Anda di halaman 1dari 25

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini diperkirakan areal pertanaman jagung pada lahan sawah irigasi dan lahan sawah tadah hujan meningkat masing-masing 1015% dan 2030% terutama pada daerah produksi jagung komersial (Kasryno 2002). Namun kebutuhan jagung untuk pangan dan pakan baik kualitas maupun kuantitas belum terpenuhi sehingga masih impor dari negara lain. Rendahnya hasil jagung disebabkan oleh banyak faktor diantaranya faktor fisik (iklim, jenis tanah dan lahan) dan faktor biologis (varietas, hama, penyakit dan gulma), serta faktor sosial ekonomi. Menurut Baco dan Tandiabang (1988) tidak kurang dari 50 spesies serangga telah diketemukan dapat menyerang tanaman jagung di Indonesia. Hama dan penyakit merupakan kendala dalam peningkatan produksi jagung. Di pertanaman jagung ada beberapa jenis hama yang diantaranya berstatus penting yaitu lalat bibit (Atherigona sp.), ulat tanah (Agrothis sp.), lundi/uret (Phylophaga hellen), penggerek batang jagung (Ostrinia furnacalis), ulat grayak (Spodoptera litura,, Mythimna sp.), penggerek tongkol (Helicoverpa armigera), dan wereng jagung (Peregrinus maydis). Usaha untuk dapat mengendalikan hama jagung tersebut perlu adanya komponen- komponen pengendalian yang efektif terhadap masing-masing hama.

Maka dari itu penting untuk mengetahui karakteristik hama yang menyerang tanaman jagung agar mengetahui bagaimana cara mengendalikan hama jagung secara efektif.

B. Tujuan

Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi hama pada tanaman jagung serta mengetahui cara pengendaliannya.

II.

PEMBAHASAN

Jenis hama yang menyerang tanaman jagung, antara lain: 1. . Lalat bibit (Atherigona sp.) (Ordo : Diptera, Famili : Antomyiidae.) a. Deskripsi Lalat bibit berukuran kecil, telur berbentuk memanjang dan diletakkan pada daun termuda (hypocoty). Setelah 48 jam telur menetas pada waktu malam, tempayak keluar dari telur lalu bergerak cepat menuju titik tumbuh yang merupakanmakanan utamanya. Hama ini mulai menyerang tanaman semenjak tumbuh sampai tanaman berumur sekitar satu bulan. Tempayak lalat bibit menggerek pucuk tanaman dan masuk sampai ke dalam batang. Lalat bibit menyukai tanaman muda yang berumur antara 6 sampai 9 hari setelah tanam (HST) untuk meletakkan telurnya. Pada saat itu tanaman baru berdaun 23 helai dan pada umumnya telur lalat terbanyak diletakkan pada daun pertama (Soejitno et al. 1989). Pada kedalaman tertentu biasanya tempayak ini bergerak lagi kebagian atas tanaman setelah menggerek batang, selanjutnya keluar untuk berpupa di dalam tanah (Iqbal et al. 1988). Pada serangan berat, tanaman jagung dapat menjadi layu ataupun mati dan jika tidak mati pertumbuhannya terhambat (Kalshoven 1981). Lalat bibit cepat berkembang biak dengan pada kelembaban tinggi, oleh karena itu di musim hujan lalat ini merupakan hama utama jagung. Siklus hidupnya berkisar 1525 hari. Seekor lalat bibit betina mampu bertelur 20 25 butir (Kalshoven 1981).

b. Gejala Daun muda yang masih menggulung karena pangkalnya tergerek larva. Larva yang sampai ketitik tumbuh menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh lagi. Daun berubah warna menjadi kekuning-kuningan, di sekitar bekas gigitan atau bagian yang terserang mengalami pembusukan, akhirnya tanaman menjadi layu, pertumbuhan tanaman menjadi kerdil atau mati. c. Pengendalian Hama ini menyerang pada awal pertumbuhan tanaman jagung mulai tumbuh sampai umur tiga minggu (Tandiabang, 2000), maka cara pengendaliannyapun harus sedini mungkin. Varietas tahan terhadap lalat bibit belum dikembangkan di Indonesia. Cara kultur praktis juga belum direkomendasikan. Salah satu cara yang dianjurkan yaitu menggunakan pestisida kimia sistimik berbahan aktif carbofuran dengan takaran 0,12 kg 0,24 kg b.a/ha diberikan melalui tanah bersama biji pada waktu tanam atau diberikan pada kuncup daun umur tanaman satu minggu.

