Anda di halaman 1dari 24

KEBIJAKAN DALAM PERLINDUNGAN TERHADAP KEJADIAN LOW BACK PAIN PADA PERAWAT DI

RUMAH SAKIT

Dosen Pembimbing :

dr. Yuniar Lestari, M.Kes

DISUSUN OLEH :

dr. Novita Vitria 1720322017

dr. Rahma Puspita Genie 1720322021

dr. Try Wulan Sari 1720322015

Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit

PROGRAM PASCA SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS ANDALAS

2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara global, International Labour Organization (ILO) memperkirakan sekitar
337 juta kecelakaan kerja terjadi tiap tahunnya yang mengakibatkan sekitar 2,3 juta
pekerja kehilangan nyawa.,pada tahun 2013 ILO, 1 pekerja di dunia meninggal setiap 15
detik karena kecelakaan kerja dan 160 pekerja mengalami sakit akibat kerja. Di Indonesia
tahun 2013 rata-rata terdapat 99.000 kasus kecelakaan kerja, 70 % berakibat fatal,
kematian dan cacat seumur hidup. Dimana 9 pekerja meninggal setiap hari, yang
mengakibatkan kerugian nasional mencapai Rp 50 triliun. Tahun 2014 Kepmenkes,
laporan pelaksanaan kesehatan kerja di 26 Provinsi di Indonesia tahun 2013, jumlah
kasus penyakit umum pada pekerja ada sekitar 2.998.766 kasus, dan jumlah kasus
penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan berjumlah 428.844 kasus. Sedangkan jumlah
perawat yang bekerja di perusahaan atau industri, namun data dari Kemenakertrans
menunjukkan bahwa sejumlah 7.000 lebih perawat telah mengikuti pelatihan HIPERKES
(Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja), angka ini belum ditambah para penggiat
kesehatan kerja lainnya seperti perawat akademisi dan para pemangku kebijakan
(Kepmenkes, 2014).3
Penyakit akibat kerja merupakan suatu penyakit yang diderita pekerja dalam
hubungan dengan kerja, baik faktor resiko karena kondisi tempat kerja, peralatan kerja,
material yang dipakai, proses produksi, cara kerja, limbah perusahaan dan hasil produksi.
Salah satu penyakit akibat kerja yang menjadi masalah kesehatan yang umum terjadi di
dunia dan mempengaruhi hampir seluruh populasi adalah LBP. Low Back Pain adalah
nyeri punggung bawah, nyeri yang dirasakan di punggung bagian bawah, bukan
merupakan penyakit ataupun diagnosis untuk suatu penyakit namun merupakan istilah
untuk nyeri yang dirasakan di area anatomi yang terkena dengan berbagai variasi lama
terjadinya nyeri. Nyeri punggung bawah tersebut merupakan penyebab utama kecacatan
yang mempengaruhi pekerjaan dan kesejahteraan umum. Keluhan LBP dapat terjadi pada
setiap orang, baik jenis kelamin, usia, ras, status pendidikan dan profesi.6
Prevalensi nyeri musculoskeletal, termasuk LBP, dideskripsikan sebagai sebuah
epidemic. Sekitar 80 persen dari populasi pernah menderita nyeri punggung bawah
paling tidak sekali dalam hidupnya. Prevalensi penyakit musculoskeletal di Indonesia

2
berdasarkan pernah didiagnosis oleh tenaga kesehatan yaitu 11,9 persen dan berdasarkan
diagnosis atau gejala yaitu 24,7 persen. Prevalensi penyakit musculoskeletal tertinggi
berdasarkan pekerjaan adalah pada petani, nelayan atau buruh yaitu 31,2 persen.
Prevalensi meningkat terus menerus dan mencapai puncaknya antara usia 35 hingga 55
tahun. Semakin bertambah usia seseorang, risiko untuk menderita LBP akan semakin
meningkat karena terjadinya kelainan pada diskus intervetebralis pada usia tua.6
Keperawatan merupakan suatu bentuk layanan kesehatan profesional yang
merupakan bagian integral dari layanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan. Fungsi utama perawat adalah membantu klien, baik dalam kondisi sakit
maupun sehat, guna mencapai derajat kesehatan yang optimal melalui layanan
keperawatan. Layanan keperawatan diberikan karena adanya kelemahan fisik , mental,
dan keterbatasan pengetahuan (Amadi, 2008). Perawat dalam melayani klien dituntut
untuk memberikan waktu dan tenaga dalam memenuhi setiap kebutuhan dasar klien.
Dengan adanya tanggung jawab akan berdampak dan mempengaruhi pada beban kerja
perawat. Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh
seorang perawat selama bertugas di suatu unit pelayanan keperawatan (Marquis dan
Huston, 2004 dalam Mastini 2013). Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi beban
kerja perawat adalah kondisi pasien yang selalu berubah, jumlah rata-rata jam perawatan
yang di butuhkan untuk memberikan pelayanan langsung pada pasien, serta banyaknya
tugas tambahan yang harus dikerjakan oleh seorang perawat (Kusmiati 2003, dalam
Gian, 2010). Perawat memiliki aktivitas yang sangat bervariasi antara lain melakukan
medikasi, mengangkat, memindahkan pasien serta membantu pasien untuk melakukan
mobilisasi. Adanya beban kerja yang dimiliki oleh perawat sering kali menyebabkan
berbagai keluhan yang diderita oleh perawat, diantaranya Low Back Pain (LBP) (Sarwili,
2015).4
Low back pain sering terjadi di kalangan para perawat terutama perawat yang
bertugas di ruang rawat inap. Hal ini dipertegas oleh Roupa, at all (2008), yang
mengemukakan bahwa staf perawat termasuk dalam kelompok profesi beresiko tinggi
untuk terkena cidera musculoskeletal, terutama di daerah tulang belakang thorako-lumbal
yang akan mengakibatkan low back pain. (HSJ-Health Science Journal, 2008 dalam
Cahyati, 2012)1.
Low back pain (LBP) atau nyeri pinggang bawah adalah salah satu masalah
kesehatan kerja yang paling sering ditemukan dan dapat menimbulkan absenteisme
tertinggi di tempat kerja. Pekerja berisiko tingggi LBP adalah pekerja yang bekerja
dengan postur janggal, manual handling serta dengan frekuensi dan durasi yang tinggi

