PENDAHULUAN
1
2. Apakah dampak yang ditimbulkan dari kurangnya Ruang Terbuka Hijau
(RTH) Kampung Ratna Chaton?
3. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk menambah lokasi Ruang Terbuka
Hijau (RTH) Kampung Ratna Chaton?
1.5 Tujuan
1. Mengetahui kesesuaian luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kampung Ratna
Chaton dengan Undang-Undang No.26 Tahun 2007.
2. Mengetahui dampak yang ditimbulkan dari kurangnya Ruang Terbuka Hijau
(RTH) Kampung Ratna Chaton.
3. Mengetahui upaya yang dilakukan untuk menambah lokasi Ruang Terbuka
Hijau (RTH) Kampung Ratna Chaton.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
b) Ruang terbuka publik: taman rekeasi, taman/lapangan olahraga, taman kota,
taman pemakaman umum, jalur hijau (sempadan jalan, sungai, rel KA,
SUTET), dan hutan kota (HK konservasi, HK wisata, HK industri).
Sedangkan menurut Undang-Undang Penataan Ruang no 26 Tahun 2007
pasal 29 menyebutkan bahwa ruang terbuka hijau dibagi menjadi ruang terbuka
hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Ruang terbuka hijau publik
merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah
kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Yang termasuk
ruang terbuka hijau publik, antara lain adalah taman kota, taman pemakaman
umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Sedangkan yang
termasuk ruang terbuka hijau privat, antara lain, adalah kebun atau halaman
rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri no 1 Tahun 2007 pasal 6
mengenai Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan menyebutkan, yang
termasuk kedalam ruang terbuka hijau antara lain:
4
memiliki berbagai fungsi yakni ekologis, biologis, hidrologis, estetis, rekreasi
dan sosial.
2.2.2 Taman Wisata Alam
Taman Wisata Alam (TWA) adalah kawasan pelestarian alam dengan
tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam.
Pengelolaan taman wisata alam berada di bawah kewenangan BKSDA (Balai
Konservasi Sumberdaya Alam) bersama dengan pengelolaan ruang terbuka hijau
lainnya seperti taman nasional berukuran kecil, kawasan suaka alam, taman hutan
raya dan taman buru (SNI 01-5009.5-2001) tentang istilah dan definisi berkaitan
dengan pengusahaan pariwisata alam berasaskan konservasi hayati).
5
sebagainya. Bila aktivitas memanfaatkan lahan pekarangan ini sudah melembaga
di kalangan rumah tangga dan swasta, maka ruang terbuka hijau pekarangan
berskala kecil secara merata akan memberikan dampak kumulatif yang besar
terhadap ruang terbuka hijau kota secara keseluruhan (UUPA No 5 Tahun 1960).
6
pengambilan keputusan secara rasional. Perencanaan kota harus dilihat sebagai
bagian dari fungsi perencanaan pengelolaan kota. Hal ini diperlukan untuk
membandingkan rencana dengan hasil, dan untuk mengambil tindakan perbaikan
dalam rangka pencapaian hasil, dengan demikian perencanaan dan pengendalian
fungsi tidak dapat dipisahkan. Terdapat 4 elemen perencanaan pengelolaan utama
yang mempengaruhi ruang terbuka kota yaitu, elemen fisik, ekologis, partisipasi
dan transparansi/ keterbukaan (Hakim,2008).
Ruang terbuka hijau sebagai elemen fisik kota, sangat penting bagi fungsi
lingkungan dan rekreasi. Namun oleh sebagian masyarakat kota ada pemikiran
bahwa nilai ekonomi ruang terbuka hijau kota tidak bermanfaat dari sudut
pandang ekonomi, karena ruang terbuka hijau dianggap adalah barang pemerintah
(public goods) tanpa harga pasar. Sedangkan sebagai elemen ekologis kota dapat
memberikan kestabilan lingkungan bagi masyarakat kota (Hakim,2008).
Ruang terbuka hijau kota sangat bermanfaat bagi sebagian besar
masyarakat kota. Kadang-kadang, kemungkinan masyarakat tidak mengetahui
lokasi alami yang dapat dimanfatkan. Masyarakat kota biasanya mendukung
konservasi alami secara umum di kota-kota, tetapi mereka tidak mempunyai
gambaran perencanaan yang jelas apakah ruang terbuka hijau kota termasuk
didalamnya. Mereka sebagian besar adalah para pemakai yang tidak secara
intensif memelihara ruang terbuka hijau kota (Hakim,2008).