Gambar 1. Lalat bibit.

2. Ulat tanah (Agrotis ipsilon Hwfn.) (Ordo : Lepidoptera, Famili : Noctuidae) a. Deskripsi Ngengat Agrotis ipsilon meletakkan telur satu persatu dalam barisan atau diletakkan rapat pada salah satu permukaan daun pada bagian tanaman dekat dengan permukaan tanah. Seekor ngengat betina dapat bertelur 1800 butir. Stadia telur 67 hari. Larva muda bersifat fototaksis, sedang larva yang lebih tua bersifat geotaksis sehingga pada siang hari bersembunyi di dalam tanah dan muncul kembali untuk makan pada malam hari. Satu generasi dapat berlangsung 46 minggu. b. Gejala Gejala yang dialami pada bagian batang yang masih muda yaitu putus akhirnya tanaman jagung mati. Agrotis sp. melakukan penyerangan pada malam dan siang hari. c. Pengendalian Cara pengendalian hama ini yaitu dengan melakukan tanam serentak, dapat pula dilakukan penggenangan. Pengendalian ulat dapat juga dengan insektisida Dursban 20 EC, dengan dosis 2 ml tiap 1 liter air. Tiap hectare dapat digunakan 500 liter larutan.

Gambar 2. Hama ulat tanah. 3. Lundi (uret) (Phyllophaga hellen) (Ordo: Coleoptera, Famili: Scarabaeidae) a. Deskripsi Kumbang muncul atau terbang setelah ada hujan pertama yang cukup lebat sehingga menyebabkan tanah cukup lembab. Telur diletakkan satu persatu di dalam tanah. Stadium telur 10-11 hari. Stadium larva aktif 5,5 bulan dan larva tidak aktif sekitar 40 hari. Larva menyerang tanaman jagung dibagian perakaran, sehingga mengakibatkan tanaman menjadi layu dan dapat rebah atau mati. b. Gejala Pada saat tanaman mengalami fase vegegatif karena tanaman tersebut masih empuk dan disukai uret. Tanaman yang terserang memperlihatkan gejala kelayuan pada tanaman dan tanaman mudah dicabut karena akar sebagai penahan telah dimakan uret. c. Pengendalian Cara pengendalian hama uret yakni dengan melakukan pergiliran tanaman atau mengolah tanah dengan baik untuk mematikan larva.

Gambar 3. Hama Uret. 4. Penggerek batang (Ostrinia furnacalis Guenee) (Ordo : Lepidoptera, Famili : Noctuidae) a. Deskripsi Pada umumnya telur Ostrinia furnacalis yang mencapai 90 butir diletakkan pada tulang daun bagian bawah dari tiga daun teratas. Ulat yang keluar dari telur menuju bunga jantan dan menyebar bersama angin. Ada pula yang langsung menggerek tulang daun yang telah terbuka, kemudian menuju batang dan menggerek batang tersebut serta membentuk lorong mengarah ke atas. Setelah sampai dibuku bagian atas, ulat segera turun kebuku bagian bawah. Ulat berpupa di dalam batang. Seekor ngengat betina mampu bertelur 300 500 butir. Siklus hidup 2245 hari. Batang tanaman jagung biasanya patah-patah kemudian tanaman mati karena terhentinya translokasi hara dari akar tanaman ke daun (Kalshoven 1981). O. furnacalis mulai dijumpai pada umur 40 HST yaitu hanya ada 4 kelompok telur (KT) per 100 tanaman. b. Gejala
Gejala serangan Larva O. Furnacalis ini mempunyai karakteristik kerusakan pada setiap bagian tanaman jagung yaitu lubang kecil pada daun, lubang gorokan pada batang,

bunga jantan, atau pangkal tongkol, batang dan tassel yang mudah patah, tumpukan tassel yang rusak.

c. Pengendalian Pengendalian hama penggerek batang jagung dapat berupa kultur teknis antara lain : waktu tanam yang tepat, tumpang sari jagung dengan kedelai atau kacang tanah. Pemotongan sebagian bunga jantan (4 dari 6 baris tanaman). Pengendalian hayati dengan pemanfaatan musuh alami seperti Trichogramma spp. Parasitoid tersebut dapat parasitoid

memarasit telur O. furnacalis.