3
termasuk pekerja kesehatan di rumah sakit, terutama pada perawat di area kerja yang
banyak mengangkat. Banyak penelitian di dunia melaporkan perawat merupakan salah
satu pekerjaan berisiko tinggi LBP1. Low Back Pain akibat pekerjaan manual material
handling, 50% diantaranya diakibatkan oleh aktivitas mengangkat beban, 9% karena
mendorong dan menarik, 6% karena menahan, melempar, memutar dan membawa beban.
Penelitian Klein (1984) menyatakan bahwa pekerja angkat beban, seperti tukang sampah,
pekerja di sektor konstruksi, gudang, dan perawat, mengajukan klaim asuransi kesehatan
10x lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan dengan tenaga fisik yang lebih ringan
(Harrianto, 2010)1.
Low Back Pain dapat disebabkan oleh berbagai penyakit musculoskeletal,
gangguan psikologis dan mobilisasi yang salah. Terdapat beberapa faktor resiko penting
yang terkait dengan kejadian LBP yaitu usia diatas 35 tahun, perokok, masa kerja 5-10
tahun, posisi kerja, kegemukan dan riwayat keluarga penderita musculoskeletal disorder.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi timbulnya gangguan LBP meliputi karakteristik
individu yaitu indeks massa tubuh (IMT), tinggi badan, kebiasaan olahraga, masa kerja,
posisi kerja dan berat beban kerja.6
Beberapa Rumah Sakit melakukan penelitian mengenai kejadian Low back
Pain pada perawat sebagai berikut :
a. Keluhan Low Back Pain pada perawat Rawat Inap RSUD Selasih Pangkalan Kerinci
Oleh Kursiah Warti Ningsih
b. Pengendalian Risiko Ergonomi Kasus Low Back Pain pada Perawat di Rumah Sakit
Oleh L. Meily Kurniawidjaja, Edy Purnomo, Nadia Maretti, Ike Pujiriani
c. Hubungan Beban Kerja Perawat Dengan Kejadian Low Back Pain (LBP) Pada
Perawat Pelaksana DI RS TK. III R.W Monginsidi Manado oleh Monalisa,
Sumangando, Julia Rottie, Jill Lolong
d. Hubungan Kerja Manual Handling Terhadap Keluhan Nyeri Punggung Bawah (LBP)
Pada Perawat ICU dan ICCU Siloam Hospital Kebun Jeruk Jakarta Barat oleh
Juprayzer Lumban Gaol
e. Risk Factors of Low Back Pain in Workers oleh Fauzia Andini
f. Hubungan Tingkat Risiko Postur Kerja dan Karakteristik Individu dengan Tingkat
Risiko Keluhan Low Back Pain Pada Perawat Bangsal Kelas III di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Surakarta oleh Ariek Kurnia PD, Tarwaka, Dwi Astuti
g. Hubungan Sikap dan Posisi Kerja dengan Low Back Pain pada Perawat di RSUD
Purbalingga, Himawan Fathoni, dkk. Prodi Keperawatan Poltekkes Depkes
Purwokerto

1.2 Tujuan.
1. Mengetahui jenis pekerjaan atau aktifitas fisik yang berisiko menimbulkan LBP

4
2. Menilai sarana kerja yang dominan menimbulkan LBP
3. Memberikan rekomendasi kepada Rumah Sakit untuk mengatasi LBP bagi perawat.
4. Mengetahui kebijakan dalam perlindungan terhadap kejadian LBP

1.3 Manfaat
1. Diharapkan tulisan ini dapat menambah pengetahuan penulis mengenai kebijakan,
masalah dan faktor penyebab terjadinya LBP
2. Diharapkan tulisan ini dapat sebagai acuan Rumah Sakit dalam mengatasi kejadian
LBP
3. Diharapkan para perawat Rumah Sakit mengerti tentang pekerjaan atau aktifitas fisik
yang berisiko menimbulkan LBP

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan

2.1.1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja

Dalam Undang - undang nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja


dijelaskan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas
keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan
meningkatkan produksi serta produktivitas nasional.

Pada Bab III tentang syarat-syarat keselamatan kerja Pasal 3 Ayat (1) point (h)
bahwa dengan peraturan perundang-undangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan
kerja untuk mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik

5
physik maupun psychis . Pada Bab V Pasal 9 bahwa pengurus diwajibkan
menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang : a. kondisi-kodisi
dan bahaya-bahaya serta apa yang dapat timbul dalam tempat kerjanya; b. semua
pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam semua tempat
kerjanya; c. alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan; d. cara-
cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya.

2.1.2 Undang – Undang no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Dalam undang – Undang no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada


paragraf 5 Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pasal 86 no 1. Setiap pekerja/buruh
mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas : a. keselamatan dan kesehatan
kerja; b. moral dan kesusilaan; dan c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai agama. 2. Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna
mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan
kesehatan kerja. 3. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 87 1.
Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. 2. Ketentuan mengenai
penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Lampiran penjelasan Undang – Undang sebagai berikut ; Ayat (2) Upaya


keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan
dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan
kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi
kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 87 Ayat (1) Yang
dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah bagian dari
sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi,
perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber daya yang
dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan
kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang
berkaitan dengan kegiatan kerja guna teciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan
produktif.

2.1.3 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

6
Dalan Undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 11 ayat
(1) bahwa prasarana Rumah sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dapat
meliputi: a. instalasi air; b. instalasi mekanikal dan elektrikal; c. instalasi gas medik; d.
instalasi uap; e. instalasi pengelolaan limbah; f. pencegahan dan penanggulangan
kebakaran; g. petunjuk, standar dan sarana evakuasi saat terjadi keadaan darurat; h.
instalasi tata udara; i. sistem informasi dan komunikasi dan ; j. ambulan. Pada ayat (2)
bahwa prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar
pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja penyelenggaraan Rumah
Sakit.

2.1.4 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

Dalam undang-undang nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 26


ayat (2) bahwa pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan/atau kepala daerah yang membawahi fasilitas pelayanan kesehatan harus
mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, dan lokasi, serta
keamanan dan keselamatan kerja Tenaga Kesehatan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan. Pada Bab IX pasal 57 poin d bahwa Tenaga Kesehatan dalam
menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan
kerja , perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan
serta nilai-nilai agama.

2.1.5 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem


Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Dalam Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistem


Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat SMK3
adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka
pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatankerja guna terciptanya tempat kerja
yang aman, efisien dan produktif. Pada ayat (2) Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang
selanjutnya disingkat K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja.

7
Pada Pasal 2 Penerapan SMK3 bertujuan untuk: a. meningkatkan efektivitas
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang terencana, terukur, terstruktur dan
terintegrasi; b. mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
dengan melibatkan unsur manajemen, pekerja/buruh, dan/atau serikat pekerja/serikat
buruh; serta; c. menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman dan efisien untuk
mendorong produktivitas.

