Anda di halaman 1dari 36

PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI

KAWASAN SITU CITONGTUT DESA


CICADAS KECAMATAN GUNUNG PUTRI
KABUPATEN BOGOR – JAWA BARAT

PROGRAM KERJA KEPALA DESA CICADAS


PERIODE TAHUN 2020 - 2025
BPK. DIAN HERMAWAN
Bersama dengan
LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA ( LPMD )
CICADAS
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tingkat kepadatan di Desa Cicadas sangat tinggi, faktor lapangan
pekerjaan dan fasilitas yang memadai menyebabkan banyak pendatang dari luar
kota yang memilih untuk singgah atau bahkan menetap tergantung pada
kepentingan dan urusan. Hal ini membuat desa Cicadas mengalami keterbatasan
wilayah untuk menampung sumber daya manusia yang simpang siur tersebut yang
akhirnya terjadi kemacetan. Banyak lahan yang dialih fungsikan demi memenuhi
kebutuhan dan mengatasi masalah tersebut.
Lahan perkebunan dan pertanian dialihkan fungsinya sebagai jalan raya
atau sarana transportasi dan pemukiman. Pertumbuhan penduduk akan searah
dengan berkurangnya lahan terbuka hijau atau Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Semakin bertambahnya penduduk di Surabaya, akan semakin mengurangi lahan
terbuka hijau yang nantinya akan memperburuk kualitas lingkungan Surabaya.
Pengalihan lahan ini dapat membawa banyak kerugian bagi banyak orang dan
membawa keuntungan bagi sebagian orang.
RTH yang keadaannya sudah semakin tersingkir perlu diberikan perhatian
lebih. Keberadaannya yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia harus
dilestarikan. Ruang Terbuka Hijau tidak hanya memberi Manfaat di masa kini tapi
juga masa depan. Peran serta semua pihak sangat diperlukan demi menjaga
konsistensi RTH di desa Cicadas.
Waterfront city merupakan sebuah konsep pengembangan daerah tepian air,
baik itu tepi pantai, sungai atau danau. Konsep tersebut juga memiliki artian suatu
proses dari hasil pembangunan yang memiliki kontak visual dan fisik dengan air serta
merupakan bagian dari upaya pengembangan wilayah perkotaan yang secara fisik
alamnya berada dekat dengan air yang orientasi pembangunannya menuju ke arah
perairan.
Saat ini di Indonesia, konsep waterfront kerap diadaptasi sesuai dengan
kondisi kelokalan yang ada. Saat ini pengembangan waterfront city juga kerap dikenal
dengan sebutan “Situ” Front City yang sedang dikembangkan di kabupaten Bogor sejak
tahun 2015.
Keberadaan situ di kabupaten Bogor membuat pemerintahnya sendiri melihat
air sebagai sumber daya alam yang memberikan jasa bagi seluruh makhluk hidup
terutama manusia. Namun seringkali ketika kondisi situ tidak terawat, air justru
menjadi ancaman baik pada musim kemarau atau pun pada musim hujan. Oleh karena
itu perlu dilakukan manajemen yang baik dalam mengelola situ. Kabupaten Bogor
wilayahnya memiliki tingkat curah hujan yang tinggi sehingga upaya menampung air
hujan dinilai sebagai upaya yang bijak dalam mengatasi kebutuhan air baku dan juga
untuk keseimbangan lingkungan, ameliorasi iklim, konservasi keanekaragaman hayati,
dan juga untuk keindahan lingkungan.
Sebelum pengembangan lebih lanjut situ sebagai tandon air (retensi), tempat
yang sangat penting dalam mendukung keaneka ragaman biota air dan pengembangan
ekonomi masyarakat sekitarnya; perlu dilakukan baseline study untuk mengetahui
karakteristik biofisik dan sosial ekonomi Situ Cicadas.

1.2 Identifikasi Permasalahan


1. Berapa besar luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) di desa Cicadas?
2. Apakah Ruang Terbuka Hijau (RTH) di desa Cicadas telah sesuai dengan
Undang-Undang No.26 Tahun 2007?
3. Apakah dampak yang ditimbulkan dari kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH)
di desa Cicadas ?
4. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk membangun lokasi Ruang Terbuka
Hijau (RTH) di desa Cicadas ?
1.3 Rumusan Masalah
1. Apakah Ruang Terbuka Hijau (RTH) di desa Cicadas telah sesuai dengan
Undang-Undang No.26 Tahun 2007?
2. Apakah dampak yang ditimbulkan dari kurangnya Ruang Terbuka Hijau
(RTH) di desa Cicadas ?
3. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk menambah lokasi Ruang Terbuka
Hijau (RTH) di desa Cicadas ?

1.4 Batasan Masalah


1. Mengidentifikasi apakah luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) di desa Cicadas telah
sesuai dengan Undang-Undang No.26 Tahun 2007.
2. Mengidentifikasi apakah dampak yang ditimbulkan dari kurangnya Ruang
Terbuka Hijau (RTH) di desa Cicadas.
3. Mengidentifikasi upaya yang dilakukan untuk menambah lokasi Ruang Terbuka
Hijau (RTH) di desa Cicadas.