Predator Euborellia annulata memangsa larva dan pupa O. furnacalis. Bakteri Bacillus thuringiensis Kurstaki mengendalikan larva O. furnacalis, Cendawan sebagai entomopatogenik adalah Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae mengendalikan larva. Pengendaliaan kimia dengan menggunakan insektisida Carbofuran 3% di pucuk tanaman sebanyak 2-3 g pertanaman.

Gambar 4. Hama penggerek batang.

5. Ulat grayak (Spodoptera litura F., Mythimna separata) (Ordo : Lepidoptera, Famili : Noctuidae) a. Deskripsi Ulat ini muncul dipertanaman setelah 11 30 HST. Serangan pada tanaman muda dapat menghambat pertumbuhan tanaman bahkan dapat mematikan tanaman. Serangan berat pada pertanaman dapat mengakibatkan tinggal tulangtulang daun saja. Ngengat betina meletakkan kelompok- kelompok telur yang ditutupi bulu-bulu halus berwarna merah sawo pada permukaan bawah daun. Setiap kelompok telur terdiri dari 100 300 butir. Seekor ngengat betina mampu bertelur 1000 2000 butir. Masa telur 3 4 hari, ulat 17 20 hari, kepompong 10 14 hari. Siklus hidupnya 36 45 hari (Kalshoven 1981). b. Gejala Larva yang masih kecil merusak daun dan menyerang secara serentak berkelompok dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas, transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja. Biasanya larva berada di permukaan bawah daun, umumnya terjadi pada musim kemarau. c. Pengendalian Pengendalian ulat grayak dapat berupa kultur teknis yakni dengan

pembakaran tanaman , pengolahan tanah yang intensif. Pengendalian fisik / mekanis dengan mengumpulkan larva atau pupa dan bagian tanaman yang terserang kemudian memusnahkannya serta penggunaan perangkap feromonoid seks untuk ngengat sebanyak 40 buah per hektar atau 2 buah per 500 m2 dipasang di tengah pertanaman sejak tanaman berumur 2 minggu. Pengendalian hayati

dengan memanfaatkan Pathogen Sl-NPV (Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus), cendawan Cordisep, Aspergillus flavus, Beauveria bassina, Nomuarea rileyi, dan Metarhizium anisopliae, bakteri Bacillus thuringensis, nematode Steinernema sp., predator Sycanussp., Andrallus spinideus, Selonepnis geminada, parasitoid Apanteles sp., Telenomus spodopterae, Microplistis similis, dan Peribeae sp. Beberapa insektisida yang dianggap cukup efektif adalah monokrotofos, diazinon, khlorpirifos, triazofos, dikhlorovos, sianofenfos, dan karbaril apabila berdasarkan hasil pengamatan tanaman contoh, intensitas serangan mencapai lebih atau sama dengan 12,5% per tanaman contoh.

Gambar 5. Ulat grayak. 6. Wereng Jagung (Peregrinus maidis Ashm.) (Ordo: Hemiptera, family: Delphacidae) a. Deskripsi Bentuk dan ukuran serangga dewasa mirip dengan hama wereng coklat dewasa yang meyerang padi. Siklus hidup 25 hari, masa telur 8 hari, telurnya berbentuk bulat panjang dan agak membengkok (seperti buah pisang), warna putih bening yang diletakkan pada jaringan pelepah daun secara terpisah atau

