Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

EKOSISTEM PERTANIAN
URBAN PARK (TAMAN KOTA)
PERAN EKOSISTEM RUANG TERBUKA HIJAU SEBAGAI PARU - PARU
KOTA DI KABUPATEN SLEMAN, DIY

Disusun Oleh :
Kelompok 6
Nama Anggota:
1. Ellen Artasya (21/474146/PN/17116)
2. Alvaida Ekawati (21/474225/PN/17120)
3. Malika Azzahra (21/474103/PN/17112)

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2022
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………..……………………… i


DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
INTISARI ................................................................................................................ iii
I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Tujuan ...................................................................................................... 1
C. Manfaat .................................................................................................... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 2
III. PEMBAHASAN…………….......................................................................... 5
IV. PENUTUP…..……………………………………….……………………… 6
DAFTAR PUSTAKA .…………………………………………………………... 12
LAMPIRAN …………………………………………………………………….. 13
INTISARI

Peran pemerintah daerah sangat diperlukan dalam upaya mendirikan Ruang


Terbuka Hijau di kawasan perkotaan. RTH sebagai komponen ruang yang tingkat
ketersediaannya baik secara kualitas maupun kuantitas harus selalu diperhitungkan dalam
proses perencanaan kota. Selain itu, juga terdapat permasalahan yaitu jumlah industri dan
pemukiman yang padat membuat area terbuka hijau berkurang karena lahan kosong
digunakan untuk kepentingan pembangunan yang terus berkelanjutan sehingga
menyebabkan lahan beralih fungsi. Didirikannya Ruang Terbuka Hijau tentunya memiliki
tujuan antara lain, sebagai daerah resapan air, untuk menyeimbangkan ekosistem di
tengah kota, sebagai tempat keserasian lingkungan yang memberikan rasa segar, indah,
dan asri, Sebagai tempat open public space untuk tempat interaksi sosial, tempat rekreasi,
sarana olahraga, dan area bermain. Daerah perkotaan pada saat ini telah menjadi masalah
yang cukup sulit untuk diatasi terutama dalam pemanfaatan ruang terbuka hijau.
Meningkatnya permintaan lahan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Keberadaan Ruang Terbuka Hijau ini sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup
manusia ataupun masyarakat untuk melakukan segala aktivitas. Kota memiliki kewajiban
memiliki ruang terbuka hijau.
Kata kunci: Ruang Terbuka Hijau; Urban Park; perkotaan; ekosistem kota