1.5 Tujuan

Menghasilkan dokumen terkait karakteristik biofisik dan sosial ekonomi Situ Cicadas.
Dokumen ini sebagai dasar dalam penyusunan grand design penyelamatan Situ Cicadas
berdasarkan Pemberdayaan Masyarakat dalam kerangka memanfaatkan SITU sebagai
Center Point (daya tarik utama), sehingga masyarakat disekitar SITU merasakan manfaat
secara langsung.
1. Mengetahui kesesuaian luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) di desa Cicadas
dengan Undang-Undang No.26 Tahun 2007.
2. Mengetahui dampak yang ditimbulkan dari kurangnya Ruang Terbuka Hijau
(RTH) di desa Cicadas.
3. Mengetahui upaya yang dilakukan untuk menambah lokasi Ruang Terbuka
Hijau (RTH) di desa Cicadas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Ruang Terbuka Hijau


Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh
tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam
(Undang-Undang Penataan Ruang No 26 Tahun 2007 pasal 29 ayat 1).
Proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk
menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan
sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan
meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta
sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Untuk lebih meningkatkan fungsi
dan proporsi ruang terbuka hijau di kota, pemerintah, masyarakat, dan swasta
didorong untuk menanam tumbuhan di atas bangunan gedung miliknya (Undang-
Undang Penataan Ruang No 26 Tahun 2007 pasal 29 ayat 2).
Proporsi ruang terbuka hijau publik seluas minimal 20 (dua puluh) persen
yang disediakan oleh pemerintah daerah kota dimaksudkan agar proporsi ruang
terbuka hijau minimal dapat lebih dijamin pencapaiannya sehingga memungkinkan
pemanfaatannya secara luas oleh masyarakat (Undang-Undang Penataan Ruang No
26 Tahun 2007 pasal 29 ayat 3).

2.2 Bentuk Ruang Terbuka Hijau


Bentuk ruang terbuka hijau kawasan perkotaan atau padat industri ada
berbagai macam versi bergantung pada sumber peraturan yang berlaku.
Diantaranya menurut dokumen yang berjudul “Ruang Terbuka Hijau sebagai
Unsur Pembentuk Kota Taman”, tahun 2005 yang dikeluarkan oleh Dirjen Penataan
Ruang menyebutkan bahwa ruang terbuka hijau terdiri dari:
a) Ruang terbuka privat: halaman rumah, halaman kantor, halaman sekolah,
halaman tempat ibadah, halaman rumah sakit, halaman hotel, kawasan industri,
stasiun, bandara, dan pertanian kota.
b) Ruang terbuka publik: taman rekeasi, taman/lapangan olahraga, taman kota,
taman pemakaman umum, jalur hijau (sempadan jalan, sungai, rel KA, SUTET),
dan hutan kota (HK konservasi, HK wisata, HK industri).
Sedangkan menurut Undang-Undang Penataan Ruang no 26 Tahun 2007
pasal 29 menyebutkan bahwa ruang terbuka hijau dibagi menjadi ruang terbuka
hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Ruang terbuka hijau publik merupakan
ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota atau
kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Yang
termasuk ruang terbuka hijau publik, antara lain adalah taman kota, taman
pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Sedangkan
yang termasuk ruang terbuka hijau privat, antara lain, adalah kebun atau halaman
rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri no 1 Tahun 2007 pasal 6
mengenai Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan menyebutkan, yang
termasuk kedalam ruang terbuka hijau antara lain:

2.2.1 Taman Kota


Taman kota merupakan sebidang lahan yang ditata sedemikian rupa,
sehingga mempunyai keindahan, kenyamanan dan keamanan bagi pemiliknya atau
penggunanya. Kota-kota di negara maju lebih mengutamakan taman kota untuk
tujuan rekreasi dan sekaligus untuk menyegarkan kembali badan dan pikiran setelah
bekerja lama dan terjadi kejenuhan. Taman kota merupakan fasilitas yang
memberikan kontribusi penting dalam meningkatkan kualitas lingkungan
permukiman, dan nampaknya merupakan suatu unsur yang penting bagi kegiatan
rekreasi.
Taman kota pada awalnya memiliki dua fungsi utama yaitu:
a) Memberikan kesempatan rekreasi bagi masyarakat kota, aktif maupun pasif
b) Memberikan efek visual dan psikologis yang indah dalam totalitas ruang kota.
c) Dalam perkembangannya, taman kota tidak lagi terbatas untuk menampung
kegiatan santai dan piknik saja, tetapi harus dapat menampung kegiatan-kegiatan
lain secara maksimal seperti rekreasi aktif, olah raga, kegiatan kebudayaan,
hiburan dan interaksi sosial. Karenanya, suatu taman kota memiliki berbagai
fungsi yakni ekologis, biologis, hidrologis, estetis, rekreasi dan sosial.
2.2.2 Taman Wisata Alam
Taman Wisata Alam (TWA) adalah kawasan pelestarian alam dengan
tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam.
Pengelolaan taman wisata alam berada di bawah kewenangan BKSDA (Balai
Konservasi Sumberdaya Alam) bersama dengan pengelolaan ruang terbuka hijau
lainnya seperti taman nasional berukuran kecil, kawasan suaka alam, taman hutan
raya dan taman buru (SNI 01-5009.5-2001) tentang istilah dan definisi berkaitan
dengan pengusahaan pariwisata alam berasaskan konservasi hayati).

2.2.3 Taman Rekreasi


Rekreasi dibedakan menjadi dua jenis yaitu rekreasi aktif dan rekreasi pasif.
Rekreasi aktif adalah bentuk pengisian waktu senggang yang didominasi kegiatan
fisik dan partisipasi langsung dalam kegiatan tersebut, seperti olah raga dan bentuk-
bentuk permainan lain yang banyak memerlukan pergerakan fisik. Sedangkan
rekreasi pasif adalah bentuk kegiatan waktu senggang yang lebih kepada hal-hal
yang bersifat tenang dan relaksasi untuk stimulasi mental dan emosional, tidak
didominasi pergerakan fisik atau partisipasi langsung pada bentuk-bentuk
permainan atau olah raga. Sehingga taman rekreasi merupakan suatu tempat/areal
yang dapat menampung kebutuhan dalam berekreasi (Permendagri No 1 Tahun
2007, pasal 1).