berkelompok (Lilies 1991). Nimpa mengalami 5 instar, instar pertama berwarna kemerah-merahan kemudian berangsur-angsur berubah menjadi putih kekuningkuningan. Disepanjang permukaan atas badannya terdapat bintik-bintik kecil berwarna coklat (Gabriel 1971). Instar pertama menyukai daun-daun yang baru tebuka, pelepah daun, kelopak daun dan bunga jantan yang masih muda dan lunak (Saranga 1980). Tubuh wereng dewasa berwarna kuning kecoklatan, sayap bening dan kedua mata berwarna hitam. Terdapat duri pada tibia belakang yang dapat berputar (Saranga dan Fachruddin 1978). Serangga dewasa ada yang mempunyai sayap panjang dan ada pula bersayap pendek. Mempunyai bintik pada ujung sayap dan bergaris kuning pada belakangnya. Sedangkan pada yang bersayap pendek mempunyai sayap transparan dengan bintik warna gelap. Keduanya mempunyai karakteristik dengan corak warna hitam dan putih pada bagian ventral abdomen (Kalshoven 1981). Berkembang pada musim hujan lebih dari 500 ekor pertanaman pada umur jagung 2 bulan, sedangkan pada musim kemarau populasi relatif rendah hanya 1 23 ekor pertanaman (Mantik dan Asmaniar 1994). b. Gejala Gejala serangan pada wereng jagung yakni daun tampak bercak bergaris kuning, garis-garis pendek terputus-putus sampai bersambung terutama pada tulang daun kedua dan ketiga. Daun tampak bergaris kuning panjang, begitu pula pada pelepah daun. Pertumbuhan tanaman akan terhambat, menjadi kerdil, tanaman menjadi layu dan kering (hopper burn).

c. Pengendalian Pengendalioan hama ini yakni dengan waktu tanam serempak, waktu tanam dilakukan pada akhir musim hujan dan bila menggunakan insektisida gunakan insektisida Carbofuran 3%.

Gambar 6. Wereng jagung 7. Penggerek tongkol (Helicoverpa armigera Hubn.) (Ordo: Lepidoptera, Famili: Noctuidae) a. Deskripsi Serangga ini muncul di pertanaman pada umur 45 56 hari setelah tanam (HST), bersamaan dengan munculnya rambut-rambut tongkol. Telur diletakkan pada rambut-rambut tongkol secara tunggal, dan menetas setelah 4 hari. Ulat ini menjadi pupa di dalam tongkol atau di tanah. Ngengat aktif pada malam hari dan mampu bertelur 600 1000 butir. Stadia pupa berkisar antara 12 14 hari. Selain menyerang tongkol juga menyerang pucuk dan menyerang malai sehingga bunga jantan tidak terbentuk yang mengakibatkan hasil berkurang. Siklus hidupnya 36 45 hari (Kalshoven 1981). b. Gejala Gejalanya dapat dilihat dengan adanya bekas gigitan pada biji dan adanya terowongan dalam tongkol jagung.

c. Pengendalian Pemanfaatan agensia hayati dan cukup efektif untuk mengendalikan penggerek tongkol adalah Parasit Trichogramma spp. merupakan parasit telur dan Eriborus argentiopilosa (Ichneumonidae) parasit pada larva muda.

Cendwan Metarhizium anisoplia. menginfeksi larva dan aplikasi bakteri Bacillus thuringensis. Pengendalian berbahan secara kimiawi bisa klorpirifos, dilakukan penyemprotaninsektisida sipermetrin, dengan betasiflutrin petunjuk atau pada

aktif profenofos,

lamdasihalortrin.

Dosis/konsentrasi

sesuai

kemasan. Penyemprotan dilakukan setelah terbentuk rambut jagung pada tongkol hingga rambut jagung berwarna coklat.

