Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH PENGENDALIAN HAYATI

“IMPLEMENTASI PENGENDALIAN HAYATI


PADA TANAMAN KEDELAI”

Disusun oleh :
Khanshadella Guska Dara 134150087
Siti Dailah 134150175
Oktaviani Puspita Sari 134150182

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam pertanian, hama adalah organisme pengganggu tanaman yang
menimbulkan kerusakan secara fisik, dan ke dalamnya praktis adalah semua
hewan yang menyebabkan kerugian dalam pertanian. Serangga termasuk
bagian dari hama yang merupakan kelompok organisme yang paling beragam
jenis dan selalu mendominasi populasi mahluk hidup di muka bumi, baik
yang hidup di bawah,pada dan di atas permukaan tanah. Oleh karena itu
hampir semua jenis tanaman baik yang dibudidayakan maupun yang
berfungsi sebagai gulma selalu diganggu oleh kehadiran serangga hama
tersebut. Dengan demikian dalam proses produksi, masalah hama tersebut
tidak bisa diabaikan, karena akan mempengaruhi produksi secara kualitatif
maupun kuantitatif dan mampu merurunkan produksi sebesar 20,7%, bahkan
menyebabkan kegagalan panen, kalau tidak dilakukan pengendalian secara
efektif.
Kedelai (Glycine max (L) Merill) merupakan salah satu komoditas
tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia karena termasuk ke dalam
daftar komoditas pangan. Permintaan kedelai untuk perindustrian dan
konsumsi masyarakat terus meningkat, akan tetapi produksi kedelai
mengalami penurunan. Salah satu faktor dominan penyebab rendahnya
produktivitas tanaman kedelai adalah faktor penghambat dalam budi daya
tanaman kedelai yakni hama dan patogen yang menyerang tanaman kedelai.
Ada kurang lebih 111 jenis hama kedelai yang telah diketahui di lndonesia,
beberapa diantaranya merupakan hama penting serta penyakit yang sering
menyerang tanaman kedelai seperti; Lalat kacang (Ophiomyia Phaseoli),
Penggerek polong kedelai, Ulat Grayak (Spodoptera litura), Aphis (Aphis
Glycine), Kepik Hijau (Nezara Viridula), Lalat Pucuk (Melanagromyza
dolicostigma), Kutu Bemisia (Bemisia tabaci), Ulat Helicoverpa (Heliothis),
Kepik Polong (Riptortus linearis), Kepik Piezodorus, Penyakit Busuk Akar.
Hama dan penyakit dapat menurunkan kualitas serta kuantitas dari tanaman
kedelai sehingga perlu untuk dikendalikan. Namun pengendalian secara
hayati lebih diutamakan terlebih dahulu sebelum mencapai ambang ekonomi
agar lingkungan tidak tercemar akibat dari pengendalian kimia. Pengendalian
hayati juga diutamakan karena lebih aman bagi lingkungan serta manusia.
Maka dari itu dalam makalah ini akan membahas mengenai implementasi
pengendalian hayati pada tanaman kedelai dengan menggunakan berbagai
macam agen hayati.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja hama penting dan penyakit yang menyerang tanaman kedelai?
2. Agensia hayati apa saja yang dapat mengendalikan hama penting serta
penyakit pada tanaman kedelai

C. Tujuan
1. Mengetahui beberapa macam hama penting dan penyakit yang menyerang
tanaman kedelai.
2. Mengetahui agensia hayati yang berperan dalam pengendalian hama
penting dan penyakit pada tanaman kedelai.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tanaman Kedelai
Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi
bahan dasar banyak makanan dari Asia Timur seperti kecap, tahu, dan tempe.
Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyaknabati dunia.
Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua spesies:
Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning, agak
putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam). Kedelai
dibudidayakan di lahan sawah maupunlahan kering (ladang). Sistematika
tanaman kedelai yaitu;
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Genus : Glycine
Spesies : Glycine max (L.) Merr.
Tanaman dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah asal drainase (tata
air) dan aerasi (tata udara) tanah cukup baik, curah hujan 100-400 mm/bulan,
suhu udara 230C - 300C, kelembaban 60% - 70%, pH tanah 5,8 - 7 dan
ketinggian kurang dari 600 m dpl.
B. Hama Tanaman Kedelai
Pada pertanaman kedelai sering dijumpai hama utama yang
menyebabkan kerugian banyak pada tanaman kedelai. Beberapa hama dan
penyakit yang sering menyerang tanaman kedelai antara lain; Lalat kacang
(Ophiomyia Phaseoli), Penggerek Polong Kedelai, Ulat Grayak (Spodoptera
litura), Aphis (Aphis Glycine), Kepik Hijau (Nezara Viridula), Lalat Pucuk
(Melanagromyza dolicostigma), Kutu Bemisia (Bemisia tabaci), Ulat
Helicoverpa (Heliothis), Kepik Polong (Riptortus linearis), Kepik
Piezodorus, Penyakit Busuk Akar.
1. Lalat Kacang (Ophiomyia Phaseoli)
Lalat bibit kacang menyerang sejak tanaman muda muncul ke
permukaan tanah hingga tanaman umur 10 hari. Lalat betina meletakkan
telur pada tanaman muda yang baru tumbuh. Telur diletakkan di dalam
lubang tusukan antara epidermis atas dan bawah keping biji atau
disisipkan dalamm jaringan mesofil dekat pangkal keping biji atau
pangkal helai daun pertama dan kedua. Telurnya bewarna putih seperti
mutiara dan berbentuk lonjong dengan ukuran panjang 0,31 mm dan lebar
0,5 mm. Setelah dua hari, telur menetas dan keluar larva. Larva masuk ke
dalam keping biji atau pangkal helai daun pertama dan kedua, kemudian
membuat lubang gerekan. Selanjutnya larva menggerek batang dan
berubah bentuk menjadi kepompong. Pada pertumbuhan penuh, panjang
larva mencapai 3,75 mm. Kepompong mula – mula bewarna kuning
kemudian berubah menjadi kecoklatan.
Serangan lalat kacang ditandai oleh adanya bintik – bintik putih
pada keping biji, daun pertama atau kedua. Bintik – bintik tersebut adalah
bekas tusukan alat peletak telur ( ovipositor ) dari lalat kacang betina.