I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor: 05/PRT/M/2008 pasal 1 adalah suatu kawasan yang dimanfaatkan sebagai
penghijauan kota/daerah. Selain sebagai penghijauan kota, RTH juga memiliki fungsi
ekologi yaitu sebagai “paru-paru kota” dimana tanaman hijau dapat menyerap kadar
karbondioksida (CO2), menghasilkan oksigen, menurunkan suhu dengan kesejukan dan
keteduhan tanaman hijau, serta sebagai kawasan resapan air. Selain itu, RTH juga
berfungsi untuk menjaga keseimbangan lingkungan alam dan lingkungan binaan yang
berguna untuk kepentingan masyarakat. (Arlistasari dan Rosdiansa, 2019). Ruang
terbuka publik merupakan bagian dari ruang kota yang tidak dapat dipisahkan dari
keberadaannya di ruang lingkup suatu wilayah perkotaan. Sistem kota adalah sistem
pemenuhan kebutuhan hidup bagi masyarakat yang dapat meliputi tempat tinggal, ruang
lingkup pekerjaan, serta ruang rekreasi. Ruang publik cukup penting bagi sistem kota
kawasan perkotaan karena peranan utama ruang publik untuk menyeimbangkan pola
kehidupan masyarakat perkotaan. (Saragih et al., 2021). Tata ruang kota sangat penting
dalam usaha efisiensi sumberdaya kota dan juga efektifitas penggunaannya, baik
sumberdaya alam maupun sumber daya lainnya. Ruang-ruang kota yang ditata terkait
dan saling berkesinambungan ini mempunyai berbagai pendekatan dalam perencanaan
dan pembangunannya. Tata guna lahan, sistem transportasi, dan sistem jaringan utilitas
merupakan tiga faktor utama dalam menata ruang kota. Daerah perkotaan pada saat ini
telah menjadi masalah yang cukup sulit untuk diatasi terutama dalam bidang
pemanfaatan ruang terbuka hijau. Meningkatnya permintaan lahan terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Kota sebagai tempat pusat pertumbuhan,
perkembangan dan perubahan serta pusat sebagai kegiatan ekonomi, sosial, budaya,
politik, dan berbagai aktivitas manusia. Kota memiliki luas lahan yang cukup terbatas,
tetapi permintaan akan penggunaan lahan pada suatu kota yang terus berkembang untuk
pembangunan berbagai fasilitas perkotaan baik pemukiman, industri, dan pertambahan
jalur transportasi serta lainnya yang perlahan akan menyita lahan-lahan ruang terbuka
hijau pada wilayah perkotaan.
Ruang Terbuka Hijau atau RTH secara umum dapat dikatakan sebagai area
memanjang, jalur, dan atau area yang mengelompok dengan sifat yang terbuka serta
ditanami dengan berbagai tumbuhan, baik tumbuhan buatan (sengaja ditanami) maupun
tumbuh secara alami. Areal yang termasuk RTH publik yaitu, taman kota, pemakaman
umum, jalur hijau sepanjang jalan, sungai, serta pantai. Areal yang termasuk RTH privat
yaitu, kebun yang berada di halaman rumah/gedung. (Saragih et al., 2021). Kota-kota
besar di Indonesia telah gencar mengenai pembangunan infrastruktur. Di samping itu,
membuat permintaan akan kebutuhan ruang untuk pemukiman maupun lahan untuk
perindustrian juga ikut meningkat. Hal tersebut disebabkan karena adanya perubahan
peruntukan dari lahan terbuka untuk industri, perdagangan, pemukiman, pelebaran jalan,
parkir, serta pedagang kaki lima. Perubahan tersebut menyebabkan tergesernya ruang
publik di perkotaan yang secara tidak langsung menunjukkan menurunnya kuantitas dan
kualitas RTH. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/MI/2008,
kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik terutama Ruang Terbuka Hijau (RTH) saat
ini mengalami penurunan yang signifikan dan mengakibatkan penurunan kualitas
lingkungan hidup perkotaan yang berdampak ke berbagai sendi kehidupan perkotaan
antara lain sering terjadinya banjir, serta peningkatan pencemaran udara. Selain itu, dapat
menyebabkan turunnya kualitas lingkungan hidup perkotaan tersebut yaitu peningkatan
pencemaran udara yang tidak dapat dikendalikan dengan padatnya industri yang
berkembang di perkotaan (Arlistasari dan Rosdiansa, 2019). Dalam ruang terbuka hijau
taman kota, terdapat komponen abiotik dan biotik yang dapat mendukung siklus atau daur
biogeokimia di dalamnya. Daur biogeokimia tersebut sangat bermanfaat bagi lingkungan
sekitarnya. Dampak tersebut juga dapat dirasakan oleh manusia secara nyata. Pemanfaat
ruang terbuka hijau sangat penting dan dibutuhkan terutama untuk daerah perkotaan
karena dapat dimanfaatkan sebagai paru-paru kota. Pengaruh komponen abiotik dan
komponen biotik dalam ruang terbuka hijau taman kota tidak lepas dari peran ruang
terbuka hijau tersebut sebagai paru-paru kota.
Untuk mengatasi berbagai dampak dari penggunaan lahan perkotaan yang kurang
dikelola, maka penting untuk dilakukan evaluasi terhadap penataan ruang terbuka hijau
pada areal perkotaan serta perluasan area ruang terbuka hijau agar ekosistem kota dapat
berlangsung dengan baik. Hal tersebut dapat mengurangi terjadinya potensi dari
permasalahan wilayah perkotaan. RTH perkotaan mempunyai manfaat kehidupan yang
tinggi berkaitan dengan keberadaannya (fungsi ekologis, sosial, ekonomi, dan
arsitektural) dan nilai estetika yang dimilikinya (obyek dan lingkungan) tidak hanya dapat
dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan untuk kelangsungan kehidupan perkotaan
tetapi juga dapat menjadi nilai kebanggaan dan identitas kota. Keberadaan Ruang
Terbuka Hijau ini sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia ataupun
masyarakat untuk melakukan segala aktivitas sekaligus mengendalikan kenyamanan
iklim serta keserasian estetika kota. Kota memiliki kewajiban memiliki ruang terbuka
hijau. Apabila ruang terbuka hijau tidak dimiliki oleh suatu kota, berarti kota
bersangkutan telah melakukan pelanggaran terhadap aturan yang ada, yaitu di dalam
ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia, No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang
dan Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan
Perkotaan. Oleh karena itu, mengetahui fungsi ekosistem yang berada dalam ruang
terbuka hijau dengan kompleks sangat diperlukan untuk menata ruang terbuka area
perkotaan dengan baik.
Pengetahuan tentang manfaat serta peran ruang terbuka hijau taman kota sangat
penting untuk diketahui agar berbagai permasalahan di daerah perkotaan tentang lahan
serta pemanfaatnya. Dengan mengetahui peran ruang terbuka hijau bagi daerah
perkotaan, diharapkan masyarakat maupun pemerintah kota dapat mengevaluasi ruang
terbuka hijau di areal perkotaannya serta dapat memanfaatkan ruang terbuka hijau dengan
maksimal. Selain itu, dapat lebih mengetahui komponen biotik, abiotik, siklus
biogeokimia, serta manfaatnya bagi lingkungan perkotaan.

B. TUJUAN
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut.
1. Mengidentifikasi ruang terbuka hijau dan lahan potensial untuk pengembangan
ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan
2. Menganalisis persepsi dan pendapat masyarakat tentang ruang terbuka hijau dan
lahan potensial di kawasan perkotaan
3. Dapat mengetahui populasi dan komunitas ekosistem yang terdapat dalam ruang
terbuka hijau
4. Dapat mengetahui daur biogeokimia yang ada dalam ruang terbuka hijau
5. Dapat mengetahui faktor pembatas serta pemanfaatan ruang terbuka hijau di
kawasan perkotaan Kabupaten Sleman, DIY

