Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan rongga mulut merupakan bagian dari kesehatan tubuh secara

umum yang tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga dapat

menimbulkan masalah kesehatan yang serius. Kesehatan gigi dan mulut sering

kali diabaikan dan dijadikan prioritas yang kesekian bagi sebagian orang.

Persentase penduduk di Indonesia yang mengalami masalah gigi dan mulut

menurut data Rikesdas tahun 2018 adalah 56,7%. Dari penduduk yang

mempunyai masalah kesehatan gigi dan mulut, persentase penduduk di Indonesia

yang menerima perawatan dari tenaga medis gigi hanya 10,2% pada tahun 2018

(Kementerian Kesehatan RI, 2018).

The Global Burden of Disease Study 2016 memperkirakan bahwa penyakit

pada rongga mulut mempengaruhi setengah dari populasi penduduk dunia dimana

karies gigi (kerusakan gigi) pada gigi permanen menjadi kondisi yang paling

sering terjadi (WHO, 2018). Menurut data Rikesdas pada tahun 2018 prevalensi

kejadian karies gigi di Indonesia adalah 88,8% (Kementerian Kesehatan RI,

2018). Karies gigi merupakan suatu penyakit yang terjadi pada jaringan keras gigi

yaitu email, dentin, dan sementum yang disebabkan oleh kumpulan

mikroorganisme. Karies gigi yang tidak dirawat akan mempermudah terjadinya

invasi mikroorganisme, sehingga akan menyebabkan terjadinya perluasan

kerusakan yang dapat berefek pada kerusakan jaringan periodonsium dan memicu

terjadinya penyakit periodontal (Fatikarini, dan Handajani, 2011).

1
Menurut WHO (2018), karies gigi merupakan kondisi dimana

terbentuknya biofilm mikroba atau plak di permukaan gigi. Terbentuknya plak

disebabkan oleh aktivitas mikroba yang dapat mengubah gula bebas dalam

makanan dan minuman menjadi senyawa asam yang dapat melarutkan email gigi.

Dengan adanya asupan gula bebas yang tinggi, paparan fluoride yang tidak

memadai dan pelepasan biofilm mikroba secara tidak teratur dapat memperburuk

kondisi gigi dimana dapat terjadi kondisi gigi berlubang, nyeri, dan penghancuran

struktur gigi. Pada tahap lanjut dapat menyebabkan kondisi kehilangan gigi dan

infeksi sistemik. Plak pada gigi dapat menjadi perisai bagi mikroorganisme

rongga mulut sehingga kurang responsif terhadap antibiotik (Aslim, 2014).

Terdapat lebih dari 700 spesies bakteri yang hidup di dalam rongga mulut

dan hampir seluruhnya merupakan flora normal atau komensal. Kolonisasi flora

normal memberikan keuntungan bagi inangnya, terutama dalam mekanisme yang

disebut dengan resistensi kolonisasi di mana bakteri patogen tidak dapat

mengakses daerah yang ditempati oleh flora normal. Namun pada keadaan

tertentu, flora normal di dalam mulut dapat menjadi patogen oportunistik dan

menyebabkan masalah infeksi rongga mulut, seperti karies, gingivitis, stomatitis,

glossitis, dan periodontitis (Aas et al., 2005).

Rongga mulut merupakan tempat berkumpulnya bakteri. Bakteri yang

biasanya terdapat dalam rongga mulut di antaranya adalah Staphylococcus aureus,

Streptococcus mutans, Streptococcus viridians, dan Staphylococcus pneumonia

(Dewi, Nur, dan Hertriani, 2015). Salah satu flora normal yang dapat menjadi

mikroba patogen penyebab karies pada gigi yang banyak ditemukan dalam

biofilm kariogenik atau plak adalah Streptococcus mutans (Fajriani, dan Djide,

2
2015). Streptococcus mutans adalah salah satu agen etiologi yang paling penting

yang menyebabkan terjadinya karies gigi. Streptococcus mutans merupakan

prediktor penting sebagai bakteri kariogenik karena bersifat acidogenic (mampu

menghasilkan asam) dan aciduric (mampu bertahan dalam lingkungan asam)

(Tinanoff, 2010; Luthfi dkk., 2015). Senyawa asam yang dihasilkan dari

metabolisme bakteri Streptococcus mutans dapat mengakibatkan terjadinya proses

demineralisasi kandugan kalsium dan fosfat dari email gigi (Kusumaningsari, dan

Handajani, 2011).

Pengobatan terhadap infeksi Streptococcus mutans dapat dilakukan dengan

pemberian antibiotik penisilin G, vankomisin, atau generasi pertama sefalosporin

(Leboffe and Pierce, 2011). Namun dari beberapa studi yang telah dilakukan,

melaporkan terjadinya resistensi Streptococcus mutans terhadap antibiotik.

Menurut penelitian (Liao et al., 2017), melaporkan resistensi Streptococcus

mutans terhadap fluoride. Menurut penelitian (Hasrul, 2016), menunjukkan bahwa

Streptococcus mutans mengalami resistensi terhadap antibiotik amoksisilin dan

seftriakson.