2. Penggerek polong kedelai


Hama penggerek polong kedelai Etiella spp. (Etiella zinckenella
dan Etiella hopsoni) dapat menimbulkan kerusakan polong yang sangat
parah. Kehilangan hasil akibat serangan hama ini dapat mencapai 80%.
Lebih dari itu, jika tidak ada tindakan pengendalian bisa mengakibatkan
puso. Biji tersebut digerek habis sama sekali atau hanya tersisa sedikit.
Hal lainnya yang bisa dicermati adalah dalam satu polong jarang
ditemukan lebih dari satu ekor larva. Larva lebih senang hidup sendiri
dalam polong, jika terjadi dalam satu polong ada lebih dari satu maka
akan terjadi kompetisi yang akhirnya larva yang lemah akan keluar dan
pindah kepolong lain. Serangan pada polong muda ini dapat
mengakibatkan kerontokan polong. Sebaliknya, serangan pada polong tua
dapat menurunkan kuantitas dan kualitas biji kedelai.
Secara fisik kedua hama kedelai ini memiliki perbedaan. Ngengat
E. zinckenella berwarna keabu-abuan dan mempunyai garis putih pada
sayap depan sedangkan E. hobsoni tidak mempunyai garis putih pada
sayapnya. Saat bertelur, telur diletakkan berkelompok di bagian bawah
daun, kelopak bunga atau pada polong. Tiap kelompok banyaknya 4-15
butir. Telur tersebut berbentuk lonjong dengan diameter 0,6 mm. Pada
saat diletakkan telur berwarna putih mengilap, lalu berubah menjadi
kemerahan. Ketika akan menetas warna menjadi jingga. Setelah 3-4 hari,
telur menetas dan keluar ulat. Ulat yang baru keluar dari telur berwarna
putih kekuningan dan kemudian berubah menjadi hijau dengan garis
merah memanjang. Ulat instar 1 dan 2 menggerek kulit polong, kemudian
masuk menggerek biji dan hidup di dalam biji. Setelah instar 2, ulat hidup
di luar biji. Dalam satu polong sering dijumpai lebih dari 1 ekor ulat. Ulat
instar akhir mempunyai panjang 13-15 mm dengan lebar 2-3 mm. Proses
berikutnya, kepompong dibentuk dalam tanah dengan terlebih dulu
membuat sel dari tanah. Ke-pompong berwarna coklat dengan panjang 8-
10 mm dan lebar 2 mm. Setelah 9-15 hari, kepompong berubah menjadi
ngengat. Tanda serangan berupa lubang gerek berbentuk bundar pada
kulit polong. Apabila terdapat dua lubang gerek pada polong tersebut
berarti ulat sudah meninggalkan polong.
3. Ulat Grayak (Spodoptera litura)
Serangga dewasa berupa ngengat abu – abu, meletakkan telur pada
daun secara berkelompok. Ukuran tubuh ngengat betina 14 mm
sedangkan ngengat jantan 17 mm. Setiap kelompok telur terdiri dari 30 –
700 butir yang ditutupi oleh bulu – bulu bewarna merah kecoklatan. Telur
akan menetas setelah 3 hari. Ulat yang baru keluar dari telur berkelompok
di permukaan daun dan makan epidermis daun. Ulat grayak aktif makan
pada malam hari, meninggalkan epidermis atas dan tulang daun sehinggan
daun yang terserang dari jauh terlihat bewarna putih. Panjang tubuh ulat
yang telah tumbuh penuh 55 mm. Kepompong terbentuk didalam tanah.
Setelah 9 – 10 hari, kepompong akan berubah menjadi ngngat dewasa.
Kerusakan pada daun, ulat hidup bergerombol, memakan daun, dan
berpencar mencari rumpun lain. Ulat dewasa memakan polong muda dan
tulang daun daun muda, sedang pada daun yang tua tulang – tulangnya
akan tersisa.

4. Aphis (Aphis Glycine)


Tubuh Aphis Berukuran kecil, lunak dan bewarna hijau agak
kekuning – kuningan. Sebagian besar jenis serangga ini tidak bersayap,
tetapi bila populasi meningkat sebagian serangga dewasanya membentuk
satap yang bening. Aphis dewasa yang bersayap ini kemudian berpindah
ke tanaman lain untuk membentuk koloni yang baru. Serangga ini
menyukai bagian – bagian yang muda dari tanaman inangnya. Panjang
tubuh Aphis dewasa berkisar antara 1 – 1,6 mm. Nimfa Aphis dapat
dibedakan dengan imagionya dari jumlah ruasa antena. Jumlah antena
nimfa instar satu umumnya 1 atau 5 ruas, instar kedua 5 ruas, instar tiga 5
atau 6 ruas dan instar empat atau imago 6 ruas. Serangga muda (nimfa)
dan imago mengisap cairan tanaman. Gejala serangan biasanya tanaman
menjadi layu, dan pertumbuhannya sedikit terhambat.
5. Kepik Hijau (Nezara Viridula)
Kepik ijau dewasa mulai datang di pertanaman menjelang fase
berbunga. Telur diletakkan secara berkelompok, rata – rata 80 butir pada
permukaan daun bagian bawah, permukaan daun bagian atas, polong dan
batang tanaman. Bentuk telurnya seperti cangkir bewarna kuning dan
berubah menjadi merah bata ketika akan menetas. Telur menetas setelah
5–7 hari. Kepik muda (nimfa) yang baru keluar tinggal bergerombol
diatas kulit telur. Untuk menjadi serangga dewasa nimfa mengalami 5
instar yang berbeda warna dan ukurannya. Kepik muda dan dewasa
merusak polong dan biji dengan menusukkan stiletnya pada kulit polong
terus ke biji kemudian mengisap cairan biji. Kerusakan yang disebabkan
oleh kepik hijau ini menyebabkan penurunan hasil dan kualitas biji.