C. MANFAAT
Berdasarkan tujuan penelitian yang akan dicapai, maka penelitian ini diharapkan
mempunyai manfaat dalam keseimbangan ekosistem baik secara langsung maupun tidak
langsung. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat yaitu:
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi penataan ekosistem Ruang Terbuka
Hijau (RTH) di kawasan perkotaan yang sesuai kebutuhan masyarakat.
b. Memberikan sumbangan ilmiah dalam membuat inovasi terhadap Ruang Terbuka
Hijau yang dapat meningkatkan efisiensi open public space
c. Sebagai referensi pada penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan
dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Urban Park
2. Manfaat praktis
Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut :
a. Bagi penulis
1) Dapat mengetahui bentuk peranan penting pengadaan area publik Ruang
Terbuka Hijau bagi masyarakat di Kabupaten Sleman, DIY
2) Dapat mengetahui dominasi pemanfaatan penggunaan Ruang Terbuka
Hijau sebagai open public space di Kabupaten Sleman, DIY
3) Mampu berfikir kritis untuk mengkaji penataan Ruang Terbuka Hijau
yang diterapkan Pemerintah Kabupaten Sleman sebagai upaya untuk
keseimbangan ekosistem
b. Bagi peneliti selanjutnya
Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran dan penelitian dalam praktik penelitian yang berkelanjutan
II. TINJAUAN PUSTAKA

Secara umum ruang terbuka public (open space) diperkotaan terdiri dari ruang
terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang terbuka merupakan komponen yang
berwawasan lingkungan dan memiliki arti sebagai suatu lansekap, hardscape, taman atau
ruang rekreasi dalam lingkup urban. Peran dan fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH)
ditetapkan dalam Instruksi Mendagri no. 4 tahun 1988, yang menyatakan "Ruang terbuka
hijau yang populasinya didominasi oleh penghijauan baik secara alamiah atau budidaya
tanaman, dalam pemanfataan dan fungsinya adalah sebagai areal berlangsungnya fungsi
ekologis dan penyangga kehidupan wilayah perkotaan”. Ruang Terbuka Hijau (RTH)
sebagai infrastruktur hijau perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open
spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi
(endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang
dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan,
dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. (Sinaga et al., 2018). Dalam rencana tata
ruang, maka kedudukan RTH merupakan ruang terbuka publik yang direncanakan pada
suatu kawasan, yang tersusun atas RTH dan ruang terbuka nonhijau. Ruang terbuka hijau,
memiliki fungsi dan peran khusus pada masingmasing kawasan yang ada pada setiap
perencanaan tata ruang kabupaten/kota, yang direncanakan dalam bentuk penataan
tumbuhan, tanaman, dan vegetasi. (Samsudi, 2010).
Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan area memanjang dan/atau mengelompok
yang penggunaannya bersifat terbuka untuk tempat tumbuh tanaman. Tanaman tersebut
dapat tumbuh secara alamiah maupun sengaja ditanam oleh manusia (Sinaga et al., 2018).
RTH secara fisik dapat dibedakan menjadi 2, yaitu RTH alami dan RTH non alami. RTH
alami dapat berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional.
Sedangkan RTH non alami atau binaan dapat berupa taman, lapangan olahraga,
pemakaman, atau jalur-jalur hijau jalan (Arianti, 2010). Nilai guna yang terdapat dalam
RTH menurut Peraturan Menteri Dalam Negri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan berbunyi bahwa Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Perkotaan (RTHKP) sebagai bagian dari ruang terbuka suatu kawasan
perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi,
sosial, budaya, dan ekonomi. Arianti (2010) menambahkan, Ruang Terbuka Hijau
memiliki fungsi tambahan seperti estetis dan arsitektural. Fungsi ekologis dan sosial
budaya tergabung menjadi satu struktur yang disebut pola ekologis, sedangkan fungsi
arsitektural dan ekonomi tergabung menjadi struktur yang dinamakan pola planologis.
Ruang terbuka hijau kota didefinisikan sebagai ruang terbuka yang sebagian atau
seluruhnya tertutup tanaman seperti rumput, pohon, semak atau lainnya jenis tanaman.
Secara umum, struktur hijau lingkungan alam yang tidak atau paling tidak tanpa disadari
dipengaruhi oleh aktivitas manusia seperti taman hutan nasional, dan juga lingkungan
hijau buatan untuk tujuan yang berbeda, seperti taman kota, trotoar hijau, kebun raya, dll.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa dengan meningkatnya populasi perkotaan dunia,
kurangnya koneksi antara manusia dan ruang terbuka hijau adalah salah satunya faktor
utama yang mengancam kesehatan umum masyarakat. Misalnya, berdasarkan hasil studi
yang diperoleh, istilah "bersantai" adalah yang utama jawaban yang berulang kali
dikemukakan oleh sebagian besar responden sebagai jawaban utama mereka motivasi
untuk menggunakan taman kota. Istirahat dan bersantai di ruang terbuka hijau bisa
bermanfaat bagi kesehatan psikologis. Dia juga menunjukkan ruang hijau itu memainkan
peran penting dalam memenuhi kebutuhan immaterial dan kebutuhan non konsumtif.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan ruang hijau sebagai salah satu
komponen kunci dari setiap ekosistem perkotaan. (Javadi and Nasrollahi, 2021).
Ruang Terbuka Hijau memainkan peran penting dalam ekosistem, menjaga
keseimbangan antara emisi karbon dan penangkapan karbon. dan memberikan keteduhan
dan kesejukan di lingkungan sekitar. Para penulis telah menyoroti faktor yang identik
dengan sebagian besar penelitian, seperti berbagai jumlah karbon yang diserap
berdasarkan usia spesies dan kepadatan kawasan hutan. Ada variasi besar dalam kualitas
dan distribusi biomassa di taman kota yang diteliti yang tidak hanya dijelaskan oleh usia
atau kepadatan. Jumlah CO2 yang diserap per hektar area hijau di wilayah tersebut
diperkirakan 10 t/ha tahun (Shadman et al., 2022). Taman kota digunakan sebagai situs
referensi untuk pengukuran kualitas udara untuk mewakili tingkat latar belakang lokal.
Meskipun kualitas udara di taman kota tidak selalu lebih baik daripada daerah
pemukiman, namun taman memberikan udara yang lebih bersih (Xing & Brimblecombe,
2020). Taman dan ruang rekreasi merupakan komponen penting dari perencanaan
penggunaan lahan yang harus dievaluasi kapasitasnya untuk mengurangi emisi bersih gas
rumah kaca. Ruang terbuka hijau di perkotaan menyediakan berbagai fungsi, mulai dari
lingkungan dan taman kota hingga taman sungai, jalur sepeda, dan pohon jalanan, yang
semuanya dapat menghasilkan manfaat gas rumah kaca yang berbeda (Shadman et al.,
2022).
III. PEMBAHASAN