Gambar 7. Hama penggerek tongkol. 8. Belalang (Locusta sp., dan Oxya chinensis) (Ordo : Orthoptera, Famili : Acridoidea) a. Deskripsi Belalang betina mampu menghasilkan telur sekitar 270 butir. Telur berwarnakeputih-putihan dan berbentuk buah pisang, tersusun rapi sekitar 10 cm

di bawah permukaan tanah. Menurut BPOPT (2000), telur akan menetas setelah 17 hari. Imago betina yang berwarna coklat kekuningan siap meletakkan telur setelah 5-20 hari, tergantung temperatur. Seekor betina mampu menghasilkan 6-7 kantong telur dalam tanah dengan jumlah telur 40 butir per kantong. Imago betina hanya membutuhkan satu kali kawin untuk meletakkan telur-telurnya dalam kantong-kantong tersebut. Imago jantan yang berwarna kuning mengkilap berkembang lebih cepat dibandingkan dengan betina. Lama hidup dewasa adalah 11 hari. Siklus hidup rata-rata 76 hari, sehingga dalam setahun dapat menghasilkan 4-5 generasi di daerah tropis, terutama Asia Tenggara. Di daerah subtropis, serangga ini hanya menghasilkan satu generasi per tahun. Belalang kembara mengalami tiga fase pertum buhan populasi yaitu fase soliter, fase transien, dan fase gregaria. Pada fase soliter, belalang hidup sendiri-sendiri dan tidak menimbulkan kerusakan bagi tanaman. Perubahan fase dari soliter ke gregaria dan dari gregaria kembali ke soliter dipengaruhi oleh iklim, melalui fase yang disebut transien.Perubahan fase soliter ke gregaria dimulai pada awal musim hujan setelah melewati musim kemarau yang cukup kering (di bawah normal). Pada saat itu, biasanya terjadi peningkatan populasi belalang soliter yang berdatangan dari berbagai lokasi ke suatu lokasi yang secara ekologis sesuai untuk berkembang Lokasi tersebut biasanya berupa lahan yang terbuka atau banyak ditumbuhi rumput, tanah gembur berpasir, dan dekat sumber air (sungai, danau, rawa) sehingga kondisi tanah cukup lembab. Setelah berlangsung 3-4 generasi, apabila kondisi lingkungan memungkinkan, fase soliter akan berkembang menjadi fase

gregaria, melalui fase transien. Lokasi ini dikenal sebagai lokasi pembiakan awal. Perubahan fase gregaria kembali ke fase soliter biasanya terjadi apabila keadaan ling kungan tidak menguntungkan bagi kehidupan belalang, terutama karena pengaruh cu rah hujan, tekanan musuh alami dan atau tindakan pengendalian oleh manusia. Perubahan ini juga melalui fase transien. Belalang kembara pada fase gregaria aktif terbang pada siang hari berkumpul dalam kelompok-kelompok besar. Pada senja hari, kelompok belalang hinggap pada suatu lokasi, biasanya untuk bertelur pada lahanlahan kosong, berpasir, makan tanaman yang dihinggapi, dan kawin. Pada pagi hari, kelompok belalang terbang untuk berputar-putar atau pindah lokasi. Pertanaman yang dihinggapi pada malam hari biasanya dimakan sampai habis. Kelompok besar nimfa (belalang muda) biasanya berpindah tem pat dengan berjalan secara berkelompok. Sepanjang perjalanannya jugamemakan tanaman yang dilewati. Tanaman yang paling disukai belalang kembara adalah kelompok Graminae yaitu padi, jagung, sorgum, tebu, alang-alang, gelagah, dan ber bagai jenis rumput. b. Gejala Gejala serangan belalang tidak spesifik, bergantung pada tipe tanaman yang diserang dan tingkat populasi. Daun biasanya bagian pertama yang diserang. Hampir keseluruhan daun habis termasuk tulang daun, jika serangannya parah. Spesies ini dapat pula memakan batang dan tongkol jagung jika populasinya sangat tinggi dengan sumber makanan terbatas.

