Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Membicarakan Episteme (sistem pengetahuan) burhani, mau tidak mau, secara


fundamental harus bersentuhan dengan nalar (‘aql). Menurut Abed Al-Jabiri,1 dengan
mengikuti prespektif Andre Lalande, secara global ada dua tipologi nalar, yaitu nalar
pembentukan atau aktif (al-‘aql al-mukawwin) dan nalar terbentuk atau dominan (al-‘aql al-
mukawwan). Nalar aktif merupakan naluri yang dengannya manusia mampu menarik asas-asas
umum dan niscaya, berdasarkan pemahamannya terhadap hubungannya antara segala sesuatu.
Sedangkan nalar dominan adalah asas-asas dan kaidah yang dijadikan pegangan dalam
berargumentasi (istidlal). Jika yang pertama bersifat universal, hingga disebut dengan akal
universal (al-‘aql al-kauni), maka yang kedua tidak universal sebab menjadi sistem kaidah
yang dibakukan dan diterima dalam era tertentu.

Menurut Al-Jabiri, al-‘aql al-kauni bersifat universal hanya ketika berhubungan dalam
suatu budaya tertentu atau dengan kebudayaan yang menghasilkannya. Hal ini disebabkan
karena antara nalat aktif dan dominan ternyata saling mempengaruhi. Di satu sisi, nalar
dominan merupakan produk nalar aktif, sehingga sumbernya tidak lain adalah nalar itu sendiri
dan bukan lainnya. Di sisi lain, nalar aktif mengandaikan nalar terbentuk dimana aktifitas nalar
bisa berlangsung hanya dengan bertolak dari asas-asas dan kaidah-kaidah, yakni dari nalar
dominan. Selain itu, penalaran akal pada analisis akhirnya merupakan kumpulan kaidah yang
ditarik dari objek tertentu. Jika seseorang menghadapi objek yang memiliki kekhasan, maka
adalah mungkin menemukan adanya nalar yang spesifik pula.

Para filosof muslim yang berinteraksi dengan objek yang berbeda karaktersitiknya dengan
objek para Filosof Yunani dan Eropa berinteraksi, maka konsekuensinya kaidah-kaidahyang
ditarik dari aktifitas pemikiran yang berlangsung dalam kebudayaan Arab Islam akan berbeda
pula kaidah-kaidah yang membentuk esensi nalar Yunani dan Eropa.2 Dalam konteks ini,

1
Menganai pembahasn hal ini untuk lebih detailnya lihat M. Abed Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, terj. Imam
Khoiri (Yogyakarta: ircisod, 2003), hlm. 31-61.
2
Bahkan dengan ekstrem, Musa Asy’ari mengungkapkan bahwa filsafat islam (islamic philosphy) dibangun
secara autentik dari tradisi sunnah Nabi bukan dari tradisi luar (Yunani). Filsafat islam mempunyai metode
rasional transedental yang berbasis pada kitab dan hikmah. Namun, hal ini bisa dipertanyakan, sebab filsafat
secara spesifik para filosof muslim timur (Persiam, Mesir, Iraq, Syiria, Khurasan), seperti Al-
Kindi dan Al-Farabi, sebenarnya mereka masih diwarnai kecenderungan normatif yang
menguasai dan mengarahkan nalar Arab. Tidak demikian halnya dengan sebagian filosof
muslim barat (Maroko dan Andalusia/Spanyol), seperti Ibnu Hazm dan Ibnu Rusyd yang
mampu mengaplikasikan epsiteme burhani Aristoteles secara autentik tanpa dipengaruhi nalar
dominan arab yang lebih bernuansa burhani dan ‘irfani. Walaupun demikian, Para filosof
Muslim Baratpun tidak sepenuhnya bersifat burhani, tetapi masih terpengaruh prespektif
normativitas nalar Arab.