Sejak tahun 1970-an sampai tahun 1980-an, kawasan perkotaan mulai sudah
mulai tercemar dengan berbagai macam polusi yang didominasi asap kendaraan dan asap
pabrik sehingga menyebabkan udara yang dihirup masyarakat sudah tidak lagi segar.
Sejak saat itu, proyek pembangunan kawasan permukiman juga dipertimbangkan untuk
mendirikan Ruang Terbuka Hijau sebagai “paru-paru kota” yang membantu penyediaan
stok oksigen secara alami. Ruang Terbuka Hijau ini didominasi tanaman pepohonan yang
dapat mengurangi polusi udara dengan mengikat karbondioksida dan menghasilkan
oksigen (Anonim, 2022).
Keseimbangan energi juga berpengaruh terhadap Ruang Terbuka Hijau
perkotaan, termasuk radiasi matahari. Gelombang panjang dari radiasi matahari secara
langsung mempengaruhi suhu udara. Gelombang pendek secara langsung mempengaruhi
kenyamanan termal masyarakat di ruang hijau melalui pancaran langsung dan pengaruh
lingkungan. Pengaruh radiasi matahari terhadap kenyamanan termal di ruang terbuka
hijau bergantung pada faktor pemandangan langit, keterbukaan ruang terbuka hijau,
banyaknya vegetasi, pepohonan, dan jenis bahan pakaiana yang digunakan di ruang
terbuka hijau (Javadi & Nasrollahi, 2021).
Populasi
Populasi merupakan kumpulan individu sejenis yang menempati suatu daerah
tertentu. Populasi yang terdapat pada Urban Park (RTH) antara lain, populasi pohon satu
spesies seperti, pohon cemara, pohon mangga, populasi rumput dengan spesies yang
sama, populasi serangga herbivora dengan spesies yang sama seperti, populasi burung,
populasi belalang, kupu-kupu, semut, lebah, populasi manusia, populasi ikan dengan
spesies yang sama,dan lain-lain. Sebagian makhluk hidup yang ada di dalam populasi
memiliki kesamaan karakteristik (Andrahan dkk, 2014).
Komunitas
Komunitas adalah kelompok organisme (populasi) yang hidup dan saling
berinteraksi di dalam daerah tertentu. Komunitas merupakan kumpulan populasi yang
hidup pada Ruang Terbuka Hijau ini seperti kumpulan populasi pepohonan berbeda-beda
spesies, kumpulan populasi rerumputan berbeda-beda spesies, interaksi antara hewan
yang berbeda jenis/spesies. Contoh komunitas urban park (RTH) yaitu komunitas kebun,
komunitas padang rumput, komunitas hewan, komunitas kolam ikan, komunitas
tumbuhan, dan lain-lain (Widowati, 2013).
Ekosistem
Ekosistem juga bisa dimaknai sebagai tatanan kesatuan utuh dan menyeluruh yang
terjadi antara unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem yang ada
pada Ruang Terbuka Hijau ini yaitu termasuk ekosistem taman kota yang didesain
minimalis dengan ditanami mayoritas tumbuhan dengan tujuan untuk membantu
penyerapan karbondioksida di tengah kota yang banyak terdapat polusi (Widowati, 2013).
Ekosistem ini merupakan kumpulan dari berbagai komunitas yang ada di taman tersebut
yang menjadi satu. Ekosistem pada urban park (RTH) misalnya seperti komunitas yang
terdapat pada kolam yaitu ikan air tawar yang akan selalu berkaitan dan berinteraksi
dengan kolam ikan, tanah, udara dan sinar matahari. Ekosistem dibagi menjadi dua yakni
ekosistem alami dan buatan. Ekosistem yang terdapat pada urban park adalah ekosistem
buatan karena dibentuk dengan campur tangan manusia. Contohnya, taman buatan, kolam
ikan, jalanan taman, pohon taman yang sengaja untuk ditanam, ketersediaan tanah dalam
taman tersebut, hewan yang sengaja dipelihara dalam taman, dan lain-lain. Ekosistem
dibagi menjadi empat komponen, yaitu produsen, konsumen, pengurai, dan faktor abiotik.
Komponen produsen seperti tumbuhan, komponen konsumen seperti semut, belalang,
burung, lebah, dan lainnya. Komponen pengurai seperti bakteri dan jamur. Komponen
abiotik seperti air, udara, sinar matahari, dan lainnya (Andrahan dkk, 2014).
Gambar 3.1: Dokumentasi Ruang Terbuka Hijau Kabupaten Sleman, DIY
Sumber: Dokumentasi pribadi