c. Pengendalian Pengendalian Hayati Agens hayati M. anisopliae var. acridium, B. bassiana, Enthomophaga sp. dan Nosuma locustae di beberapa negara terbukti dapat digunakan padasaat populasi belum meningkat. Pola Tanam Di daerah pengembangan tanaman pangan yang menjadi ancaman hama belalang kembara perlu dipertimbangkan pola tanam dengan tanaman alternatif yang tidak atau kurang disukai belalang dengan sistem tumpang sari atau diversifikasi.Pada areal yang sudah terserang belalang dan musim tanam belum terlambat, diupayakan segera pena naman kembali dengan tanaman yang tidak disukai belalang seperti, kedelai, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, kacang panjang, tomat, atau tanaman yang kurang disukai belalang seperti kacang tanah, petsai, kubis, dan sawi. Mekanis Melakukan gerakan masal sesuai stadia populasi:Stadia telur. Untuk mengetahui lokasi telur maka dilakukan pemantauan lokasi dan waktu hinggap kelompok belalang dewasa secara intensif. Pada areal atau lokasi bekas serangan yang diketahui terdapat populasi telur, dilakukan pengumpulan kelompok telur melalui pengolahan tanah sedalam 10 cm, kelompok telur diambil dan dimusnahkan, kemudian lahan segera ditanami kembali dengan tanaman yang tidak disukai belalang.

Stadia nimfa. Setelah dua minggu sejak hinggapnya kelompok belalang kembara mulai dilakukan pemantauan terhadap kemungkinan adanya nimfa. Nimfa dikendalikan dengan cara memukul, menjaring, membakar atau menggunakan perangkap lainnya. Menghalau nimfa ke suatu tempat yang sudah disiapkan di tempat terbuka untuk kemudian dimatikan. Nimfa yang sudah ada di tempat terbuka apabila memungkinkan juga dapat dilakukan pembakaran namun harus hati-hati agar api tidak merembet ke tempat lain. Pengendalian nimfa berperan penting dalam menekan perkembangan belalang. Kimiawi Dalam keadaan populasi tinggi, perlu segera diupayakan penurunan populasi. Apabila cara-cara lain sudah ditempuh tetapi populasi masih tetap tinggi maka insektisida yang efektif dan diijinkan dapat diaplikasikan. Jenis insektisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan belalang adalah jenis yang berbahan aktif organofosfat seperti fenitrothion.

Gambar 8. Hama belalang daun.

9. Kumbang Bubuk (Sitophilus zeamais Motsch) (Ordo: Coleoptera, Famili: Curculionidae) a. Deskripsi S. zeamais, maize weevil atau kumbang bubuk mengalami metamorfosis sempurna, dari stadium telur sampai menjadi imago (kumbang dewasa). Telur diletakkan pada setiap butir yang telah dilubanginya sedalam 1 mm, masingmasing lubang selanjutnya ditutup dengan sisa gerekan. Stadium telur 7 hari (USDA 1962). Larva, tidak berkaki dan berwarna putih jernih. Ketika bergerak, larva agak mengkerut. Stadium larva 710 hari. Pupa (kepompong), tampak seolah-olah telah dewasa, stadium pupa 712 hari. Imago, kepalanya memanjang membentuk moncong (snout). Sayapnya (kiri dan kanan) mempunyai bercak berwarna agak pucat. Pronotumnya mempunyai lekukan kecil, bundar yang satu sama lain dalam keadaan rapat. Sayap dapat berkembang dengan sempurna, sehingga sayap belakang berfungsi untuk terbang. Ukuran panjang tubuhnya 3,505 mm. Imago betina dapat memproduksi telur 300400 butir (Kartasapoetra 1987). Menurut Kalshoven (1981), telur yang dihasilkan dapat mencapai 575 butir sedangkan menurut Granados (2000) 400 butir. Hama ini bersifat polipag, selain merusak jagung dapat pula merusak beras, padi dll. Kisaran temperatur untuk perkembangan hama ini yaitu 1734oC, dengan temperatur optimum 2530oC, sedang kelembaban berkisar 45100% (Akker dan Giga, 1992). Perkembangan populasi sangat cepat bila bahan simpanan kadar airnya di atas 15%. Pada populasi yang tinggi kumbang bubuk cenderung berpencar (Kalshoven 1981).