Berdasarkan pernyataan diatas,

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud dengan pemikiran burhani?
2. Bagaimana pengertian burhani menurut Filosof Timur?
3. Bagaimana pengertian burhani menurut Filosof Barat?
4. Apa perbedaan pemikiran burhani menurut Filosof Timur dan Barat?
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan pmikiran Burhani
2. Untuk mengetahui pengertian pemikiran Burhani mnurut Filosaf Timur
3. Untuk mengetahui pengertian pemikiran Burhani mnurut Filosaf Barat
4. Untuk mengetahui perbedaan pemikiran Burhani antara Filosof Timur dan Barat
1.4 MANFAAT

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

islam dalam perjalanan historisnya berinteraksi dengan filsafat yunani dan lainnya. Lihat Musa Asy’ari,
Filsafat Islam:Sunnah Nabi dalam Berpikir(Yogyakarta:LESFI, 2001), hlm. 31-32
2.1 Metode Burhani
Sebagai aktivitas kognitif, metode burhani atau demonstratif merupakan sebentuk inferensi
rasional, yaitu penggalian premis-premis yang menghasilkan konklusi yang yang bernilai.
Metode demontratif ini berasal dari filosof terkenal Yunani, Aristoteles. Dalam penuturan
Aristoteles, yang dimaksud dengan metode demonstratif adalah silogisme ilmiah, yakni
silogisme yang apabila seseorang memilikinya maka ia akan memiliki pengetahuan.
Menurutnya, silogisme adalah seperangkat metode berpikir yang dengannya seseorang dapat
menyimpulkan pengetahuan baru dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya (kesimpulan dari
berbagai premis), terlepas apakah pengetahuan tersebut benar atau salah dan sesuai dengan
realistik atau tidak. 3

Metode demonstratif adalah suatu metode rasional atau logis yang digunakan oleh para
filosof selain empat macam metode non-demonstratif, yaitu dialektis yang berkenaan dengan
pertanyaan-pertanyaan dan jawaban dialektika, sifistik yang membicarakan pemikiran analogis
yang mengajarkan lawan dari kebenaran retorik yang berhubungan dengan jenis persuasi dan
dampaknya atas pendengar dalam pidato, poetika yang berkaitan dengan pemikiran analogis
yang mengajarkan penciptaan perumpamaan dan kiasan.4 Namun, diantara metode-metode
rasional tersebut, metode demonstratif dipandang paling akurat dan karena itu, digunakan
sebagai metode ilmiah dasar yang aplikasinya meluas tidak hanya di bidang logika dan
filosofis, tetapi juga di bidang empiris dan matematika.5

Metode burhani pada dasarnya, adalah metode logika atau penalaran rasional yang
digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan atau teori ilmiah
dan filosofis dengan memerhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan
ilmiah. Ini dilakukan misalnya dilakukan dengan memerhatikan validitas pernyataan-
pernyataan yang ada pada premis-premis mayor atau minornya, serta atau tidaknya middle term
yang sah yang mengantarai kedua premis tersebut. Bentuk formal metode inilah yang disebut
silogisme, yaitu berupaya mengambil kesimpulan dari premis mayor dan minor yang keduanya
mengandung unsur yang sama, yang disebut middle term (al-hadd al-ausath).

3
Abed Al-Jabiri, Tragedi Intelektual, Terj. Afandi Abdillah (Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003), hlm. 247.
4
Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 21.
5
Dalam wacana filosofis, salah satu kontribusi Aristoteles dalam karyanya Organon adalah mengenai kategori
yang terdiri dari sepuluh kategori: Substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, aksi, pasivitas, posisi,
dan kondisi. Namun, yang lebih sering digunakan dalam ilmu filsafat hingga hari ini adalah metode
demonstratif. Jan Hendrik Raper, Pengantar Logika (Yogyakarta: Kanisisus, 1996), hlm. 21.
Sebuah silogisme bari dikatakan demonstratif apabila premis-premisnya didasarkan bukan
pada opini, melainkan pada kebenaran yang telah teruji atau kebenaran utama (primary truth),
karena hanya apabila premis-premisnya benar, kesimpulannya dapat dipastikan benar. Namun
sebaliknya, kalau premis-premisnya tidak didasarkan pada kebenaran yang teruji,
kesimpulannya juga akan meragukan, bahkan bisa keliru. Contoh klasik silogisme demonstratif
adalah sebagai berikut : semua manusia akan mati (fana). Socrates adalah manusia, maka
socrates akan mati.6

Pernyataan ‘semua manusia akan mati’ disebut premis mayor, sedangkan ‘Socrates adalah
manusia’ premis minor. Kata ‘manusia’ yang muncul pada kedua premis tersebut adalah middle
term. Kalau premis mayor dan premis minor benar tanpa keragu-raguan, bisa dipastikan bahwa
kesimpulan ‘Socrates akan mati’ adalah benar. Inilah sampel metode demonstratif yang ideal.7
Namun dalam praktiknya, tidak semua kebenaran premis itu jelas dan karenanya perlu kriteria
yang ketat tentang kebenaran tersebut, seperti melalui verifikasi dan falsifikasi.8