Daur Biogeokimia
Daur biogeokimia secara umum merupakan siklus unsur atau senyawa kimia yang
berasal dari komponen abiotik menuju ke komponen biotik dan kembali lagi ke
komponen abiotik. Dalam ruang terbuka hijau taman kota, antar populasi, komunitas dan
ekosistem terjadi sebuah interaksi yaitu, daur biogeokimia. Daur biogeokimia merupakan
perpindahan unsur-unsur kimia melalui makhluk hidup dan lingkungan abiotik (tanah dan
air). Berikut ini merupakan beberapa daur biogeokimia yang terjadi dalam ruang terbuka
hijau pada Kabupaten Sleman, DIY.
Gambar 3.2 : Siklus air
Sumber: www.cerdika.com
Siklus air atau daur air merupakan proses daur ulang air secara terus menerus.
Proses siklus air ini diawali dengan terjadinya penguapan akibat energi panas matahari
sehingga menjadi uap air dari laut ke atmosfer. Selanjutnya, uap itu menuju ke daratan
dan udara yang dibawa oleh angin lalu turun ke tanah berupa air hujan dan akan kembali
ke laut melalui aliran air seperti sungai. Sebagian dari uap air tersebut akan terkondensasi
menjadi kumpulan awan di udara yang kemudian apabila telah jenuh akan turun sebagai
curah hujan ke permukaan tanah. Sebelum mencapai permukaan tanah, air hujan yang
turun ke bumi dapat tertampung sementara oleh tajuk vegetasi (interception). Air tersebut
dapat turun ke tanah melalui sela-sela daun (throughfall), dapat juga terserap oleh
daunnya dan kemudian dialirkan kembali ke tanah melalui batang pohon (stemflow), dan
dapat juga tidak turun ke tanah karena tinggal di daun dan ter-evaporasi kembali ke
atmosfer Air hujan yang jatuh di permukaan tanah akan terserap ke dalam tanah melalui
proses infiltrasi. Air hujan yang tidak terserap oleh tanah akan tertampung sementara pada
cekungan-cekungan permukaan tanah kemudian mengalir ke tempat yang lebih rendah
dan selanjutnya masuk ke badan air terdekat (sungai, danau, waduk) yang akhirnya
mengalir kembali ke laut lepas secara alami. Air hujan yang terinfiltrasi ke dalam lapisan
tanah akan membentuk kelembaban tanah. Apabila telah mencapai titik jenuh, air akan
bergerak lebih jauh secara vertikal ke dalam lapisan batuan yang bernama akifer yang
bersifat impermeable sehingga terkumpul menjadi air tanah (groundwater). Airtanah
bergerak secara horizontal menuju tempat yang lebih rendah hingga terkadang dapat
muncul ke permukaan tanah sebagai mata air (springs, seepage). Pada musim kemarau
airtanah akan mengalir secara perlahan-lahan ke badan air terdekat sehingga tidak akan
terjadi kekeringan (Widowati, 2013).

Gambar 3.3: Kawasan resapan air kecamatan Depok Kabupaten Sleman, DIY
Sumber: Rencana Tata Ruang Kabupaten Sleman 2009-2028, dengan modifikasi
Daur hidrologi merupakan proses reproduksi air jangka panjang secara alami di
bumi, yang bergerak dari laut ke atmosfer kemudian turun ke permukaan tanah sebagai
curah hujan dan kemudian kembali lagi ke laut melalui mata air dan sungai. Secara umum
daur hidrologi dapat dijabarkan sebagai berikut: air di laut mengalami evaporasi akibat
energi panas matahari sehingga menjadi uap air yang kemudian terbawa angin ke daratan
dan udara. Sebagian dari uap air tersebut akan terkondensasi menjadi kumpulan awan di
udara yang kemudian apabila telah jenuh akan turun sebagai curah hujan ke permukaan
tanah. Sebelum mencapai permukaan tanah, air hujan yang turun ke bumi dapat
tertampung sementara oleh tajuk vegetasi (interception). Air tersebut dapat turun ke tanah
melalui sela-sela daun (throughfall), dapat juga terserap oleh daunnya dan kemudian
dialirkan kembali ke tanah melalui batang pohon (stemflow), dan dapat juga tidak turun
ke tanah karena tinggal di daun dan terevaporasi kembali ke atmosfer. Air hujan yang
jatuh di permukaan tanah akan terserap ke dalam tanah melalui proses infiltrasi. Air hujan
yang tidak terserap oleh tanah akan tertampung sementara pada cekungan-cekungan
permukaan tanah kemudian mengalir ke tempat yang lebih rendah dan selanjutnya masuk
ke badan air terdekat (sungai, danau, waduk) yang akhirnya mengalir kembali ke laut
lepas secara alami. Daur air tidak berawal dan tidak berujung, air yang turun ke bumi
berasal dari hujan maupun pencairan es yang membeku (Ferdinand & Ariwibowo, 2007).

Gambar 3.4: Alur ekosistem urban park


Sumber: Xing and Brimblecombe, 2020.

