Disusun oleh :
Khanshadella Guska Dara 134150087
Siti Dailah 134150175
Oktaviani Puspita Sari 134150182
A. Latar Belakang
Dalam pertanian, hama adalah organisme pengganggu tanaman yang
menimbulkan kerusakan secara fisik, dan ke dalamnya praktis adalah semua
hewan yang menyebabkan kerugian dalam pertanian. Serangga termasuk
bagian dari hama yang merupakan kelompok organisme yang paling beragam
jenis dan selalu mendominasi populasi mahluk hidup di muka bumi, baik
yang hidup di bawah,pada dan di atas permukaan tanah. Oleh karena itu
hampir semua jenis tanaman baik yang dibudidayakan maupun yang
berfungsi sebagai gulma selalu diganggu oleh kehadiran serangga hama
tersebut. Dengan demikian dalam proses produksi, masalah hama tersebut
tidak bisa diabaikan, karena akan mempengaruhi produksi secara kualitatif
maupun kuantitatif dan mampu merurunkan produksi sebesar 20,7%, bahkan
menyebabkan kegagalan panen, kalau tidak dilakukan pengendalian secara
efektif.
Kedelai (Glycine max (L) Merill) merupakan salah satu komoditas
tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia karena termasuk ke dalam
daftar komoditas pangan. Permintaan kedelai untuk perindustrian dan
konsumsi masyarakat terus meningkat, akan tetapi produksi kedelai
mengalami penurunan. Salah satu faktor dominan penyebab rendahnya
produktivitas tanaman kedelai adalah faktor penghambat dalam budi daya
tanaman kedelai yakni hama dan patogen yang menyerang tanaman kedelai.
Ada kurang lebih 111 jenis hama kedelai yang telah diketahui di lndonesia,
beberapa diantaranya merupakan hama penting serta penyakit yang sering
menyerang tanaman kedelai seperti; Lalat kacang (Ophiomyia Phaseoli),
Penggerek polong kedelai, Ulat Grayak (Spodoptera litura), Aphis (Aphis
Glycine), Kepik Hijau (Nezara Viridula), Lalat Pucuk (Melanagromyza
dolicostigma), Kutu Bemisia (Bemisia tabaci), Ulat Helicoverpa (Heliothis),
Kepik Polong (Riptortus linearis), Kepik Piezodorus, Penyakit Busuk Akar.
Hama dan penyakit dapat menurunkan kualitas serta kuantitas dari tanaman
kedelai sehingga perlu untuk dikendalikan. Namun pengendalian secara
hayati lebih diutamakan terlebih dahulu sebelum mencapai ambang ekonomi
agar lingkungan tidak tercemar akibat dari pengendalian kimia. Pengendalian
hayati juga diutamakan karena lebih aman bagi lingkungan serta manusia.
Maka dari itu dalam makalah ini akan membahas mengenai implementasi
pengendalian hayati pada tanaman kedelai dengan menggunakan berbagai
macam agen hayati.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja hama penting dan penyakit yang menyerang tanaman kedelai?
2. Agensia hayati apa saja yang dapat mengendalikan hama penting serta
penyakit pada tanaman kedelai
C. Tujuan
1. Mengetahui beberapa macam hama penting dan penyakit yang menyerang
tanaman kedelai.
2. Mengetahui agensia hayati yang berperan dalam pengendalian hama
penting dan penyakit pada tanaman kedelai.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tanaman Kedelai
Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi
bahan dasar banyak makanan dari Asia Timur seperti kecap, tahu, dan tempe.
Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyaknabati dunia.
Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua spesies:
Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning, agak
putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam). Kedelai
dibudidayakan di lahan sawah maupunlahan kering (ladang). Sistematika
tanaman kedelai yaitu;
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Genus : Glycine
Spesies : Glycine max (L.) Merr.
Tanaman dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah asal drainase (tata
air) dan aerasi (tata udara) tanah cukup baik, curah hujan 100-400 mm/bulan,
suhu udara 230C - 300C, kelembaban 60% - 70%, pH tanah 5,8 - 7 dan
ketinggian kurang dari 600 m dpl.