b. Gejala Serangan hama selama tanaman di lapangan menyebabkan tanaman/biji terserang kumbang menjadi bubuk jika tongkol terbuka. c. Pengendalian Pengelolaan Tanaman Serangan selama tanaman di lapangan dapat terjadi jika tongkol terbuka. Tanaman yang kekeringan, dengan pemberian pupuk yang rendah menyebabkan tanaman mudah terserang busuk tongkol sehingga dapat diinfeksi oleh kumbang bubuk. Panen yang tepat pada saat jagung mencapai masak fisiologis untuk mencegah sitophilus zeamais, karena panen yang tertunda dapat menyebabkan meningkatnya kerusakan biji di penyimpanan. Varietas Resisten/Tahan Penggunaan varietas dengan kandungan asam fenolat tinggi dan kandungan asam aminonya rendah dapat menekan kumbang bubuk, dan penggunaan varietas yang mempunyai penutupan kelobot yang baik. Kebersihan dan pengelolaan gudang Kebanyakan hama gudang cenderung bersembunyi atau melakukan hibernasi sesudah gudang tersebut kosong. Untuk itu dibersihkan semua struktur gudang dan membakar semua biji yang terkontaminasi serta membuang dari area gudang. Selain itu karung-karung bekas yang masih berisi sisa biji harus dibuang. Semua struktur gudang harus diperbaiki, termasuk dinding yang retak-retak dimana serangga dapat bersembunyi, dan memberi perlakuan insektisida baik pada dinding maupun plafon gudang.

Persiapan biji jagung yang disimpan Kadar air biji 12% dapat menghambat perkembangan kumbang bubuk. Perkembangan populasi kumbang bubuk akan meningkat pada kadar air 15% atau lebih. Fisik Dan Mekanis Pada suhu lebih rendah dari 50C dan di atas 350C perkembangan serangga akan berhenti. Penjemuran dapat meng-hambat perkembangan kumbang bubuk.

Sortasi dapat dilakukan dengan memisahkan biji rusak yang terinfeksi oleh serangga dengan biji sehat (utuh). Bahan Tanaman Bahan nabati yang dapat digunakan yaitu daun Annona sp., Hyptis spricigera, Lantana camara, daun Ageratum conyzoides, Chromolaena odorata, akar dari Khaya senegelensis, Acorus calamus, bunga dari Pyrethrum sp., Capsicum sp., dan tepung biji dari Annona sp. dan Melia sp. Hayati Penggunaan agensi patogen dapat mengendalikan kumbang bubuk seperti Beauveria bassiana pada konsentrasi 109 konidia/ml takaran 20 ml/kg biji dapat mencapai mortalitas 50%. Penggunaan parasitoid Anisopteromalus calandrae (Howard) mampu menekan kumbang bubuk. Fumigasi Fumigan merupakan senyawa kimia yang dalam suhu dan tekanan tertentu berbentuk gas, dapat membunuh serangga/hama melalui sistem pernapasan. Fumigasi dapat dilakukan pada tumpukan komoditas kemudian ditutup rapat

dengan lembaran plastik. Fumigasi dapat pula dilakukan pada penyimpanan yang kedap udara seperti penyimpanan dalam silo, dengan menggunakan kaleng yang dibuat kedap udara atau pengemasan dengan menggunakan jerigen plastik, botol yang diisi sampai penuh kemudian mulut botol atau jerigen dilapisi dengan parafin untuk penyimpanan skala kecil. Jenis fumigan yang paling banyak digunakan adalah phospine (PH3), dan Methyl Bromida (CH3Br).

Gambar 9. Kumbang bubuk dan gejalanya.

10. Kutu Daun (Rhopalisiphum maidis) a. Deskripsi Kutu Daun ini menginfeksi semua bagian tanaman, akan tetapi infeksi terbanyak terjadi pada daun. Kutu ini selain merusak daun tanaman inangnya juga membawa sebagai vector dari berbagai macam virus penyakit. Populasi kutu ini dapat mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangbiakan kutu daun secara parthenogenesis memungkinkan spesies kutu daun ini untuk melestarikan jenisnya tanpa harus melakukan perkawinan. Daur hidup kutu ini dimulai dari telur, kemudian nympha, dan kutu