2.4.2 Kelembagaan
Untuk memberikan fasilitas integrasi kepada penataan kota dan
pengelolaan strategis ke kerangka administratif, maka diperlukan lembaga
pengelola kota yang dapat melihat dan mengidentifikasikan berbagai pilihan
alternatif fasilitas yang sesuai. Dalam rangka untuk meminimalisir dampak
/terhadap struktur operasi yang sudah ada, maka salah satu pilihan adalah
sebagian besar pengadaan harus menetapkan strategi perencanaan kota
(Hakim,2008).
Ada beberapa penelitian tentang pembuat keputusan dan evaluasi dalam
institusi pengelolaan kota. Menurut Hakim (2008), untuk memberikan fasilitas
integrasi kepada penataan kota dan pengelolaan strategis ke kerangka
administratif, maka diperlukan lembaga pengelola kota yang dapat melihat dan
7
mengidentifikasikan berbagai pilihan alternatif fasilitas yang sesuai. Dalam
rangka untuk meminimalisir dampak/ terhadap struktur operasi yang sudah ada,
maka salah satu pilihan adalah sebagian besar pengadaan harus menetapkan
strategi perencanaan kota dan laporan unit pengelola kepada direktur komite
administratif .
Menurut Hakim (2008), kebutuhan wawasan institusi adalah sebagai
pembinaan dari pusat untuk memastikan perencanaan antar instansi dan
koordinasi anggaran sesuai yang diperlukan. Idealnya, pembinaan itu berada pada
tingkat desentralisasi pemerintah, baik di pemerintah kota atau pemerintah lokal.
Ini menguatkan pentingnya pengembangan kelembagaan pengelolaan perkotaan.
Sesuai dengan McGill, pengembangan organisasi kelembagaan memerlukan
prinsip yakni, menyetujui fungsi (proses pengelolaan kota) ke arah pertama,
struktur organisasi dan personalia. Kedua, perencanaan dan penganggaran. Ketiga,
reformasi pemikiran.
8
dalam rangka mendapatkan bantuan dan sumbangan pelaksanaan program;
kelima, kemampuan melakukan pendekatan yang fleksibel dalam memberi
penghargaan personil yang produktif (prestasi mendasarkan penggajian dan
promosi) (Hakim,2008).
2.4.4 Koordinasi
Koordinasi pengelolaan kota adalah dasar untuk monitoring dan
mengontrol pengelolaan kota. Ada empat faktor sebagai elemen koordinasi ruang
terbuka hijau kota yaitu, tata guna lahan, kewenangan/ otoritas, keputusan dan
informasi. Perubahan cepat tata guna lahan dan pola ruang hijau dalam
pengembangan kota membawa konflik antara persyaratan keberadaan perumahan
dan ruang hijau. Salah satu kegagalan mengintegrasikan dimensi wilayah yang
terbangun dengan pengembangan ruang terbuka hijau kota adalah pedoman
pengendaliannya. Evolusi pendekatan pengelolaan memerlukan instrumen dan
perangkat baru guna pembaruan informasi, dan untuk monitoring
pengembangannya. Terdapat banyak kebutuhan tertentu untuk indikator, terutama
mengenai ruang, untuk secara kontinyu memonitor tata kota, mengendalikan
perencanaan strategis, dan membandingkan praktek pengelolaan (Hakim,2008).
Pengelolaan kota di negara-negara harus mencapai dua hal yaitu Pertama,
harus memahami sifat alami lingkungan kota. Kedua, harus mengatur instrumen
intervensi institusi sehingga dalam melakukan pengelolaan kota agar dapat sesuai
dengan rencana induk kota yang telah disetujui. Menurut Hakim (2008),
mendukung keputusan penggunaan perangkat seperti analisa manfaat biaya (cost-
benefit analysis), pengkajian dampak sosial, peraturan perundang- undangan dan
pengkajian dampak lingkungan dalam perumusan strategi. Perangkat ini akan
membantu memastikan ketegasan perlindungan lingkungan dan pertimbangan
sosial di dalam pengendalian pengelolaan.