B. Hama Tanaman Kedelai
Pada pertanaman kedelai sering dijumpai hama utama yang
menyebabkan kerugian banyak pada tanaman kedelai. Beberapa hama dan
penyakit yang sering menyerang tanaman kedelai antara lain; Lalat kacang
(Ophiomyia Phaseoli), Penggerek Polong Kedelai, Ulat Grayak (Spodoptera
litura), Aphis (Aphis Glycine), Kepik Hijau (Nezara Viridula), Lalat Pucuk
(Melanagromyza dolicostigma), Kutu Bemisia (Bemisia tabaci), Ulat
Helicoverpa (Heliothis), Kepik Polong (Riptortus linearis), Kepik
Piezodorus, Penyakit Busuk Akar.
1. Lalat Kacang (Ophiomyia Phaseoli)
Lalat bibit kacang menyerang sejak tanaman muda muncul ke
permukaan tanah hingga tanaman umur 10 hari. Lalat betina meletakkan
telur pada tanaman muda yang baru tumbuh. Telur diletakkan di dalam
lubang tusukan antara epidermis atas dan bawah keping biji atau
disisipkan dalamm jaringan mesofil dekat pangkal keping biji atau
pangkal helai daun pertama dan kedua. Telurnya bewarna putih seperti
mutiara dan berbentuk lonjong dengan ukuran panjang 0,31 mm dan lebar
0,5 mm. Setelah dua hari, telur menetas dan keluar larva. Larva masuk ke
dalam keping biji atau pangkal helai daun pertama dan kedua, kemudian
membuat lubang gerekan. Selanjutnya larva menggerek batang dan
berubah bentuk menjadi kepompong. Pada pertumbuhan penuh, panjang
larva mencapai 3,75 mm. Kepompong mula – mula bewarna kuning
kemudian berubah menjadi kecoklatan.
Serangan lalat kacang ditandai oleh adanya bintik – bintik putih
pada keping biji, daun pertama atau kedua. Bintik – bintik tersebut adalah
bekas tusukan alat peletak telur ( ovipositor ) dari lalat kacang betina.
2. Parasitoid
a) Famili Braconidae
Serangga parasitoid yang banyak dijumpai pada agroekosistem
kedelai tergolong famili Eulophidae, Braconidae, dan Pteromalidae.
Parasitoid dari famili Braconidae diketahui sebagai musuh alami bagi
larva dari hama Spodoptera litura. Parasitoid pembawa PDV adalah
kelompok parasitoid dari Braconidae (ordo Hymenoptera) yang
memiliki PDV sebagai simbion obligat dalam saluran reproduksi
betinanya. Polydnavirus (PDV) pertama kali diketahui pada akhir
1960-an, ketika para ilmuwan tertarik untuk mengamati telur
parasitoid Braconidae dan Ichneumonidae yang diisolasi dari saluran
reproduksi (ovipositor) serangga tersebut. Berdasarkan pengamatan
saluran reproduksi secara lateral, selain telur, mereka juga
menemukan cairan pekat yang berwarna kebiruan. Cairan tersebut
tersusun atas partikel partikel yang memiliki struktur mirip virus, atau
kemudian disebut virus-like particles (VLPs) (Beckage 2008). PDV
berperan sebagai tameng yang melindungi telur parasitoid dari sistem
kekebalan serangga inang serta memodifikasi fisiologis serangga
inang sedemikian rupa sehingga memungkinkan parasitoid
berkembang di dalam tubuh inangnya (Herlina, Lina. 2012).
b) Tricogamma
Pemanfaatan parasitoid Trichogramma efektif mengendalikan hama
penggerek polong Etiella. Spesies parasitoid Trichogramma untuk
pengendalian hama penggerek polong kedelai adalah
Trichogrammatoidea bactrae-bactrae. Waktu pelepasan yang efektif
pada pagi hari jam 06.00 WIB, letak pias 20 cm di atas kanopi daun
kedelai. Dengan cara pelepasan seperti itu, daya sebar parasitoid dapat
mencapai radius 50 m. Jumlah parasitoid yang efektif adalah 250.000
ekor/ha yang dilepas sebanyak tiga kali dengan selang satu minggu
pada saat pertumbuhan tanaman fase generatif. Faktor yang
menentukan keberhasilan parasitisasi adalah inang yang sesuai
sehingga bila telah terjadi parasitisasi pada telur inang, keberhasilan
parasitoid menjadi imago cukup besar. Apabila spesies parasitoid
yang berhasil memarasit telur inang dapat menjadi imago dan
dipelihara secara terus-menerus pada telur E. zinckenella, daya
parasitisasinya kemungkinan akan meningkat. Hal ini karena spesies
parasitoid mampu beradaptasi pada telur E. zinckenella dan mengenal
inangnya dengan baik sehingga meningkatkan daya parasitisasinya
(Marwoto, 2010).