Gambar 3.5: Ruang Terbuka Hijau


Sumber: www.jogja.tribunnews.com
Dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009
Pasal 1 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan
Ruang Wilayah, diterangkan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya
yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain. Kapasitas dari lingkungan hidup tersebut bersamaan dengan sumber
daya akan menjadi faktor pembatas dalam pemanfaatan ruang. Di dalam Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tersebut, dijelaskan pula mengenai faktor pembatas
dalam identifikasi lahan terhadap Ruang Terbuka Hijau yang mencakup kemiringan
lereng, kepekaan erosi, tingkat erosi, kedalaman tanah, tekstur tanah atas, tekstur tanah
bawah, permeabilitas tanah, drainase, kerikil/batu, ancaman banjir, dan salinitas.
Berbagai faktor pembatas yang terdapat di Ruang Terbuka Hijau yang berada di
perumahan Kabupaten Sleman memiliki kemiringan lereng sebesar 93,3% (Munthe,
2021), kepekaan erosi dan tingkat erosi yang berada di range ringan hingga berat
(Munthe, 2021). Dalam bab tanah, kondisi faktor pembatas yang ada dalam permukaan,
yaitu memiliki tekstur tanah atas dan tekstur tanah bawah yang berupa pasir geluhan
(Adifa, 2021), kedalaman tanah sekitar 15-20 cm (Adifa, 2021), permeabilitas tanah
dengan tekstur pasir sebesar 45 m/hari (Purnama, 2010), drainase sebesar 86,8%
(Munthe, 2021), permeabilitas kerikil/batu sebesar 0,2 hingga 3,1 m/hari (Purnama,
2010), serta ancaman banjir sebesar 93,3% (Munthe, 2021). Drainase diartikan sebagai
usaha untuk memantau kualitas yang dimiliki air tanah yang berkaitan dengan salinitas di
daerah tersebut (Oktora & Hadiatna, 2005).

Tabel 3.1 : Kriteria Implementasi Kebijakan Penyediaan RTH Perumahan di


Kabupaten Sleman
(Sumber: Pemerintah Kabupaten Sleman, 2007)
Berdasarkan survei yang telah dilakukan pada jurnal yang kami gunakan maka
diperoleh hasil pendataan sampel perumahan dengan metode Stratified Proportional
Random Sampling disajikan pada tabel 3.2 sebagai berikut :

Tabel 3.2 : Pendataan sampel penelitian berdasarkan Stratified Proportional


Random Sampling

(Sumber: Pemerintah Kabupaten Sleman, 2007)


Tabel 3.3 : Pendataan Hasil Survei Lapangan dan Pengolahan Data

(Sumber: Pemerintah Kabupaten Sleman, 2007)


Berdasarkan Tabel 3.2 dan Tabel 3.3, terdapat empat perumahan di Kelurahan
Condongcatur dengan persentase 44, 4% yang mempunyai luas kavling lebih dari 125 m2
dan terdapat lima perumahan yang mempunyai luas kavling kurang dari 124 m2. Hal
tersebut menunjukan bahwa proyek perumahan masih mengabaikan kriteria implementasi
luas kavling dengan minimal luas 125 m2 dengan indikasi meningkatkan jumlah unit
kavling yang akan memberikan keuntungan lebih tinggi (Widowati, 2013).
Berdasarkan dari keseluruhan populasi perumahan yang memenuhi kriteria syarat
luas kavling minimal terdapat 1 perumahan dengan persentase 25% yang masuk dalam
kategori perumahan skala besar dan terdapat 3 perumahan dengan skala 75% yang masuk
pada kategori perumahan skala menengah. Perumahan dengan kategori skala besar
terdapat 100% sampel yang mendirikan RTH di kavlingnya dengan rata-rata persentase
luas 12,2%. Selain di dalam kavling, di pintu masuk perumahan juga dapat dijumpai RTH.
Perumahan dengan kategori skala menengah hanya ada 1 perumahan yang memiliki
persentase 33,3% dengan sampel 100% yang didirikan RTH oleh developer. Ada 50%
sampel yang fungsinya masih dipertahankan sebagai RTH dari 33,3% yang hanya ada 1
perumahan dan 100% sampel yang tidak menyediakan lahan untuk mendirikan RTH di
kavlingnya. Akan tetapi, menyediakan lahan RTH di bagian luar kavling yaitu di pintu
masuk dan di bagian tengah perumahan (Widowati, 2013).
Berdasarkan keseluruhan populasi perumahan yang tidak sesuai dengan kriteria
syarat luas kavling minimal dengan persentase 60% termasuk kategori perumahan skala
besar dan sisanya sebanyak 40% termasuk perumahan dengan kategori skala kecil.
Terdapat dua perumahan dengan persentase 66,7% yang masuk pada kategori perumahan
skala besar dengan sampel 100% yang didirikan RTH dan masih dimanfaatkan oleh
pemiliknya sebagai RTH. Sisanya, hanya satu perumahan dengan persentase 33,3% dari
100% sampel yang tidak didirikan menjadi RTH, tetapi didirikan RTH di luar kavling
berupa taman di pintu masuk. Sedangkan, kategori perumahan skala kecil hanya ada
perumahan juga dengan persentase 100% sampel yang RTH sediakan di luar kavling,
tetapi hanya tanah kosong tidak dirawat di belakang perumahan. Terdapat 1 perumahan
dengan persentase 50% dari 50% sampel yang masih digunakan sebagai RTH dan tidak
disediakan RTH di luar kavling (Widowati, 2013).
Berdasarkan data yang diperoleh menunjukan adanya kesadaran yang tinggi dari
para developer untuk mendirikan perumahan dengan tetap mempertimbangkan
penyediaan lahan untuk dijadikan RTH yang didirikan di dalam maupun di luar kavling.
Selain itu, juga didukung oleh para penduduk perumahan setempat yang tetap merawat
RTH sebagaimana fungsinya karena mengingat peran RTH di perkotaan yang sangat
penting. Sedangkan, developer dan penduduk untuk kategori perumahan skala menengah
dan skala kecil kesadarannya beragam dari kesadarannya yang kecil hingga kesadarannya
tinggi untuk mendirikan RTH (Widowati, 2013).
Analisis rata-rata persentase RTH yang terimplementasi dan kriteria
implementasi pada setia tipe-tipe kategori kavling dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Rata-rata persentase RTH terimplementasi dan kriteria implementasi