dewasa. Pada fase nympha, kutu ini mengalami 4 tahapan. Tahapan pertama nympha akan tampak berwarna hijau cerah dan sudah terdapat antena. Tahap nympha kedua tampak berwarna hijau pale dan sudah tampak kepala, abdomen, mata berwarna merah, dan antenna yang terlihat lebih gelap dari pada warna tubuh. Pada tahap ketiga, antena akan terbagi menjadi 2 segmen, warna tubuh masih hijau pale dengan sedikit lebih gelap pada sisi lateral tubuhnya, kaki tampak lebih gelap daripada warna tubuh. Kutu dewasa ada beberapa yang memiliki sayap (alate) dan yang tidak memiliki saya (apterous). Sayap pada kutu ini memiliki panjang antara 0,04 to 0,088 inchi. Tubuh kutu dewasa berwarna kuning kehijauan sampai berwarna hijau gelap. Kutu daun (Rhopalosiphum maidis) menyerang pertanaman jagung terutama pada bagian pucuk daun yang masih muda. Hama ini menyerang mulai dari awal pertanaman. Hama ini ditemukan sangat banyak di pertanaman. b. Gejala Gejela kerusakan yang disebabkan oleh hama ini adalah nekrotik, daun mengkriting dan warna daun berubah. c. Pengendalian Pengendalian Hayati A. maidis dan Lysiphlebus mirzai (Famili: Braconidae) diketahui berpotensi sebagai parasitoid hama ini (Mau and Kessing 1992, Tripathi and Singh 1995). Coccinella sp. dan Micraspis sp. juga dapat dimanfaatkan sebagai predator.

Kultur Teknis Trujillo and Altieri (1990) menyarankan penanaman jagung secara polikultur karena akan meningkatkan predasi dari predator kutu daun dibandingkan dengan penanaman secara monokultur. Kimiawi Kutu daun mudah dikendalikan dengan menggunakan insektisida kontak atau sistemik. Insektisida granular sering dipakai untuk mengendalikan hama ini pada tanaman serealia. Insektisida seperti malathion lebih disenangi karena lebih sedikit pengaruhnya terha dap populasi musuh alami . Selain itu, dimethoate dan methyl dimeton juga efektif untuk mengendalikan kutu daunpada jagung.

Gambar 10. Hama kutu daun.

III.

KESIMPULAN

Hama yang menyerang tanaman jagung meliputi Lalat bibit (Atherigona sp.), Ulat tanah (Agrotis ipsilon Hwfn.), Lundi (uret) (Phyllophaga hellen), Penggerek batang (Ostrinia furnacalis Guenee), Ulat grayak (Spodoptera litura F., Mythimna separata), Wereng Jagung (Peregrinus maidis Ashm.), Penggerek tongkol (Helicoverpa armigera Hubn.) , Belalang (Locusta sp., dan Oxya chinensis), Kumbang Bubuk (Sitophilus zeamais Motsch), Kutu Daun (Rhopalisiphum maidis).

DAFTAR PUSTAKA

Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2011. Gabriel,B.P. 1971. Insect Pests of Field Corn in The Philippines. Dept. of Entomology, College of Agriculture University of the Philippines Technical Bulletin. Iqbal,A., A.Sudjana, dan R. Setiyono. 1988. Mekanisme Ketahanan Varietas Jagung Terhadap Serangan Belatung Atherigona sp. Risalah Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of in Indonesia. Resived and translated by P.A. van der Laan, University of Amsterdam. PT Ichtiar Baru, van Hoeve, Jakarta. Lilies, C.S. 1991. Kunci Yogyakarta.(Ed.). Determinasi Serangga. Penerbit Kanisius,

Mantik,I. dan Asmaniar. 1994. Pengendalian Terpadu Hama Wereng Jagung. PEII cab. Sumbar. Saranga,A.P. dan Fachruddin. 1978. Ilmu Serangga. Lembaga Percetakan Universitas Hasauddin, Ujung Pandang. Saranga,A.P. 1980. Beberapa Hama-hama Penting Pada Tanaman Kacangkacangan dan Jagung. Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas hasanuddin, Ujung Pandang. Pabbage et al.: Pengelolaan Hama Prapanen Jagung. http: //www.google.co.id/images?kutu+daun. Diakses pada tanggal 16 april 2014

Anda mungkin juga menyukai