3. Pathogen
a) Pathogen Virus
Pemanfaatan NPV sebagai agens hayati sangat efektif untuk
mengendalikan S. litura. Saat ini telah diperoleh isolat SlNPV, yaitu
isolat JTM972c yang diketahui efektif mengendalikan S. litura pada
tanaman kedelai, setara dengan insektisida lamda sihalotrin. Sifat-sifat
biologis dari NPV ini yaitu Virion NPV berbentuk batang, berada
dalam inclusion bodies yang disebut polihedra. Polihedra berbentuk
kristal bersegi banyak, berada dalam inti sel dari hemolimfa, badan
lemak, hipodermis, dan matriks trakea. Ulat yang menelan polihedra
tampak berminyak dengan warna tubuh pucat kemerahan, kemudian
mati menggantung dalam posisi terbalik dengan tungkai semu bagian
akhir melekat pada tanaman. Ulat muda (instar I-III) mati dalam dua
hari, sedangkan ulat tua (instar IV-VI) mati dalam 4-9 hari setelah
polihedra tertelan (Arifin, 1988).
Masa infeksi NPV hingga larva yang terserang mati dipengaruhi oleh
banyak faktor di antaranya umur larva, suhu, jenis virus dan jenis
serangga inang. Strain virus yang lebih virulen (ganas) dapat
mematikan larva dalam 2–5 hari, tetapi strain yang kurang virulen
membutuhkan 2–3 minggu untuk mematikan inangnya. Infeksi juga
dapat terjadi pada larva yang baru menetas akibat telur yang
terinfeksi. Hal ini karena larva yang baru menetas harus makan korion
untuk keluar. Apabila korion yang mengandung NPV masuk ke dalam
tubuh larva dan menginfeksi inang maka kematian akan terjadi 1–2
hari kemudian. Prinsipnya NPV hanya melekat pada korion telur oleh
karena itu NPV tidak dapat merusak atau mematikan embrio di dalam
telur.
Aplikasi Biopestisida SlNPV dalam bentuk suspensi cair maupun
dalam bentuk tepung (wettable powder, WP), diaplikasikan
sebagaimana aplikasi insektisida kimia, yaitu dengan menggunakan
alat semprot konvensional maupun sprayer gendong/knapsack.
Volume semprot yang digunakan selama aplikasi yaitu 300 l/ha.
Aplikasi dianjurkan pada sore hari kurang lebih pukul 15.00–16.00
(Bedjo, 2004).
b) Cendawan Entomopathogen (Beauveria bassiana)
Salah satu cendawan entomopatogen yang sangat potensial untuk
mengendalikan beberapa spesies serangga hama adalah Beauveria
bassiana (Balsamo) Vuillemin. Cendawan ini dilaporkan sebagai
agensi hayati yang sangat efektif mengendalikan sejumlah spesies
serangga hama termasuk rayap, kutu putih, dan beberapa jenis
kumbang. Spesies dari genus Beauveria (Moniliales ; Moniliaeceae)
telah dilaporkan menghasilkan metabolit sekunder seperti bassianin,
bassiacridin, beauvericin, bassianolide, beauverolides, tenellin dan
oosporein yang dapat melumpuhkan dan menyebabkan kematian
serangga.
Mekanisme penetrasi biopestisida uji dimulai dengan pertumbuhan
konidia pada integumen. Untuk selanjutnya hifa cendawan ini
mengeluarkan enzim seperti lipolitik, proteolitik dan khitinase yang
menyebabkan hidrolisis integumen serangga yang tersusun dari
protein dan khitin. Selanjutnya Riatno dan Santoso (1991) dalam
Hasnah et al., (2012) menyatakan bahwa B. bassiana setelah berhasil
masuk ke dalam tubuh serangga akan mengeluarkan toksin
beauverisin yang membuat kerusakan jaringan tubuh serangga, 2 hari
kemudian serangga akan mati dan miselia cendawan akan tumbuh ke
seluruh bagian tubuh serangga. Gejala awal infeksi B. bassiana pada
serangga adalah serangga tidak makan, gerakan lemah, bergerak tidak
menentu atau kehilangan gerak (Steinhaus, 1967 dalam Hasnah et
al.,2012).