6. Lalat Pucuk (Melanagromyza dolicostigma)


Serangga dewasa berupa lalat bewarna hitam, bentuknya serupa
dengan lalat kacang. Panjang tubuh serangga jantan mempunyai panjang
tubuh 1,95 mm dan lebar 0,66 mm dengan rentang sayap 5,15 mm. Telur
diletakkan pada permukaan bawah dari daun – daun bagian pucuk yang
belum membuka. Telur bewarna hijau keputih – putihan, berbentuk
lonjong dengan ukuran panjang 0,38 mm dan lebar 0,15 mm. Setelah
keluar dari telur, larva makan dan menggerek ke dalam jaringan daun,
kemudian menuju pucuk tanaman melalui tulang daun. Serangan lalat
pucuk pada tingkat populasi tinggi menyebabkan seluruh helai daun layu.
Serangan pada awal pertumbuhan umumnya jarang terjadi, kematian
pucuk berlangsung pada saat pembungaan.

7. Kutu Bemisia (Bemisia tabaci)


Serangga dewasa kutu kebul bewarna putih dengan sayap jernih,
ditutupi lapisan lilin yang bertepung. Ukuran tubuhnya berkisar 1-1,5
mm. Serangga dewasa meletakkan telur di permukaan bawah daun muda.
Telur bewarna kuning terang dan bertangkai seperti kerucut. Stadia telur
berlangsung selama 6 hari. Serangga muda (nimfa) yang baru keluar dari
telur bewarna putih pucat, tubuhnya berbentuk bulat telur pipih. Hanya
instar satu yang kakinya berfungsi, sedang instar du dan tiga melekat pada
daun selama masa pertumbuhannya. Panjang tubuh nimfa 0,77 mm.
Stadia pupa terbentuk pada permukaan daun bagian bawah. Ada jenis lain
yang lebih besar disebut Aleurodicus dispersus atau kutu putih. Serangga
muda dan dewasa mengisap cairan daun. Ekskreta kutu kebul
menghasilkan embun madu yang merupakan medium tumbuh cendawan
jelaga, sehingga tanaman sering tampak hitam.

8. Ulat Helicoverpa (Heliothis)


Telur diletakkan secara terpencar satu per satu pada daun pucuk
atau bunga pada malam hari. Telur biasanya diletakkan pada tanaman
berumur 2 minggu setelah tanam. Telur bewarna kuning muda. Setelah 2
– 5 hari, telur menetas menjadi ulat yang baru keluar kemudian memakan
kulit telur. Ulat muda makan jaringan daun, sedangkan ulat instar yang
lebih tua sering dijumpai makan bunga, polong, muda dan biji. Warna ulat
tua bervariasi, hijau kekuningan, hijau, coklat atau agak hitam kecoklatan.
Tubuh ulat sedikit berbulu. Panjang tubuh ulat pada pertumbuhan penuh
sekitar 30 mm dengan lebar kepala 3mm. Kepompong Helicoverpa
armigera terbentuk di dalam tanah. Setelah 12 hari, menetas dan ngengat
akan keluar. Warna tubuh ngengat kuning kecoklatan.

9. Kepik Polong (Riptortus linearis)


Kepik polong dewasa mirip dengan walang sangit, bewarna kuning
coklat dengan garis putih kekuningan di sepanjang sisi badannya. Panjang
tunbuh kepik betina 13 – 14 mm dan yang jantan 11 – 13 mm. Telur
diletakkan berkelompok pada permukaan atas atau bawah daun serta pada
polong, berderet 3 – 5 butir. Telur berbentuk bulat dengan bagian tengah
agak cekung, berdiameter 1,2 mm. Telur bewarna biru keabu – abuan
kemudian berubah menjadi coklat suram. Setelah 6 – 7 hari, telur menetas
dan keluar kepik muda (nimfa). Dalam perkembangannya, kepik muda
mengalami 5 kali pergantian kulit. Tiap pergantian kulit terdapat
perbedaan bentuk, warna dan ukuran.
Cara menyerang kepik ini dengan menusukkan stilet pada kulit
polong dan terus ke biji kemudian mengisap cairan biji. Serangan yang
terjadi pada fase pertumbuhan polong dan perkembangan biji
menyebabkan polong dan biji kempis, kemudian mengering dan polong
gugur.

10. Kepik Piezodorus


Kepik dewasa ini mirip dengan nezara yaitu bewarna hijau,
mempunyai garis melintang pada lehernya. Panjang badannya sekitar 8,8–
12,0 mm. Kepik jantan mempunyai garis warna merah muda, sedang
kepik betina garisnya bewarna putih. Telur diletakkan berkelompok
padapermukaan daun bagian atas, pada polong, batang atau di rumput.
Tiap kelompok terdiri dari 2 baris, berjumlah 9–42 butir. Telur berbentuk
silinder, bewarna abu – abu kehitaman dengan strip putih di btengahnya
setelah 4 hari, telur menetas dan keluar kepik muda (nimfa). Selama
perkembangannya menjadi dewasa, kepik muda berganti kulit 5 kali.
Kepik muda yang baru keluar dari telur ini tidak makan dan berkelompok
pada permukaan kulit telur.
Kepik muda dan dewasa menyerang dengan cara menusuk polong
dan biji serta mengisap cairan biji pada semua stadia pertumbuhan polong
dan biji. Kerusakan yang diakibatkan oleh penghisap ini menyebabkan
penurunan hasil dan kualiatas biji.