Jika paparan diatas disebut metode demonstratif dari sisi logika formal, maka Aristoteles
menguraikan pula metode demonstratif dari sisi pengetahuan (al-’ilmu). Menurut Aristoteles,
pengetahuan mengenai sesuatu secara mutlak, tidak bersifat aksidental dengan menemukan
sebab-sebabnya (‘illah). Dari aspek ini, menurut Aristoteles tugas ilmu pengetahuan ialah
mencari objek-objek yang diselidiki. Ia mengemukakan bahwa tiap-tiap kejadian mempunyai
empat penyebab yang semuanya harus disebut, jika hendak mengetahui suatu kejadian. Syarat
itu berlaku baik bagi kejadian alam maupun kejadian yang disebabkan oleh manusia.

Keempat penyebab kejadian tersebut yaitu : pertama, penyebab efisien (efficient


cause/fa’il), inilah faktor yang menjalankan kejadian. Kedua, penyebab final (final
cause/ghayah), inilah tujuan yang menjadi seluruh arah kejadian. Ketiga, penyebab material
(material cause/madah), inilah bahan dari mana benda dibuat. Keempat, penyebab formal
(formal cause/shurah), inilah bentuk yang menyusun bahan dengan keempat penyebab di atas,

6
Abed Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi(Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1993), hlm. 392
7
Mulyadi Kartanegara, Menyibak.......hlm. 56-57.
8
Mengenai hal ini, para filosof membahas apa yang dikenal Logical falaccies, kekeliruan logis atau kesalahan
berpikir. Aristoteles menyebutkan ada 13 tipe kekeliruan logis, dan dewasa ini berkembang lebih banyak lagi.
Antara lain Argumentum ad hominem, Argumentum ad vercundiam, Argumentum ad baculum, Argumentum
ad misericordian, Argumentum ad populum, Argumentum auctotatis, & Argumentum ad ignorantiam. Lihat
Soekadijo, Logika Dasar (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 4-22.
Aristoteles ingin menjelaskan secara lengkap semua faktor yang dapat menyebabkan suatu
peristiwa.9

2.2 Filosof Muslim dan Metode Burhani


2.2.1 Filosof Muslim Timur : Al-Kindi dan Al Farabi

Secara historis, Al-Kindi adalah filosof Muslim pertama yang mengakses diskursus
filosofis burhani Aristoteles di dunia Arab. Saat itu Al-Kindi terlibat langsung dalam
konflik ideologi dan menghadapi dua kelompok sekaligus. Pertama, melawan kaum
ghostik dengan menerbitkan ringkasan pelbagai kuliah dalam bidang ilmu rasional dengan
menggunakan bentuk risalah singkat (epistles) dan bacaan sederhana. Kedua, menantang
rigiditas para pakar hukum, yang digambarkannya sebagai “kelompok yang meninggalkan
kebenaran”.10

Al-Kindi bertolak dari ketetapan bahwa tujuan filsafat adalah mencari hakikat-
hakikat segala sesuatu dan intinya tentang kebenaran awal, yakni Allah, sama seperti
tujuan agama. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kebenaran agama dengan
kebenaran rasional. Dengan pendekatan Aristotelian ini AL-Kindi berusaha meyakinkan
bila kebenaran filsafat dapat dicapai melalui penalaran akal murni. 11

Al-Kindi mengcounter para fuqaha dan teolog yang menolah ilmu-ilmu kuno pra-
Islam (al-‘ulum al-awail atau ilmu Filsafaft Yunani) dengan statemen afirmatif,
“Selayaknya kita tidak perlu malu mengakui sebuah kebaikan dan mengambilnya dari
manapun datangnya, sekalipun datangnya dari orang yang jauh dan berbeda dengan kita,
karena tidak ada yang lebih utama dari mencari kebenaran kecuali kebenaran itu sendiri”.
Bahkan, ia mengklaim orang-orang yang menolak filsafat sebagai “orang-orang yang
asing dengan kebenaran dan memakai mahkota kebenaran yang tidak berhak merekai
pakai”.12

Al-Kindi berusaha mempopulerkan konsep filsafat Aristotelian, namun agaknya


paradigma normatif nalar Arab masih mewarnai corak filsafatnya. Ia sepenuhnya
menggunakan sistem argumentasi filsafat untuk menopang ajaran pokok Islam tentang