(Sumber: Pemerintah Kabupaten Sleman, 2007)


Pada penyediaan RTH di setiap unit kavling perumahan, keseluruhan sampel
menggambarkan implementasi yang tidak sesuai dengan kriteria ketentuan pada
Peraturan Bupati Sleman Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pengembangan Perumahan. Hal
tersebut terjadi dikarenakan RTH kavling yang terimplementasi menujukkan persentase
dibawah 25%. Hal tersebut menunjukkan bahwa mayoritas developer tidak menaati
ketentuan nilai KDB maksimal 50% untuk memaksimalkan lahan menjadi bangunan
rumah (Widowati, 2013).
Gambar 3.1: Grafik Ruang Terbuka Hijau pada beberapa wilayah perkotaan
Sumber: www.forestdigest.com
Berdasarkan gambar grafik diatas, dapat diketahui bahwa ketersediaan fasilitas
RTH pada berbagai wilayah perkotaan masih cukup sedikit. Hal tersebut Dapat
menyebabkan permasalahan-permasalahan lingkungan yang tidak stabil pada wilayah
perkotaan tersebut. Berikut ini merupakan ekosistem yang ada dalam ruang terbuka hijau
Kabupaten Sleman, DIY.
Water use efficiency concept merupakan cara untuk mengetahui apakah hasil
tanaman dipengaruhi oleh pasokan air. Tanaman tahan kering mengalami penurunan hasil
lebih rendah ketika terjadi cekaman kekeringan. Hasil tanaman pada kondisi air yang
terbatas sangat dipengaruhi oleh kemampuan tanaman untuk memelihara status air
tanaman tetap tinggi. Tanaman memberikan tanggapan fisiologis dengan mengurangi
kebutuhan air tanaman (water use) ketika tanaman mengalami cekaman
kekeringan.Pengurangan kebutuhan air oleh tanaman dilakukan dengan meningkatkan
efisiensi penggunaan air. Untuk mengetahui tingkat ketahanan terhadap cekaman
kekeringan dihitung perbandingan hasil tanaman pada kondisi tercekam dan tidak
tercekam (indeks cekaman) serta indeks sensitivitas cekaman. Tanaman yang berada pada
ruang terbuka hijau taman kota merupakan jenis tanaman yang dapat beradaptasi secara
mesofit yaitu tanaman yang memerlukan cukup air atau tidak terlalu basah dan tidak
terlalu kering. (Suryanti et al., 2018). Pada umumnya, untuk mengelola kebutuhan air
pada tanaman yang ada pada ruang terbuka hijau kabupaten Sleman, DIY adalah dengan
penyiraman tanaman secara manual dengan bantuan manusia. Selain itu, adanya kolam
yang berada dalam ruang terbuka hijau tersebut juga dapat mengatasi masalah cekaman
air. Efisiensi pengairan perlu memperhatikan manfaat untuk tanaman yang membutuhkan
air tersebut.
Proses termodinamik atau arus energi yang ada pada ruang terbuka hijau yaitu,
berawal dari matahari yang memberikan energi pada tanaman untuk proses fotosintetis.
Tanaman tersebut menghasilkan panas ke udara. Konsumen yaitu hewan herbivora akan
memakan tanaman dan hewan tersebut memberikan nutrisi bagi tumbuhan. Hewan
herbivora memberikan energi bagi dekomposer melalui proses dekomposisi. Dekomposer
memberikan nutrisi bagi tumbuhan dan memberikan energi pada nutrisi anorganik.
Nutrisi anorganik memberikan energi serta nutrisi bagi tumbuhan. Proses aliran energi ini
membutuhkan komponen biotik dan abiotik pada ekosistem ruang terbuka hijau.