11. Busuk Akar


Penyebab dan gejala penyakit adalah penyakit busuk akar (hawar)
disebabkan oleh Rhizoctonia solani. Jamur dapat menginfeksi kecambah
pada bagian yang berada di bawah permukaan tanah dan menyebabkan
kecambah mati. Gejala pada kecambah berupa bercak coklat hingga
kemerahan pada pangkal batang dan akar. Jamur juga menginfeksi
tanaman dewasa pada bagian akar, daun, batang, dan polong. Patogen
berkembang hingga menyebabkan batang keriput sehingga tanaman mati.
Perkembangan penyakit yaitu perkembangan patogen umumnya terjadi
pada tanah yang hangat, dan tanah pasir yang lembab. Suhu optimum bagi
perkembangan patogen adalah 28‒32C. Pada suhu tersebut, penyakit
lebih cepat berkembang. Infeksi patogen dan tingkat keparahan penyakit
meningkat pada tanah yang lembab dan kaya nitrogen (N). Patogen dapat
bertahan hidup pada bahan organik dengan cara membentuk sklerotia.

C. Pengendalian Hayati Pada Tanaman Kedelai


Pengendalian secara hayati adalah pemanfaatan dan penggunaan
musuh alami untuk mengendalikan hama. Hama dalam tanaman kedelai telah
dijelaskan pada poin sebelumnya, dari beberapa hama dan penyakit tersebut,
maka pada poin ini akan membahas tentang musuh alami yang dapat
digunakan untuk mengendalikannya. Musuh alami hama yang berasosiasi
dengan tanaman kedelai di Indonesia cukup banyak, terdiri dari 61 jenis
predator, 41 jenis parasitoid, dan empat kelompok penyakit serangga yaitu
bakteri, cendawan, nematoda, dan virus. Namun dari beberapa macam terseut,
hanya akan dibahas beberapa yang sering digunakan saja saat dilapangan.
Data-data dibawah ini merupakan beberapa hasil dari penelitian-penelitian
yang pernah dilakukan.
1. Predator
a) Salah satu jenis predator yang paling banyak terdapat di areal
pertanaman kedelai di Indonesia adalah laba-laba dari famili
Oxyopidae yaitu Oxyopes javanus Thorell (Tengkano & Bedjo 2002),
khususnya di Jawa Timur (Prayogo & Tengkano 2003) dan Lampung
(Tengkano 2003). Oxyopes javanus mampu memangsa imago Etiella
zinckenella, Helicoverpa armigera, Spodoptera litura, dan nimfa
instar 2 pengisap polong kedelai. Kemampuan seekor imago O.
javanus dalam memangsa R. annulicornis nimfa instar 2 cukup tinggi,
dapat mencapai 13 ekor/hari (Tengkano & Bedjo 2002). Laba-laba ini
juga merupakan predator penting yang dapat menurunkan populasi
hama padi di Malaysia (Vreden & Ahmad Zabidi, 1986) dan hama
kacang-kacangan di Australia (Shepard et al. 1983) dan Malaysia
(Shepard et al., 1987; Okada et al., 1988).
Kelangsungan hidup predator perlu dilestarikan dan dijaga agar
perannya dapat berfungsi secara optimal. Serangga O. javanus) yang
digunakan diperoleh melalui kegiatan koleksi menggunakan jaring
serangga. Oxyopes javanus yang diperoleh dipisahkan dari serangga-
serangga lain dan dimasukkan ke dalam sangkar yang terbuat dari
kain strimin berwarna putih berukuran tinggi (t)=50 cm dan diameter
(d)=26 cm, kemudian dibawa ke laboratorium untuk diaplikasi.
Sebagai pakan Oxyopes javanus, dilakukan pengumpulan telur
Riptortus annulicornis yang sudah dibiakkan di laboratorium. Telur
dikoleksi setiap hari dan dipelihara dalam cawan petri, di dalam
cawan petri diberi potongan kacang panjang untuk menciptakan
kelembaban yang tinggi. Setelah menetas, nimfa yang terbentuk
dipelihara dalam sangkar dengan tinggi 50 cm dan diameter 26 cm
serta diberi pakan kacang panjang yang sudah berisi dan digantungkan
pada puncak sangkar. Nimfa R. annulicornis diberikan setiap hari
sebagai pakan O. javanus (Santi, Marida dan Yusmani, Prayogo.
2012)
b) Kumbang Koksi
Jenis predator penting di lokasi pertanaman kedelai adalah dari famili
Coccinellidae. Kumbang koksi adalah salah satu serangga dari ordo
Coleoptera. Famili Coccinellidae secara umum mempunyai bentuk
tubuh bulat, panjang tubuh antara 8-10 mm. Kumbang koksi
mempunyai ciri khas pada sayap berwana merah dengan garis dan
bercak hitam yang bervariasi. Kumbang koksi betina muda dapat
memakan polen dan nektar selain daun untuk pertumbuhan dan
perkembangan ovariumnya.
Coccinellidae dipandang sebagai agensia pengendali hayati penting
serangga hama tanaman. Hal ini cukup beralasan jika dilihat dari
sejarah pemanfaatannya sebagai agens pengendali hayati. Dari
berbagai laporan diketahui bahwa Coccinellidae yang bersifat sebagai
predator berjumlah 6000 spesies dan tersebar di seluruh belahan dunia
pada berbagai habitat. Sebagian besar spesies Coccinellidae predator,
baik stadium larva maupun dewasa memangsa serangga serangga
kecil yang berbadan lunak misalnya kutu daun (Aphididae spp.), kutu
sisik (scale insect) dan telur serangga. Cara mengkoleksi serangga
Coccinellidae predator di lapangan, dilakukan dengan cara koleksi
langsung dan dengan menggunakan jaring serangga. Koleksi secara
langsung dengan cara mengumpulkan langsung semua telur, larva,
pupa dan imago serangga coccinellidae yang ditemukan pada tanaman
sampel. Semua stadia hidup serangga tersebut dikoleksi pada kotak
terpisah.

