Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk besar.
Untuk mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduk, saat ini Indonesia masih
harus mengimpor beberapa bahan pangan seperti beras, jagung, kedelai, kacang
tanah, tebu, buah-buahan dan sayur-sayuran (Sumarno, 2005). Di Indonesia, padi
merupakan bahan pangan pokok dan merupakan sumber karbohidrat bagi
mayoritas penduduk. Kebutuhan beras di Indonesia setiap tahun terus meningkat
sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk Data tahun 2005, Indonesia
merupakan produsen beras terbesar ketiga dari total produksi beras di dunia (RRC
: 185 juta ton, India : 129 juta ton dan Indonesia : 54 juta ton). Saat ini Indonesia
tidak lagi bisa swasembada beras seperti yang terjadi pada tahun 1984. Produksi
beras nasional tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan nasional. Untuk
memenuhi kebutuhan beras secara nasional, Indonesia masih harus mengimpor
antara lain dari Vietnam dan Thailand (Faostat dalam Wikipedia, 2010).
Produksi beras yang berasal dari dalam negeri sebagian besar dipenuhi
oleh hasil beras yang dipanen dari padi sawah. Ada banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya defisit beras di Indonesia, diantaranya : menurunnya
luasan areal sawah, kerusakan jaringan irigasi dangangguan organisme
pengganggu tanaman berupa hama, penyakit dan gulma. Pada kurun waktu 1999-
2002 tercatat pengurangan areal sawah seluas 400 ribu ha dan secara rata-rata
penurunan areal lahan pertanian pada tahun 2000-2005 adalah sebesar 0,17% per
tahun (Apriyantono dalam Syiena.wordpress, 2010). Ada berbagai faktor yang
menyebabkan kekurangan bahan pangan di Indonesia yang semestinya dapat
diproduksi sendiri, yaitu kemajuan pembangunan pertanian berjalan lamban, lahan
subur semakin banyak yang terkonversi ke bidang non pertanian, produktivitas
lahan pertanian yang ada semakin menurun, dan permasalahan organisme
pengganggu tanaman berupa hama, patogen penyebab penyakit dan gulma yang
semakin kompleks.

1
Organisme penganggu tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas
produksi tanaman di Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun
perkebunan. Organisme pengganggu tanaman secara garis besar dibagi menjadi
tiga yaitu hama, penyakit dan gulma. Organisme pengganggu tanaman merupakan
salah satu penghambat produksi dan penyebab ditolaknya produk tersebut masuk
ke suat negara, karena dikawatirkan akan menjadi hama baru di negara yang
ditujunya. Berdasarkan pengalaman, masih adanya permasalahan OPT yang
belum tuntas penanganannya dan perlu kerja keras untuk mengatasinya dengan
berbagai upaya dilakukan, seperti lalat buah pada berbagai produk buah dan
sayuran buah dan virus gemini pada cabai. Selain itu, dalam kaitannya dengan
terbawanya OPT pada produk yang akan diekspor dan dianalis potensial masuk,
menyebar dan menetap di suatu wilayah negara, akan menjadi hambatan yang
berarti dalam perdagangan internasional.
Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian sering menggunakan
pestisida sintetis terutama untuk hama dan penyakit yang sulit dikendalikan,
seperti penyakit yang disebabkan oleh virus dan patogen tular tanah (soil borne
pathogens). Untuk mengendalikan penyakit ini petani cenderung menggunakan
pestisida sintetis secara berlebihan sehingga menimbulkan dampak buruk bagi
kesehatan dan lingkungan. Hal ini dilakukan petani karena modal yang telah
dikeluarkan cukup besar sehingga petani tidak berani menanggung resiko
kegagalan usaha taninya.
Dengan adanya fakta-fakta yang dipaparkan dia atas maka perlu diadakan
pemahaman dan pembelajaran tentang “ Pengendalian Hama Patogen dan Gulma
Pada Tanaman Padi” sehingga didapatkan pemaham dan pengetahuan untuk
menindak lanjuti gangguan yang terdapat pada tanaman padi.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa saja yang tergolong bakteri pathogen pada tanaman padi?
2. Apa saja yang tergolong gulma dan hama dalam tanaman padi?
3. Bagaimana pengendalian bakteri pathogen dan gulma pada tanaman
padi?

2
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui jenis-jenis bakteri pathogen pada tanaman padi.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis gulma dan hama dalam tanaman padi.
3. Untuk mengetahui bentuk pengendalian bakteri pathogen dan gulma pada
tanaman padi.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Jenis-jenis Patogen pada Tanaman padi


Uraian lengkap tentang penyakit penyakit tanaman pangan yang meliputi
sejarah dan penyakit, gejala penyakit, penyebab penyakit, faktor- faktor yang
mempengaruhi penyakit, dan cara pengendaliannya telah dikemukan oleh
Semangun (1991). Penyakit tumbuhan dapat dikelompokan dengan cara yang
bermacam macam. Berdasarkan gejalanya kita mengenal misalnya busuk akar,
layu, bercak daun, karat daun, tunas bengkak, kerdil, masaik dan sebagainya.
Penyakit juga dapat dibedakan berdasarkan organ yang diserang pathogen,
sehingga kita mengnal, penyakit benih, penyakit akar, penyakit batang, penyakit
daun dan penyakit buah. Pengelompokan penyakit yang dianggap paling
bermanfaat untuk mendukung usaha pengendaliannya adalah berdasarkan jenis
patogennya (Agrios, 2005).
Berdasarkan jenis patogennya, dikenal dua kelompok besar penyakit,
yaitu:
1) Penyakit Tumbuhan infeksious, atau penyakit biotik, yang terdiri dari:
a. Penyakit karena jamur (Tabel 1.)
Tabel 1. Contoh jamur-jamur pathogen penting pada tanaman pangan

No Tanaman Penyakit Penyebab Penyakit/Patogen


1 Padi Busuk pelepah Rhizoctonia solani Kuhn.
daun
Blast Pyricularia orizae Cav.
Bercak daun Cercospora oryzae Miyake
sempit
Smut Ustilagonoidea virens Cook) Tak.
Bakanae Giberella fujikuroi (Sawada)
Wollenweber

b. Penyakit karena prokaryotes (Bakteri dan Mollicutes) (Tabel 2)


Tabel 2. Contoh bakteri penyebab penyakit pada tanaman pangan

4
No. Inang Nama Penyakit Patogen
1 Padi 1. Bacterial leaf Xanthomonas oryzae pv. oryzae
blight (Ishiyama)
2. Bacterial leaf Xanthomonas oryzae pv. oryzicola
streak (Fang)
3. Bacterial red stripe Microbacterium sp. (Kaku)
4. Grain rot Bulkholderia glumae (Kurita & Tabei)
5. Foot rot Dickeya sp. (Burkholder)

c. Penyakit karena virus dan viroid


Tabel 3. Contoh virus-virus patogen pada tanaman pangan

Tanaman Spesies Virus Genus Vektor

Rice Tungro Spherical Virus


(RTSV) Nephotettix
Rice Tungro Bacilliform Virus Waikavirus virescens
(RTBV) Badnavirus Nephotettix
Padi Rice Ragged Stunt Virus Oryzavirus virescens
(RRSV) Tenuivirus Nilaparvata lugens
Rice Grassy Stunt Virus Tenuivirus Nilaparvata lugens
(RGSV) Nilaparvata lugens
Rice Stripe Virus (RSV)

d. Penyakit karena nematode (Tabel 4)


Tabel 4. Contoh nematoda parasit pada tanaman pangan

5
e. Penyakit karena protozoa

Tanama
no n Nama ilmiah Nama umum
Meloidogyne Nematoda puru akar (root-knot
1 Padi graminicola nematode)
Hirschmaniella rice root nematode ( nematoda parasit
oryzae akar padi)
Aphlenchoides
besseyi rice white tip nematode
Scutellonema
Rotylenchus
Helicotylenchus spiral nematode
2) Penyakit Tumbuhan non-infeksious atau abiotik, yang terdiri dari:
a. Penyakit karena temperature terlalu tinggi atau rendah
b. Penyakit karena kelebihan atau kekurangan air
c. Penyakit karena kekurangan atau kelebihan cahaya
d. Penyakit karena kelebihan atau kekurangan oksigen
e. Penyakit karena pencemaran udara
f. Penyakit karena kekurangan unsure hara
g. Penyakit karena keracunan mineral
h. Penyakit karena keasaman tanah
i. Penyakit karena keracunan pestisida
j. Penyakit karena kesalahan teknik budidaya
Semua jenis penyakit tersebut sangat berpotensi sebagai kendala dalam
upaya mewujudkan negara yang berdaulat dalam bidang pangan karena penyakit
tumbuhan dapat:
a. Mengurangi kuantitas dan kualitas hasil tanaman
b. Membatasi kesesuaian lahan untuk menanam tanaman pangan
c. Menghasilkan pangan dan pakan yang tercemari racun, khususnya
mikotoksin
d. Meningkatkan biaya produksi
Mengenai nematode, masih terdapat perbedaan apakah termasuk pathogen
atau hama. Berhubung nematode termasuk binatang maka ada yang

6
mengelompokan sebagai hama. Kalau mendasarkan pada kejala dan
patogenesisnya, nematoda cenderung dikelompokan sebagai pathogen.

2.2 Jenis-jenis Gulma pada Tanaman Padi


Dengan mensitasi pendapat Linnaeus (1707 – 1778) dan Plinius (23 –
79), Tjitrosoepomo (1969) mengungkapkan teori bahwa semua tumbuhan di bumi
ini diciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia. Karena kuatnya pengaruh
cara berpikir yang anthropocentric (segala sesuatu hanya ditujukan untuk
kepentingan manusia), kepentingan manusialah yang membedakan apakah suatu
tumbuhan tergolong sebagai gulma atau bukan gulma. Dapat dengan mudah
dipahami bahwa dewasa ini terdapat lebih dari 30 buah batasan tentang gulma
yang mempunyai makna berbeda beda tergantung dari latar belakang pembuat
batasan tersebut (King, 1974 cit. Soejono, 2006). Sehubungan dengan hal
tersebut Ronoprawiro (1992) menganggap bahwa batasan tentang gulma yang
paling sesuai dengan keadaan di Indonesia pada waktu itu adalah tumbuhan
yang apabila dibiarkan berkembang dalam system pertanaman menyebabkan
kerugian finansial dalam berbagai bentuk. Menurut Ronoprawiro (1992), gulma
dapat menimbulkan kerugian dalam berbagai bentuk, antara lain:
1) Penurunan angka hasil tanaman pokok karena persaingan unsur hara, air,
dan cahaya.
2) Peningkatan biaya pengendalian OPT
3) Penurunan kualitas hasil
4) Terhambatnya aliran air dalam saluran irigasi, saluran pembuangan dan
pipa air hidrolistrik
Sebagai bagian dari OPT, gulma berinteraksi dengan lingkungan dan
komponen OPT yang lain sehingga dapat menambah atau mengurangi persoalan
perlindungan tanaman yang dibudidayakan. Dalam interaksi yang
menguntungkan, misalnya, gulma dapat menjadi tempat berlindung dan
berkembangnya musuh alami hama (predator, parasitoid). Sebagai contoh, rumput
Cengkehan (Ludwigia hyssopifolia (G.Don) Exell) adalah tumbuhan inang bagi
Coccinella arquata yang sangat efektif sebagai pemangsa wereng batang coklat
padi (Nilaparvata lugens).

7
Interaksi yang menambah persoalan perlindungan tanaman misalnya
terciptanya lingkungan (misalnya kelebaban) yang kondusif untuk pertumbuhan
pathogen dan peran gulma sebagai inang pengganti (alternate host) beberapa
hama dan pathogen tanaman (Soejono, 2006).
Dalam praktek istilah gulma sering dihubungkan dengan status tumbuhan
tersebut dalam ekosistem pertanian. Tumbuhan digolongkan sebagi gulma apabila
hampir seluruh keberadaannya berpotensi merugikan manusia dengan tanda tanda
sebagai berikut (Ronoprawiro, 1995):
(1) Pertumbuhan vegetatifnya sangat cepat. Hal ini dapat dilihat antara lain
dari cepatnya pembentukan anakan yang cepat dan banyak
(2) Reproduksinya awal dan efisien. Gulma semusim berkembang biak
terutama dengan biji dan pertumbuhan vegetative yang cepat dan kuat
melalui pembentukan anakan dan percabangan yang menunjang produksi
biji yang sangat besar.
(3) Memiliki kemampuan untuk tahan hidup dan menyesuaikan diri terhadap
keadaan lingkungan yang jelek.
(4) Propagulnya dorman atau dapat menjadi dorman dalam kondisi
lingkungan yang kurang menguntungkan.
(5) Pada populasi yang rendah sudah mampu menimbulkan kerusakan yang
nyata.
Salah satu tanaman pangan yang banyak menderita karena gangguan
gulma adalah padi. Menurut Soerjani et al. (1987) dan Sastroutomo (1990) pada
padi sawah terdapat 33 jenis gulma (10 rumputan, 7 tekian, 16 daun lebar); sekitar
60 jenis (14 rumputan, 10 tekian, 42 daun lebar) pada padi gogo; 38 jenis (21
rumputan, 9 tekian, 17 daun lebar) pada padi gogo rancah; dan 29 jenis (7
rumputan, 9 tekian, 14 daun lebar) pada padi pasang surut. Tabel 1 menyajikan
nama nama dan sebagian sifat gulma gulma penting pada padi sawah, padi gogo,
padi gogo rancah dan padi pasang surut.

Tabel 5. Jenis-jenis gulma penting pada padi


No Tanaman Nama Ilmiah Nama Daerah B.m. D.h.
1 Padi Monochoria vaginalis Wewehan (Jw) Gdl Sm
Sawah (Burm.f.) Presl Lambani (Sd) R Th

8
Paspalum disticum L Tumbaran (Jw) T Th
Fimbristylis miliacea (L.) Brendelan (Jw) T Dm
Vahl. Babawangan (Sd) T Th
Cyperus difformis L. Semanggi (Ind) Ddl Th
Scirpus juncoides Roxb. Kejawan (Jw) R Sm
Marsilea crenata Presl. Tapak doro (Jw) Gdl Sm
Echinochlaa crusgalli Gunda (Jw; Ind) Gdl Sm
(L.) Beauv Jekeng kunyit (Ind) T Sm
Ludwigia adscendens (L)
Hara
Spenochlea zeylanica
Gaertn.
Cyperus iria L.
2 Padi Digitaria ciliaris (Retz.) Jalamparan (Ind) R Sm
gogo Koel Setawar (Ind) Gdl Sm
Borreria alata (Aubl.) Meniran putih (Jw) Gdl Sm
DC. Tuton (Jw) R Sm
Phylanthus niruri Aubl. Lulangan (Jw) R Sm
Non L. Teki (Ind.) T Sm
Echinochloa colonum Dekeng (Jw) T Sm
(L.) Link Pekingan (Jw) R Sm
Eleusine indica (L.)
Gaertn. Alang-alang (Ind) R Th
Cyperus rotondus L. Tusuk konde (Ind) Gdl Sm
Cyperus compressus L.
Eragrostis tenella (L.)
Beauv. Ex R&S
Imperata cylindrica (L.)
Beauv.
Heliotropium indicum
(L.)
3 Padi Echinochloa colonum Tuton (Jw) R Sm
gogo (L.) Link Lambani (Sd.) R Th

9
rancah Paspalum disticum L Jekeng kunyit (Ind) T Sm
Cyperus iria L Tumbaran (Jw) T Th
Fimbristylis miliacea (L.) Semanggi (Ind) Gdl Th
Vahl. Wewehan (Jw) Gdl Sm
Marsilea crenata Presl. Brendelan (Jw) T Th
Monochoria vaginalis Cengkehan (Jw) Gdl Sm
(Burm.f.) Presl Suket grinting (Jw) R Th
Cyperus difformis L. Babawangan (Sd) T Th
Ludwigia hyssopifolia
(G.Don) Exell
Cynodon dactylon (L.)
Pers.
Scirpus juncoides Roxb.
4 Padi Panicum repen L. Lempuyangan R Th
Pasang Fimbristylis miliacea (L.) (Ind) T Th
Surut Vahl. Tumbaran (Jw) Gdl Th
Ludwigia octovalvis Salah nyowo (Jw) Gdl Th
(Jacq.) Raven Gewor (Jw) Gdl Sm
Commelina diffusa Lombokan (Jw) R Th
Burm.f. Kalamento (Jw) T Sm
Ludwigia adscendens (L) Jekeng kunyit (Ind) T Dm
Hara Brendelan (Jw) T Th
Leersia hexandra Sw Teki rowo (Jw) Gdl Th
Cyperus iria L Gedobos (Jw)
C. difformis
Cyperus brevifolius
(Rottb.) Hassk.
Enhydra fluctuans Lour
Keterangan:
B.m.: Bentuk morfologi D.h.: Daur hidup
R = rumputan Sm = semusim
Gdl = Gulma daun lebar Dm = Dwi musim
T = Tekian Th: Tahunan

10
Gambar 1. Jenis- jenis gulma pada tanaman padi

Di Indonesia, gulma masih kurang mendapat perhatian, pada kerugian


yang ditimbulkan secara kuantitatif cukup tinggi. Menurut Sastroutomo (1990),
kerugian akibat gulma pada padi sawah, padi gogo, jagung, kedelai dan ubikayu
masing masing sebesar 15-40%, 47-87%, 16-82% dan 6-62%. Di tingkat dunia,
kerugian karena gulma pada berbagai komoditas ditaksir sebesar 12,6% (Agrios,
2005).
Untuk mengurangi kerugian akibat gangguan gulma dapat dilakukan pada
saat sebelum tanam (pra-tanam) atau pasca tumbuh. Pengendalian sebelum tanam
dapat berupa pengolahan tanah sempurna dengan beberapa kali ulangan, terutama
untuk mematikan biji, rimpang, umbi dan alat perbanyakan gulma yang lain.
Pengendalian gulma pasca tumbuh dapat dilakukan secara mekanis dan kimiawi,
tergantung dari jenis gulma dan sarana yang tersedia. Indonesia juga mempunyai
banyak pengalaman dalam pemanfaatan musuh alami untuk pengendalian gulma
(Sosromarsono, 2006).
Hama dan penyakit pada tanaman padi sangat beragam, disamping faktor
lingkungan (curah hujan, suhu dan musim) yang sangat mempengaruhi terhadap
produksi padi. Belum lagi mahalnya bibit, biaya produksi, pengangkutan dan
harga jual yang rendah sehingga petani jarang dapat meningkat kehidupan dan
kesejahteraan keluarganya. Dihadapkan pada persoalan dilematis ini, tidak pernah
ada penyelesaiannya. Sebagai praktisi di bidang hama dan penyakit tanaman, kita

11
dapat memainkan peran dengan memberikan gambaran dan penyuluhan tentang
hama-hama pada tanaman padi

Hama-hama tanaman padi menurut Kartasapoetra (1993) terdiri dari :


1. Hama Sundep (Scirpophaga innotata)
Hama endemis ini berkembang dari dari pantai hingga daerah pedalaman
dengan ketinggian 200 meter diatas permukaan laut, dengan curah hujan (kurang
dari 200 mm) terjadi bulan October-November. Tanda-tanda hama ini dimulai
dengan melakukan invasi (terbangnya ribuan kupu-kupu kecil berwarna putih
pada sore dan malam hari) setelah 35 hari masa hujan. Kupu-kupu ini melakukan
terbang sekitar dua minggu, menuju daerah-daerah persemaian tanamaan padi.
Selanjutnya telur-telur (170-240 telur) diletakkan dibawah daun padi yang masih
muda dan akan menetes menjadi ulat perusak tanaman padi setelah seminggu.
Penyerangan ini dikenal dengan nama “Hama Sundep” dan “Hama Beluk”,
Perbedaan keduanya dilihat pada table 6.
Tabel 6. Perbedaan Hama Sundep dan Hama Beluk.
Hama Sundep Hama Beluk
Menyerang daun padi muda, Menyerang titik tumbuh tanaman padi
menguning yang sedang bunting sehingga buliarn
dan mati. Walaupun batang padi padi keluar, berguguran, gabah-gabah
bagian kosong dan berwarna keabu-abuan.
bawah masih hidup atau membentuk
anak tanaman baru tapi pertumbuhan
daun baru tidak terjadi.
Sumber: Kartasapoetra (1993).
Untuk membasmi hama-hama ini ditempuh cara-cara sebagai berikut:
1. Petani menyebarkan bibit-bibit tanaman padi di persemaian setelah tahu
jadwal invasi serangan ulat-ulat ini diperkirakan telah selesai.
2. Penanaman padi yang memiliki daya regenerasi yang tinggi.
3. Menghancurkan telur-telur S. innotata yang teradapt dil ;ingkungan
persemaian dan membunuh larva-larva yang abru menetas.
4. Melakukan tindakan preventif dengan penyemprotan persemaian
menggunakan insektisida yang resistensi.

12
5. Bibit-bibit tanaman padi yang akan disemai dicelupkan dalm herbisida.
6. Setelah invasi S. innotata dilakukan penyemprotan insektisida yang
mematikan telur dan larva.
7. Crop rotation (pergiliran tanaman), setelah penanaman padi batang atau
jeraminya harus dibenamkan kedalam tanah/lumpur.
8. Menarik perhatian S. innotata menggunakan perangkap jebak berwarna atau
lampu petromaks

2. Ulat Penggerek (Scahunobius bipunctifer)


Gangguan dan kerusakan pada tanaman padi gandu, terutama daerah
pegunungan, daya pengrusakannya tertuju pada bagian-bagian pucuk tanamaan
sehingga mematikan tanaman padi. Daur hidup mirip dengan S. innotata, biasanya
30 hari tetapi tidak memiliki diapause sehingga meningkatkan kupu-kupu betina
(warna kuning muda) dan jantan (warna sawo matang) dengan jumlah telur (150
butir) yang diletakkan di bagian bawah daun padi muda yang ditutupi oleh lapisan
bulu. Ulat akan menggerek batang padi yang muda menuju titik tumbuh yang
masih lunak. Pemberantasan dilakukan menggunakan insektisida yang tidak tahan
lama atau crop rotation (berselang-seling dengan menanam palawija).

3. Hama Putih (Nymphula depunctalis)


Menyerang dan bergelantungan pada daun padi sehingga berwarna
keputih-putihan, bersifat semi aquatil (menggantungkan hidup pada air untuk
bernafas dan udara). Kerusakan yang ditimbulkannya dapat mematikan tanaman
padi disebabkan:
1. Gerakan invasi melibatkan banyak hama yang menyerang tanaman padi
sebagai sumber makanannya.
2. Tanaman padi yang diserang kebanyakan berasal dari bibit-bibit lemah. Hama
putih akan menjadi kepompong, sarung/kantong yang selalu dibawanya akan
ditanggalkan dan dilekatkan pada abtang padi, kemudian dimasukinya lagi
dan tidak keluar sampai menjadi kepompong (sekitar 2 minggu). Pembasmian
hama ini dapat dilakukan dengan mempelajari siklus hidup, mengeringkan

13
petakan-petakan sawah, membiarkan petak sawah berair dan diberi minyak
lampu atau penggunaan insektisida ramah lingkungan.
3. Hama Wereng Coklat (Nilapervata lugens). Hama ini selalu menghisap cairan
dan air dari batang padi muda atau bulir-bulir buah muda yang lunak, dapat
meloncat tinggi dan tidak terarah, berwarna coklat, berukuran 3-5 mm, habitat
ditempat lembab, gelap dan teduh. Telur banyak yang ditempatkan dibawah
daun padi yang melengkung dengan masa ovulasi 9 hari menetas, 13 hari
membentuk sayap dan 2 minggu akan bertelur kembali. Hama ini meluas
serangannya dilihat dari bentuk lingkaran pada atnaman dalam petakan padi.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk memberantas hama ini dengan cara
preventif, represif dan kuratif.
1. Tindakan Preventif dengan cara-cara:
a. Serumpun daun padi layu, lakukan pemeriksaan dengan teliti.
b. Apabila dirumpun padi ditemukan seekor wereng, bunuh dan periksa
telur-telurnya didaun lalu daun dicabut dan dibakar. Periksa tanmaan-
tanaman lainnya yang berdekatan.
c. Apabila dalam serumpun terdapat banyak wereng, lakukan
penyemprotan massal dengan insektisida.
2. Tindakan Reppresif dilakukan sebagai berikut:
a. Pengeringan pada petakan sawah.
b. Pencabutan dan pembakaran seluruh tanaman.
c. Memilih bibit unggul (PB 30, 32, 34, Sicantik, Bengawan, dan lain-
lain) yang direndam dalam Aldrien 40% (12 gr/1 kg benih) atau
Dildrien 50% WP (10 gr/1 kg benih).
d. Crop rotation (pergiliran padi dan palawija).
3. Tindakan Kuratif ditempuh dengan:
a. Insektisida butiran menggunakan Furadan 30 (17-20 kg/ha), Basudin
10 g 910- 15 kg/ha) dan Diazinon 10G (10-15 kg/ha) yang ditaburkan
di antara larikan petak sawah tiga atau empat minggu sekali.
b. Penyemprotan insektisida cair seminggu sekali atau maksimal 10 hari
sekali menggunakan Agrothion 50, Sumithion 50 EC (2 ltr/ha),

14
Karphos 50 EC (2 ltr/ha), DDVP 50 EC (0.6 ltr/ha), Nogos 50 (0.6
ltr/ha), Sevin 85 Sp (1.2 ltr/ha), Diazinon 60 EC (1.5 ltr/ha).

5. Wereng Hijau (Nephotettix apicalis)


Merusak kelopak-kelopak dan urat-urat daun padi dengan alat penghisap pada
moncong yang kuat. Bertelur (sebanyak 25 butir) yang ditempatkan dibawah daun
padi selama tiga kali sampai dia mati. Cara pemberantasan hama dilakukan
dengan insektisida, pembunuhan hama, rotasi tanaman, perangkap lampu jebak
dan lainnya.

6. Walang Sangit (Leptocorixa acuta)


Binatang ini berbau, hidup bersembunyi direrumputan, tuton, paspalum,
alang-alang sehingga berinvasi pada tanaman padi muda ketika bunting, berbunga
atau berbuah. Walang sangit menempatkan telurnya (14-16 telur hingga 360 butir
telur sepanjang hidupnya) secara berjajaran pada daun. Pembasmian dilakukan
pada malam hari menggunakan lampu petromaks; memakai umpan bangkai
bangkai ular, katak, ketam; dan memanfaatkan insektisida (Tjoe Tjien Mo,1953).

7. Lembing Hijau (Nezara viridula)


Berkembang pada iklim tropis, hidupnya berkoloni, betina berukuran kecil (16
mm) dengan 1100 telur selama hidupnya, lama penetasan 6-8 minggu, jantan
berumur 6 bulan. Serangannya tidak sampai menghampakan padi, tetapi
menghasilakn padi berkualitas jelek (goresan-goresan membujur pada kulit gabah
dan pecah pabila dilakukan penggilingan/penumbukkan). Pembasmian hama
dilakukan menggunakan insektisida sesuai aturan (Tjoe Tjien Mo,1953).

8. Ganjur (Pachydiplosis oryzae)


Berkembang di daerah persawahan RRC, India dan Asia Tenggara. Menyerang
tanaman padi yang penanamannya terlambat, sekitar bulan Februari dan April.
Menempatkan telur-telurnya pada kelopak daun padi, larva-larva bergerak menuju
dan memasuki batang-batang padi, daun-daun membentuk kelongsong sehingga
padi mati. Pembasmiannya dilakukan mengurangi pengairan di sawah (padi

15
jangan sampai terendam), menggunaakn lampu petromaks, pembinasaan dan
penyemprotan insektisida dengan dosis tepat secara teratur (Tjoe Tjien Mo,1953).

2.3 Bentuk Pengendalian Patogen dan Gulma pada Tanaman Padi


Komponen hama (pest = omo) dalam konsep PHT meliputi pathogen
(jamur, bakteri, virus, viroid, fitoplasma, tumbuhan parasit), hama dalam arti
sempit (serangga, tungau, hama vertebrata dan nematode) dan tumbuhan
pengganggu (gulma). Ada tiga pendekatan pokok dalam pengendalian hama pada
tanaman pangan, yaitu mengurangi sumber inokulum dengan memanipulasi
lingkungan, memadukan berbagai taktik pengendalian yang kompatibel dalam
kesatuan rencana yang terkoordinasi dengan teknik budidaya tanaman, dan
analisis biaya dan keuntungan (Oka, 1976). Pendekatan tersebut seiring dengan
model matematis dalam pengelolaan penyakit tanaman yang diuraikan Triharso
(1978), yaitu: (a) mengurangi sumber penular mula-mula dengan jalan sanitasi,
penggunaan jenis yang mempunyai ketahanan vertikal dan eradikasi secara
kimiawi; (b) mengurangi laju infeksi dengan jalan penggunaan jenis yang
mempunyai ketahanan horizontal dan pemakaian fungisida protektan; (c)
mengurangi waktu lamanya terjadi infeksi dengan menggunakan varietas yang
genjah atau masak awal atau penanaman yang lebih awal; dan (d) mengurangi
sumber penular mula mula, laju infeksi dan waktu lamanya terjadi infeksi dengan
jaln menggunakan jenis yang tolerance. Apabila dalam mengimplmentasikan salah
satu usaha pengendalian bertentangan dengan perrlakuan lain yang berguna
seperti misalnya pemeliharaan tanaman, maka dengan mengingat keseluruhannya,
hendaknya dicari kompromi terbaik , agar diperoleh hasil yang paling
menguntungkan.
Berbagai komponen PHT yang dapat dikombinasikan dalam menghadapi
OPT dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Penggunaan Varietas Resisten
Cara ini merupakan cara yang paling murah, aman, relatif tahan lama dan
mudah dilaksanakan oleh petani. Strategi pengelolaan dan peningkatan sifat
resisten dilakukan untuk mempertahankan atau meningkatkan daya guna varitas
unggul yang telah dihasilkan.

16
Ketahanan varitas terhadap OPT ada yang bersifat vertikal, horizontal dan
toleran. Untuk mempermudah dalam menahami sifat tesrebut, Triharso (1978)
mengungkapkan fenomena ketahanan varietas tanaman terhadap penyebab
penyakit (patogen). Apabila dilakukan sederetan inokulasi pathogen pada
tanaman inang, jumlah penyakit yang ditimbulkan sebagai hasil interaksi antara
inang dan pathogen tidak menunjukan perbedaan yang nyata, maka sifat
ketahanan tanaman inang tersebut disebut horizontal, sedangkan jika ada
perbedaan yang nyata maka ketahannya disebut vertikal. Ketahanan horizontal
reaksinya tidak diferential, bekerja tidak begitu menyolok (resistensinya rendah),
tahan lama (stabil), dan dikendalikan oleh banyak gen. Ketahanan vertikal
reaksinya diferential, bekerja sangat kuat, tidak tahan lama, dikendalikan oleh satu
gen (monogenic). Di antara dua jenis ketahanan tersebut terdapat yang disebut
toleransi, yaitu tanaman masih mampu berproduksi meskipun tanaman tersebut
sangat menderita.
Tiga strategi yang dapat dianjurkan untuk mengelola varitas dengan
ketahanan vertikal (Galun & Kush, 1980; cit. Triharso, 1993) yaitu:
a. Melepas beruntun (sequential release) varitas yang memiliki resistensi
gen tunggal,
b. Membentuk system pyramid gen vertikal, bentuknya adalah
menggabungkan dua atau lebih gen vertikcal ke dalam suatu kultivar.
c. Mengembangkan varitas multilini, maksudnya membentuk suatau varitas
yang terdiri dari beberapa galur yang memiliki sifat agronomi yang sama,
tetapi berbeda dalm hal resistensinya terhadap sejumlah biotipe atau ras
dari OPT penting.
Penggunaan varitas unggul secara bijaksana dan spesifik lokasi akan
sangat bermanfaat bagi pembangunan pertanian, tetapi harus dikukung dengan
system perbenihan yang tangguh. Selain ketahanan yang diatur oleh gen secara
langsung, ada ketahanan yang disebut sebagai ketahanan terimbas sebagai akibat
pengaktifan potensi ketahanan genetis pada tanaman oleh elisitor atau inducer
yang berupa jasad non patogenik, pathogen, atau bahan kimia. Ketahanan
terimbas sering disebut juga acquired reristance, acquired immunity,
immunization, maupun proteksi silang (cross protection). Menurut Christanti

17
Sumardiyono (2000), pemanfaatan ketahanan terimbas dapat merupakan salah
satu alternatif pengendalian pathogen yang ramah lingkungan, sehingga layak
dipertimbangkan untuk dimanfaatkan sebagai salah satu komponen pengendalian
hama terpadu.

2. Pola tanam
Untuk mengurangi populasi hama dan patogen dapat dilakukan tertib
tanam dalam ruang dan waktu, pergiliran tanam, dan tumpang sari. Cara tersebut
dimaksudkan untuk memotong siklus hidup dan menghambat perkembangan
hama atau penyakit, karena cara ini dapat mempertinggi keanekaragaman jenis
tanaman.
Pengurangan gangguan OPT melalui pola tanam sebenarnya merupakan
kearifan lokal telah lama dipraktekan oleh petani tradisional, khususnya di Jawa.
Prayitno (2009) yang mengkaji tembang dalam Surat Chentini menemukan bahwa
jauh sebelum lembaga pendidikan pertanian formal lahir di Indonesia, di
Kademangan Pengasih Kabupaten Kulon Progo, telah terdapat praktek pertanian
yang berasaskan pada prinsip prinsip agroekoteknologi yang benar. Tembang
tersebut mengungkap tata letak rumah dan pekarangan, termasuk jenis jenis
tanaman maupun jenis hewan piaraan yang seyogyanya ada dalam lingkungan
pekarangan untuk dapat memenuhi kebutuhan lahir dan bathin.
Selain pola tanam, nenek moyang kita telah mewariskan kearifan atau
adat kebiasaan yang tidak tertulis tentang klasifikasi tanah, seleksi benih unggul,
kelestarian plasma nutfah, mengatur lingkungan untuk menghindari OPT,
memperhitungkan saat tanam, mengadakan pengamatan selama musim tanam,
keseimbangan hayati terhadap musuh alami, dan pengelolaan alam (Triharso,
1978).

3. Teknik Bercocok Tanam


Cara ini merupakan pengendalian yang murah, mudah, terpercaya dan
aman tehadap lingkungan. Agar dapat berhasil dengan baik, cara ini perlu
didukung dengan pengetahuan bioekologi yang serba cakup dari hama, pathogen
dan gulma. Cara ini meliputi tiga kategori, yaitu:

18
a. Yang berhubungan dengan fenologi hama atau penyakit (watu tanam dan
panen yang tepat)
b. yang berhubungan dengan pengelolaan tanaman (pengelolaan tanah,
pengairan, jarak tanam dan pemupukan),
c. yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan tanaman atau hama
(sanitasi, air pengairan)
Mengenai pentingnya bioekologi hama dalam pengelolaan OPT, Oka
(1979) memberikan contoh terkait dengan pengendalian virus kerdil hampa pada
padi (rice rugged stunt virus). Ekobiologi virus tersebut adalah: Virus ditularkan
oleh wereng coklat (Nilaparvata lugens) ; sifat penularan persisten, tidak
diturunkan ke progeni; semua varitas peka, efisiensi pnularan 10 – 20%; serangan
bersifat endemik; belum diketahui sumber gen untuk resisten, tanaman inang lain
Echinochloa crusgalli dan Ehinochloa colonum. Teknik bercocok tanam yang
dianjurkan adalah menanam secara serempak, pergiliran tanaman dengan bukan
padi, sanitasi selektif (singgang padi dan kedua gulma inang dibinasakan),
pengamatan populasi wereng, pengamatan musuh alami wereng, penggunaan
pestisida berdasarkan hasil pengamatan, dan meningkatkan peran musuh alami.

4. Cara Fisik dan Mekanik


Cara ini meliputi berbagai teknik yang berhubungan dengan perilaku hama
(lampu perangkap atau bahan perangkap lain), teknik yang berhubungan dengan
toleransi hama terhadap lingkungan hidup (angin, temperature, kelembaban,
ultrasonic) dan teknik secara mekanik (gropyokan, pembakaran dan perendaman).
Terkait dengan teknik ini, petani juga sudah mempraktekan kearifan lokal
yang menurut penururan mereka sangat berhasil. Hadisutrisno (1999)
mengemukakan bahwa transmigran asal Boyolali di Kecamatan Manggala,
Lampung Utara, mempunyai kebiasaan yang unik dalam menghalau hama burung
pada padi secara efektif dan efisien. Mereka menghalau burung di sawah dengan
memasang tiruan kepala burung yang terbuat dari potongan kain plastik dengan
warna dasar kuning pada kepala burung, sedangkan matanya berwarna coklat
kemerahan. Hal yang serupa dilakukan oleh penduduk Jepang yang tinggal di
apartemen dalam menghalau datangnya burung merpati yang mengotori beranda.

19
Mereka memasang tiriun bola mata burung pemangsa yang sudah tersedia secara
komersial, berupa bola berwarna kuning dengan gambaran lingkaran yang
berwarana hitam.
Sebagian petani di Jawa telah lama menghindari kerusakan benih dengan
cara menggangtukan benih benih tanaman (misalnya bawang merah) di atas paga
paga di dapur. Dengan cara ini petani dapat menghindarkan penyakit “kropos”
pada benih bawang merah dan bawang putih yang sering terjadi di simpanan,
tanpa harus menggunakan pestisida.

4. Zat Kimia yang Mempengaruhi Perilaku Hama


Penerapan rangsangan bahan kimia sebagai metode pengendalian hama
merupakan hal yang relative baru, tetapi potensinya sebagai alternative yang aman
sangat besar. Sebagai contoh bahan tersebut adalah, feromon yang memberikan
reaksi spesifik. Karena sifatnya yang spesifik, penggunaan feromon merupakan
salah satu metode alternative yang kini banyak dikembangkan. Pada dasarnya
feromon dapat diterapkan untuk: (a) survey hama sebagai dasar tindakan
pengendalian; (b) mengendalikan hama dengan mengkombinasikan dengan
senyawa lain seperti insektisida atau kemosterilan, (c) mengendalikan hama
dengan cara memberikan feromon sampai jenuh sehingga srangga hama
kehilangan orientasi dan tidak mampu berkopulasi.

5. Pengendalian Secara Hayati


Karena perbedaan dalam latar belakangnya, para pakar memberikan arti
pengendalian hayati dengan maksud yang agak sedikit berbeda beda. Dalam
pandangan Mangoendihardjo (1995) pengendalian hayati adalah penggunaan
agens hayati atau musuh alami dan pesaing untuk pengendalian organism
pengganggu tanaman (OPT). Dalam pengertian sempit pengendalian hayati
didefinisikan sebagai penggunaan musuh alami hama (parasitoid/predator/
pathogen) untuk menekan populasi hama sampai suatu tingkat yang secara
ekonomi tidak merugikan (Mahrub, 2002). DeBach (1964 cit. Sosromarsono,
2006) memberikan batasan pengendalian hayati sebagai berikut: “tindakan
parasitoid, predator dan patogen dalam memelihara kerapatan organisme lain pada

20
rerata yang lebih rendah dari pada kerapatan bila tindakan musuh alami tidak
ada”. Pendapat lain memahami pengendalian hayati dalam arti yang lebih luas,
yaitu mencakup faktor faktor lain misalnya penggunaan tanaman tahan OPT,
teknik pemandulan diri (auto sterillity), dan manipulasi genetik spesies (Bosch
dan Messenger, 1973 cit. Sosromarsono, 2006). Adapun yang termasuk dalam
kategori agens hayati atau musuh alami adalah burung pemangsa ulat, burung
pemangsa tikus, ular pemangsa tikus, ikan pemangsa gulma air, serangga
pemakan gulma, parasitoid dan pathogen serangga hama dan pesaing penyebab
penyakit. Keuntungan pengendalian hayati adalah relative stabil, ekonomis, aman,
dapat berlangsung secara mandiri secara terus menerus (Triharso, 1993).
Pengendalian hayati sudah lama dipraktekan di bidang pertanian. Di
Cina pengendalian OPT dengan menggunakan musih alami sudah dimulai sejak
tahun 1200 dan mengalami puncak kegiatannya pada sekitar dua decade terakhir
abad ke-19 (Mangoendihardjo, 1995). Di California pada tahun 1888/1889,
introduksi predator Rodolia cardinalis (Mulsant) telah berhasil untuk
mengendalikan kutu Kerya purchase Maskel ( Greathead, 1992 cit. Mahrub,
2002). Indonesia juga sudah lama memanfaatkan pengendalian hayati OPT di
sektor pertanian. Pada masa pra-kemerdekaan pemerintah kolonial Belanda
sudah mempunyai perhatian yang besar terhadap pemanfaatan musuh alami pada
pertanian. Dilaporkan bahwa pada 1915 an Belanda telah berhasil memanfaatkan
parasitoid untuk berbagai hama kelapa seperti Brontispa longisima di Sulawesi
Selatan, Aspidiotus destructor dan Sexava nubila di Sulawesi Utara,
Menandai peringatan 60 tahun Indonesia merdeka, Sosromarsono (2006)
telah merekam secara secara tuntas sumbangan nyata para ilmuwan Indonesia,
khususnya di bidang entomologi terapan, dalam mengisi kemerdekaan melalui
pengembangan pengendalian hayati. Mereka termasuk sebagian ilmuwan
Indonesia yang telah menumpahkan jiwa raga mereka untuk bekerja dalam bidang
ilmu, lingkungan tempat mereka bekerja kurang menguntungkan (Sastrapraja dan
Rifai, 2006). Salah satu catatan penting yang dikemukaan oleh Sosromarsono
(2006) yaitu bahwa dua darsa warsa sebelum konsep pengendalian hama terpadu
(PHT) dilahirkan oleh Stern et al. pada tahun 1930an, pengendalian ulat daun
kelapa di Jawa Tengah pada tahun 1930an telah dilakukan dengan pendekatan dan

21
prinsip prinsip tindakan yang sekarang disebut sebagai PHT. Untuk menyusun
strategi pengendalian dimulai dengan penelitian ekobiologi dan teknik yang
efektif untuk mengendalikan hama kelapa tersebut. Dari hasil penelitian diketahui
bahwa instar instar ulat Artona ternyata diserang oleh parasitoid, yang dalam
keadaan normal dapat menekan populasi Artona sehingga tidak merusak, dan
tidak perlu dilakukan pengendalian. Pada saat itu ditentukan tahap pertama
ambang pengendalian, yaitu rerata lima stadia hidup hama pada dua daun
(pelepah) tua. Selanjutnya didasarkan atas pengetahuan pengaruh parasitasi oleh
parasitoid serta persentase parasitasi total semua stadia Artona. Apabila rerata
lima stadia hidup ditemukan pada dua daun tua, tetapi 80% dari stadia itu diserang
oleh parasitoid, maka tidak dilakukan tindakan pengendalian. Sebaliknya jika
tingkat parasitasi pada lima stadia hama tersebut oleh parasitoid kurang dari 80%,
maka dilakukan pengendalian dengan memadukan cara pengendalian hayati,
mekanis dan kimiawi. Pengalaman yang sama ternyata juga telah dilakukan oleh
Perkebunan Tebu di Jawa Timur dalam mengendalikan kutu daun lilin tebu
(Ceratovacuna lanigera) yang dimotori oleh Stasiun Penelitian Gula Pasuruan.
Pada saat yang hamper bersamaan Pemerintah Kolonial Belanda juga sangat
intensif melakukan penelitian dan memanfaatkan agens hayati untuk
mengendalian berbagai OPT penting pada tanaman tembakau di Sumatera Utara
dan lamtoro di Jawa Tengah. Selain untuk mngendalikan hama serangga, pada
saat itu juga telah agens hayati yang sangat efektif untuk mengendalikan gulma.
Meskipun pada awal masa kemerdekaan Indonesia kekurangan sumber
daya manusia (SDM) dalam bidang pengendalian hayati, saat ini perkembangan
pengendalian hayati di Indonesia sangat menggembirakan. Saat ini telah tersedia
berbagai agens hayati baik untuk pengendalian OPT kelompok hama, penyebab
penyakit (pathogen), dan gulma. Mangoendihardjo (1995) bermimpi bahwa agens
hayati akan menjadi komponen utama PHT Indonesia masa depan. Mimpi
tersebut hanya dapat terwujud apabila kita berhasil mengembangkan SDM yang
handal, mendapatkan dukungan dana yang cukup, mengembangkan kelembagaan
yang sinergis, dan membangun komunikasi yang efektif.

6. Pengendalian Dengan Pestisida

22
Istilah pesticide (pest = pangganggu; caedo = membunuh), arti
sesungguhnya adalah pembunuh pengganggu atau pembunuh hama dalam arti
luas. Tetapi istilah ini sering tidak dimengerti oleh petani kemudian diterjemahkan
menjadi obat anti hama. Istilah obatpun membingungkan, karena dalan bahasa
sehari hari petani sering minum obat untuk menyembuhkan penyakitnya. Untuk
menghindari kecelakaan dan hal hal yang tidak diinginkan perlu diganti dengan
istilah yang lebih tepat. Sementara diusulkan untuk menggunakan racun hama
untuk pestisida, racun serangga untuk insektisida, racun gulma untuk herbisida,
dan racun jamur untuk fungisida (Triharso, 1978).
Tidak dapat dibantah lagi bahwa preranan pestisida di sektor pertanian
sangat penting dan hampir tidak mungkin dipisahkan dengan kehidupan manusia
pada umumnya (Supratoyo, 1977). Bahkan di negara negara yang sudah maju,
teknologi pertanian mutakhir telah menjadikan pestisida sebagai bagian integral
dalam usaha menaikkan dan mempetahankan produksi pertanian yang tinggi, serta
menolong jiwa manusia (Semangun, 1975). Kiranya terlalu panjang jika harus
dipaparkan semua peristiwa penting di Indonesia yang penanggulannya dilakukan
terutama dengan pestisida. Sekedar sebagai gambaran, akan diberikan beberapa
contoh:
a. Ledakan hama Sexava pada pertanaman kelapa di daerah Indonesia bagian
timur (Kepulauan Sangir – Talaud) pada tahun 1960an dapat dikendalikan
dengan penyemprotan Diazinon 100 EC melalui penyemprotan udara.
b. Hama wereng Coklat yang berkecamuk hampir di seluruh daerah
pertanaman padi pada tahun 1974-1976 dapat diatasi dengan baik dengan
memadukan penanaman varitas unggul tahan wereng (VUTW) dan
penggunaan berbagai insektisida.
c. Di sektor kesehatan, insektisida antara lain DDT, BHC, Aldrin, Dieldrin,
telah berjasa untuk mengendalikan nyamuk, penular penyakit malaria dan
demam berdarah.
Karena hasilnya yang cepat dirasakan, sedangkan dampak negatif
penggunaan pestisida umumnya tidak langsung kelihatan, maka penggunaan
pestisida bertambah dengan pesat. Meningkatnya penggunaan pestisida di sektor
pertanian juga tidak lepas dari peran konsumen yang selalu menghendaki produk

23
pertanian yang secara absolute bebas dari serangan OPT. Dapat dipahami bahwa
pestiida pernah dianggap sebagai “dewa penyelamat” yang menjamin terbebasnya
komoditas pertanian dari gangguan OPT (Oka, 1995).
Pestisida bukanlah racun yang tanpa pengaruh negatif. Selain mempunyai
dampak ekobiologi, penggunaan pestisida juga sering menimbulkan masalah
sosioekonomi. Sejak terbitnya buku “Silent Spring” yang ditulis oleh Carson pada
tahun 1962, kesadaran untuk meneliti dan mempublikasikan dampak negatif dari
penggunaan pestisida yang tidak bijaksana, meningkat dengan tajam (Oka, 1995).
Dampak negatif tersebut antara lain:
a. Penggunaan salah satu jenis pestisida untuk mengendalikan salah satu jenis
OPT, dapat menggalakan serangan penganggu yang lain. Antara lain
terdapat tanda tanda bahwa pemakaian fungisa tembaga untuk
mengendalikan penyakit cacar teh, dapat memicu berkembangnya tungau.
Pemakaian herbisida untuk mengendalikan gulma pada teh, ternyata
menggalakkan perkembangan bermacam macam ulat dan Helopeltis. Di luar
negeri telah dibuktikan bahwa pemakaian herbisida 2,4-D untuk
membrantas gulma menyebabkan tanaman pokoknya menjadi lebih peka
terhadap bermacam macam serangga, jamur pathogen dan virus (Semangun,
1975).
b. Hama sasaran berkembang menjadi lebih kebal terhadap pestisida (Edwards,
1993 cit. Oka, 1995). Ditinjau dari segi mekanismenya, ketahanan terhadap
pestisida dapat bersifat morfologi, biokimia dan watak (Supratoyo, 1977)
c. Hama tertentu, misalnya hama wereng, menjadi lebih banyak (Laba dan
Soejitno, 1987 cit. Oka, 1995).
d. Musuh musuh alami (predator, parasitoid) dan makluk makluk bukan
sasaran (belut, katak, kadal, lebah madu, serangga penyerbuk, cacing tanah,
ikan, insekta air, jamur mikoriza, bakteri penambat nitrogen) ikut terbunuh.
e. Pestisida meninggalkan residu dalam tanaman dan hasil tanaman.
f. Pestisida mencemari lingkungan fisik yaitu udara, air, dan tanah.
g. Pestisida tertentu dapat menimbulkan “pembesaran biologis” seperti DDT
dan formulasi sebangsanya.

24
h. Pestisida menimbulkan kecelakaan bagi manusia dan hewan ternak
(keracunan akut/kronik dan kematian) (Oka, 1995)
Dua gatra penting yang berhubungan dengan masalah pencemaran
lingkungan oleh pestisida adalah pengaruhnya terhadap manusia dan binatang
piaraan, yang dapat tercemar melalui makanan, dan terhadap organism bukan
sasaaran yang dapat terpengaruh oleh akumulasi pestisida melalui rantai makanan.
Hewan vertebrata bukan sasaran tidak lepas dari pengaruh pencemaran pestisida.
Di Inggris, misalnya, berbagai burung pernah dilaporkan mengandung residu
pestisida yang cukup tinggi, bahkan sampai pada tingkat mematikan. Demikian
pula di dalam hati sejumlah kelelawar ditemukan DDE (10.68 ppm), DDT (4,62
ppm, dan Dieldrin (0,29 ppm). Sejak tahun 1970an di banyak bagian dunia,
keracunan pestisida telah mengakibatkan burung burung, terutama yang hidup di
tepi pantai, bertelur dengan kulit tipis atau tanpa kulit sama sekali, sehingga
meupakan penyebab utama penurunan populasi beberapa jenis burung tersebut
(Kadarsan, 1976).
Akibat adanya DDT dan senyawa hasil uraiannya dalam ekosistem
perairan menyebabkan kematian amfibia pradewasa, dan dewasa, serta
menimbulkan perubahan dari kelakuan dan kelainan morfologi, seperti terjadinya
ekor dan moncong yang tidak normal (Kadarsan, 1976).

25
BAB III
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dalam makalah ini dapat di ambil
beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Beberapa golongan bakteri patogen dalam tanaman padi diantaranya
adalah Penyakit Tumbuhan infeksious atau penyakit biotik, yang terdiri
dari Penyakit karena jamur, Penyakit karena prokaryotes (Bakteri dan
Mollicutes), Penyakit karena virus dan viroid, Penyakit karena nematode
dan Penyakit karena protozoa. Penyakit Tumbuhan non-infeksious atau
abiotik, yang terdiri dari penyakit karena temperature terlalu tinggi atau
rendah, penyakit karena kelebihan atau kekurangan air, penyakit karena
kekurangan atau kelebihan cahaya, penyakit karena kelebihan atau
kekurangan oksigen, penyakit karena pencemaran udara, penyakit karena

26
kekurangan unsure hara, penyakit karena keracunan mineral, penyakit
karena keasaman tanah, penyakit karena keracunan pestisida, penyakit
karena kesalahan teknik budidaya.
2. Jenis-jenis gulma atau hama dalam tanaman padi dibedakan berdasarkan
tipe atau jenis tanaman padi yang di budidayakan, seperti padi sawah yang
gulma alaminya dari jenis tumbuhan wewehan (Monochoria vaginalis
(Burm.f.) Presl), tumbaran (Paspalum disticum L.), pada padi gogo gulma
alaminya seperti meniran putih (Phylanthus niruri Aubl.), rumput teki
(Cyperus rotondus L.), pada padi gogo rancah gulma alaminya adalah
rumput tuton (Echinochloa colonum (L.) Link), Semanggi (Marsilea
crenata Presl.), dan pada padi pasang surut gulma alaminya adalah jekeng
kunyit (Cyperus iria L.), dan teki rowo (Cyperus brevifolius (Rottb.)).
3. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk pengendalian bakteri pathogen
dan gulma pada tanaman padi adalah dengan cara penggunaan varietas
resisten, pola tanam, teknik bercocok tanam, cara fisik dan mekanik, Zat
kimia yang mempengaruhi perilaku hama, pengendalian secara hayati,
pengendalian dengan pestisida.
DAFTAR RUJUKAN

Agrios,G.N. 2005. Plant Pathology. Fifth Edition.USA: Elsevier Academic Press.


Galun, A. dan Triharso. 1993. Economic Aspects of Crop Loss Control at the
Farm Level, 2.3/1-2.3/6. Dalam Chiarappa, L. (Ed.) Crop Loss
Assessment Methods. FAO Manual on Evaluation and Prevention of
Losses by Pest, Diseases and Weeds. Alden and Mowbray Ltd. Great
Britain.
Hadisutrisno, B. 1999. Kearifan Petani dalam Pengendalian Penyakit Tanaman :
Telaah Epidemiologis dan Kemungkinan Pengembangannya di
Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Madya dalam
Epidemiologi Penyakit Tumbuhan pada Fakultas Pertanian.
Yogyakarta : UGM Press
Kadarsan, S. 1976. Pengaruh Samping Pestisida Terhadap Hewan Vertebrata
bukan Sasaran. Aspek Pestisida di Indonesia : Hasil Simposium

27
Peranan Pestisida dalam Pengelolaan Hama-Penyakit Tanaman dan
Tumbuhan Pengganggu. LPPP Bogor Edisi khusus 3 : 71-75
Kartasapoetra, AG. 1993. Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan. Jakarta.:
Bumi Aksara
King, 1974. De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. NV. Vitgeverrij. W.
Van Hoeve, Bandung, 512 p.
Mahrub, E. 2002. Potensi Pengendalian Hayati dalam Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Pertanian, UGM. Yogyakarta. 27 p.
Mangoendihardjo, S. 1995. Pengendalian Hayati Komponen Utama Pengelolaan
Jasad Pengganggu. Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM. Yogyakarta
Oka, I.N. 1976. Ekologi Pengelolaan Hama Penyakit Tanaman. Kongres Nasional
PFI ke IV. Bandung.
Phipps, R.H. 2009. Safety for Human Consumption. In N. Ferry and A.M.R.
Gatehouse (Eds.), Enviromental Impact of Genetically Modified
Crops. CABI. UK: 23-79
Prayitno, D. 2009. Sistem Usaha Tani Terpadu SEbagai Model Pembangunan
Pertanian Berkelanjutan di Tingkat Petani. Pidato Pengukuhan
Sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, 30 Juli 2009. 20 p.
Ronoprawiro, S. 1995. Gulma sebagai Lawan dan Kawan dalam Kehidupan
Manusia. Pidato Pengukuhan Sebagai Gurubesar Fakultas Pertanian
UGM. 13 Februari 1992. 23 p.
Ronoprawiro, S. 1992. Gulma sebagai Lawan dan Kawan dalam Kehidupan
Manusia. Pidato Pengukuhan Sebagai Gurubesar Fakultas Pertanian
UGM. 13 Februari 1992. 23 p.
Sastroutomo, S.S. 1990. Ekologi Gulma. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.
217 p.
Semangun, H. 1975. Fitopatologi dan Konsep “Pest Management”. Kongres
Nasional PFI III. Bogor.
Semangun, H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,. 449 p.

28
Soejono, A.T. 2006. Gulma dalam Agroekosistem: Peranan, Masalah, dan
Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Sebagai Gurubesar pada
Fakultas Pertanian UGM, 5 Juni 2006. 27 p.
Soerjani, M., Kostermans, AJGH, and G. Tjitrosoepomo. 1987. Weeds of rice in
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 716 p.
Sosromarsono, S.S. 2006. Ekologi Gulma. Jakarta : P.T. Gramedia Pustaka Utama.
217 p.
Sumardiyono . 2000. Toksikologi Pestisida. Bahan Kursus Proteksi Tanaman
Petugas Proteksi Disbun Jateng. LPP Yogyakarta, 17 sd Mei2015.
Supratoyo. 1977.Toksikologi Pestisida. Bahan Kursus Proteksi Tanaman Petugas
Proteksi Disbun Jateng. LPP Yogyakarta, 21 sd 26 Februari 1977. 22
p.
Supratoyo. 1977.Toksikologi Pestisida. Bahan Kursus Proteksi Tanaman Petugas
Proteksi Disbun Jateng. LPP Yogyakarta, 21 sd 26 Februari 1977. 22
p.
Tjitrosoepomo, G. 1969. Beberapa Persoalan Tentang Nomenklatur Tumbuh
Tumbuhan. Pidato Pengukuhan Djabatan Guru besar dalam Ilmu
Sistematik Tumbuh-tumbuhan pada Fakultas Biologi UGM. 18
Oktober 1969. 20 p.
Tjoe Tjien Mo. 1953. Memberantas Hama Padi di Sawah dan Gudang. Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka
Triharso. 1978. Beberapa Gatra Pengendalian Penyakit Tumbuhan dan
Kemungkinan Penerapannya di Indonesia, Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian UGM, 25 Nopember
1978. 33 p.

29

Anda mungkin juga menyukai