Gambar 3.2 Aliran energi ekosistem ruang terbuka hijau taman kota
Sumber: www.kaskus.co.id
Food chain dan yang ada dalam ekosistem ruang terbuka hijau taman kota adalah
seperti gambar berikut.
Gambar 3.3 Food chain yang terdapat pada ruang terbuka hijau taman kota
Sumber: www.adjar.id
Hubungan antara komponen-komponen yang berada dalam suatu ekosistem salah
satunya adalah Food chain atau rantai makanan. Rantai makanan merupakan sebuah
peristiwa makan dan dimakan antara sesama makhluk hidup dengan urutan-urutan
tertentu. Salah satu contoh rantai makanan yang berada dalam ekosistem ruang terbuka
hijau adalah berawal dari matahari yang memberikan energi untuk tumbuhan. Tumbuhan
dikatakan sebagai produsen. Tumbuhan akan dimakan oleh konsumen satu yaitu belalang.
Belalang kemudian dimakan oleh konsumen kedua yaitu katak. Selanjutnya katak akan
dimakan oleh ular sebagai konsumen ketiga. Ular akan dimakan oleh konsumen tingkat
tinggi yaitu burung elang. Kemudian, burung elang dapat mati dan tersekomposisi oleh
dekomposer seperti jamur. (Adifa, 2021).
IV. PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis Pada penyediaan RTH di setiap unit kavling perumahan,
keseluruhan sampel menggambarkan implementasi yang tidak sesuai dengan kriteria
ketentuan pada Peraturan Bupati Sleman Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pengembangan
Perumahan. Hal tersebut terjadi dikarenakan RTH kavling yang terimplementasi
menunjukkan persentase dibawah 25%. Hal tersebut menunjukkan bahwa mayoritas
developer tidak menaati ketentuan nilai KDB maksimal 50% untuk memaksimalkan
lahan menjadi bangunan rumah.
Kajian mengenai RTH di atas hanya sebatas dilakukan pada lingkup perumahan
di daerah Kabupaten Sleman pada fungsi ekologis, arsitektural, dan estetika dengan
struktur RTH yang berpola planologis. Sehingga, kepemilikan RTH tersebut bersifat
pribadi atau privat yang menyebabkan keterbatasan pembahasan. Pengembangan RTH
untuk memenuhi kebutuhan manusia dan makhluk hidup lainnya sangat diperlukan agar
tujuan pembangunan yang berkelanjutan dapat terwujud.

B. SARAN
Perlunya evaluasi ulang terhadap penggunaan dan penataan lahan yang ada pada
wilayah perkotaan kecamatan Depok, kabupaten Sleman dari tahun ke tahun, sehingga
dimasa akan datang lebih banyak memperhatikan kondisi lingkungan di kawasan strategis
kota (KSK) sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang sesuai dalam Peraturan Perundanng-
Undangan Republik Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Andrahan,O., Yarmaidi, dan Haryono, E. 2014. Fungsi Taman Kota Metro Sebagai
Ruang Terbuka Publik. 2(5): 1-12.
Anonim, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, Pemerintah Republik Indonesia.
Anonim, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang
Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan
Ruang Wilayah, Pemerintah Republik Indonesia.
Anonim. 2022. Tiga Pengertian Ruang Terbuka Hijau Menurut Para Ahli dan Sejarahnya.
Adifa, F. 2021. Analisis Daya Dukung Lingkungan sebagai Kawasan Perumahan di
Dusun Jering VI, Desa Sidorejo, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman.
Prosiding SATU BUMI, 3(1).
Arianti, I. 2010. Ruang Terbuka Hijau. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Rekayasa, Januari :
1-7.
Ferdinand, F., dan Ariwibowo, M. 2007. Praktis Belajar Biologi. PT Grafindo Media
Pratama, Jakarta.
Javadi, R., and Nasrollahi, N. 2021. Urban green space and health: The role of thermal
comfort on the health benefits from the urban green space; a review study.
202: 1-14.
Li, X. X., and Liu, X. 2021. Effect of tree evapotranspiration and hydrological processes
on urban microclimate in a tropical city: A WRF/SLUCM study. Urban
Climate Journal. 40: 1-15.
Munthe, A. I. G. 2021. Integrasi Citra Satelit Quickbird dan Sistem Informasi Geografis
untuk Evaluasi Kesesuaian Tanah bagi Pembangunan Perumahan (Studi di
Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman) (Doctoral dissertation, Sekolah
Tinggi Pertanahan Nasional). 1-9.
Oktora, V. M., dan Hadiatna, A. 2005. Studi Komparasi Komponen dan Biaya
Infrastruktur Proyek Perumahan terhadap Peraturan Perundangan Kep.
Menteri Pekerjaan Umum No: 20/KPTS/1986 dan terhadap Komponen
Bangunan Perumahan.
Purnama, S. 2010. Hidrologi Air Tanah. Kanisius, Yogyakarta.
Samsudi. 2010. Ruang Terbuka Hijau Kebutuhan Tata Ruang Perkotaan Kota Surakarta.
Journal of Rural and Development. 1(1): 11-19.
Saragih, A. L., Astawa, I. B. M., dan Sarmita, I. M. 2021. Diversifikasi Potensi dan Fungsi
Ruang Terbuka Hijau (RTH) Taman Kota di Wilayah Kota Singaraja. Jurnal
Pendidikan Geografi Undiksha. 9(1): 44-55.
Sinaga, S. H., Suprayogi, A., dan Haniah, H. 2018. Analisis Ketersediaan Ruang Terbuka
Hijau Dengan Metode Normalized Difference Vegetation Index dan Soil
Adjusted Vegetation Index Menggunakan Citra Satelit Sentinel-2A (Studi
Kasus: Kabupaten Demak). Jurnal Geodesi Undip. 7(1): 202-211.
Suryanti, S., Indradewa, D., Sudira, P., dan Widada, J. 2018. Kebutuhan Air, Efisiensi
Penggunaan Air dan Ketahanan Kekeringan Kultivar Kedelai. Jurnal
AGRITECH. 35(1): 114-120.
Widowati, S.P. 2013. Implementasi Kebijakan Penyediaan Ruang Terbuka Hijau
Perumahan di Kawasan Perkotaan Kabupaten Sleman. Jurnal Sains dan
Teknologi Lingkungan. 5 (2) : 102-116.
Xing, Y., and Brimblecombe, P. 2020. Trees and parks as “the lungs of cities”. Journal
Urban Forestry & Urban Greening. 48: 1-13.

Anda mungkin juga menyukai