2.2.4 Taman Lingkungan


Pada dasarnya tanah milik hak milik perorangan maupun badan hukum
memiliki fungsi sebagai ruang publik, maka sudah selayaknya setiap lahan
pekarangannnya digunakan baik ruang terbuka hijau taman untuk kepentingan
pribadi maupun umum. Setiap bangunan yang berada di atas ruang tanah perlu
difungsikan untuk taman pekarangan, untuk keperluan keluarga, untuk tanaman
obat, rempah-rempah kebutuhan sehari-hari, sirkulasi udara, penyinaran matahari
yang cukup, mencegah kebakaran, dan sebagai ruang terbuka hijau pekarangan.
Bangunan swasta seperti hotel, industri, pertokoan, melalui rencana detail
disediakan hijauan berupa rumput, bunga, tanaman pot, taman hias, kolam, dan
sebagainya. Bila aktivitas memanfaatkan lahan pekarangan ini sudah melembaga di
kalangan rumah tangga dan swasta, maka ruang terbuka hijau pekarangan berskala
kecil secara merata akan memberikan dampak kumulatif yang besar terhadap ruang
terbuka hijau kota secara keseluruhan (UUPA No 5 Tahun 1960).

2.3 Fungsi Ruang Terbuka Hijau


Ruang terbuka tidak dapat dipisahkan dari manusia baik secara psikologis,
emosional, ataupun dimensional. Manusia berada didalam ruang, bergerak,
menghayati, dan berpikir, juga membuat ruang untuk menciptakan dunianya
(Sujarto, 1999). Ruang terbuka sebenarnya merupakan wadah yang dapat
menampung aktivitas tertentu dari masyarakat di wilayah tersebut. karena itu, ruang
terbuka mempunyai kontribusi yang akan diberikan kepada manusia berupa
dampak yang positif. Fungsi ruang terbuka hijau kawasan perkotaan menurut
Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 pasal 3 antara lain:
a) Pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan;
b) Pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara;
c) Tempat perlindungan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati;
d) Pengendali tata air; dan
e) Sarana estetika kota.

2.4 Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau


Pengelolaan taman kota dapat digambarkan sebagai sekumpulan kegiatan
yang bersama-sama membentuk dan mengarahkan pada bidang sosial, fisik dan
perkembangan ekonomi kota.
Pengelolaan ruang terbuka hijau akan memberi pengaruh terhadap
perubahan kualitas dan kuantitas, sebagaimana teruraikan dalam penelitian yang
menunjukkan bahwa tidak mudah untuk memperbaiki strategi kelembagaan
perkotaan dan mempunyai output yang terukur. Terdapat beberapa aspek dalam
pengelolaan RTH yaitu perencanaan, kelembagaan, sumber daya manusia,
koordinasi dan pendanaan.
2.4.1 Perencanaan
Dalam konteks pengelolaan, maka perencanaan yang dimaksud mencakup
pemilihan tujuan dan tindakan untuk pencapaiannya, serta memerlukan
pengambilan keputusan secara rasional. Perencanaan kota harus dilihat sebagai
bagian dari fungsi perencanaan pengelolaan kota. Hal ini diperlukan untuk
membandingkan rencana dengan hasil, dan untuk mengambil tindakan perbaikan
dalam rangka pencapaian hasil, dengan demikian perencanaan dan pengendalian
fungsi tidak dapat dipisahkan. Terdapat 4 elemen perencanaan pengelolaan utama
yang mempengaruhi ruang terbuka kota yaitu, elemen fisik, ekologis, partisipasi
dan transparansi/ keterbukaan.
Ruang terbuka hijau sebagai elemen fisik kota, sangat penting bagi fungsi
lingkungan dan rekreasi. Namun oleh sebagian masyarakat kota ada pemikiran
bahwa nilai ekonomi ruang terbuka hijau kota tidak bermanfaat dari sudut pandang
ekonomi, karena ruang terbuka hijau dianggap adalah barang pemerintah (public
goods) tanpa harga pasar. Sedangkan sebagai elemen ekologis kota dapat
memberikan kestabilan lingkungan bagi masyarakat zona industri.
Ruang terbuka hijau sangat bermanfaat bagi sebagian besar masyarakat
dalam kawasan pada industri. Kadang-kadang, kemungkinan masyarakat tidak
mengetahui lokasi alami yang dapat dimanfatkan. Masyarakat kota biasanya
mendukung konservasi alami secara umum di kota-kota, tetapi mereka tidak
mempunyai gambaran perencanaan yang jelas apakah ruang terbuka hijau kota
termasuk didalamnya. Mereka sebagian besar adalah para pemakai yang tidak
secara intensif memelihara ruang terbuka hijau kota.

2.4.2 Kelembagaan
Untuk memberikan fasilitas integrasi kepada penataan kota dan pengelolaan
strategis ke kerangka administratif, maka diperlukan lembaga pengelola kota yang
dapat melihat dan mengidentifikasikan berbagai pilihan alternatif fasilitas yang
sesuai. Dalam rangka untuk meminimalisir dampak /terhadap struktur operasi yang
sudah ada, maka salah satu pilihan adalah sebagian besar pengadaan harus
menetapkan strategi perencanaan.
Ada beberapa penelitian tentang pembuat keputusan dan evaluasi dalam
institusi pengelolaan kota. Menurut Hakim (2008), untuk memberikan fasilitas
integrasi kepada penataan kota dan pengelolaan strategis ke kerangka administratif,
maka diperlukan lembaga pengelola yang dapat melihat dan mengidentifikasikan
berbagai pilihan alternatif fasilitas yang sesuai. Dalam rangka untuk meminimalisir
dampak/ terhadap struktur operasi yang sudah ada, maka salah satu pilihan adalah
sebagian besar pengadaan harus menetapkan strategi perencanaan kota dan laporan
unit pengelola kepada direktur komite administratif .
Kebutuhan wawasan institusi adalah sebagai pembinaan dari pusat untuk
memastikan perencanaan antar instansi dan koordinasi anggaran sesuai yang
diperlukan. Idealnya, pembinaan itu berada pada tingkat desentralisasi pemerintah,
baik di pemerintah kota atau pemerintah lokal. Ini menguatkan pentingnya
pengembangan kelembagaan pengelolaan perkotaan. Sesuai dengan McGill,
pengembangan organisasi kelembagaan memerlukan prinsip yakni, menyetujui
fungsi (proses pengelolaan ) ke arah pertama, struktur organisasi dan personalia.
Kedua, perencanaan dan penganggaran. Ketiga, reformasi pemikiran.

