun yang
terlindungi oleh lapisan epidermis daun. Terdapat alur melingkar transparan atau keperakan, tunas/daun
muda mengkerut, menggulung, rontok. Pada tanaman yang terserang, daun tampak berkerut, menggulung,
keriting serta terlihat bekas gerekan. Gejala khasnya berupa bekas serangga tersebut makan berupa garis
atau jalur-jalur yang berkelok-kelok sesuai dengan tempat yang dilalui saat makan. (Sari et al., 2018).

Gambar 32. Gejala pada tanaman jeruk di Depok, Sleman


Sumber : dokumen pribadi
 Biologi dan Ekologi
Telur-telur diletakkan oleh kupu-kupu betina secara terpencar di atas permukaan bagian bawah daun,
tangkai daun atau bagian tanaman lain yang masih muda. Telur menetas setelah 4 hari dan larvanya masuk
ke dalam epidermis, kemudian memakan jaringan tanaman yang masih muda. Stadium larva berlangsung
6 - 7 hari, kemudian pada akhirnya mencari tempat untuk menjalani stadium kepompong atau pupa. Panjang
kepompong antara 5-6 mm dan lamanya fase pupa 6 - 7 hari. Setelah menjalani fase pupa, kemudian
menjadi ngengat. Siklus hidup lengkap dari mulai telur sampai ngengat berlangsung 16-18 hari. Ngengat
aktif pada malam hari, sedangkan pada siang hari, biasanya hinggap di sekitar tanaman, atau di atas
permukaan tanah. (Sari et al., 2018).
 Cara merusak
Ulat masuk ke dalam jaringan tanaman, yaitu membuat liang di bawah jaringan epidermis tanaman,
terutama daun yang masih muda.
 Karakter lingkungan yang mendukung eksistensi hama
Hama berkembang dengan pesat terutama pada musim hujan dengan kelembapan lebih dari 90 %.
Hama tersebut sangat menyukai suhu rendah dengan kelembaban yang tinggi. Populasi hama yang
meningkat biasanya terjadi pada peralihan musim hujan ke musim kemarau. (Sari et al., 2018).

Gambar 33. Lingkungan pertanaman jeruk


Sumber : dokumen pribadi
 Musuh alami
Musuh alami hama peliang daun yaitu, semut hitam dan laba-laba.
 Cara pengendalian
Pengaturan jarak tanam, pemupukan, dan pengamatan secara teratur 2 minggu. Penyemprotan
insektisida dgn bahan aktif Methidathion (Supracide 40 EC, Basudin 60 EC), Malathion (Gisonthion 50
EC, 50 WP)< Diazinon (Basazinon 45/30 EC). Kemudian daun dipetik dan dibenamkan dalam tanah. Pola
tanam jagung dengan kacang merah diantara tanaman jeruk, pemangkasan cabang-cabang yang terserang,
pembersihan lantai kebun dari serasah. (Sari et al., 2018).
12. Hama ulat daun (Papilio Memnon) pada tanaman jeruk

Gambar 34. Hama ulat daun jeruk


Sumber : dokumen pribadi
 Morfologi
Telur Papilio memnon berwarna krem pucat dengan permukaan yang sedikit kasar. Diameter telur
kurang lebih 1,8 mm dan telur ini membutuhkan waktu kurang lebih 3-5 hari untuk menetas menjadi larva.
Warna ulat ada yang cerah menarik perhatian, tetapi kebanyakan berwarna hijau atau coklat. Tubuh ulat
bersigma dan terdapat lingkaran kecil hitam pada setiap sigma. Umumnya ukuran ulat lebih besar juka
dibandingan ukuran ulat pada umumnya. Kepalanya lebih besar dari badannya, ada sedikit corak warna
putih di bagian bawah tubuhnya. Morfologi larva kupu-kupu adalah bentuk tubuh umumnya silindris dan
terdiri atas chepal, thorax, dan abdomen. Pada chepal ada mata dan alat mulut yang kuat. Tipe alat mulut
larva kupu-kupu ini menggigit dan mengunyah (chewing mouthpart). Ada tiga pasang tungkai yang pendek
pada thorax, ada empat pasang prolegs atau dikenal sebagai kaki semu pada ruas ke-3 sampai ruas ke-6
abdomen yang berjumlah lima pasang. (Wijaya et al., 2018)
 Gejala serangan/ kerusakan
Hama ini terutama menyerang daun tanaman jeruk yang masih kecil atau tanaman jeruk di persemaian.
Daun tanaman jeruk ini akan habis dimakan kupu-kupu, sehingga pertumbuhan tanaman jeruk terganggu,
bahkan bisa mati. Daun jeruk yang terserang akan berlubang dari bagian tepi daun hingga tulang daun.
Serangan berat hanya menyisakan tulang daunnya saja. (Wijaya et al., 2018)