2. Parasitoid
a) Famili Braconidae
Serangga parasitoid yang banyak dijumpai pada agroekosistem
kedelai tergolong famili Eulophidae, Braconidae, dan Pteromalidae.
Parasitoid dari famili Braconidae diketahui sebagai musuh alami bagi
larva dari hama Spodoptera litura. Parasitoid pembawa PDV adalah
kelompok parasitoid dari Braconidae (ordo Hymenoptera) yang
memiliki PDV sebagai simbion obligat dalam saluran reproduksi
betinanya. Polydnavirus (PDV) pertama kali diketahui pada akhir
1960-an, ketika para ilmuwan tertarik untuk mengamati telur
parasitoid Braconidae dan Ichneumonidae yang diisolasi dari saluran
reproduksi (ovipositor) serangga tersebut. Berdasarkan pengamatan
saluran reproduksi secara lateral, selain telur, mereka juga
menemukan cairan pekat yang berwarna kebiruan. Cairan tersebut
tersusun atas partikel partikel yang memiliki struktur mirip virus, atau
kemudian disebut virus-like particles (VLPs) (Beckage 2008). PDV
berperan sebagai tameng yang melindungi telur parasitoid dari sistem
kekebalan serangga inang serta memodifikasi fisiologis serangga
inang sedemikian rupa sehingga memungkinkan parasitoid
berkembang di dalam tubuh inangnya (Herlina, Lina. 2012).
b) Tricogamma
Pemanfaatan parasitoid Trichogramma efektif mengendalikan hama
penggerek polong Etiella. Spesies parasitoid Trichogramma untuk
pengendalian hama penggerek polong kedelai adalah
Trichogrammatoidea bactrae-bactrae. Waktu pelepasan yang efektif
pada pagi hari jam 06.00 WIB, letak pias 20 cm di atas kanopi daun
kedelai. Dengan cara pelepasan seperti itu, daya sebar parasitoid dapat
mencapai radius 50 m. Jumlah parasitoid yang efektif adalah 250.000
ekor/ha yang dilepas sebanyak tiga kali dengan selang satu minggu
pada saat pertumbuhan tanaman fase generatif. Faktor yang
menentukan keberhasilan parasitisasi adalah inang yang sesuai
sehingga bila telah terjadi parasitisasi pada telur inang, keberhasilan
parasitoid menjadi imago cukup besar. Apabila spesies parasitoid
yang berhasil memarasit telur inang dapat menjadi imago dan
dipelihara secara terus-menerus pada telur E. zinckenella, daya
parasitisasinya kemungkinan akan meningkat. Hal ini karena spesies
parasitoid mampu beradaptasi pada telur E. zinckenella dan mengenal
inangnya dengan baik sehingga meningkatkan daya parasitisasinya
(Marwoto, 2010).