2.4.3 Sumber Daya Manusia


Strategi yang logis dan realistis diperlukan untuk mengkoordinir upaya
sumber daya manusia guna menghadapi faktor-faktor lemahnya kapasitas
pemerintah daerah. Secara signifikan untuk meningkatkan sumber daya manusia di
bidang pengelolaan kota, pengetahuan dan keterampilan harus disampaikan kepada
pembuat-keputusan. Dua masalah utama kondisi sumber daya manusia dalam
pengelolaan kota yaitu ketrampilan dan kemampuan. Pemerintah harus menyiapkan
dan membangun strategi untuk meningkatkan kemampuan sumber daya staff guna
mendukung pengelolaan kota yang efektif. Disamping itu, kombinasi sektor swasta,
organisasi sektor publik dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai lembaga
pelatihan sangat penting bagi efektifitas program kerja pemerintah.
Faktor-faktor kompetensi didalam kemampuan dan penguasaan
keterampilan individu staf pemerintah daerah untuk pengelolaan kota yang proaktif
yaitu: pertama, kemampuan dalam mempersiapkan strategi untuk memandu dan
mengkoordinir input stakeholder; kedua, kemampuan untuk meningkatkan otonomi
dan mengelola dana; ketiga, kemampuan untuk pengembangan kelembagaan;
keempat, kemampuan untuk merancang proyek dalam rangka mendapatkan bantuan
dan sumbangan pelaksanaan program; kelima, kemampuan melakukan pendekatan
yang fleksibel dalam memberi penghargaan personil yang produktif (prestasi
mendasarkan penggajian dan promosi).
2.4.4 Koordinasi
Koordinasi pengelolaan RTH adalah dasar untuk monitoring dan
mengontrol pengelolaannya. Ada empat faktor sebagai elemen koordinasi ruang
terbuka hijau kota yaitu, tata guna lahan, kewenangan/ otoritas, keputusan dan
informasi. Perubahan cepat tata guna lahan dan pola ruang hijau dalam
pengembangan kota membawa konflik antara persyaratan keberadaan perumahan
dan ruang hijau. Salah satu kegagalan mengintegrasikan dimensi wilayah yang
terbangun dengan pengembangan ruang terbuka hijau kota adalah pedoman
pengendaliannya. Evolusi pendekatan pengelolaan memerlukan instrumen dan
perangkat baru guna pembaruan informasi, dan untuk monitoring
pengembangannya. Terdapat banyak kebutuhan tertentu untuk indikator, terutama
mengenai ruang, untuk secara kontinyu memonitor tata kota, mengendalikan
perencanaan strategis, dan membandingkan praktek pengelolaan.
Pengelolaan kota di negara-negara harus mencapai dua hal yaitu Pertama,
harus memahami sifat alami lingkungan kota. Kedua, harus mengatur instrumen
intervensi institusi sehingga dalam melakukan pengelolaan kota agar dapat sesuai
dengan rencana induk kota yang telah disetujui. Menurut Hakim (2008),
mendukung keputusan penggunaan perangkat seperti analisa manfaat biaya (cost-
benefit analysis), pengkajian dampak sosial, peraturan perundang- undangan dan
pengkajian dampak lingkungan dalam perumusan strategi. Perangkat ini akan
membantu memastikan ketegasan perlindungan lingkungan dan pertimbangan
sosial di dalam pengendalian pengelolaan.

2.4.5 Pendanaan
Beberapa penyelidik melakukan kajian tentang pengelolaan pendanaan
yang meliputi pajak masyarakat, pendanaan swasta, Tanggung jawab sosial
lingkungan dari perusahaan serta dan penghargaan pemerintah. tingkat pendapatan
masyarakat tidak akan mempengaruhi willingness-to-pay untuk ruang terbuka hijau
kota. Ini menyiratkan bahwa ruang hijau bukan hal mutlak, tetapi merupakan bagian
penting dari kehidupan sehari-hari. Untuk menghindari penyimpangan
pembayaran, prosedur-prosedur pembayaran seperti pajak dan pembayaran bea
masuk harus jelas masuk kedalam kas pemerintah lokal. Jumlah dan kualitas ruang
terbuka hijau kota, pada akhirnya, harus menjadi pemikiran dalam pengambilan
keputusan. Hasil penelitian menyiratkan dengan jelas akan perlunya kebijakan-
kebijakan ruang terbuka hijau.