Beauveria bassiana bekerja tidak langsung mematikan serangga hama
tetapi bersifat menghambat perkembangan serangga hama. Serangga
hama yang telah kontak dengan larutan B. bassiana akan terhambat
pertumbuhan dan perkembangannya dan setelah serangga ditumbuhi
dengan hifa dari cendawan B. bassiana, maka serangga akan
mengalami kematian.
Cendawan entomopatogen B. bassiana mampu menginfeksi telur
kepik hijau, mulai telur yang baru diletakkan imago (0 hari) hingga
umur enam hari. Telur kepik hijau yang terinfeksi B. bassiana
ditumbuhi miselium cendawan yang berwarna putih pada bagian
permukaan atas. Miselium cendawan tumbuh pada permukaan kulit
telur (chorion) tiga hari setelah aplikasi. Pada awal infeksi, ditandai
dengan miselium tumbuh pada permukaan bagian atas, namun setelah
telur berumur tujuh hari maka seluruh permukaan korion dipenuhi
oleh miselium yang berwarna putih. Pada perkembangan lebih lanjut
koloni miselium B. bassiana menyelimuti seluruh permukaan telur,
akhirnya telur tidak mampu menetas (Prayogo, 2012). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa semakin muda umur telur kepik hijau yang
disemprot dengan cendawan B. bassiana, semakin rentan terhadap
infeksi cendawan sehingga semakin banyak jumlah telur yang tidak
mampu menetas. Jumlah telur kepik hijau yang tidak menetas akibat
infeksi B. bassiana terbanyak terjadi pada perlakuan telur yang baru
diletakkan imago (0 hari), yaitu hingga mencapai 96%. Meskipun
demikian, perlakuan tersebut tidak berbeda nyata dengan perlakuan
telur kepik hijau yang berumur satu dan dua hari, yaitu masing-masing
94% dan 93%. Cendawan B. Bassiana juga toksik terhadap telur kepik
hijau yang berumur lima dan enam hari, hal ini ditandai dengan
jumlah telur yang tidak menetas akibat infeksi cendawan tersebut
mencapai 81%. Telur yang berumur lima dan enam hari sebetulnya
sudah terbentuk embrio yang akan menetas dalam rentang waktu satu
hingga dua hari. Hal ini didasarkan pada penelitian pendahuluan
menunjukkan bahwa telur kepik hijau yang normal (tanpa infeksi
cendawan) akan menetas pada umur tujuh hari setelah diletakkan
imago. Kegagalan penetasan telur pada perlakuan tersebut diduga
korion sebagian sudah terbuka pada bagian ujungnya sehingga
suspensi konidia yang diaplikasikan langsung menginfeksi embrio.
Sementara itu, jumlah telur kepik hijau yang tidak menetas terendah
terjadi pada perlakuan kontrol (tanpa aplikasi) yaitu 1%. Cendawan B.
bassiana sangat toksik terhadap telur kepik hijau karena mampu
menggagalkan penetasan telur berkisar 81-96%. Meskipun telur kepik
hijau yang terinfeksi cendawan B. bassiana masih mampu menetas,
namun akhirnya nimfa yang terbentuk juga tidak dapat
melangsungkan hidupnya menjadi serangga dewasa. Hal ini
disebabkan nimfa I banyak yang mengalami gagal ganti kulit
(moulting) sehingga tidak dapat berkembang menjadi nimfa II.
Dengan demikian, nimfa yang berhasil menjadi imago sangat rendah
sehingga pengendalian kepik hijau pada stadia telur menggunakan
cendawan B. bassiana dinilai cukup efektif. Hal ini terjadi karena
perkembangan populasi hama tersebut di lapangan diprediksi dapat
ditekan pada stadia lebih awal sebelum serangga berkembang lebih
lanjut sehingga perkembangan serangga selanjutnya menjadi sangat
tertekan.