3. Pathogen
a) Pathogen Virus
Pemanfaatan NPV sebagai agens hayati sangat efektif untuk
mengendalikan S. litura. Saat ini telah diperoleh isolat SlNPV, yaitu
isolat JTM972c yang diketahui efektif mengendalikan S. litura pada
tanaman kedelai, setara dengan insektisida lamda sihalotrin. Sifat-sifat
biologis dari NPV ini yaitu Virion NPV berbentuk batang, berada
dalam inclusion bodies yang disebut polihedra. Polihedra berbentuk
kristal bersegi banyak, berada dalam inti sel dari hemolimfa, badan
lemak, hipodermis, dan matriks trakea. Ulat yang menelan polihedra
tampak berminyak dengan warna tubuh pucat kemerahan, kemudian
mati menggantung dalam posisi terbalik dengan tungkai semu bagian
akhir melekat pada tanaman. Ulat muda (instar I-III) mati dalam dua
hari, sedangkan ulat tua (instar IV-VI) mati dalam 4-9 hari setelah
polihedra tertelan (Arifin, 1988).
Masa infeksi NPV hingga larva yang terserang mati dipengaruhi oleh
banyak faktor di antaranya umur larva, suhu, jenis virus dan jenis
serangga inang. Strain virus yang lebih virulen (ganas) dapat
mematikan larva dalam 2–5 hari, tetapi strain yang kurang virulen
membutuhkan 2–3 minggu untuk mematikan inangnya. Infeksi juga
dapat terjadi pada larva yang baru menetas akibat telur yang
terinfeksi. Hal ini karena larva yang baru menetas harus makan korion
untuk keluar. Apabila korion yang mengandung NPV masuk ke dalam
tubuh larva dan menginfeksi inang maka kematian akan terjadi 1–2
hari kemudian. Prinsipnya NPV hanya melekat pada korion telur oleh
karena itu NPV tidak dapat merusak atau mematikan embrio di dalam
telur.
Aplikasi Biopestisida SlNPV dalam bentuk suspensi cair maupun
dalam bentuk tepung (wettable powder, WP), diaplikasikan
sebagaimana aplikasi insektisida kimia, yaitu dengan menggunakan
alat semprot konvensional maupun sprayer gendong/knapsack.
Volume semprot yang digunakan selama aplikasi yaitu 300 l/ha.
Aplikasi dianjurkan pada sore hari kurang lebih pukul 15.00–16.00
(Bedjo, 2004).
b) Cendawan Entomopathogen (Beauveria bassiana)
Salah satu cendawan entomopatogen yang sangat potensial untuk
mengendalikan beberapa spesies serangga hama adalah Beauveria
bassiana (Balsamo) Vuillemin. Cendawan ini dilaporkan sebagai
agensi hayati yang sangat efektif mengendalikan sejumlah spesies
serangga hama termasuk rayap, kutu putih, dan beberapa jenis
kumbang. Spesies dari genus Beauveria (Moniliales ; Moniliaeceae)
telah dilaporkan menghasilkan metabolit sekunder seperti bassianin,
bassiacridin, beauvericin, bassianolide, beauverolides, tenellin dan
oosporein yang dapat melumpuhkan dan menyebabkan kematian
serangga.
Mekanisme penetrasi biopestisida uji dimulai dengan pertumbuhan
konidia pada integumen. Untuk selanjutnya hifa cendawan ini
mengeluarkan enzim seperti lipolitik, proteolitik dan khitinase yang
menyebabkan hidrolisis integumen serangga yang tersusun dari
protein dan khitin. Selanjutnya Riatno dan Santoso (1991) dalam
Hasnah et al., (2012) menyatakan bahwa B. bassiana setelah berhasil
masuk ke dalam tubuh serangga akan mengeluarkan toksin
beauverisin yang membuat kerusakan jaringan tubuh serangga, 2 hari
kemudian serangga akan mati dan miselia cendawan akan tumbuh ke
seluruh bagian tubuh serangga. Gejala awal infeksi B. bassiana pada
serangga adalah serangga tidak makan, gerakan lemah, bergerak tidak
menentu atau kehilangan gerak (Steinhaus, 1967 dalam Hasnah et
al.,2012).
Beauveria bassiana bekerja tidak langsung mematikan serangga hama
tetapi bersifat menghambat perkembangan serangga hama. Serangga
hama yang telah kontak dengan larutan B. bassiana akan terhambat
pertumbuhan dan perkembangannya dan setelah serangga ditumbuhi
dengan hifa dari cendawan B. bassiana, maka serangga akan
mengalami kematian.
Cendawan entomopatogen B. bassiana mampu menginfeksi telur
kepik hijau, mulai telur yang baru diletakkan imago (0 hari) hingga
umur enam hari. Telur kepik hijau yang terinfeksi B. bassiana
ditumbuhi miselium cendawan yang berwarna putih pada bagian
permukaan atas. Miselium cendawan tumbuh pada permukaan kulit
telur (chorion) tiga hari setelah aplikasi. Pada awal infeksi, ditandai
dengan miselium tumbuh pada permukaan bagian atas, namun setelah
telur berumur tujuh hari maka seluruh permukaan korion dipenuhi
oleh miselium yang berwarna putih. Pada perkembangan lebih lanjut
koloni miselium B. bassiana menyelimuti seluruh permukaan telur,
akhirnya telur tidak mampu menetas (Prayogo, 2012). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa semakin muda umur telur kepik hijau yang
disemprot dengan cendawan B. bassiana, semakin rentan terhadap
infeksi cendawan sehingga semakin banyak jumlah telur yang tidak
mampu menetas. Jumlah telur kepik hijau yang tidak menetas akibat
infeksi B. bassiana terbanyak terjadi pada perlakuan telur yang baru
diletakkan imago (0 hari), yaitu hingga mencapai 96%. Meskipun
demikian, perlakuan tersebut tidak berbeda nyata dengan perlakuan
telur kepik hijau yang berumur satu dan dua hari, yaitu masing-masing
94% dan 93%. Cendawan B. Bassiana juga toksik terhadap telur kepik
hijau yang berumur lima dan enam hari, hal ini ditandai dengan
jumlah telur yang tidak menetas akibat infeksi cendawan tersebut
mencapai 81%. Telur yang berumur lima dan enam hari sebetulnya
sudah terbentuk embrio yang akan menetas dalam rentang waktu satu
hingga dua hari. Hal ini didasarkan pada penelitian pendahuluan
menunjukkan bahwa telur kepik hijau yang normal (tanpa infeksi
cendawan) akan menetas pada umur tujuh hari setelah diletakkan
imago. Kegagalan penetasan telur pada perlakuan tersebut diduga
korion sebagian sudah terbuka pada bagian ujungnya sehingga
suspensi konidia yang diaplikasikan langsung menginfeksi embrio.
Sementara itu, jumlah telur kepik hijau yang tidak menetas terendah
terjadi pada perlakuan kontrol (tanpa aplikasi) yaitu 1%. Cendawan B.
bassiana sangat toksik terhadap telur kepik hijau karena mampu
menggagalkan penetasan telur berkisar 81-96%. Meskipun telur kepik
hijau yang terinfeksi cendawan B. bassiana masih mampu menetas,
namun akhirnya nimfa yang terbentuk juga tidak dapat
melangsungkan hidupnya menjadi serangga dewasa. Hal ini
disebabkan nimfa I banyak yang mengalami gagal ganti kulit
(moulting) sehingga tidak dapat berkembang menjadi nimfa II.
Dengan demikian, nimfa yang berhasil menjadi imago sangat rendah
sehingga pengendalian kepik hijau pada stadia telur menggunakan
cendawan B. bassiana dinilai cukup efektif. Hal ini terjadi karena
perkembangan populasi hama tersebut di lapangan diprediksi dapat
ditekan pada stadia lebih awal sebelum serangga berkembang lebih
lanjut sehingga perkembangan serangga selanjutnya menjadi sangat
tertekan.
Telur kepik hijau yang terinfeksi cendawan B. bassiana pada berbagai