Gambar 35. Gejala pada tanaman jeruk di Depok, Sleman


Sumber : dokumen pribadi
 Biologi dan Ekologi
Kupu-kupu betina meletakkan telurnya pada daun, tangkai, atau bagian-bagian lain dari tanaman yang
nantinya akan digunakan sebagai makanan larva. Adapulaspecies yang dapat meletakkan telur dengan
jumlah yang cukup banyak yaitu sekitar 100 butir telur atau bahkan ada species yang tercatat menghasilkan
200 telur sepanjang hidupnya. Fase larva adalah fase makan yang sangat aktif dan intensif serta berkembang
yang ditandai dengan adanya pergantian kulit atau dikenal juga sebagai molting. Setiap tahap antara satu
molting dengan molting berikutnya dinamakan instar. Fase telur Papilio demoleus mencapai 3 – 6 hari,
fase ulat berkisar 12 – 22 hari, fase kepompong 8 – 22 hari (Wijaya et al., 2018)
 Cara merusak
Stadia larva berupa ulat dapat menggunakan mulutnya untuk menggigit dan mengunyah daun jeruk.
Fase ngengat juga dapat merusak daun tanaman.
 Karakter lingkungan yang mendukung eksistensi hama
Hama tersebut dapat menyerang tanaman jeruk (tanaman inang Citrus aurantifolia) pada
kondisi suhu 27-290C dan kelembaban 66-82%. (Wijaya et al., 2018)
 Musuh alami
Parasitoid ini menyerang telur Papilio xuthus dan Papilio memnon, yang merupakan anggota tribe
yang sama dengan P. blumei.
 Cara pengendalian
Penyemprotan dengan insektisida yang bersifat sistemik atau racun dapat mengendalikan hama ini.
Selain itu bisa juga dengan membunuh ulat, pupa, dan telurnya. (Wijaya et al., 2018)

DAFTAR PUSTAKA

Bajber, N. K., Hibban, T., dan Asrul. Populasi Walang Sangit Leptocorisa acuta Thunberg. (Hemiptera:Alydidae) serta Produksi
Dua Varietas Tanaman Padi di Kecamatan Toribulu. E-Journal Agrotekbis. 8(6): 1274 – 1282.
Budi, S. A., Encilia, dan Qodri. 2021. Identifikasi Morfometri Eksuvia Tonggeret di Kebun Raya Bogor. Zoo Indonesia. 30(1): 1-
9
Fitri, M., Haris, R., dan Indri, H. 2020. Biology of Stink Bug (Nezara viridula Linnaes, Hemiptera: Pentatomidae) with Long Beans
as a Feed (Vigna sinensis L.) in Laboratory. 6(8): 1-11.
Indriati, G. dan Funny, S. 2019. Serangga Pengisap Pucuk Teh: Empoasca vitis (Homoptera: Cicadellidae) dan Tungau (Acarina).
Sirinov. 3(1): 39–48.
Indiati, S. W. 2019. Serangga Hama Kedelai dan Musuh Alami di Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan. Buletin Palawija. 17(2):
1- 9.
Koswanudin, D., Budiarti, S. G., dan Rais, S. A. 2020. Evaluasi Ketahanan Plasma NutfahJagung terhadap LalatBibitAtherigona
exigua Stein. Presiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. 5(7): 181- 189.
Meilin, A. 2014. Hama dan Penyakit pada Tanaman Cabai Serta Pengendaliannya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Jambi.
Nofiardi, E., Sabrino, dan Rianto, F. 2021. Fluktuasi Populasi dan Keparahan Serangan Walang Sangit (Leptocorisa oratorius F.)
pada Tanaman Padi di Desa Sejiram Kecamatan Tebas Kabupaten Sambas. Jurnal Mahasiswa Pendidikan Biologi. 2(4):
1- 8.
Putra, I. L. I. dan Utami, L. B. 2018. Ulat Penggulung Daun Pisang Erionota thrax L. (Lepidoptera: Hesperiidae) dan Parasitoidnya
di Kebun Plasma Nutfah Pisang Yogyakarta. AGROTECH Science Journal. 4(2): 125- 138.
Ramadhan, R. A. M., Puspasari, L. T., Rika, M., Rani, M., Hidayat, Y., dan Danar, D. 2019. Bioaktivitas Formulasi Minyak Biji
Azadirachta indica (A. Juss) terhadap Spodoptera litura F. Jurnal Agrikultura. 27 (1): 1-8
Rezamela, E., Fauziah, F., dan Salwa, L. D. 2018. Pengaruh bulan kering terhadap intensitas serangan Empoasca sp dan blister
blight di kebun teh Gambung. Jurnal Penelitian Teh dan Kina 19(2): 169 - 178
Salaki, C. L. dan Watung, J. 2022. Aplikasi Biopestisida Bacillus thuringiensis Isolat Lokal Untuk Mengendalikan Hama
Atherigona exigua Pada Tanaman Jagung. Jurnal Agroekoteknologi Terapan. 11(2): 250-257.
Sari, W., Maryana, N., dan Syafrida, M. 2018. Tingkat Serangan Hama Phyllocnistis near citrella (Lepidoptera: Phyllocnistidae)
pada Perkebunan Manggis di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Jurnal Bibiet 1(1):36-45.
Susniahti, N., Suganda, T., Sudarjat, Dono, D., dan Andhita. 2018. Reproduksi, Fekunditas dan Lama Hidup Tiap Fase
Perkembangan Plutella xylostella (Lepidoptera : Ypnomeutidae) pada Beberapa Jenis Tumbuhan Cruciferae. Jurnal
Agrikultura. 28 (1): 27-31
Telaumbanua, M., Ristanti, Amien, E. R., Haryanto, A., dan Winda. 2020. Teknik Pengendalian Serangga Hama Walang Sangit
(Leptocorisa oratorius) Melalui Penyemprotan Larutan Beuveria Bassiana untuk Tanaman Padi. Jurnal Teknik
Pertanian Lampung. 9(4): 374-382.
Wijaya, I. N., Adiartayasa, Wirawan, I. G. P., Sritamin, Puspawati, M., dan Sadarma. 2018. Hama dan Penyakit pada Tanaman
Jeruk serta Pengendaliannya. Buletin Udayana Mengabdi. 16(1): 51-58.

Anda mungkin juga menyukai