2.5 Upaya Pengembangan Ruang Terbuka Hijau


Ruang terbuka hijau sebaiknya ditanami pepohonan yang mampu
mengurangi polusi udara secara signifikan. Dari penelitian yang pernah dilakukan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan, Departemen Pekerjaan Umum (kini
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah) di laboratoriumnya di Bandung,
dan di berbagai tempat di Bogor, Bandung, dan Jakarta, diketahui ada lima tanaman
pohon dan lima jenis tanaman perdu yang bisa mereduksi polusi udara. Menurut
penelitian di laboratorium, kelima jenis pohon itu bisa mengurangi polusi udara
sekitar 47 – 69%. Kelima pohon itu antara lain:
a) Pohon felicium (Filicium decipiens)
b) Mahoni (Swietenia mahagoni)
c) Kenari (Canarium commune)
d) Salam (Syzygium polyanthum)
e) Anting-anting (Elaeocarpus grandiforus)
Sementara itu, jenis tanaman perdu yang baik untuk mengurangi polusi
udara adalah:
a) Puring (Codiaeum variegiatum)
b) Werkisiana
c) Nusa indah (Mussaenda sp)
d) Soka (Ixora javanica)
e) Kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis)
Upaya yang sama bisa pula dilakukan warga kota di halaman rumah
masing-masing. Dengan penanaman pohon atau tanaman perdu tadi, selain udara
menjadi lebih sejuk, polusi udara juga bisa dikurangi. Untuk menutupi kekurangan
tempat menyimpan cadangan air tanah, setiap keluarga bisa melengkapi rumahnya,
yang masih memiliki sedikit halaman, dengan sumur resapan. Dengan sumur
resapan itu, air hujan yang turun tidak terbuang percuma, tetapi ditampung di tanah.
Sumur resapan merupakan sistem resapan buatan yang dapat menampung air hujan,
baik dari permukaan tanah maupun dari air hujan yang disalurkan melalui atap
bangunan. Bentuknya dapat berupa sumur, kolam dengan resapan, dan sejenisnya.
Pembuatan sumur resapan ini sekaligus akan mengurangi debit banjir dan gena-
ngan air di musim hujan.
Salah satu contoh upaya yang baik untuk mengembalikan kualitas dan
kuantitias RTH yang dapat diterapkan di lingkungan permukiman adalah beberapa
kebijaksanaan perencanaan oleh pemerintah provinsi Jawa Barat dalam menjaga
keseimbangan ekologi lingkungan sebagai berikut:
Pada kawasan terbangun kota, harus disediakan RTH yang cukup yaitu:
a) Untuk kawasan yang padat, minimum disediakan area 10 % dari luas total
kawasan.
b) Untuk kawasan yang kepadatan bangunannya sedang harus disediakan ruang
terbuka hijau minimum 15 % dari luas kawasan.
c) Untuk kawasan berkepadatan bangunan rendah harus disediakan ruang terbuka
hijau minimum 20 % terhadap luas kawasan secara keseluruhan.
Pada kawasan terbangun kota, harus dikendalikan besaran angka Koefisien
Dasar Bangunan (KDB) maupun Koefisien Lantai Bangunan (KLB) sesuai dengan
sifat dan jenis penggunaan tanahnya. Secara umum pengendalian KDB dan KLB
ini adalah mengikuti kaidah semakin besar kapling bangunan, nilai KDB dan KLB
makin kecil, sedangkan semakin kecil ukuran kapling, maka nilai KDB dan KLB
akan semakin besar. Untuk mengendalikan kualitas air dan penyediaan air tanah,
maka bagi setiap bangunan baik yang telah ataupun akan membangun disyaratkan
untuk membuat sumur resapan air. Hal ini sangat penting artinya untuk menjaga
agar kawasan terbangun kota, tinggi muka air tanah agar tidak makin menurun.
Pada tingkat yang tinggi, kekurangan air permukaan ini akan mampu
mempengaruhi kekuatan konstruksi bangunan.
Untuk meningkatkan daya resap air ke dalam tanah, maka perlu
dikembangkan kawasan resapan air yang menampung buangan air hujan dari
saluran drainase. Upaya lain yang perlu dilakukan adalah dengan membuat kolam
resapan air pada setiap wilayah tangkapan air. Sedangkan untuk kawasan
pemukiman sebaiknya jarak maksimum yang ditempuh menuju salah satu jalur
angkutan umum adalah 250 meter.
2.6 Dampak Kurangnya Ruang Terbuka Hijau di Desa Cicadas
Dampak yang ditimbulkan dari tidak adanya ruang terbuka hijau di desa
Cicadas adalah :
a) Menyusustnya paru-paru desa
b) Berkurangnya lahan resapan air.
c) Berkurangnya plasma nutfah.
d) Kurangnya lahan untuk rekreasi berbasis Eco wisata.
e) Kurangnya pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara.
BAB III
METODE
PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian


Pemetaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) taman desa Cicadas meliputi
wilayah RW 09, 10 dan 11.

Sumber: Goegle Maps


2.3. Lokasi Kajian

`Situ Cicadas berada di wilayah RW10 dan RW 11 Desa Cicadas, Kecamatan Gunung Putri,
Kabupaten Bogor (Gambar 1). Lokasi situ berada di antara Show room BMW Wanaherang
(RW 10) dan Perumahan Bumi Setu Indah (RW 11). Lokasi outlet Situ Cicadas berada pada
koordinat 6.425436° LS dan 106.935385° BT. Outflow dari Situ Cicadas mengalir ke Desa
Wanaherang. Lokasi Situ Cicadas tidak jauh dari Sungai Cileungsi, sekitar 0.678 Km sebelah
barat Sungai Cileungsi.

Gambar 1. Lokasi Setu Cicadas (Citongtut) di Desa Cicadas

2.3. Data
Dokumen rona awal Situ Cicadas merupakan hasil kajian deskriptif terkait kondisi biofisik situ dan
daerah tangkapan airnya (DTA) serta kondisi sosial & ekonomi masyarakat di sekitar Situ Cicadas.
Informasi yang disajikan digunakan sebagai baseline sebelum diimplementasikan berbagai rencana
kegiatan penyelamatan Situ Cicadas. Informasi yang disajikan berasal dari hasil pengolahan data
primer dan data sekunder yang berkaitan dengan Situ Cicadas. Data primer yang dikumpulkan
merupakan data hasil observasi dan pemantauan lapangan berbagai instansi terkait, Tabel 1
Sedangkan informasi biofisik situ dan sekitarnya berasal dari data sekunder yang dikumpulkan dari
berbagai sumber (Tabel 2). Selain data spasial juga dibutuhkan data-data sosial terkait. data
kependudukan dan berbagai perusahaan yang terkait dengan keberadaan danau untuk menganalisis
keadaan sosial masyarakat yang berada di sekitar danau Setu Cicadas.
Tabel 1. Rekapitulasi data primer

Jenis data Sumber


Pemanfaatan air Situ Cicadas Stakeholder terkait (Gerakan Pungut Sampah /
GPS, Komunitas masyarakat pecinta lele, pabrik,
warga RW 10 dan 11)
Pemantauan kualitas air Situ Cicadas Dinas Lingkungan Hidup, Kabupaten Bogor
Pengelolaan sampah GPS, warga RW 10 dan 11, Dinas Lingkungan
Hidup Kabupaten Bogor
Pengelolaan Situ Cicadas BBWS Ciliwung-Cisadane, Kementerian PUPR