umur setelah diletakkan imago mengalami keterlambatan dalam
penetasan berkisar antara satu sampai tiga hari. Keterlambatan
penetasan telur kepik hijau yang terinfeksi cendawan B. bassiana
tidak berbeda nyata dari masing-masing perlakuan umur. Telur yang
baru diletakkan imago (0 hari) mengalami terlambat menetas selama
tiga hari, sedangkan telur yang berumur satu hari akan terlambat
menetas selama dua hari. Telur kepik hijau yang berumur tiga, empat,
lima dan enam hari setelah diletakkan imago apabila terinfeksi
cendawan B. bassiana akan terlambat menetas hanya satu hari.
Meskipun keterlambatan penetasan telur kepik hijau yang terinfeksi
cendawan B. Bassiana tidak berpengaruh nyata dari masing-masing
perlakuan umur telur. Namun bergesernya waktu penetasan telur
sangat berarti bagi keselamatan biji kedelai apabila terjadi di
lapangan. Keadaan ini disebabkan pertumbuhan biji kedelai terus
mengalami penuaan, sementara itu perkembangan kepik hijau agak
terhambat karena waktu penetasan juga terlambat sehingga
perkembangan serangga tidak sinkron dengan perkembangan biji.
Dengan demikian, biji yang mengalami pengerasan pada struktur kulit
maupun isinya tidak dapat ditusuk oleh stilet kepik hijau karena
artikulasi (stilet) belum terbentuk secara optimal. Hasil penelitian
Prayogo (2009) mengindikasikan bahwa telur kepik coklat Riptortus
linearis yang terinfeksi cendawan entomopatogen Lecanicillium
lecanii (Zare & Gams) akan mengalami kelambatan menetas sekitar
enam hari sehingga ini sangat menguntungkan bagi keselamatan
polong kedelai di lapangan. Hal ini disebabkan perkembangan polong
kedelai tidak sesuai dengan perkembangan nimfa yang akan menjadi
imago. Polong kedelai yang sudah mengalami penuaan tidak disukai
oleh kepik coklat karena stilet tidak mampu menembus lapisan kulit
polong.
Nimfa kepik hijau yang mati terinfeksi B. bassiana setelah tujuh hari
tampak terjadi kolonisasi miselium cendawan yang berwarna putih
menyelimuti seluruh tubuh sehingga kelihatan berbentuk seperti
mumi. Kolonisasi pada tubuh serangga tersebut berisi kumpulan
miselium dan kumpulan konidia sebagai organ infektif untuk
distribusi atau penyebaran patogen pada suatu lokasi. Semakin cepat
kolonisasi terjadi pada tubuh inang, semakin banyak produksi konidia
sebagai organ infektif yang dihasilkan oleh cendawan sebagai agens
hayati. Dengan demikian, peluang terjadi distribusi cendawan dari
serangga mati ke inang baru (serangga sehat) semakin cepat sehingga
lebih cepat dalam menyebabkan epizooti dan akhirnya peledakan
hama pada suatu lokasi sulit akan terjadi (Verghese & Sreedevi 2006;
Ganga-Visalakshy et al. 2010; Rios-Velasco et al. 2010 dalam
Koswanudin, Dodin dan Wahyono, Tri. 2014).
c) Trichoderma sp
Rhizoctonia solani merupakan salah satu jenis jamur patogen yang
banyak menyerang tanaman kedelai. Jamur ini menyebabkan penyakit
busuk akar. Penggunaan mikroorganisme yang bersifat antagonis
terhadap Rhizoctonia solani telah dikembangkan sebagai salah satu
metode alternatif untuk pengendalian jamur patogen. Salah satu jamur
antagonis tersebut adalah Trichoderma (Baker and Cook, et al. 1992
dalam Andayaningsih, 2002).
Trichoderma sp adalah cendawan saprofit tanah yang secara alami
merupakan parasit yang menyerang banyak jenis cendawan penyebab
penyakit tanaman (spektrum pengendalian luas). Trichoderma sp dapat
menjadi hiperparasit pada beberapa jenis cendawan penyebab penyakit
tanaman. Pertumbuhannya sangat cepat dan tidak menjadi penyakit untuk
tanaman. Mekanisme antagonis yang dilakukan adalah berupa persaingan
hidup, parasitisme, antibiosis dan lisis.
Trichoderma sp mengeluar-kan antibiotik dari senyawa viridiol
phytotoxin yang dapat menghambat perkembangan patogen, memarasit
patogen dengan penetrasi langsung dan juga lebih cepat dalam memper-
gunakan O2, air dan nutrisi sehingga mampu bersaing dengan patogen.
Inokulasi Trichoderma spp. pada tanah dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman kedelai, mengurangi serangan patogen terhadap
akar, meningkatkan persentase perkecambahan benih kedelai dan
mengurangi jumlah tanaman yang terserang penyakit (Chamzurni,
Tjut dkk; 2011)
d) Cendawan Entomopathogen
Cendawan entomopathogen yang digunakan untuk mengendalikan
hama penghisap polong kedelai antara lain ada cendawan Verticillium
lecanii dan cendawan Paecilomyces fumosoroseus.
Menurut Prayogo (2006), cendawan Paecilomyces fumosoroseus
merupakan salah satu cendawan yang cukup efektif untuk
mengendalikan hama pengisap polong kedelai R. linearis terutama
pada stadia telur. Telur R. linearis yang terinfeksi cendawan P.
fumosoroseus umumnya tidak mampu menetas. Dilaporkan lebih
lanjut bahwa, telur R. linearis yang berhasil menetas menjadi nimfa
instar I selanjutnya tidak dapat bermetamorfosis menjadi nimfa instar
II. Hal ini disebabkan cendawan sudah menginfeksi jaringan tubuh
serangga, namun serangga belum mengalami kematian atau cendawan
mengalami fase. Fase lag yang dialami cendawan entomopatogen
biasanya terjadi apabila lingkungan kurang menguntungkan.
Cendawan Verticillium lecanii efektif dapat mematikan hama
pengisap polong kedelai Riptortus linearis yang sebanding dengan
insektisida deltametrin (Prayogo, 2006). Cendawan Verticillium
lecanii merupakan salah satu jenis cendawan yang dikatakan paling
efektif untuk mengendalikan hama pengisap polong kedelai.
Keefektifan terlihat dari mortalitas imago R. linearis hingga mencapai
81%. Keefektifan cendawan juga terlihat dari kerusakan polong yang
setara dengan akibat aplikasi insektisida deltametrin. Selain efektif
terhadap R. linearis, V. lecanii juga efektif untuk mengendalikan kutu
daun (Hall, 1981). Selanjutnya Cloyd (2003) juga melaporkan bahwa
cendawan V. lecanii merupakan salah satu agens hayati yang efektif
untuk mengendalikan hama pengisap polong kacang-kacangan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai implementasi pengendalian hayati
pada tanaman kedelai maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa hama penting
pada tanaman kedelai yaitu Lalat kacang (Ophiomyia Phaseoli), Penggerek
Polong Kedelai, Ulat Grayak (Spodoptera litura), Aphis (Aphis Glycine),
Kepik Hijau (Nezara Viridula), Lalat Pucuk (Melanagromyza dolicostigma),
Kutu Bemisia (Bemisia tabaci), Ulat Helicoverpa (Heliothis), Kepik Polong
(Riptortus linearis), Kepik Piezodorus, serta terdapat penyakit Busuk Akar.
Dari beberapa hama tersebut maka dapat dikendalikan dengan beberapa jenis
musuh alami seperti predator, parasitoid, pathogen virus, maupun cendawan
entomopathogen. Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan syarat bahwa
tingkat kerusakan tanaman kedelai akibat serangan hama dan penyakit masih
di bawah batas ambang ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA

Andayaningsih, Poniah. 2002. Kemampuan Trichoderma spp. Dalam


Pengendalian Patogenitas Rhizoctonia solani Pada Tanaman Kedelai.
Jurnal Bionatura. Vol. 4, No. 1, Maret 2002 : 1 – 8

Arifin, M. 1988. Pengaruh konsentrasi dan volume Nuclear Polyhedrosis Virus


terhadap kematian ulat grayak kedelai Spodoptera litura F. Penelitian
Pertanian 8(1): 12–14.

Arifin, M. dan W.I.S. Waskito. 1986. Kepekaan ulat grayak kedelai (Spodoptera
litura) terhadap Nuclear Polyhidrosis Virus. Seminar Hasil Penelitian
Tanaman Pangan, Puslitbangtan. Sukamandi, 16– 18 Januari 1986. J.
Palawija: 74–78.

Bedjo. 2004. Pemanfaatan Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV)


Untuk Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura Fabricius) Pada
Tanaman Kedelai. Bul. Palawija. No. 7 & 8: 1–9 (2004).

Chamzurni, Tjut., Sriwati., Rina dan Selian, Rahel. 2011. Efektivitas Dosis Dan
Waktu Aplikasi Trichoderma Virens Terhadap Serangan Sclerotium Rolfsii
Pada Kedelai. J. Floratek 6: 62 – 73

Hall, R.A. 1981. The Fungus Verticillium Lecanii As A Microbial Insecticide


Against Aphids And Scales. p.483-498. In: Microbial control of pests and
plant diseases. London: Academic Press.

Hasnah, Susanna, dan S Husin. 2012. Keefektifan Cendawan Beauveria Bassiana


Vuill terhadap Mortalitas Kepik Hijau Nezara Viridula L. pada Stadia
Nimfa dan Imago. J. Floratek 7: 13-24.

Herlina, Lina. 2012. Potensi Parasitoid Hymenoptera Pembawa PDV Sebagai


Agens Biokontrol Hama. J. Litbang Pert. Vol. 31 No. 4 Hlm: 129-141

Koswanudin, Dodin dan Wahyono, Tri. 2014. Keefektifan Bioinsektisida


Beauveria Bassiana Terhadap Hama Wereng Batang Coklat (Nilaparvata
Lugens), Walang Sangit (Leptocorisa Oratorius), Pengisap Polong
(Nezara Viridula) Dan (Riptortus Linearis). Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Organik.

Marwoto. 2010. Prospek Parasitoid Trichogrammatoidea Bactrae-Bactrae


Nagaraja (Hymenoptera) Sebagai Agens Hayati Pengendali Hama
Penggerek Polong Kedelai Etiella Spp. Pengembangan Inovasi Pertanian
3(4), 2010: 274-288
Prayogo, Yusmani. 2006. Sebaran Dan Efikasi Berbagai Genus Cendawan
Entomopatogen Terhadap Riptortus Linearis Pada Kedelai Di Lampung
Dan Sumatra Selatan. J. HPT Tropika. Vol. 6, No. 1: 14 – 22

Radiyanto, Indriya., Sodiq, Mochammad., dan Nurcahyani, Noeng M. 2010.


Keanekaragaman Serangga Hama dan Musuh Alami pada Lahan
Pertanaman Kedelai di Kecamatan Balong-Ponorogo. J. Entomol. Indon.,
September 2010, Vol. 7, No. 2, 116-121

Santi, Marida dan Yusmani, Prayogo. 2012 Dampak Aplikasi Cendawan


Entomopatogen Lecanicillium Lecanii Terhadap Kelangsungan Hidup
Predator Oxyopes Javanus. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman
Aneka Kacang dan Umbi 2012

Untung K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gajah


Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai