Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH STUDY FIQH

“FIQH MUNAKAHAT”

Dosen Pembimbing :
M. Mukhlis Fachrudin, M.S.I

Disusun Oleh :
1. Sholikhatul Fitriya (12620055)
2. Idham Cholid (12620082)
3. Rita Azqia R.A (12620087)

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2014

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Kata dasar pernikahan
adalah nikah. Menurut kamus bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau
bersatu. Pernikahan adalah suatu lembaga kehidupan yang disyariatkan dalam
agama Islam. Pernikahan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan
laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dlan
mendapatkan keturunan yang sah. Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan
pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Tujuan pernikahan adalah untuk
mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, serta bahagia di
dunia dan akhirat.
Dalam usaha meleburkan suatu bentuk hukum dalam dunia hukum Islam
Indonesia. Tentunya kita ingin mengetahui lebih dalam darimana asal konsep
hukum yang diadopsi oleh Departemen Agama RI tersebut yang kemudian menjadi
produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dan
diantara materi bahasannya adalah rukun dan syarat perkawinan yang akan coba kita
pelajari perbandingannya dengan fiqih munakahat.
Terpenuhinya syarat dan rukun suatu perkawinan, mengakibatkan diakuinya
keabsahan perkawinan tersebut baik menurut hukum agama/fiqih munakahat atau
pemerintah (Kompilasi Hukum Islam).Bila salah satu syarat atau rukun tersebut
tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fiqih
munakahat atau Kompilasi Hukum Islam, menurut syarat dan rukun yang telah
ditentukan salah satunya.
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Oleh karena
itu, manusia diciptakan untuk melakukan kewajibannya di muka bumi. Salah satu
makalah yang akan kami bahas adalah adalah munkahat atau pernikahan. Manusia
diciptakan berpasang-pasangan, ada perempuan dan ada laki-laki. Dan sebab itu,
kita sebagai manusia harus bersyukur ata pemberian Allah. Dalam pembahasan ini,

2
kami akan memperjelas secara lebih detail tentang munakahat, baik pengertiannya,
syarat-syaratnya, rukun, kewajiban dan himah dari munakahat. Agar kita sebagai
manusia bisa menjalankan perintah Allah secara benar.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari munakahat ?
2. Apa tujuan dari pernikahan ?
3. Apa tujuan dari pernikahan menurut islam ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari munakahat.
2. Untuk mengetahui tujuan dari pernikahan.
3. Untuk mengetahui tujuan pernikahan menurut islam.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Munakahat


Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Kata dasar pernikahan
adalah nikah. Menurut bahasa Indonesia, nikah artinya bersatu atau berkumpul.
Dalam istilah syariat, nikah artinya melakukan akad nikah atau perjanjian untuk
mengikat diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan,serta menghalalkan
hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka sama suka demi terwujudnya
rumah tangga yang bahagia, yang diridoi oleh Allah SWT.1
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia sering
diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah menurut istilah syariat Islam adalah akad
yang menghalalkan pergaulan antara laki - laki dan perempuan yang tidak ada
hubungan Mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewjiban antara
kedua insan.
Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan adalah merupakan
tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan
ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki - laki dn perempuan yang
diatur dengan pernikahan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan
kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara
keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling kedua insan tersebut.
Berbeda dengan pergaulan antara laki - laki dan perempuan yang tidak
dibina dengan sarana pernikahan akan membawa malapetaka baik bagi kedua insan
itu, keturunannya dan masyarakat disekelilingnya. Pergaulan yang diikat dengan tali
pernikahan akan membawa mereka menjadi satu dalam urusan kehidupan sehingga
antara keduanya itu dapat menjadi hubungan saling tolong menolong, dapat
menciptkan kebaikan bagi keduanya dan menjaga kejahatan yang mungkin akan

1 Nur, Djamaan. 1993. Fiqih Munakahat. Semarang: Dina Utama

4
menimpa kedua belah pihak itu. Dengan pernikahan seseorang juga akan terpelihara
dari kebinasaan hawa nafsunya.2

Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut :


” Maka kawinilah wanita - wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan brlaku adil maka (kawinilah) seorang
saja .”
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu untuk
melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil
didalam memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain
yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan
poligami dengan syarat - syarat tertentu.

2.2 Tujuan Munakahat


1. Untuk mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya
2. Untuk memperoleh hidup yang tentram dan bahagia (sakinah, mawadah, dan
warohmah)
3. Untuk keselamatan diri sendiri, keluarga, keturunan, dan masyarakat.
4. Untuk memelihara kebinasaan hawa nafsu.
5. Untuk memperoleh rasa cinta dan kasih sayang.
6. Untuk memenuhi kebutuhan seksual secara sah dan diridoi Allah SWT.

2.3 Hukum Munakahat


Perkawinan adalah ibadah yang dianjurkan Allah SWT dan Nabi
Muhammad saw. Banyak perintah Allah dalam Al-quran agar melaksanakan
perkawinan.Firman Allah SWT: “Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di
antara kamu, dan orang-orang yanglayak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin

2
Ibid

5
Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas
(pemberiannya) lagi Maha Mengetahui.(Q.S. An-Nur (24) : 32
Ditinjau dari segi kondisi orang yang akan menikah, hukum nikah sebagai
berikut:

1. Sunnah, artiya bagi orang yang ingi menikah, mampu nikah, mampu
mengendalikan diri dari perzinahan, tetapi tidak ingin menikah.
2. Wajib, artinya bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan ia
khawatir berbuat zinah jika tidak segera menikah.
3. Makruh, artinya bagi orang yang ingin menikah, tetapi belum mampu
memberi nafkah terhadap istri dan anak-anaknya.
4. Haram, artinya bagi orang yang ingin menikah, tujuannya yang hanya
menyakiti istrinya.

2.4 Rukun dan Syarat Munakahat


Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam
perkara ini :
1. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai
wanita kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam
menerima ijab) sebagai bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan
ijab-qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda
keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah
untuk selamanya.3
Syarat ijab-qabul adalah :
a. Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b. Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita

3
Rasjid, Sulaiman. 1996. Fikh Islam.. Bandung. Sinar Baru Algesindo

6
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah :
a. Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka )
b. Bukan mahrom dari calon isteri
c. Tidak dipaksa.
d. Orangnya jelas.
e. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
3. Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai wanita adalah :
a. Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) &
mukallaf
b. Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah &
bukan mahrom dari calon suami).
c. Tidak dipaksa.
d. Orangnya jelas.
e. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.

4. Adanya wali.
Akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan
oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh
walinya.
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Wali dengan
bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan
menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum
(agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu
dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu
yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria). Wali dalam nikah adalah yang
padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).4

4
Abidin Slamet, dkk. 1999. Fiqih Munakahat. Bandung : Pustaka Setia

7
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali
dalam pernikahan adalah orang yang mangakadkan nikah itu menjadi sah. Nikah
yang tanpa wali adalah tidak sah. Wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu
hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak
menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung
melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain.
Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin
pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau
mewakilkannya kepada orang lain. Yang bertindak sebagai wali adalah seorang
laki-laki yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Seorang wali dalam suatu akad nikah sangat diperlukan, karena akad nikah
tidak sah kecuali dengan seorang wali (dari pihak perempuan).
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
1. Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai
wanita dan berhak menjadi wali.
Dalam menetapkan wali nasab terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama. Perbedaan ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi,
sedangkan Al-quran tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yangberhak
menjadi wali. Jumhur ulama membaginya menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah
kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan
yang akan dikawinkannya.
Kedua: wali jauh (wali ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan
kakek, juga selain dari anak dan cucu. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:
a) Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
b) Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
c) Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
d) Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.

8
e) Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
f) Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
g) Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
h) Anak paman seayah,
i) Ahli waris kerabat lainya kalau ada.
2. Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak
sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab
apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
a. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
b. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat
dengan dia tidak ada.
c. Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan
yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
d. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
e. Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
f. Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
g. Walinya gila atau fasik.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk
oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
3. Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri
untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat
sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu
fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.
Syarat-syarat wali sebagai berikut :
1) Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim.
2) Sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau oarang gila
tidak berhak menjadi wali.

9
3) Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun
menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita
sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah
SAW:
َ ‫الزا ِن َيةُ الَّ ِتى ت ُ ْن ِك ُح نَ ْف‬
‫س َها ِبغَي ِْر ِإذْ ِن َو ِل ِِّي َها‬ َ ‫` أ َ ِبى ه َُري َْرة َ قَا َل الَ تُزَ ِّ ِو ُج ْال َم ْرأَة ُ ْال َم ْرأَة َ َوالَ تُزَ ِّ ِو ُج ْال َم ْرأَة ُ َن ْف‬ã
َّ ‫س َها َو‬
Artinya: ”Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita.
Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang
menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Dishohihkan oleh Al-
Albani dalam Shohihul Jami’ 7298)
4) Orang merdeka.
5) Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak
bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak
membiasakan diri berbuat munkar.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun
yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal
pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda
Nabi SAW:
Artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan
kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn Hanbal).
6) Tidak sedang melakukan ihram.
Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali
dalam arti selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan
selama wali nasab yang lebih dekat masih ada maka wali yang lebih jauh tidak
dapat menjadi wali.
Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarib. Bila
wali qaribtersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, islam, merdeka,
berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut
urutan di atas.

10
5. Adanya saksi (2 orang pria).
Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri
sesuatu peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah adalah orang yang
memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan secara apa adanya.
Rasulullah sendiri dalam berbagai riwayat hadits walaupn dengan redaksi
berbeda-beda menyatakan urgensi adanya saksi nikah, sebagaimana dinyatakan
dalam sebuah hadits:
َ َ‫الَ نِكَا َح ِإال‬
ْ َ‫بو ِلي ٍ ِِِِّ َو شَا ِهد‬
‫ي َع ْد ٍل‬

“Tidak sah suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang
adil’.
Bahkan dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan Turmudzi dinyatakan
bahwa pelacur-pelacur (al-baghaya) adalah perempuan-perempuan yang
menikahkan dirinya sendiri tanpa dihadiri dengan saksi (bayyinah).
Malikiyah mempunyai pendapat berbeda tentang saksi dalam pernikahan.
Pandangan Malikiyah berangkat dari illat ditetapkannya saksi sebagai syarat sah
nikah. Malikiyah mengambil pemikiran bahwa untuk sampainya informasi dan
bukti pernikahan tidak harus melembagakan saksi, namun bisa ditempuh
melalui i’lan.Malikiyah membedakan i’lan dengan saksi, dimana i’lan difahami
sebagai media penyambung informasi dari suatu pernikahan tanpa harus melalui
hadirnya sosok saksi dalam proses akad nikah.5
Menurut Malikiyah saksi tidak dibutuhkan kehadirannya pada saat aqad,
namun saksi akan diharuskan kehadirannya setelah aqad sebelum suami
mencampuri isterinya. Malikiyah justru mengutamakan i’lan nikah dari pada
kesaksian itu sendiri, karena dalam i’lan sudah mencakum kesaksian. Meski
demikian mereka tetap menghadirkan dua orang saksi sebagai wujud pengamalan
mereka terhadap hadis tersebut. Hal ini didasarkan pada pandangan Malikiyah, yang

5
Hasan, M. Ali.1997. Perbandingan Mazhab Fiqih. Jakarta: Grafindo Persada.

11
benar-benar mengedepankan praktek ahli Madinah yang pada waktu itu
mengamalkan hadis-hadis yang berkaitan dengan i’lan.6
Dalam peraturan perundangan yaitu pada KUHP Pasal 1 (26) dinyatakan
tentang pengertian saksi yaitu: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar
sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengertahuannya
itu”
Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah, sehingga
setiap pernikahan harus dihadiri dua orang saksi (ps. 24 KHI). Karena itu kehadiran
saksi dalam akad nikah mutlak diperlukan, bila saksi tidak hadir/tidak ada maka
akibat hukumnya adalah pernikahan tersebut dianggap tidak sah. UU Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 26 (1) menyatakan dengan sangat tegas: “Perkawinan
yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat perkawinan yang tidak berwenang,
wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang
saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan
lurus keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri”.
6. Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar :
a. Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari
seorang suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad
nikah. Lihat QS. An Nisaa’ : 4.
b. Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan
kepada/milik mertua.
c. Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya
persetubuhan.
d. Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan
kerelaan.
e. Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan
perkara ini untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit,
6
Ibid

12
tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw
senang mahar yang mudah dan pernah pula.

2.5 Perempuan-Perempuan Yang Haram Dinikahi


Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisaa ayat 22-24 :
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu
terkecuali pada masa yang telah lampai. Sesungguhnya perbuatan itu amatlah dan
dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu
(mengenai) ibu-ibumu; anak-anak yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudara yang laki-laki; anak
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak
anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang sudah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum campuri dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan),
maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu);, dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu)
mencari isteri yang telah kamu nikahi (campur) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan
tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu terhadap sesuatu yang
kamu telah saling merelakannya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”
Dalam tiga ayat diatas Allah SWT menyebutkan perempuan-perempuan yang
haram dinikai. Dengan mencermati firman Allah tersebut, kita dapat menyimpulkan
bahwa tahrim, pengharaman’ ini terbagi dua:

13
Pertama: Tahrim Muabbad (pengharaman yang berlaku selama-lamanya), yaitu
seorang perempuan tidak boleh menjadi isteri seorang laki-laki di segenap waktu.
Kedua: Tahrim Muaqqat (pengharaman yang bersifat sementara), jika nanti
keadaan berubah, gugurlah tahrim itu dan ua menjadi halal.7
Sebab-sebab tahrim muaqqad (pengharaman selamanya) ada tiga yang
pertama karena nasab, kedua haram mushaharah (ikatan perkawinan) dan ketiga
karena penyusuan.
a. Perempuan-perempuan yang haram dinikahi karena nasab adalah :
1. Ibu
2. Anak perempuan
3. Saudara perempuan
4. Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah)
5. Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu)
6. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan)
7. Anak perempuan saudara perempuan).
b. Perempuan-perempuan yang haram diwakin karena mushaharah adalah :
1. Ibu istri (ibu mertua), dan tidak dipersyaratkan tahrim ini suami harus dukhul
”bercampur” lebih dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah dengan
puterinya, maka sang ibu menjadi haram atau menantu tersebut.
2. Anak perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh karena itu,
manakala akad nikah dengan ibunya sudah dilangsungkan namun belum
sempat (mengumpulinya), maka anak perempuan termasuk halal bagi mantan
suami ibunya itu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, ”Tetapi kalian belum
bercampur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian campur), maka tidak
berdosa kalian menikahinya.” (An-Nisaa:23).
3. Isteri anak (menantu perempuan), ia menjadi haram dikawini hanya sekedar
dilangsungkannya akad nikah.
4. Isteri bapak (ibu tiri) diharamkan ats anak menikahi isteri bapak dengan sebab
hanya sekedar terjadinya akad nikah dengannya.
7
Abidin Slamet, dkk. 1999. Fiqih Munakahat. Bandung : Pustaka Setia

14
c. Perempuan-perempuan yang haram dikawini karena sepersusuan.
Allah SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu kalian yang pernah menyusui
kalian; saudara perempuan sepersusuan.” (an-Nisaa’:23).
Nabi saw. bersabda, ”Persusuan menjadikan haram sebagaimana yang
menjadi haram karena kelahiran.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:139
no:5099, Muslim II:1068 no:1444, Tirmidzi II:307 no:1157, ’Aunul Ma’bud
VI:53 no:2041 dan Nasa’i VI:99).
Oleh karena itu, ibu sepersusuan menempati kedudukan ibu kandung, dan
semua orang yang haram dikawini oleh anak laki-laki dari jalur ibu kandung,
haram pula dinikahi bapak sepersusuan, sehingga anak yang menyusui kepada
orang lain haram kawin dengan:
1. Ibu susu (nenek)
2. Ibu Ibu susu (nenek dari pihak Ibu susu)
3. Ibu Bapak susu (kakek)
4. saudara perempuan ibu susu (bibi dari pihak ibu susu)
5. Saudara perempuan bapak susu
6. cucu perempuan dari Ibu susu
7. Saudara perempuan sepersusuan
Perempuan-Perempuan Yang Haram Dinikahi Untuk Sementara
Waktu
1. Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara
Allah SWT berfirman, ”Dan menghimpun (dalam pernikahan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada mada
lampau.” (An-Nisaa’:23).
2. Mengumpulkan seorang isteri dengan bibinya dari pihak ayah ataupun dari pihak
ibunya.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Tidak boleh
dikumpulkan (dalam pernikahan) antara isteri bibinya dari pihak ayah dan tidak
(pula) dari ibunya.” (Muttafaqun ’alaih: II:160, Tirmidzi II:297 no:11359 Ibnu
Majah I:621 no:1929 dengan lafadz yang sema’na dan Nasa’i VI:98).

15
3. Isteri orang lain dan wanita yang menjalani masa iddah.
”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki.” (An-Nisaa’ :24).
Yaitu diharamkan bagi kalian mengawini wanita-wanita yang berstatus
sebagai isteri orang lain, terkecuali wanita yang menjadi tawanan perang. Maka ia
halal bagi orang yang menawannya setelah berakhir masa iddahnya meskipun ia
masih menjadi isteri orang lain. Hal ini mengacu pada hadits dari Abu Sa’id bahwa
Rasulullah saw. pernah mengutus pasukan negeri Authas. Lalu mereka berjumla
dengan musunya, lantar mereka memeranginya. Mereka berhasil menaklukkan
mereka dan menangkap sebagian di antara mereka sebagai tawanan. Sebagian dari
kalangan sahabat Rasulullah saw merasa keberatan untuk mencampuri para tawanan
wanita itu karena mereka berstatus isteri orang-orang musyrik. Maka kemudian
Allah SWT pada waktu itu menurunkan ayat, ”Dan (diharamkan pula kamu
mengawini) wanita-wanita bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki. ’Yaitu
mereka halal kamu campuri bila mereka selesai menjalani masa iddahnya. (Shahih:
Mukhtashar Muslim no:837, Muslim II:1079 no:1456, Trimidzi IV: 301 no:5005,
Nasa’i 54 VI:110 dan ’Aunul Ma’bud VI:190 no:2141).
4. Wanita yang dijatuhi talak tiga
Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama sehingga ia kawin dengan orang
lain dengan perkawinan yang sah. Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika si suami
mentalaqnya (ssudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi
baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain
itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
isteri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum
yang (mau) mengetahui.” (Al-Baqarah :230).
5. Kawin dengan wanita pezina
Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi wanita pezina, demikian juga
tidak halal bagi seorang perempuan kawian dengan seorang laki-laki pezina,
terkecuali masing-masing dari keduanya tampak jelas sudah melakukan taubat

16
nashuha. Allah menegaskan, ’Laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini kecuali
perempuan berzina atau perempuan musryik; dan perempuan yang berzina tidak
boleh dikawini melainkan oleh laki-laki berzina atau laki-laki yang musyrik, dan
yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (An-Nuur : 3).
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayanya dari datuknya bahwa Martad bin Abi
Martad al-Ghanawi pernah membawa beberapa tawanan perang dari Mekkah dan di
Mekkah terdapat seorang pelacur yang bernama ’Anaq yang ia adalah teman
baginya. Ia (Martad) berkata, ”Saya datang menemui Nabi saw. lalu kutanyakan
kepadanya ”Ya Rasulullah bolehkah saya menikah dengan ’Anaq Mak Beliau diam,
lalu turunlah ayat, ”Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian Beliau memanggilku
kembali dan membacakan ayat itu kepadaku, lalu bersabda, ”Janganlah engkau
menikahinya.” (Hasanul Isnad: Shahih Nasa’i no:3027, ’Aunul Ma’bud VI:48 no:
2037, VI:66 dan Tirmidzi V:10 no:3227).

2.6 Kewajiban dan Hak Suami dan Istri


1. Kewajiban Suami
a) Memberi nafkah, sandang, pangan, dan tempat tinggal.
b) Berlaku adil, sabar terhadap istri dan anak-anaknya.
c) Memberi penuh perhatian terhadap istri.
d) Hormat dan bersikap baik kapada keluarga istri

2. Kewajiban Istri
a) Taat kepada suami sesuai dengan ajaran Islam.
b) Menerima dan menghormati pemberian suami sesuai kemampuannya.
c) Memelihara diri kehormatan dan harta benda suami.
d) Memelihara, mengasuh, mendidik anak-anak agar menjadi saleh/saleha.
e) Membantu suami dalam memimpin kesejahteraan dan keselamatan keluarga.
f) Hormat kepada suami dan keluarganya.

17
3. Hak Suami dari Istri
a) Mendapat penghormatan dan kasih sayang.
b) Mendapat pelayanan yang menyenangkan.
c) Mendapat dorongan dan bantuan dari istri.
d) Memperoleh keturunan dari istri.
e) Memperoleh kebahagiaan dari istri.
4. Hak Istri dari Suami
a) Memperoleh nafkah baik lahir dan batin.
b) Memperoleh perlindungan dari suami.
c) Memperoleh ketenangan dan kedamaian dari suami.
d) Memperoleh cinta kasih dan sayang.
e) Memperoleh kehangatan dan kebahagiaan dari suami.

2.7 Hikmah Munakahat


Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan
keutamaan dan hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa
hikmah dan maslahat bagi pelaksananya :
1. Sarana pemenuh kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum : 21)
2. Sarana menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3. Sarana menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An
Nahl : 72)
Rasulullah berkata : “Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak.
Sesungguhnya saya akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR.
Baihaqi)
4. Sarana untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda,
barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat
menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka
berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat)
baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum).

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Munakahat merupakan pernikahan (suatu hubungan yang sangat erat atas
dasar suka sama suka) yang dilakukan manusia untuk melakukan
kewajibannya kepada Allah dan menciptakan keluarga yang skinah,
mawadah dan warohmah. Oleh karena itu, manusia diciptakan secara
berpasang-pasangan. Allah pun menganjurkan syarat-syarat, ruku, hak dan
kewajiban dalam pernikahan. Jadi, kita sebagai manusia harus menjalankan
perintah Allah.
2. Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat. Hukum nikah
pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh
ditinggalkan. Meskipun demikian, hukum, nikah dapat berubah menjadi
sunah, wajib,makruh,atau haram.
3. Tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia
(prig terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah
tangga yang bahagia sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam.

5.2 Saran

19
DAFTAR PUSTAKA

Abidin Slamet, dkk. 1999. Fiqih Munakahat. Bandung : Pustaka Setia.


Daradjat, Zakiah.1995. Ilmu Fiqih, jilid. 2. Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf.
Dewantoro Sulaiman. 2003. Agenda Pengantin Hidayatul Insan, Solo
Hasan, M. Ali.1997. Perbandingan Mazhab Fiqih. Jakarta: Grafindo Persada.
Nur, Djamaan. 1993. Fiqih Munakahat. Semarang: Dina Utama.
Ramulyo, M. 1999. Hukum Perkawinan Islam, cet. 2.Jakarta: Bumi Aksara.
Rasjid, Sulaiman. 1996. Fikh Islam.. Bandung. Sinar Baru Algesindo
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana.
Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: Toha Putra, 1978
Syarifudin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet 3.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

20

Anda mungkin juga menyukai