2.4.5 Pendanaan
Beberapa penyelidik melakukan kajian tentang pengelolaan pendanaan
yang meliputi pajak masyarakat, pendanaan swasta serta gaji dan penghargaan
pemerintah. tingkat pendapatan masyarakat tidak akan mempengaruhi
willingness-to-pay untuk ruang terbuka hijau kota. Ini menyiratkan bahwa ruang
9
hijau bukan hal mutlak, tetapi merupakan bagian penting dari kehidupan sehari-
hari. Untuk menghindari penyimpangan pembayaran, prosedur-prosedur
pembayaran seperti pajak dan pembayaran bea masuk harus jelas masuk kedalam
kas pemerintah lokal. Jumlah dan kualitas ruang terbuka hijau kota, pada
akhirnya, harus menjadi pemikiran dalam pengambilan keputusan. Hasil
penelitian menyiratkan dengan jelas akan perlunya kebijakan-kebijakan ruang
terbuka hijau kota (Hakim,2008).
10
melengkapi rumahnya, yang masih memiliki sedikit halaman, dengan sumur
resapan. Dengan sumur resapan itu, air hujan yang turun tidak terbuang percuma,
tetapi ditampung di tanah. Sumur resapan merupakan sistem resapan buatan yang
dapat menampung air hujan, baik dari permukaan tanah maupun dari air hujan
yang disalurkan melalui atap bangunan. Bentuknya dapat berupa sumur, kolam
dengan resapan, dan sejenisnya. Pembuatan sumur resapan ini sekaligus akan
mengurangi debit banjir dan gena-ngan air di musim hujan.
Salah satu contoh upaya yang baik untuk mengembalikan kualitas dan
kuantitias RTH yang dapat diterapkan di lingkungan permukiman adalah beberapa
kebijaksanaan perencanaan oleh pemerintah Kota Malang dalam menjaga
keseimbangan ekologi lingkungan sebagai berikut:
Pada kawasan terbangun kota, harus disediakan RTH yang cukup yaitu:
a) Untuk kawasan yang padat, minimum disediakan area 10 % dari luas total
kawasan.
b) Untuk kawasan yang kepadatan bangunannya sedang harus disediakan ruang
terbuka hijau minimum 15 % dari luas kawasan.
c) Untuk kawasan berkepadatan bangunan rendah harus disediakan ruang terbuka
hijau minimum 20 % terhadap luas kawasan secara keseluruhan.
Pada kawasan terbangun kota, harus dikendalikan besaran angka
Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maupun Koefisien Lantai Bangunan (KLB)
sesuai dengan sifat dan jenis penggunaan tanahnya. Secara umum pengendalian
KDB dan KLB ini adalah mengikuti kaidah semakin besar kapling bangunan, nilai
KDB dan KLB makin kecil, sedangkan semakin kecil ukuran kapling, maka nilai
KDB dan KLB akan semakin besar. Untuk mengendalikan kualitas air dan
penyediaan air tanah, maka bagi setiap bangunan baik yang telah ataupun akan
membangun disyaratkan untuk membuat sumur resapan air. Hal ini sangat penting
artinya untuk menjaga agar kawasan terbangun kota, tinggi muka air tanah agar
tidak makin menurun. Pada tingkat yang tinggi, kekurangan air permukaan ini
akan mampu mempengaruhi kekuatan konstruksi bangunan.
Untuk meningkatkan daya resap air ke dalam tanah, maka perlu
dikembangkan kawasan resapan air yang menampung buangan air hujan dari
saluran drainase. Upaya lain yang perlu dilakukan adalah dengan membuat kolam
11
resapan air pada setiap wilayah tangkapan air. Sedangkan untuk kawasan
pemukiman sebaiknya jarak maksimum yang ditempuh menuju salah satu jalur
angkutan umum adalah 250 meter.
12
BAB III
METODE PENELITIAN
13
3.1.2 RTH Taman Kota Wilayah Ratna Chaton Barat
3.1.3 R
T
No. Nama Taman Lokasi
H
1 Kebun Bibit Wonorjo Jl. Kendalsari
14
3.1.4 RTH Taman Kota Wilayah Ratna Chaton Utara
15
3.4 Metodologi Penelitian
Studi Pustaka
16
DAFTAR PUSTAKA
17