9
Al-Jabiri, Bunyah.......hlm. 398;Tragedi Intelektual, hlm. 247;bandingkan dengan K. Bertens, Sejarah Filsafat
Yunani(Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 173-4.
10
Abed Al-Jabiri, Kritik Pemikiran Islam, terj. Burhan (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003), hlm. 83-4.
11
Abed Al-Jabiri, Problem Peradaban, terj. Sunarwoto Dema&Mosiri (Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 165-
6.
12
Al-Jabiri, Formasi, hlm. 396.
tauhid. Ia menghidangkan filsafat Yunani keoada kaum Muslim setelah pikiran-pikiran
asing dari barat itu “diislamkan” jika tidak boleh disebut “diarabkan”.13

Al-Kindi menolak untuk menyebut Allah sebagai akal. Baginya, Allah adalah Esa
dari segala lini. Tidak ada kategori, tidak ada unsur, genus, spesia, jiwa, akal dan Esa bukan
karena disandingkan dengan yang lain. Ia Esa secara independen (wahid mursal). Esa
secara independen artinya di sisi Allah tidak ada hal lain yang bersifat ketuhanan yang
semacam ‘akal universal’ atau ‘akal kesepuluh’. Lebih jauh, Allah adalah sebab pertama
yang tidak ada sebab diatasnya, yang berbuat dimana di atasnya tidak ada yang
menggerakkan, sempurna yang di atasnya tidak ada yang menyempurnakan dan yang
menjadikan sebagian atas sebagian lainnya dalam hubungan sebab akibat.14

Beberapa dekade kemudian, Al-Farabi tampil dan meneruskan cita-cita Al-Kindi


untuk mensosialisasikan ide-ide demonstratif Aristotelian. Dengan semangat yang sama,
Al-Farabi menyuarakan bahwa tidak ada kontradiksi antara agama dengan filsafat karena
keduanya mengekspresikan satu kebenaran. Jika filsafat mengekspresikannay secara
langsung, secara demonstratif, maka agama mengekspresikannya melalui lambang-
lambang imajiner dan reflikasi. Filosof memahaminya dengan akal, yakni melalui proses
Burhani yang hanya dengan cara ini dimungkinkan bisa berhubungan langsung dengan
“akal aktif” (al-‘aql al-fa’al), sedangkan Nabi menerima hal itu langsung dari sumbernya
sendiri, melalui imajinasinya.15

Al-Farabi ingin melampau wacana teologis yang bersifat teologis-sophis dan


wacana ‘irfani dengan beralih kepada wacana ‘akal universal’, wacana burhani yang tidak
menyimpan kekaburan yang menyebabkan kekeliruan atau kesalahan yang bisa
menggelincirkannya. Ia meyakini dengan metode demonstratif yang terdiri dari premis-
premis yang valid, niscaya, generalitas primordial yang diyakini oleh manusia dan
diketahui oleh akal secara niscaya, akal universal akan meniscayakan kekuatan dan
kecermatan yang tidak mungkin keliru. Bahkan ia memandang pengetahuan yang
dihasilkan secara demonstratif merupakan pengetahuan yang pasti (yaqin) dan tidak yang
lainnya.16

13
Nurcholish Majid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 26.
14
Al-Jabiri, Formasi, hlm. 394-5.
15
Ibid, hlm. 408-9.
16
Ibid, hlm. 405-6.
Namun, Al-Farabi tidak hanya menggagas wacana filsafat. Ia juga membangun
pemikiran tasawuf atau ‘irfani. Ciri khas dari wacana sufistiknya ialah tasawuf yang
didasarkan atas pikiran, bukan didasarkan pada keruhanian semata. Menurut Al-Farabi,
kesucian jiwa bukan hanya diperoleh dari perbuatan badaniah semata, melainkan yang
pertama-tama adalah melalui pikiran dan pemikiran. Memang ada beberapa macam
keutamaan yang bersifat perbuatan badan, tapi bila dibandingkan dengan keutamaan
pikiran dan bersifat teori maka tidak ada artinya apa-apa, dan kalau keutamaan yang
pertama merupakan kebaikan, maka keutamaan k=yang kedua merupakan raja kebaikan.17

Akal manusia dalam menempuh pertumbuhannya melalui beberapa fase: akal


potensial (‘aql bi al-quwwah), akal nyata (‘aql bil fi’li), hingga akal mustafad, atau tingkat
limpahan dan ilham. Kalau sudah mencapai tingkatan akal mustafad, ia dapat menerima
cahaya-cahaya ketuhanan dan langsung dapat berhubungan dengan akal kesepuluh.
Sehingga dengan ilmu semata manusia dapat menghubungkan langit dengan bumi, antara
alam kemanusiaan dan alam ketuhanan, atau antara malaikat dengan manusia, sehingga
manusia dapat meraih kebahagiaan yang sebesar mungkin.18 Ia membincang pula konsep
surga dan neraka sebagai persoalan yang sepenuhnya bersifat spiritual. 19 Menurut Fazlur
Rahman, wacana sufistik islami Al-Farabi dipengaruhi Plato, lebih khsus lagi Neo-
Palotonik.20

2.2.2 Filosof Muslim Timur : Al-Kindi dan Al Farabi

Ketika menyebut nama Ibnu Hazm, menurut Al-Jabiri, lazomnya orang hanya akan
menganggapnya sebagai ahli hukum zahiri dan polemikus yang pantang menyerah. Ini
merupakan prespektif reduktif terhadap pemikiran Ibnu Hazm yang dipertimbangakn
sebagai salah seorang inovator terbesar pemikiran Arab-Islam. Ia menusung proyek
ideologis sekaligus filosofis dalam melawan konsep ghotik-Syiah dan ilmuwan sufi.
Dalam mengcounter ideologi Syiah Fatimiyah, ia dengan jernih menyatakan bahwa
Agama Tuhan bersifat eksoteris, Rasul Tuhan tidak sedikitpun menyembunyikan makna
hukum dan tidak ada yang rahasia, semuanya disampaikan kepada umat manusia.21

17
Ahmad Hanafi, Penganyat Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 98-9.
18
Ibid.
19
Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 33.
20
Fazlur Rahman, Kenabian di Dalam Islam, terj, Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 2003), hlm. 4.
21
Al-Jabiri, Kritik Pemikiran......hlm. 120-1.
Dengan pernyataan tersebut, Ibnu Hazm membongkar dan menolak seluruh prinsip
kognitif yang menjadi dasar pemikiran Syi’ah Imamiyah dan Batiniyah. Tidak hanya itu,
dengan logika akal universal adopsi pemikiran Aristoteles, ia secara tegas menyanggah
irasionalitas di kalangan Asy’ariyah dan menentang ‘irfan kaum sufi. Menurutnya, hanya
akal (universal) yang hanya bisa diterima sebagai standar penilaian, penentu dan otoritas
referensial. Ia menekankan logika sebagai keharusan dalam agama maupun ilmu rasional,
karena segala yang benar dalam metode demonstratif niscaya ada dalam Al-Qur’an dan
Sabda Nabi.22

Lebih Jauh, dengan logika yang sama, di samping akal, indra juga bisa dijadikan
jalan untuk meraih pengetahuan yang benar.23 Dari prespektif ini, jika dipandang dari
sosio-politik yang mengitarinya, literalisme Ibnu Hazm merupakan proyek ideologi
dengan ideologi daulah fatimiyah dan ideologi abbasiyah. Namun jika dilihat dari
prespektif epistimologis, literalism Ibnu Hazm merupakan proyek filosofis yang berambisi
melakukan pendasaran ulang terhadap bayan dan menata kembali hubungannya dengan
burhan dengan mengesampingkan irfan.24

Terlepas dari wacana pemikiran demonstratif, proyek filosofis Ibnu Hazm


sepertinya masih terikat dengan paradigma normatif nalar Arab. Fenomena ini bisa dilihat
ketika ia mengurai tujuan filsafat bukan pada posisinya sebagai wacana akal universal
semata, tetapi filsafat yang memiliki tujuan yang sama dengan syariah keutamaan dan
siasat yang baik. Ia menyatakan bahwa sesungguhnya makna, hasil dan tujuan mengkaji
filsafat tidak lain adalah untuk memperbaiki jiwa agar di dunia yang hina seseorang bisa
berbuat baik yang pada akhirnya akan membawa pada keselamatan di hari kemudian.25

Sementara itu, Ibnu Rusyd hendak mengulang kembali proyek Ibnu Hazm dengan
wacana yang lebih kaya dan lebih mendalam. Ia mengagumi Aristoteles dan berusaha
menguraikan pemikiran filosofis Aristotelian. Dengan tegas ia menghariskan untuk
mempelajari filsafat dan menggunakan silogisme demonstratif dalam mencari kebenaran

22
Al-Jabiri, Formasi......, hlm. 500,507.
23
Menurut Al-Jabiri, Ibnu Hazm adalah seorang penggagas metode induktif. Al-Jabiri, Kritik Pemikiran...., hlm.
127; Namun, hal ini menjadi ajang polemik. Menurut Iqbal, Ibnu Taimiyah sebagai pelopor metode induktif
dengan slogan terkenalnya, “al-haqiqiyah fi al-a’yan la fi al-adzhan”. M. Iqbal, The Reconstruction of
Religious Thought is Islam (Lahore: Kitab Bhavan, 1960), hlm. 129; sedangkan menurut Nurcholis Majid,
metode induktif sudah disinyalir oleh Ibnu Sina dan Ghazali, Islam Doktrin & Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 1993), hlm. 521.2.
24
Ibid, hlm. 508-9.
25
Untuk lebih luasnya dikaji Al-Jabiri, Ibid, hlm. 492-510.
yang dipandangnya sebagai jenis penalaran paling sempurna. Ia meneriakkan keterbukaan
dalam mengakses pengetahuan filsafat sekalipun berasal dari orang-orang yang berbeda
agama. Ilustrasinya : sebuah alat yang digunakan untuk menyembelih, maka keabsahannya
sebagai alat penyembelihan tidak ada kaitannya apakah ia alat orang seagama atau bukan.26
Akan tetapi, Ibnu Rusyd tetap memiliki kesadaran terhadap universalitas dan historisitas
pengetahuan dengan menyatakan : apabila ilmmu-ilmu kuno (Filsafat Yunani) ternyata
sesuai dengan kebenaran, maka kita akan menerimanya dengan gembira seraya berterima
kasih kepada mereka. Apabila hal ini tidak sejalan dengan kebenaran, kita harus menggaris
bawahi, mengingatkan masyarakat mengenai hal ini sembari memberi maaf para
penggarangnya.27

Di atas dasar kesadaran akan universalitas dan historisitas yang diusung Ibnu
Rusyd tersebut, Al-Jabiri yakin bahwa untuk menjawab berbagai problematika dewasa ini
harus menghidupkan kembali semangat Ibnu Rusyd (the averrois spirit). Al-Jabiri ingin
menjadikan rasionalisme Andalusia sebagai titik tolak untuk berinteraksi dengan legasi
masa lampau dalam upaya penyesuaian dengan setting yang sedang berlangsung di masa
kini dan prediksi masa depan. Al-Jabiri mengajak untuk berpegang pada bagian yang
paling substansial dari khazannah averroisme, yaitu semangat rasionalisme kritis yang
memproduksi pikiran baru, bukan sekadar mengambil bagian formalnya.28

Tidaklah keliru bila dikatakan bahwa ia juga meramunya dengan prespektif


normatif Al-Qur’an ketika memperbincangkan bukti keberadaa Tuhan dengan argumen
yang disebutnya dengan argumen melalui desain atau rancangan (dalil al-inayah), “Tuhan
telah mendesain alam semesta dengan penuh keteraturan”.29 Menurut Ibnu Rusdy, fasilitas
yang manusia temui di dunia ini diciptakan untuk kebahagian manusia sendiri, dan ini
merupakan bukti adanya Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Argumen Ibnu
Rusyd sebagian bersifat rasional dan sebagian religius karena didasarkan pada postulat Al-
Qur’an.30

26
Ibnu Rusyd, Kaitan Filsafat dengan Syariat, terj. Ahmad Shodik Noor (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hlm.
4-12.
27
Abed Al-Jabiri, Filsafat Arab Islam, terj. Moch. Nur ichwan (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 181.
28
Aunul Abid Shah (eds.), Islam Garda Depan (Bandung, Mizan, 2001), hlm. 321.
29
Dalam membangun konsep ini, ia memperkuatnya dengan postulat-postulat naaqli Al-Qur’an, seperti QS.
21:22, 23:91, 17:44. Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press,
1983, hlm. 281.
30
Mulyadhi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 36.
Demikian juga dalam membicarakan proses penciptaan alam semesta, dengan
mendukung filosof Muslim dan menentang Ghazali, ia membangun konsep muhdats ‘azali
(ciptaan azali) secara demonstratif dengan didukung postula-postulat Al-Qur’an.31 Ia
menegaskan bahwa Allah adalah Penggerak segala sesuatu yang ada, Pencipta dan
Penjaganya, Maha Suci Allah dan Maha Tinngi dalam kekuasaan-Nya.32 Di sini,
autentisitas metode demonstratif Ibnu Rusyd masih terbuka untuk dipertanyakan. Dalam
konteks ini, cukup tepat bila Oliver Leaman melukiskan bahwa para filosofis Muslim
berupaya menulis dengan gaya yang dapat menggema di lingkugan intelektualnya, dengan
bahasa dan budaya agama mereka untuk megolaborasi dan menjelaskan berbagai ide dan
argumen yang lazimnya bisa dijembatani melalui pemikiran Yunani.33

31
Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 49-51.
32
Rusyd, Kaitan Filsafat, hlm. 33.
33
Oliver Leamen, A Brief Introduction to Islamic Philosophy(Cambridge: Polity Press, 1999), hlm. 3.
BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Episteme burhani sebenarnya hanya sebagai salah satu metode untuk menyibak
hubungan kausalitas (idrak al-sabab wa al-musabab). Terlepas dari nilai ‘universal’nya
episteme burhani, ia baru menyibak satu aspek tentang realitas yang sesungguhnya dengan
bantuan episteme yang lain, eksperimentatif (burhani) dan intuitif (‘irfani).

Paradigma episteme burhani harus berdialog dengan menggunakan jalur lingkar


hermeneutis terhadap episteme burhani dan ‘irfani dalam satu gerak putar yang saling
mengontrol, mengkritik, memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan yang melekat
pada masing-masing paradigma. Dalam konstelasi kontemporer, hal itupun mesti
diperkaya dengan pendekatan lain, seperti sosiologi, antropologi, kebudayaan dan sejarah.
Sebab sebagaimana ditegaskan Al-Jabiri, setiap episteme apa pun tidak ada yang bersifat
universal mutlak. Ia bersifat universal sejauh terkait dengan kondisi sosial yang
melingkupinya, sehingga kesemuanya diharapkan slaing mengisi kekurangan stau sama
lain. Wallahu a’lam bi al-shawab.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin “al-Ta’wil al-‘Ilmi: Ke arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci”,
dalam al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Yogyakarta, Vol. 39, No.2, Juli-Desember 2001.

Abed Al-Jabiri, Filsafat Arab Islam, terj. Moch. Nur ichwan (Yogyakarta: Islamika, 2003)
Abed Al-Jabiri, Kritik Pemikiran Islam, terj. Burhan (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003)

Abed Al-Jabiri, Problem Peradaban, terj. Sunarwoto Dema&Mosiri (Yogyakarta: Belukar,


2004)

Ahmad Hanafi, Penganyat Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)


Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Rosdakarya, 1997)
Al-Jabiri, Bunyah.......hlm. 398;Tragedi Intelektual, hlm. 247;bandingkan dengan K. Bertens,
Sejarah Filsafat Yunani(Yogyakarta: Kanisius, 1999)

Aunul Abid Shah (eds.), Islam Garda Depan (Bandung, Mizan, 2001)

Fazlur Rahman, Islam & Modernity (Chicago & London: The University of Chicago Press,
1984)
Fazlur Rahman, Kenabian di Dalam Islam, terj, Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 2003)
Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995)
Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996)
Ibn. Khaldun, The Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (New York: Princeton University
Press, 1989)
Ibnu Rusyd, Kaitan Filsafat dengan Syariat, terj. Ahmad Shodik Noor (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1996)

Jabiri (Al), M. Abd., Formasi Nalar Arab, Terj. Imam Khoyri, (Yogyakarta, Ircisod, 2003)

Karen Amstrong, A History of God (New York: Ballantine Books, 1993)


Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terj. Zaimul Am (Bandung, Mizan, 2003)

Mulyadhi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005)

Nurcholish Majid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994)

Oliver Leamen, A Brief Introduction to Islamic Philosophy(Cambridge: Polity Press, 1999)

Sirozi, M, dkk, 2008. Arah Baru Studi Islam di Indonesia. Ar-Ruzz Media Group : Yogyakarta

PEMIKIRAN BURHANI MENURUT PERSPEKTIF FILOSOF MUSLIM BARAT


(IBNU HAZM DAN IBNU RUSYD) DAN FILOSOF MUSLIM TIMUR (AL-KINDI
DAN AL FARABI)

Anda mungkin juga menyukai