2.1.6 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indoneisa Nomor :


1087/MENKES/SK/VIII/2010 tentang Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di
Rumah Sakit

Dalam Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit, pada BAB
II, program K3RS yang harus diterapkan, salah satunya adalah pemantauan dan evaluasi
kesehatan lingkungan tempat kerja, meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental
(rohani) dan kemampuan fisik SDM Rumah sakit, dan pembinaan dan pengawasan
keselamatan / keamanan sarana, prasarana dan peralatan kesehatan di Rumah Sakit.

2.1.7 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2016 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun


2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit pada pasal 1 ayat (1)
Keselamatan Kerja adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi terjadinya
kecelakaan, kerusakan dan segala bentuk kerugian baik terhadap manusia, maupun yang
berhubungan dengan peralatan, obyek kerja, tempat bekerja, dan lingkungan kerja, secara
langsung dan tidak langsung. Ayat (2) Kesehatan Kerja adalah upaya peningkatan dan
pemeliharaan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jabatan,
pencegahan penyimpangan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan,
perlindungan pekerja dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan, penempatan
dan pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang mengadaptasi antara
pekerjaan dengan manusia dan manusia dengan jabatannya. Ayat (3) Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Rumah Sakit yang selanjutnya disingkat K3RS adalah segala kegiatan
untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan bagi sumber daya manusia

8
rumah sakit, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan rumah sakit
melalui upaya pencegahan kecelakan kerja dan penyakit akibat kerja di rumah sakit.

Pada pasal 27 ayat (1) Untuk mendukung penyelenggaraan K3RS, Rumah Sakit
dapat membentuk unit pelayanan Kesehatan Kerja tersendiri atau terintegrasi dengan unit
layanan rawat jalan yang ada di Rumah Sakit, yang ditujukan bagi SDM Rumah Sakit.
Ayat (2) Unit Pelayanan Kesehatan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
untuk menurunkan kejadian dan prevalensi penyakit pada SDM Rumah Sakit dari
penyakit menular, penyakit tidak menular, penyakit akibat kerja, dan kecelakaan akibat
kerja.

Dalam rangka pengelolaan dan pengendalian risiko yang berkaitan dengan


keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit agar terciptanya kondisi Rumah Sakit
yang sehat, aman, selamat, dan nyaman bagi sumber daya manusia Rumah Sakit, pasien,
pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan Rumah Sakit, maka Rumah Sakit
perlu menerapkan SMK3 Rumah Sakit. Manajemen risiko K3RS adalah proses yang
bertahap dan berkesinambungan untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit
akibat kerja secara komperhensif di lingkungan Rumah Sakit. Manajemen risiko
merupakan aktifitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh Rumah Sakit untuk
melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko keselamatan dan Kesehatan
Kerja. Hal ini akan tercapai melalui kerja sama antara pengelola K3RS yang membantu
manajemen dalam mengembangkan dan mengimplementasikan program keselamatan
dan Kesehatan Kerja, dengan kerjasama seluruh pihak yang berada di Rumah Sakit.
Rumah Sakit perlu menyusun sebuah program manajemen risiko
fasilitas/lingkungan/proses kerja yang membahas pengelolaan risiko keselamatan dan
kesehatan melalui penyusunan manual K3RS, kemudian berdasarkan manual K3RS yang
ditetapkan dipergunakan untuk membuat rencana manajemen fasilitas dan penyediaan
tempat, teknologi, dan sumber daya. Organisasi K3RS bertanggung jawab mengawasi
pelaksanaan manajemen risiko keselamatan dan Kesehatan Kerja dimana dalam sebuah
Rumah Sakit yang kecil, ditunjuk seorang personil yang ditugaskan untuk bekerja purna
waktu, sedangkan di Rumah Sakit yang lebih besar, semua personil dan unit kerja harus
dilibatkan dan dikelola secara efektif, konsisten dan berkesinambungan.

2.2. Low Back Pain (LBP)


a. Definisi Low Back Pain

9
Low Back Pain (LBP) adalah nyeri di daerah punggung antara sudut bawah kosta
(tulang rusuk) sampai lumbosacral (sekitar tulang ekor). Low Back pain (LBP)
merupakan gangguan otot tulang rangka yang paling sering terjadi pada pekerja, baik
pekerja di sektor industri besar, menengah dan kecil maupun pekerja-pekerja di sektor
pembangunan lainnya. Pekerja yang menderita LBP merasa nyeri yang terjadi di daerah
punggung bagian bawah dan dapat menjalar ke kaki terutama bagian sebelah belakang
dan samping luar (Depkes, 2009).7

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi Low Back Pain


Low back pain (LBP) atau nyeri pinggang bawah adalah salah satu masalah
kesehatan kerja yang paling sering ditemukan dan dapat menimbulkan absenteisme
tertinggi di tempat kerja. Pekerja berisiko tingggi LBP adalah pekerja yang bekerja
dengan postur janggal, manual handling serta dengan frekuensi dan durasi yang tinggi
termasuk pekerja kesehatan di rumah sakit, terutama pada perawat di area kerja yang
banyak mengangkat. Banyak penelitian di dunia melaporkan perawat merupakan salah
satu pekerjaan berisiko tinggi LBP1.
Nyeri punggung adalah nyeri yang berkaitan dengan bagaimana tulang, ligamen,
dan otot punggung bekerja, hal ini biasanya merupakan nyeri yang terjadi sebagai akibat
gerakan mengangkat, membungkuk, atau mengejan, suka hilang timbul, paling sering
terjadi pada punggung bagian bawah dan biasanya tidak menandakan kerusakan
permanen apapun2.
Nyeri daerah punggung bawah di daerah lumbosakral merupakan gangguan yang
hampir semua orang pernah mengalaminya. Setelah nyeri kepala atau sakit kepala,
kelainan inilah yang paling sering diderita, dan penyebab orang mangkir tidak masuk
kerja.
Low back pain didefinisikan sebagai suatu kondisi tidak spesifik yang mengacu
pada keluhan nyeri akut atau kronik dan ketidaknyamanan pada atau didekat daerah
lumboscral, yang dapat disebabkan oleh inflamasi, degeneratif, keganasan, kelainan
ginekologi, trauma dan gangguan metabolik. Faktor risiko okupasi yang menyebabkan
low back pain adalah pengerahan tenaga berlebihan saat melakukan manual handling,
postur janggal dan vibrasi seluruh tubuh.2
Berdasarkan data riset yang dilakukan oleh International Labour Organization
(2003) menemukan bahwa setiap hari rata-rata 6.000 orang meninggal, setara dengan
satu orang setiap 15 detik, atau 2,2 juta orang per tahun akibat kecelakaan kerja maupun
penyakit akibat kerja. Sedangkan anggaran untuk kecelakaan dan penyakit akibat kerja
yang terbanyak yaitu penyakit musculoskeletal disorders sebanyak 40%, penyakit