Telur kepik hijau yang terinfeksi cendawan B. bassiana pada berbagai
umur setelah diletakkan imago mengalami keterlambatan dalam
penetasan berkisar antara satu sampai tiga hari. Keterlambatan
penetasan telur kepik hijau yang terinfeksi cendawan B. bassiana
tidak berbeda nyata dari masing-masing perlakuan umur. Telur yang
baru diletakkan imago (0 hari) mengalami terlambat menetas selama
tiga hari, sedangkan telur yang berumur satu hari akan terlambat
menetas selama dua hari. Telur kepik hijau yang berumur tiga, empat,
lima dan enam hari setelah diletakkan imago apabila terinfeksi
cendawan B. bassiana akan terlambat menetas hanya satu hari.
Meskipun keterlambatan penetasan telur kepik hijau yang terinfeksi
cendawan B. Bassiana tidak berpengaruh nyata dari masing-masing
perlakuan umur telur. Namun bergesernya waktu penetasan telur
sangat berarti bagi keselamatan biji kedelai apabila terjadi di
lapangan. Keadaan ini disebabkan pertumbuhan biji kedelai terus
mengalami penuaan, sementara itu perkembangan kepik hijau agak
terhambat karena waktu penetasan juga terlambat sehingga
perkembangan serangga tidak sinkron dengan perkembangan biji.
Dengan demikian, biji yang mengalami pengerasan pada struktur kulit
maupun isinya tidak dapat ditusuk oleh stilet kepik hijau karena
artikulasi (stilet) belum terbentuk secara optimal. Hasil penelitian
Prayogo (2009) mengindikasikan bahwa telur kepik coklat Riptortus
linearis yang terinfeksi cendawan entomopatogen Lecanicillium
lecanii (Zare & Gams) akan mengalami kelambatan menetas sekitar
enam hari sehingga ini sangat menguntungkan bagi keselamatan
polong kedelai di lapangan. Hal ini disebabkan perkembangan polong
kedelai tidak sesuai dengan perkembangan nimfa yang akan menjadi
imago. Polong kedelai yang sudah mengalami penuaan tidak disukai
oleh kepik coklat karena stilet tidak mampu menembus lapisan kulit
polong.
Nimfa kepik hijau yang mati terinfeksi B. bassiana setelah tujuh hari
tampak terjadi kolonisasi miselium cendawan yang berwarna putih
menyelimuti seluruh tubuh sehingga kelihatan berbentuk seperti
mumi. Kolonisasi pada tubuh serangga tersebut berisi kumpulan
miselium dan kumpulan konidia sebagai organ infektif untuk
distribusi atau penyebaran patogen pada suatu lokasi. Semakin cepat
kolonisasi terjadi pada tubuh inang, semakin banyak produksi konidia
sebagai organ infektif yang dihasilkan oleh cendawan sebagai agens
hayati. Dengan demikian, peluang terjadi distribusi cendawan dari
serangga mati ke inang baru (serangga sehat) semakin cepat sehingga
lebih cepat dalam menyebabkan epizooti dan akhirnya peledakan
hama pada suatu lokasi sulit akan terjadi (Verghese & Sreedevi 2006;
Ganga-Visalakshy et al. 2010; Rios-Velasco et al. 2010 dalam
Koswanudin, Dodin dan Wahyono, Tri. 2014).
c) Trichoderma sp
Rhizoctonia solani merupakan salah satu jenis jamur patogen yang
banyak menyerang tanaman kedelai. Jamur ini menyebabkan penyakit
busuk akar. Penggunaan mikroorganisme yang bersifat antagonis
terhadap Rhizoctonia solani telah dikembangkan sebagai salah satu
metode alternatif untuk pengendalian jamur patogen. Salah satu jamur
antagonis tersebut adalah Trichoderma (Baker and Cook, et al. 1992
dalam Andayaningsih, 2002).
Trichoderma sp adalah cendawan saprofit tanah yang secara alami
merupakan parasit yang menyerang banyak jenis cendawan penyebab
penyakit tanaman (spektrum pengendalian luas). Trichoderma sp dapat
menjadi hiperparasit pada beberapa jenis cendawan penyebab penyakit
tanaman. Pertumbuhannya sangat cepat dan tidak menjadi penyakit untuk
tanaman. Mekanisme antagonis yang dilakukan adalah berupa persaingan
hidup, parasitisme, antibiosis dan lisis.