Tabel 2. Rekapitulasi data sekunder

Jenis data Resolusi Sumber


Peta Sistem Lahan, Vektor 1: 250.000 Balai Penelitian Tanah
Peta Geologi Lembar Jakarta dan 1: 250.000 Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kepulauan Seribu, Vektor (lembar Geologi (1992)
1209-4, 1210-1)
Peta Hidrogeologi, Vektor 1: 250.000 Direktorat Geologi Tata Lingkungan
Citra Satelit Quick Bird, Raster 5m Image Google Earth (6/2019)
Peta Rupa Bumi Indonesia di sekitar 1:25.000 Badan Informasi Geospasial (BIG)
Kec. Gunung Putri, Vektor
Topografi (DEM), Raster 8.3 m Badan Informasi Geospasial (BIG)
Curah Hujan (PCH Cibinong 2017- Bulanan BBWS Ciliwung-Cisadane
2019)

2.4. Metode
Data-data yang didapatkan kemudian diolah untuk mendapatkan berbagai informasi.
Pengolahan data spasial dan atribut menggunakan perangkat lunak ArcGIS. Pengolahan data
spasial ditujukan untuk melihat kecenderungan perubahan tutupan lahan di sekitar Situ Cicadas
dan melihat perubahan luasan danau itu sendiri. Analisa Kondisi hidrologi permukaan di setu
Tlanjung Udik dan DTA-nya menggunakan SWAT (Soil and Water Assesment Tool).
3. KONDISI UMUM

3.3. Setu Cicadas


Berdasarkan data BBWS Ciliwung Cisadane, luas Setu Cicadas beserta area sempadannya
sekitar 3 ha (Gambar 2). Luas badan air Setu Cicadas sekitar 2.1 ha (luas area sempadannya
sekitar 0.9 ha). Panjang keliling setu sekitar 1.25 Km. BBWS Ciliwung-Cisadane secara berkala
melakukan pemeliharaan Setu Cicadas. Tahun 2011, BBWS Ciliwung Cisadane melakukan
rehab Setu Cicadas, yaitu dengan membuat turap di bagian sisi setu bagian timur (sekitar outlet).
Sebelum tahun 2016, bagian setu sebelah barat mengalami pendangkalan yang sangat berat.
Area setu efektif hanya 50% dari kondisi sekarang. Masyarakat

memanfaatkanya untuk lahan pertanian dan kolam-kolam ikan. Pertengahan Tahun 2016
dilakukan normalisasi setu, yaitu dengan melakukan penggalian terutama area setu di sebelah
barat sehingga luas badan air setu sekitar 2.1 ha. Kondisi setu Cicadas dari tahun 2006 sampe
2019 ditunjukan Gambar 4.

Gambar 2. Lokasi sign board Setu Cicadas dari BBWS Ciliwung Cisadane
Berdasarkan analisa 3D DEM, diperkirakan area terdalam setu sekitar 4.95 m. Area setu dengan
kedalaman lebih dari 3.8 m hanya 10%. Area setu yang paling dalam berada di sekitar outlet
setu (bagian setu sebelah timur). Sekitar 37.24% area setu memiliki kedalaman berkisar 2.09-
2.91 m. Pada tinggi water level 4.95 m, potensi volume air di setu sekitar 44,819 m3 dengan luas
genangan sekitar 1.96 ha.
Jika water level setu
tersebut turun 45 cm akan
menyebabkan kehilangan
air sebanyak 8,772 m3.
Kurva potensi luas
genangan dan volume air
setu pada berbagai level air
ditunjukan Gambar 3.
Gambar 3. Kurva potensi luas genangan dan volume air setu pada berbagai level air Setu Cicadas
Gambar 4. Penampakan kondisi setu Cicadas dari citra satelit dari tahun 2006 – 2019 (sumber: image Google Earth)

5
3.4. Daerah Tangkapan Air (DTA) Situ Cicadas
DTA Setu Cicadas merupakan bagian dari daerah aliran Sungai Cileungsi. Luas DTA Setu
Cicadas sekitar 37.4 ha (5.7% dari luas Desa Cicadas) Kondisi situasi DTA Setu Cicadas Tahun
2019 di tunjukan Gambar 5. Bagian hulunya berada di sekitar lokasi PT MIWA Asalta
Manufacturing (sebelah selatan DTA setu). Bagian barat DTA Setu Cicadas merupakan daerah
pemukiman padat sekitar Jalan Raya Wanaherang. Sebelah timur juga merupakan daerah
pemukiman yang dilintasi oleh Jalan Raya Muhidin. Kompleks perumahan Bumi Setu Indah
persis bersebelahan dengan area setu. Sebagian besar area DTA Setu merupakan area terbuka
yang biasa dipergunakan masyarakat untuk berladang.

Gambar 5. Penampakan citra DTA Setu Cicadas dari Image Google Earth tanggal 5/31/2019

Penampakan kondisi DTA Setu Cicadas dari tahun 2006 – 2019 ditunjukan Gambar 6 di bawah ini.
Sejak tahun 2006, area terbuka di DTA Setu Cicadas sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
lahan pertanian, seperti ladang, sawah, kolam ikan. Terlihat dari petak- petak lahan sebagai sawah,
kolam atau ladang/tegalan. Perubahan penggunaan lahan yang terlihat jelas di bagian timur DTA
Setu Cicadas. Sepanjang Jalan Raya Muhyidin terlihat penggunaan lahan berkembang pesat menjadi
lahan terbangun. Bagian Barat DTA Setu Cicadas (Sepanjang Jalan Raya Wanaherang) sudah lama
berkembang pesat sebagai lahan terbangun dengan kerapatan tinggi. Perumahan Bumi Setu Indah
diperkirakan baru ada sekitar tahun 2004-an.

6
Gambar 6. Penampakan kondisi DTA Setu Cicadas dari tahun 2006 – 2019 dari image pengindraan jauh (sumber: Image Google Earth)

7
3.5. Kondisi Biofisik
A. Tutupan / Penggunaan Lahan
Tutupan / penggunaan lahan Tahun 2019 di DTA Setu Cicadas terbagi menjadi 3, yaitu daerah
lahan terbangun (perumahan, areal komersial, jalan, gudang), lahan terbuka yang dimanfaatkan
sebagai lahan pertanian (tegalan/ladang) dan badan air (Setu Cicadas). Diantara Tutupan /
penggunaan lahan tersebut yang dominan adalah lahan terbuka (49.9%), selanjutnya lahan
terbangun (44.4%). Area badan air hanya 5.7% dari luas DTA Setu Cicadas.

Gambar 7. Klasifikasi tutupan / penggunaan lahan di area DTA Setu Cicadas

B. Jenis Tanah
Berdasarkan peta tanah tinjau (LPT, 1998), area DTA Setu Cicadas tergolong Asosiasi Latosol
Merah, Latosol Coklat Kemerahan dan Laterit. Memiliki tebal solum yang dalam dan tekstur tanah
bervariasi antara lempung berpasir hingga lempung liat berpasir. Nilai erodibilitas tanah tergolong
rendah (nilai K=0.062). Bahan induk batuan merupakan Tuf volkan intermedier. Fisiografi lahan
adalah Volkan dan Bukit lipatan.
C. Topografi
Topografi DTA Setu Cicadas tergolong datar, elevasi lahan berkisar antara 81-96 m dpl. Sekitar
67% area Setu Cicadas memiliki elevasi lahan 85-90 m dpl. Kelerengan lahan di area setu Cicadas
kurang dari 15% yang tersebar dominan di area Setu Cicadas. Kelas lereng kurang dari 8% lebih
dominan (69.7%) sedangkan kelas lereng 8-15% hanya 25.1%.
D. Geologi
Berdasarkan peta geologi, Formasi geologi area DTA Setu Cicadas adalah kipas aluvial (Qav3).
Kipas Aluvial (Qav3) merupakan material hasil pengendapan dari material vulkanik yang
sebelumnya ada dan terendapkan (rework) melalui mekanisme aliran mulai dari arah selatan ke
utara mengikuti landaian topografinya. Kipas aluvial disusun oleh konglomerat, tuf, dan batupasir.

8
3.6. Neraca Air Setu Cicadas
Skema neraca air di setu Cicadas di tunjukan Gambar 8. Setu Cicadas menerima masukan air dari
curah hujan dan debit air masuk lewat saluran inlet. Dalam setahun, potensi jumlah curah hujan
yang masuk ke Situ Cicadas sekitar 53.866 m3 dan dari saluran inlet sekitar
787.406 m3 (jumlah total 841.272 m3). Komponen air yang keluar dari Setu Cicadas adalah
evaporasi dan debit air yang keluar lewat saluran outlet. Potensi Jumlah air evaporasi dari Situ
Cicadas sekitar 26.707 m3 dan jumlah air yang keluar dari saluran outlet sekitar 811.444 m3.
Gambar 8. Skema neraca air di Situ Cicadas

Kondisi tahunan neraca air Situ Cicadas berada pada status surplus. Potensi jumlah air surplus yang
tersimpan setiap tahun sekitar 3.121 m3. Variasi kondisi surplus/defisit musiman (kondisi bulanan)
di Situ Cicadas di tunjukan Gambar 9. Selama musim hujan neraca air Situ Cicadas dalam kondisi
surplus (Bulan Januari-Maret dan Oktober- Desember). Pada musim kemarau, Situ Cicadas
mengalami kondisi neraca air yang defisit. Jumlah surplus paling besar berturut-turut pada bulan
Januari-Februari. Kondisi ini menunjukan Situ Cicadas masih berfungsi sebagai daerah tandon air
atau daerah retensi selama musim hujan. Kondisi defisit paling besar terjadi pada bulan juli, sebesar
3.696 m3

Gambar 9. Variasi musiman potensi volume air kondisi surplus (positif) /defisit (negatif) di Situ
Cicadas

9
Variasi musiman kondisi setiap
komponen neraca air (curah hujan,
evaporasi, flow in, flow out) di
Situ Cicadas di tunjukan gambar
di samping ini

Gambar 10. Variasi musiman


potensi jumlah curah hujan di Situ
Cicadas

Gambar 11. Variasi musiman


potensi jumlah Evaporasi di Situ
Cicadas

Gambar 12. Variasi musiman


potensi jumlah debit air masuk
Situ Cicadas

Gambar 13. Variasi musiman


potensi jumlah debit air keluar
Situ Cicadas

10
Rata-rata potensi volume Situ Cicadas berkisar antara 25.000 -36.310 m3 (rata-rata 31.077 m3).
Volume setu akan meningkat pada musin hujan (neraca air kondisi surplus) dan menyusut pada
musim kemarau (neraca air kondisi deficit), Gambar 14. Pada musim hujan, Situ Cicadas
mengalami surplus air sekitar 15.967 m3/tahun. Pada musim kemarau, Situ Cicadas mengalami
deficit air sekitar 12.846 m3/tahun. Situ Ciadas menjadi sumber daya air yang sangat potensial
jika ada pengaturan pintu air di bagian outlet situ.

Gambar 14. Variasi musiman potensi volume air Setu Cicadas

3.7. Laju Sedimentasi


Potensi daya tampung setu Tahun 2016 sekitar 44.819 m3. Diperkirakan laju sedimentasi Situ
Cicadas sekitar 189 ton/tahun atau 169 m3/tahun. Laju sedimentasi ini tergolong rendah. Namun
demikian, sampah yang berasal dari limbah domistik yang terbawa oleh limpasan permukaan
masuk ke setu akan mempercepat pendangkalan. Pada kondisi Bisnis an Usual (BAU) diperkirakan
pada tahun 2025 daya tampung setu berkurang sekitar 1.652 m3 (19,9%) dari Tahun 2016
(Gambar 15). Sisi positifnya, setu Cicadas berperan sebagai sedimen traping dari aliran permukaan
sebelum masuk ke sungai Cileungsi.

Gambar 15. Potensi sedimentasi di Situ Cicadas

11
3.8. Kualitas Air
Hasil simulasi SWAT, menunjukan terjadi eutrifikasi Nitrat (NO 3) dan Fosfat (Total P) di Situ
Cicadas. Kecenderungan konsentrasi NO3 dan Total P sepanjang tahun melebihi batas terjadi
eutrofikasi (0,2 mg/L untuk NO3 dan 0,1 mg/L untuk Total P), Gambar 16. Namun demikian,
konsentrasi NO3 dan Total P berfluktuasi secara musiman. Konsentrasi akan meningkat pada
musim hujan, akan kembali rendah pada musim kemarau. Dampak dari eutrifikasi adalah terjadi
booming pertumbuhan eceng gondok (Eichornia Crassipes), sekitar 55% area Situ Cicadas
tertutup oleh eceng gondok (Gambar 3.16). Potensi jumlah biomassa eceng gondok di Situ
Cicadas sekitar 290,22 ton yang bisa dipanen untuk dijadikan kompos.

Gambar 16. Potensi kandungan NO3 dan Total P di Situ Cicadas hasil simulasi SWAT

12
Gambar 17. Booming eceng gondok (55% area Situ Cicadas tertutup eceng gondok)

Akibat dari booming-nya eceng gondok tersebut menyebabkan oxygen disolve (DO) di air Situ
Cicadas rendah karena sebagian besar di serap oleh eceng gondok. Hal ini tidak cocok untuk usaha
budidaya ikan. Sekitar 45% area Situ yang tidak tertutup oleh eceng gondok potensial untuk
budidaya ikan.

3.9. Stakeholder Situ Cicadas


Hasil wawancara dengan masyarakat dapat dipetakan stakeholder terkait yang berhubungan dengan
Kelestarian Situ Cicadas. Stakeholder tersebut dikelompokan menjadi 3 pihak, yaitu pemerintah,
masyarakat dan swasta (Tabel 3). Dari pihak pemerintah 7 stakeholder, dari pihak anggota
masyarakat ada 6 stakeholder dan dai pihak swasta ada 18 perusahaan. Semua stakeholder tersebut
dapat berbagi peran dalam menjaga kelestarian Setu Cicadas.
Tabel 3. Daftar stakeholder Situ Cicadas

Kelompok Stakeholder
Pemerintah Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Bogor Camat Kec.
Gunung Putri
Danramil Kec. Gunung Putri
Kepala Desa, BPD, dan LPM Desa Cicadas BBWS Ciliwung Cisadane,
Kementerian PUPR
Masyarakat Kepala Dusun 5 Desa Cicadas
Warga RW 10 dan RW 11 Desa Cicadas
Kelompok Kerja Karang Taruna RW 10 dan 11 Desa Cicadas Kader dan
simpatisan Gerakan Pungut Sampah (GPS)
Forum Masyarakat Peduli Situ Citongtut
Kelompok masyarakat pecinta lele citongtut

13
Kelompok Stakeholder
Swasta PT Aqua Golden Mississippi Plant Citeureup PT Kurnia Manunggal Sejahtera
PT Maiwa
PT Miwa Asalta Manufacturing PT Gac Samudra Logistic
PT Hans Platindo
PT Niro Ceramic Nasional Indonesia PT Royal Tirta
PT Dukem PT SKI
PT Nito
PT Cidas Supra Metalindo PT. Golden Oase Tirta Abadi PT Matra Mandiri
Prima
PT Mitra Garindo Perkasa PT Simone cicadas
PT Duta Polykem Indo
PT Arindo Pacific Chemicals

3.10. Pemanfaatan Situ Cicadas


Beberapa pemanfaatan Situ Cicadas yang terlihat di masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Tempat pemancingan warga masyarakat sektar Situ Cicadas di ahir pekan

2. Ruang terbuka tempat bersantai warga masyarakat sektar Situ Cicadas menjelang petang

14
3. Tempat budidaya ikan air tawar dengan sistem keramba

4. Sebagai daerah retensi (tandon air) limpasan purmukaan terutama pada musim hujan
sehingga tidak terjadi banjir atau genangan.

15
3.11. Permasalahan Situ Cicadas
Hasil diskusi dengan stakeholder terkait (pemerintahan desa, kelompok masyarakat) diantaranya sebagai
berikut:
1. Pencemaran limbah cair dari perusahaan-perusahaan di sekitar Situ Cicadas. Pencemaran ini
terjadi karena 2 kemungkinan, yaitu perusahaan langsung membuang limbah cair ke saluran inlet
Situ atau terjadi overflow pada saat musim hujan dari IPAL masuk ke saluran inlet situ. Hal ini
menyebabkan menurunnya kualitas air Situ Cicadas
2. Penurunan kualitas air Situ menyebabkan terjadi eutrifikasi (booming pertumbuhan eceng
gondok), menyebakan sebagian besar area situ tertutup eceng gondok. Dampaknya adalah
menurunkan nilai Dissolve Oxygen (DO)
3. Stakeholder terkait pengendalian kualitas lingkungan tidak bekerja sebagaimana tupoksinya.
Rendahnya pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan dalam pengelolaan limbahnya.
4. Perubahan status lahan di sekitar sempadan Situ Cicadas menjadi hak milik pribadi, yaitu petak
lahan yang berada di menara sutet
5. Sampah domestik yang masuk ke situ (terutama pada musim hujan) yang menyebabkan
pendangkalan. Lokasi tempat penampungan sampah warga berada di samping situ
6. Konversi area sempadan sungai menjadi lahan terbangun

16
Beberapa gambar contoh RTH dengan memanfaatkan area sempadan situ.

17
18
19
20
21

Anda mungkin juga menyukai