10
jantung sebanyak 16%, kecelakaan sebanyak 16%, dan penyakit saluran pernapasan
sebanyak 19%. Dari 27 negara yang dipantau oleh ILO, Indonesia menempati urutan ke-
26 dalam kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.2
Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan low back pain
diantaranya adalah, berdiri atau membungkuk dalam waktu yang lama, duduk dikursi
yang tidak sesuai, mengemudi dalam waktu yang lama, postur tubuh yang buruk, kurang
berolahraga, kegemukan, hamil, mengangkat, menjinjing, mendorong, atau menarik
beban yang terlalu berat. Selain faktor diatas, faktor lain yang berhubungan dengan
keluhan low back pain adalah cedera, penyakit peradangan, kanker, dan osteoporosis.2

Faktor-faktor yang mempengaruhi Low Back Pain7 :


1) Karakteristik individu
a) Umur

Sejalan dengan meningkatnya usia akan terjadi degenerasi pada tulang


dan keadaan ini mulai terjadi disaat seseorang berusia 30 tahun. Pada usia 30
tahun terjadi degenerasi yang berupa kerusakan jaringan, penggantian jaringan
menjadi jaringan parut, pengurangan cairan. Hal tersebut menyebabkan stabilitas
pada tulang dan otot menjadi berkurang. Semakin tua seseorang, semakin tinggi
risiko orang tersebut mengalami penurunan elastisitas pada tulang yang menjadi
pemicu timbulnya gejala LBP. Pada umumnya keluhan musculoskeletal mulai
dirasakan pada usia kerja yaitu 25-65 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh
Garg dalam Pratiwi (2009) menunjukan insiden LBP tertinggi pada umur 35-55
tahun dan semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Hal ini diperkuat
dengan penelitian Sorenson dimana pada usia 35 tahun mulai terjadi nyeri
punggung bawah dan akan semakin meningkat pada umur 55 tahun6.

b) Jenis Kelamin

Prevalensi terjadinya LBP lebih banyak pada wanita dibandingkan


dengan laki-laki, beberapa penelitian menunjukan bahwa wanita lebih sering
izin untuk tidak bekerja karena LBP. Jenis kelamin sangat mempengaruhi
tingkat risiko keluhan otot rangka. Hal ini terjadi karena secara fisiologis,
kemampuan otot wanita lebih rendah daripada pria. Berdasarkan beberapa
penelitian menunjukkan prevalensi beberapa kasus musculoskeletal disorders
lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria6.

11
c) Masa Kerja

Masa kerja adalah faktor yang berkaitan dengan lamanya seseorang


bekerja di suatu tempat. Terkait dengan hal tersebut, LBP merupakan penyakit
kronis yang membutuhkan waktu lama untuk berkembang dan bermanifestasi.
Jadi semakin lama waktu bekerja atau semakin lama sesorang terpajan faktor
risiko ini maka semakin besar pula risiko untuk mengalami LBP. Penelitian yang
dilakukan oleh Umami (2013) bahwa pekerja yang paling banyak mengalami
keluhan LBP adalah pekerja yang memiliki masa kerja >10 tahun dibandingkan
dengan mereka dengan masa kerja < 5 tahun6.

d) Kebiasaan merokok

Hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan


otot pinggang, khususnya untuk pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot,
karena nikotin pada rokok dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah ke
jaringan. Selain itu, merokok dapat pula menyebabkan berkurangnya kandungan
mineral pada tulang sehingga menyebakan nyeri akibat terjadinya keretakan atau
kerusakan pada tulang. Penelitian yang dilakukan Tana melaporkan bahwa dari
hubungan Antara perilaku merokok dengan nyeri pinggang didapatkan hasil
responden dengan perilaku merokok lebih banyak menderita low back pain
daripada yang tidak pernah merokok sama sekali.

e) Riwayat penyakit terkait rangka dan riwayat trauma

Postur yang bervariasi dan abnormalitas kelengkungan tulang belakang


merupakan salah satu faktor risiko adanya keluhan LBP. Orang dengan kasus
spondylolisthesis akan lebih beresiko LBP pada jenis pekerjaan yang berat,
tetapi kondisi seperti ini sangat langka. Riwayat terjadinya trauma pada
tulang belakang juga merupakan factor risiko terjadinya LBP karena trauma
akan merusak struktur tulang belakang yang dapat mengakibatkan nyeri yang
terus menerus6.

f) Aktivitas fisik / Olahraga


Pola hidup yang tidak aktif merupakan faktor risiko terjadinya berbagai
keluhan dan penyakit, termasuk di dalamnya LBP. Aktivitas fisik merupakan
suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan aktivitas otot pada periode

12
waktu tertentu. Aktivitas fisik yang cukup dan dilakukan secara rutin dapat
membantu mencegah adanya keluhan LBP. Kurangnya aktivitas fisik dapat
menurunkan suplai oksigen ke dalam otot sehingga dapat menyebabkan adanya
keluhan otot. Laporan NIOSH menyatakan bahwa untuk tingkat kesegaran tubuh
yang rendah maka risiko terjadinya keluhan adalah 8,1%, tingkat kesegaran
tubuh sedang adalah 3,2% dan tingkat kesegaran tubuh tinggi adalah 0,8%. Hal
ini juga diperkuat dengan laporan Betti’e et al yang menyatakan bahwa hasil
penelitian terhadap para penebang menunjukan bahwa kelompok penebang
dengan tingkat kesegaran tubuh yang tinggi mempunyai risiko sangat kecil
terhadap risiko cidera otot6.
g) Indeks Massa Tubuh (IMT)

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan kalkulasi angka dari berat dan
tinggi badan seseorang, nilai IMT didapatkan dari berat badan dalam kilogram
dibagi dengan kuadrat dari tinggi dalam meter (kg/m2). Panduan terbaru dari
WHO tahun 2000 mengkategorikan Indeks massa tubuh untuk orang Asia
dewasa menjadi underweight (IMT <18.5), normal range (IMT 18.5-22.9) dan
overweight (IMT 23.0). Hasil peneltian Purnamasari (2010) menyatakan bahwa
seseorang yang overweight lebih beresiko 5 kali menderita LBP dibandingkan
dengan orang yang memiliki berat badan ideal. Ketika berat badan bertambah,
tulang belakang akan tertekan untuk menerima beban yang membebani tersebut
sehingga mengakibatkan mudahnya terjadi kerusakan dan bahaya pada struktur
tulang belakang. Salah satu daerah pada tulang belakang yang paling beresiko
akibat efek dari obesitas adalah vertebrae lumbal6.

h) Riwayat Pendidikan

Pendidikan terakhir pekerja menunjukan pengetahuannya dalam


melakukan pekerjaan dengan postur yang tepat. Pendidikan seseorang
menunjukan tingkat pengetahuan yang diterima oleh orang tersebut. Semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin banyak pengetahuan yang
didapatkan.

2) Faktor Pekerjaan
a) Beban kerja
Beban kerja merupakan aktifitas fisik, mental, sosial yang diterima oleh
seseorang yang harus diselesaikan dalam waktu tertentu, sesuai dengan

13
kemampuan fisik, maupun keterbatasan pekerja yang menerima beban tersebut.
Pekerjaan atau gerakan yang menggunakan tenaga besar akan memberikan
beban mekanik yang besar terhadap otot, kerusakan otot, tendon dan jaringan
lainnya. Penelitian Nurwahyuni melaporkan bahwa persentase tertinggi
responden yang mengalami keluhan LBP adalah pekerja dengan berat beban >25
kg.6
b) Posisi Kerja

Posisi janggal adalah posisi tubuh yang menyimpang secara signifikan


dari posisi tubuh normal saat melakukan pekerjaan. Posisi janggal dapat
menyebabkan kondisi dimana transfer tenaga dari otot ke jaringan rangka tidak
efisien sehingga mudah menimbulkan kelelahan. Termasuk kedalam posisi
janggal adalah pengulangan atau waktu lama dalam posisi menggapai, berputar,
memiringkan badan, berlutut, jongkok, memegang dalam posisi statis dan
menjepit dengan tangan.

c) Repetisi
Repetisi adalah pengulangan gerakan kerja dengan pola yang sama.
Frekuensi gerakan yang terlampau sering akan mendorong fatigue dan
ketegangan otot tendon. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan
akibat beban terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.6
d) Durasi
Durasi adalah jumlah waktu terpajan faktor risiko. Risiko fisiologis
utama yang dikaitkan dengan gerakan yang sering dan berulang-ulang adalah
kelelahan otot. Selama berkontraksi otot memerlukan oksigen, jika gerakan
berulang-ulang dari otot menjadi terlalu cepat sehingga oksigen belum mencapai
jaringan maka akan terjadi kelelahan otot.6
3) Faktor Lingkungan Fisik
a) Getaran
Getaran berpotensi menimbulkan keluhan LBP ketika sesorang
menghabiskan waktu lebih banyak di kendaraan atau lingkungan kerja yang
memiliki hazard getaran. Getaran dapat menyebabkan kontraksi otot meningkat
yang menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat
meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri.
b) Kebisingan
Kebisingan yang ada di lingkungan kerja juga bisa mempengaruhi
performa kerja. Kebisingan secara tidak langsung dapat memicu dan

14
meningkatkan rasa nyeri LBP yang dirasakan pekerja karena bisa membuat
stress pekerja saat berada di lingkungan kerja yang tidak baik.
c) Tekanan
d) Mikrolimat
4) Peregangan otot yang berlebihan
5) Penyebab kombinasi

Banyak jenis pekerjaan yang membutuhkan aktivitas fisik yang berat seperti
aktivitas fisik dengan posisi kerja mengangkat, menurunkan, mendorong, menarik,
melempar, menyokong, memindahkan beban atau memutar beban dengan tangan atau
bagian tubuh lain yang juga merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh perawat. Aktivitas
semacam ini sering kali disebut dengan istilah manual material handling. Low back pain
merupakan salah satu penyakit yang sering diderita oleh jenis pekerjaan ini. Low back
pain akibat pekerjaan manual material handling, 50% diantaranya diakibatkan oleh
aktivitas mengangkat beban, 9% karena mendorong dan menarik, 6% karena menahan,
melempar, memutar, dan membawa beban. Penelitian Klein (1984) menyatakan bahwa
pekerja angkat beban, seperti tukang sampah, pekerja di sektor konstruksi, gudang, dan
perawat, mengajukan klaim asuransi kesehatan 10x lebih tinggi dibandingkan dengan
pekerjaan dengan tenaga fisik yang lebih ringan.2
Di Inggris, kira-kira 60-80% orang pernah mengalami nyeri punggung pada suatu
waktu di kehidupannya. Nyeri punggung merupakan salah satu alasan utama untuk tidak
bekerja, dan setiap tahunnya jutaan hari kerja hilang akibat nyeri punggung ini. Di negara
Barat (misalnya Inggris dan Amerika Serikat) kejadian nyeri punggung (terutama nyeri
punggung bagian bawah) telah mencapai proporsi epidemik. Satu survei telah
melaporkan bahwa 17,3 juta orang di Inggris (sekitar sepertiga populasi orang dewasa)
pernah mengalami nyeri punggung pada suatu waktu. Dari jumlah ini, 1,1 juta orang
mengalami kelumpuhan akibat nyeri punggung. Nyeri punggung bagian bawah
merupakan penyebab paling sering dari keterbatasan aktivitas pada orang muda dan
setengah baya, serta merupakan salah satu alasan paling sering untuk mendapatkan
konsultasi medis.2
Di Amerika Serikat tenaga pelayanan kesehatan yang memiliki tingkat tertinggi
dari low back pain adalah perawat, dengan prevalensi tahunan 40-50% dan prevalensi
seumur hidup 35-80% (Edlich, 2004). Di Indonesia angka kejadian pasti dari low back
pain tidak diketahui, namun diperkirakan, angka prevalensi low back pain bervariasi
antara 7,6% sampai 37%. Masalah low back pain pada pekerja pada umumnya dimulai

15
pada usia dewasa muda dengan puncak prevalensi pada kelompok usia 45-60 tahun
dengan sedikit perbedaan berdasarkan jenis kelamin.2
Low back pain sering terjadi di kalangan para perawat terutama perawat yang
bertugas di ruang rawat inap. Hal ini dipertegas oleh Roupa, at all (2008), yang
mengemukakan bahwa staf perawat termasuk dalam kelompok profesi beresiko tinggi
untuk terkena cidera muskuloskeletal, terutama di daerah tulang belakang thorako-lumbal
yang akan mengakibatkan low back pain. 2
Tenaga perawat merupakan salah satu sumber daya rumah sakit yang memiliki
jumlah yang cukup besar dan memiliki peranan yang sangat menentukan mutu pelayanan
suatu rumah sakit. Perawat dalam melaksanakan asuhan kepada pasien memiliki tugas
yang bervariasi, antara lain melakukan tindakan mandiri seperti memenuhi kebutuhan
Activity Daily Living (ADL) pasien, memandikan di tempat tidur, membantu mobilisasi
pasien dengan cara mengangkat pasien dewasa yang berat, merawat luka dan lain-lain.
Selain tindakan mandiri perawat juga mempunyai tugas yang sifatnya kolaboratif seperti
memberikan obat melalui suntikan, memasang cateter dan lain-lain. Perawat dalam
melakukan pekerjaannya tersebut banyak menggunakan gerakan membungkuk dan
memutar tubuh, khususnya di sekitar tulang punggung bawah, mengangkat benda berat,
dan mentransfer pasien merupakan faktor risiko terbesar terkena low back pain.2
Hignett pada tahun 1996 merangkum 80 penelitian yang dipublikasi selama tiga
dekade, menemukan prevalensi LBP perawat lebih tinggi daripada populasi umum,
terutama perawat yang banyak melakukan kegiatan angkat-angkut atau mobilisasi pasien.
Hasil penelitian Hignett masih relevan, keadaan ini ditunjukkan dalam publikasi terkini
pada tahun 2013 berupa Global Health Research Program yang dilaksanakan oleh The
University of British Columbia Canada; Hasil review Global Research ini juga
menunjukkan aktivitas perawat berhubungan dengan peningkatan risiko gangguan tulang
belakang, terutama aktivitas angkat-angkut atau mobilisasi pasien ; estimasi risiko LBP
1,2–5,5 kali bila dibandingkan dengan populasi umum.1

16
BAB III
PEMBAHASAN

Tenaga perawat merupakan salah satu sumber daya rumah sakit yang memiliki
jumlah yang cukup besar dan memiliki peranan yang sangat menentukan mutu pelayanan
suatu rumah sakit. Perawat dalam melaksanakan asuhan kepada pasien memiliki tugas
yang bervariasi, antara lain melakukan tindakan mandiri seperti memenuhi kebutuhan
Activity Daily Living (ADL) pasien, memandikan di tempat tidur, membantu mobilisasi
pasien dengan cara mengangkat pasien dewasa yang berat, merawat luka dan lain-lain.
Selain tindakan mandiri perawat juga mempunyai tugas yang sifatnya kolaboratif seperti
memberikan obat melalui suntikan, memasang cateter dan lain-lain. Perawat dalam
melakukan pekerjaannya tersebut banyak menggunakan gerakan membungkuk dan
memutar tubuh, khususnya di sekitar tulang punggung bawah, mengangkat benda berat,
dan mentransfer pasien merupakan faktor risiko terbesar terkena low back pain.2
Hignett pada tahun 1996 merangkum 80 penelitian yang dipublikasi selama tiga
dekade, menemukan prevalensi LBP perawat lebih tinggi daripada populasi umum,
terutama perawat yang banyak melakukan kegiatan angkat-angkut atau mobilisasi pasien.
Hasil penelitian Hignett masih relevan, keadaan ini ditunjukkan dalam publikasi terkini
pada tahun 2013 berupa Global Health Research Program yang dilaksanakan oleh The
University of British Columbia Canada; Hasil review Global Research ini juga
menunjukkan aktivitas perawat berhubungan dengan peningkatan risiko gangguan tulang
belakang, terutama aktivitas angkat-angkut atau mobilisasi pasien ; estimasi risiko LBP
1,2–5,5 kali bila dibandingkan dengan populasi umum.1
Pada penelitian yang dilakukan Kurniawidjaja dkk menunjukan hubungan yang
bermakna postur membungkuk dengan keluhan risiko LBP, dimana postur kerja
membungkuk yang dilakukan perawat memiliki risiko 14 kali lebih sering terjadi
keluhan LBP di banding postur kerja tidak membungkuk. Karakteristik individu perawat
pada penelitian tersebut yang berhubungan dengan LBP adalah tinggi badan, kebiasaan
merokok, dan jenis kelamin. Semakin tinggi tubuh perawat semakin beresiko mengalami
LBP, perokok lebih beresiko terserang LBP, dan perempuan lebih beresiko terserang LBP
dibanding laki-laki.2

17
Penelitian yang dilakukan oleh Fathoni dkk sependapat bahwa perawat
melakukan sikap dan posisi kerja yang beresiko cedera muskolosketel yang berujung
kepada keluhan LBP. Tidak terdapat hubungan antara indeks masa tubuh (IMT) dengan
LBP. 8
Menurut Ningsih pada penelitiannya juga memperkuat penelitian sebelumnya
bahwa posisi membungkuk dan memutar selama bekerja memperbesar resiko terjadinya
LBP. Ningsih juga berpendapat tidak ada hubungan IMT dengan keluhan LBP, terdapat
hubungan yang signifikan antara kebiasaan olahraga terhadap keluhan LBP.1
Penelitian yang dilakukan oleh Ariek Kurnia PD, menganalisa secara univariat
dan bivariate, yang berhubungan dengan faktor risiko terjadinya LBP pada Perawat
bangsal Kelas III di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta, dimana penelitian
tersebut menerangkan bahwa :
a. Hubungan umur dengan risiko keluhan Low Back Pain

Dari analisis data yang telah dilakukan menggunakan uji statistic korelasi Spearman
Rho diperoleh p-value (0,050<0,050) sehingga Ha diterima yang artinya ada
hubungan yang signifikan antara umur perawat dengan risiko keluhan low back pain.

b. Hubungan Jenis Kelamin degan Risiko Keluhan low back pain

Secara deskriptif penelitian tersebut didapatkan jumlah responden yang mengalami


keluhan low back pain yang berjumlah 15 responden (75%). Sesuai dengan teori
Astrand & Rodahl,1996; Betti’e et al, 1989 dalam Tarwaka (2014) yang menyatakan
otot wanita mempunyai ukuran yang lebih kecil dan kekuatannya hanya dua pertiga
(60%) daripada otot pria terutama otot lengan, punggung dan kaki.

c. Hubungan Masa Kerja dengan Risiko Keluhan Low Back Pain

Hasil uji statiska menggunakan korelasi Spearman Rho diperoleh p-value


(0,038<0,05) yang berarti ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan
risiko keluhan low back pain. Tekanan fisik pada suatu kurun waktu tertentu
mengakibatkan berkurangnya kinerja otot, dengan gejala makin rendahnya gerakan.
Tekanan-tekanan akan terakumulasi setiap harinya pada suatu masa yang panjang,
sehingga mengakibatkan memburuknya kesehatan yang disebut juga kelelahan klinis
atau kronis.

Pada penelitian yang dilakukan Ariek Kurnia PD, pembebanan yang dialami
responden dikarenakan area kerja dan sarana prasarana di rumah sakit yang belum

18
memadai sepenuhnya. Tempat bangsal Kelas III berada di lantai 2 namun tidak
didukung dengan adanya esklator maupun lift. Sehingga semua pekerjaan
mendorong naik ke lantai 2 maupun sebaliknya dilakukan secara manual. Hal
tersebut yang mungkin menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya risiko
keluhan low back pain.

d. Hubungan Indeks Masa Tubuh dengan Risiko Keluhan Low Back Pain

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p-value (0,220>0,05) yang artinya tidak ada
hubungan yang bermakna antara IMT dengan risiko keluhan low back pain.

e. Hubungan Kesegaran Jasmani dengan Risiko Keluhan Low Back Pain

Dari hasil uji statistic didapatkan p-value (0,456>0,05) yang artinya tidak ada
hubungan yang signifikan antara kesegaran jasmani dengan keluhan low back pain.

f. Hubungan Postur Kerja dengan Risiko Keluhan Low Back Pain

Hasil uji statistic Spearman Rank Rho didapatkan nilai p-value (0,033<0,05) yang
artinya terdapat hubungan yang signifikan antara postur kerja dengan risiko keluhan
low back pain.

Keadaan tersebut dapat terjadi akibat postur kerja yang tidak ergonomis, postur
dalam menjangkau, mendorong, mengangkat dan membungkuk.7

Penelitian yang dilakukan oleh Himawan Fathoni mengenai hubungan sikap dan
posisi kerja dengan low back pain pada perawat RSUD Purbalingga, yaitu :

1) Karakteristik responden dalam penelitian ini memiliki rerata usia 31,41  4,74 tahun,
rerata indeks masa tubuh 22,73  1,70 kg/m2 dan rerata masa kerja 9,28  5,47 tahun.
Jumlah responden perempuan lebih banyak daripada laki-laki dimana 18 responden
berjenis kelamin perempuan dan 14 responden berjenis kelamin laki-laki.
2) Sebanyak 31,25% perawat RSUD Purbalingga melakukan sikap dan posisi kerja yang
beresiko cedera musculoskeletal
3) Perawat RSUD Purbalingga yang mengalami low back pain sebanyak 18,75%
4) Terdapat hubungan antara usia dan masa kerja dengan low back pain pada perawat
RSUD Purbalingga
5) Tidak ada hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dengan low back pain pada
perawat RSUD Purbalingga

19
6) Tidak ada hubungan antara sikap dan posisi kerja dengan low back pain pada perawat
RSUD Purbalingga.

Penelitian yang dilakukan oleh Monalisa Sumangando, Julia Rottie, Jill Lolong mengenai
Hubungan beban kerja Perawat dengan Kejadian Low Back Pain (LBP) pada Perawat
Pelaksana di RS TK. III R.W Mongonsidi Manado yaitu RS TK. III R.W Mongonsidi
Manado didominasi oleh perawat usia 24-32 tahun sebanyak 87,5%. Menurut teori, setelah
usia 30 tahun, discus intervertebrae mengalami degenerasi, menimbulkan robekan dan
jaringan parut, cairan berkurang, ruang diskus mendangkal secara permanen dan segmen
spinal kehilangan stabilitasnya. Berkurangnya cairan nukleus menurunkan kemampuannya
menahan tekanan bila terjadi pergerakan kompresif sehingga usia bisa menjadi pencetus low
back pain.4

Hasil penelitian didominasi oleh perawat perempuan sebanyak 85%. secara fisiologis,
kemampuan otot wanita lebih rendah dibandingkan dengan pria. Dari penelitian didapatkan
data yang sudah menikah sebanyak 52,5 %. Perawat yang bekerja <5 tahun sebanyak
65,0%, berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Hasyim, 2000 dalam Himawan, 2009 yang
menyebutkan masa kerja menyebabkan beban statik yang terus menerus apabila pekerja tidak
memperhatikan daktor-faktor ergonomi akan lebih mudah menimbulkan keluhan low back
pain. Pada penelitian ini, dari 40 responden didapatkan responden dengan beban kerja sedang
sebanyak 28 responden ( 70% ), dengan beban kerja berat sebanyak 11 responden ( 27,5% ),
dan dengan beban kerja ringan yaitu 1 responden ( 2,5% ).4

Hasil menunjukkan bahwa perawat yang mengalami low back pain adalah sebanyak 28
responden (70%) dari 40 sampel berdasarkan hasil diagnosa dokter. Pada penelitian ini tidak
ditemukan hubungan beban kerja perawat dengan kejadian Low Back Pain pada perawat
pelaksana di RS TK. III R.W Mongonsidi Manado.4

Dari 1 responden dengan beban kerja ringan didapatkan kejadian low back pain sebanyak
1 orang. Dari 28 responden dengan beban kerja sedang didapatkan kejadian low back pain
sebanyak 21 orang. Dari 11 responden dengan beban kerja berat didapatkan kejadian low
back pain sebanyak 6 orang. Dari keseluruhan kejadian low back pain, responden yang paling
banyak mengalaminya didominasi oleh jenis kelamin perempuan.4

Penelitian yang dilakukan oleh Juprayzer Lumban Gaol mengenai Hubungan kerja
manual handling terhadap keluhan nyeri punggung bawah (LBP) pada perawat ICU dan

20
ICCU Siloam Hospital Kebun Jeruk Jakarta Barat yaitu rata-rata perawat ICU dan ICCU
berusia 21-30 tahun (46,7%), sebanyak 27 orang (90%) berjenis kelamin perempuan dan
jumlah perawat yang bekerja antara 1-10 tahun sebanyak 19 orang perawat (63,3%).
sebanyak 17 perawat mengalami tingkat keluhan nyeri punggung bawah tinggi dengan
persentase 56,1% dan 8 perawat mengalami tingkat keluhan nyeri punggung bawah yang
sangat tinggi dengan persentase 26,4%. sebanyak 16 perawat mengalami tingkat risiko kerja
manual handling tidak ergonomis yang tingi dengan persentase 52,8%.3

Hasil uji korelasi didapatkan P-value = 0,000 < 0,05 menunjukkan ada hubungan yang
signifikan antara kerja manual handling dengan keluhan nyeri punggung bawah. Nilai r
adalah 0,804 sehingga keeratan hubungan kedua variabel sangat kuat. Tanda korelasi positif
memiliki makna bahwa kedua variabel memiliki arah hubungan yang berpola searah. Dari
kesimpulan ini dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan Ha diterima yang berarti ‘ada
hubungan antara kerja manual handling dengan keluhan nyeri punggung bawah (LBP) pada
perawat ICU dan ICCU di RS SHKJ’.3

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa aktivitas pekerjaan yang dominan menimbulkan LBP pada
perawat adalah membungkuk dan angkat angkut pasien. Pekerjaan yang dilakukan dengan
membungkuk tingkat risiko ergonominya bervariasi dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Tingkat risiko rendah ditemukan pada pengukuran tekanan darah karena dikerjakan
tanpa beban dalam waktu 1- 2 menit

21
b. Tingkat risiko menengah atau sedang saat pemasangan infus, kateter atau menjahit
luka yang dikerjakan tanpa beban tapi dalam waktu cukup lama 5 -10 menit dan
dengan frekuensi yang cukup tinggi saat banyak pasien yang membutuhkan.
c. Tingkat risiko tinggi pada pekerjaan membuang urin pasien, karena postur janggal
juga di bebani berat urin dalam pot serta frekuensi yang berulang- ulang.

Karakteristik individu perawat pada penelitian yang berhubungan dengan LBP adalah
tinggi badan, kebiasaan merokok, jenis kelamin, dan kebiasaan olahraga. Semakin tinggi
tubuh perawat semakin beresiko mengalami LBP, perokok lebih beresiko terserang LBP,
perempuan lebih beresiko terserang LBP dibanding laki-laki dan kebisaan olahraga dapat
mengurangi risiko terjadinya LBP.

Hubungan terhadap faktor risiko sebagai berikut :

1) Ada hubungan antara risiko postur kerja dengan keluhan low back pain dengan
tingkat keeratan hubungan cukup kuat
2) Ada hubungan antara umur dengan risiko keluhan low back pain dengan tingkat
keeratan hubungan cukup kuat
3) Ada hubungan antara masa kerja dengan risiko keluhan low back pain dengan
tingkat keeratan cukup kuat
4) Ada hubungan antara manual handling dengan keluhan low back pain dengan
tingkat keeratan cukup kuat
5) Tidak ada hubungan yang signifikan antara IMT pekerja dengan keluhan low back
pain
6) Tidak ada hubungan yang signifikan antara kesegaran jasmani dengan keluhan low
back pain
7) Tidak ada hubungan beban kerja dengan keluhan low back pain

B. SARAN

1. Melakukan pengendalian teknik dan pengendalian administratif.


a. Pengendalian teknik yaitu dengan memakai tempat tidur dan brankar
transportasi yang adjustable sebagai pengganti model statis, menyediakan
bangku adjustable untuk pekerjaan membungkuk pada saat memberikan
pelayanan pasien yang sedang berbaring di tempat tidur, dan menyiapkan ‘meja’
dinding di toilet untuk pengukuran urin.
b. Pengendalian administratif yaitu mengurangi beban dan frekuensi tugas berisiko
LBP dengan memenuhi rasio perawat-pasien minimal, mengatur waktu kerja,

22
menyusun SOP, memberikan pendidikan dan pelatihan teknik pengendalian
risiko yaitu minimal tentang komunikasi hazard, teknik angkat angkut pasien,
teknik peregangan otot, tidak merokok, melakukan kegiatan olahraga teratur
untuk dapat meningkatkan kekuatan dan kelenturan otot penyangga tulang
belakang, dan berperilaku kerja yang baik dengan mengikuti SOP.
2. Bagi Perawat :
a) Perawat dianjurkan melakukan peregangan otot (stretching) sebelum dan
sesudah melakukan pekerjaan setiap 2 jam sekali selama 2-3 menit untuk
menjaga stabilitas otot pada usia lanjut dan menjaga pola makan.
b) Mencegah terjadinya postur kerja yang membungkuk perawat bisa
menggunakan alat bantu yaitu kursi penyangga yang bisa diatur ketinggannya
dan jika tidak memungkinkan menggunakan kursi yang bisa diatur maka
menggunakan kursi yang telah disediakan.
c) Melakukan olahraga rutin untuk memelihara kelenturan dan kekuatan otot
pinggang
3. Bagi Rumah Sakit :
a) Mengatur waktu kerja dan melakukan rotasi perpindahan perawat setiap 3 tahun
sekali.
b) Menambah petugas antar jemput agar mengurangi aktivitas mendorong dan
menahan pada proses mobilisasi pasien
c) Membuat kebijakan dalam hal pembagian beban kerja, sehingga perbandingan
perawat dengan pasien yang dirawat diharapkan seimbang.
d) Rumah sakit melakukan pelatihan tentang sikap kerja untuk menjaga postur dan
posisi tubuh yang ergonomis dalam berdiri, duduk dan tidur yang baik agar
perawat dapat mengurangi keluhan LBP pada saat bekerja. Karena postur yang
salah atau tidak ergonomis menjadi faktor risiko timbulnya nyeri.
e) Rumah sakit mengadakan senam pagi setiap minggu guna memperkuat masa
tulang
f) Pekerjaan mengangkat dan memindahkan pasien dapat menggunakan tempat
tidur dan brankar pasien yang ketinggiannya dapat disesuaikan.
g) Kemiringan ramp yang sesuai standard
h) Mengangkat dan memindahkan pasien minimal dilakukan oleh 2 orang perawat,
dan yang kompeten dalam pemindahan pasien.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Kursiah Warti Ningsih, Keluhan Low Back Pain Pada Perawat Rawat Inap RSUD
Selasih Pangkalan Kerinci; Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Payung Negeri
Pekanbaru, 2014
2. L. Meily Kurniawidjaja, Edy Purnomo, Nadia Maretti, Ike Pujiriani, Pengendalian
Risiko Ergonomi Kasus Low Back Pain pada Perawat di Rumah Sakit; Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
3. Juprayzer Lumban Gaol, Hubungan Kerja Manual Handling Terhadap Keluhan
Nyeri Punggung Bawah (LBP) Pada Perawat ICU DAN ICCU Siloam Hospital
Kebun Jeruk Jakarta Barat
4. Monalisa Sumangando, Julia Rottie, Jill Lolong, Hubungan Beban Kerja Perawat
dengan Kejadian Low Back Pain (LBP) pada Perawat Pelaksana di RS TK. III
R.W Monginsidi Manado, 2017
5. Undang – undang no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
6. Fazia Andini, Risk Factors of Low Back Pain in Workers; Faculty of Medicine
Universitas Lampung, 2015
7. PD. Ariek Kurnia, Tarwaka, Dwi Astuti, Hubungan Tingkat Risiko Postur Kerja
dan Karakteristik Individu dengan Tingkat Risiko Keluhan Low Back Pain pada
Perawat Bangsal Kelas III di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta;
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2015
8. Fathoni Himawan, Handoyo, Keksi Girindra Swasti, Hubungan Sikap dan Posisi
Kerja dengan Low Back Pain pada Perawat di RSUD Purbalingga; Prodi
Keperawatan Poltekkes Depkes Purwokerto, 2009

24

Anda mungkin juga menyukai