Trichoderma sp mengeluar-kan antibiotik dari senyawa viridiol
phytotoxin yang dapat menghambat perkembangan patogen, memarasit
patogen dengan penetrasi langsung dan juga lebih cepat dalam memper-
gunakan O2, air dan nutrisi sehingga mampu bersaing dengan patogen.
Inokulasi Trichoderma spp. pada tanah dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman kedelai, mengurangi serangan patogen terhadap
akar, meningkatkan persentase perkecambahan benih kedelai dan
mengurangi jumlah tanaman yang terserang penyakit (Chamzurni,
Tjut dkk; 2011)
d) Cendawan Entomopathogen
Cendawan entomopathogen yang digunakan untuk mengendalikan
hama penghisap polong kedelai antara lain ada cendawan Verticillium
lecanii dan cendawan Paecilomyces fumosoroseus.
Menurut Prayogo (2006), cendawan Paecilomyces fumosoroseus
merupakan salah satu cendawan yang cukup efektif untuk
mengendalikan hama pengisap polong kedelai R. linearis terutama
pada stadia telur. Telur R. linearis yang terinfeksi cendawan P.
fumosoroseus umumnya tidak mampu menetas. Dilaporkan lebih
lanjut bahwa, telur R. linearis yang berhasil menetas menjadi nimfa
instar I selanjutnya tidak dapat bermetamorfosis menjadi nimfa instar
II. Hal ini disebabkan cendawan sudah menginfeksi jaringan tubuh
serangga, namun serangga belum mengalami kematian atau cendawan
mengalami fase. Fase lag yang dialami cendawan entomopatogen
biasanya terjadi apabila lingkungan kurang menguntungkan.
Cendawan Verticillium lecanii efektif dapat mematikan hama
pengisap polong kedelai Riptortus linearis yang sebanding dengan
insektisida deltametrin (Prayogo, 2006). Cendawan Verticillium
lecanii merupakan salah satu jenis cendawan yang dikatakan paling
efektif untuk mengendalikan hama pengisap polong kedelai.
Keefektifan terlihat dari mortalitas imago R. linearis hingga mencapai
81%. Keefektifan cendawan juga terlihat dari kerusakan polong yang
setara dengan akibat aplikasi insektisida deltametrin. Selain efektif
terhadap R. linearis, V. lecanii juga efektif untuk mengendalikan kutu
daun (Hall, 1981). Selanjutnya Cloyd (2003) juga melaporkan bahwa
cendawan V. lecanii merupakan salah satu agens hayati yang efektif
untuk mengendalikan hama pengisap polong kacang-kacangan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai implementasi pengendalian hayati
pada tanaman kedelai maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa hama penting
pada tanaman kedelai yaitu Lalat kacang (Ophiomyia Phaseoli), Penggerek
Polong Kedelai, Ulat Grayak (Spodoptera litura), Aphis (Aphis Glycine),
Kepik Hijau (Nezara Viridula), Lalat Pucuk (Melanagromyza dolicostigma),
Kutu Bemisia (Bemisia tabaci), Ulat Helicoverpa (Heliothis), Kepik Polong
(Riptortus linearis), Kepik Piezodorus, serta terdapat penyakit Busuk Akar.
Dari beberapa hama tersebut maka dapat dikendalikan dengan beberapa jenis
musuh alami seperti predator, parasitoid, pathogen virus, maupun cendawan
entomopathogen. Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan syarat bahwa
tingkat kerusakan tanaman kedelai akibat serangan hama dan penyakit masih
di bawah batas ambang ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. dan W.I.S. Waskito. 1986. Kepekaan ulat grayak kedelai (Spodoptera
litura) terhadap Nuclear Polyhidrosis Virus. Seminar Hasil Penelitian
Tanaman Pangan, Puslitbangtan. Sukamandi, 16– 18 Januari 1986. J.
Palawija: 74–78.
Chamzurni, Tjut., Sriwati., Rina dan Selian, Rahel. 2011. Efektivitas Dosis Dan
Waktu Aplikasi Trichoderma Virens Terhadap Serangan Sclerotium Rolfsii
Pada Kedelai. J. Floratek 6: 62 – 73