Ada berbagai cara yang dapat digunakan untuk mencegah karies gigi,

salah satunya penggunaan obat kumur antiseptik. Obat kumur merupakan larutan

atau cairan yang digunakan untuk membersihkan rongga mulut dengan sejumlah

tujuan antara lain untuk menyingkirkan mikroba perusak, bekerja sebagai

penyembuh, untuk menghilangkan bau mulut, mempunyai efek terapi dan

menghilangkan infeksi (Nuryani, 2017). Terdapat berbagai jenis obat kumur yang

beredar di masyarakat. Adapun efek samping yang dapat ditimbulkan oleh

penggunaan obat kumur komersil dengan bahan kimia antara lain berupa

3
sensitivitas, eritema lokal, nyeri, erosi mukosa, dan risiko utama yang terkait

dengan fungsi tiroid (Andini, 2012).

Upaya lain yang dapat digunakan untuk mengendalikan jumlah bakteri

Streptococcus mutans di dalam rongga mulut yaitu dengan menggunakan bahan

alami yang memiliki sifat antibakteri. Bahan alam memiliki efek samping lebih

sedikit dibandingkan dengan obat-obatan kimia, selain itu memiliki harga yang

murah dan mudah untuk diperoleh (Arif, Sukmawaty, dan Masri, 2017).

Pemanfaatan bahan alam yang berasal dari tumbuhan telah lama digunakan oleh

masyarakat Indonesia untuk menangani berbagai masalah kesehatan. Sangat

penting adanya upaya mengeksplorasi berbagai bahan alam sebagai alternatif lain

untuk bahan industri farmasi dimasa yang akan datang guna mengantisipasi

terjadinya kebutuhan bahan obat yang lebih banyak diperlukan (Purwantoro dkk.,

2016).

Indonesia memiliki berbagai macam jenis tanaman yang dapat

dimanfaatkan sebagai obat-obatan. Salah satu tanaman yang dimanfaatkan sebagai

tanaman obat adalah tanaman secang (Caesalpinia sappan L.). Bagian dari

tanaman secang yang sering dimanfaatkan adalah bagian kayu. Kayu secang

merupakan bagian batang dari tanaman secang yang didalamnya terdapat berbagai

senyawa metabolit sekunder. Secang biasanya diolah menjadi minuman yang

memiliki khasiat bagi kesehatan (Nomer, Duniaji, dan Nocianitri, 2019).

Secang biasa dimanfaatkan untuk pengobatan penyakit diare, disentri,

batuk darah pada penyakit TBC, muntah darah, sifilis, malaria, tetanus,

pembengkakan (tumor), dan nyeri karena gangguan sirkulasi darah. Secang

memiliki efek farmakologis seperti membantu menghentikan perdarahan,

4
pembersih darah (detoksifikasi), pengelat, penawar racun, dan obat antiseptik

(Dianasari, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian Widowati (2011), ekstrak kayu secang

mengandung senyawa terpenoid, fenol, dan mengandung senyawa flavonoid yang

tinggi. Selain itu ekstrak kayu secang juga memiliki aktivitas antioksidan tinggi.

Menurut penelitian Kusmiati, Dameria, dan Priadi (2016), yang melakukan

analisis fitokimia terhadap kayu secang, hasil analisis menunjukkan adanya

senyawa flavonoid, saponin, alkaloid, tanin, fenol, triterpenoid, steroid, dan

glikosida. Hasil identifikasi senyawa aktif dengan metode KG-SM menunjukkan

bahwa ekstrak etanol kayu secang (Caesalpinia sappan L.) mengandung fenol

(91%), benzenediol (93%), dan resorsinol (90%). Ekstrak metanol mengandung

fenol (96%), bensen (98%), asam heksadekanoat (93%) dan asam pentadekanoat

(91%).

Hasil penelitian yang dilakukan Karlina dkk.,(2016), menunjukkan ekstrak

air kayu secang dengan pH 3,0 pada konsentrasi 20% mampu menghambat

pertumbuhanAspergillus niger dan Candida albicans dengan diameter 9,69 dan

9,42 mm. Menurut penenilitan Nomer, Duniaji, Nocianitri (2019), ekstrak kayu

secang (Caesalpinia sappan L.) mampu menghambat pertumbuhan Vibrio cholera

secara optimal pada konsentrasi 80% dengan diameter penghambatan 20,1 mm

dengan kategori sangat kuat. Hasil penelitian yang dilakukan Balawala (2012),

menunjukkan bahwa ekstrak etanol kayu secang memiliki aktivitas antibakteri

dengan menghasilkan diameter zona hambat. S. epidermidis dengan konsentrasi

0.1 mg/disc menghasilkan zona hambat 10,33 mm, P. Aeruginosa ATCC 10145

dengan konsentrasi 0,25 mg/disc menghasilkan zona hambat 9 mm, dan K.

5
pneumonia ATCC 10031 dengan konsentrasi 0,1 mg/disc menghasilkan zona

hambat 6,5 mm. Berdasarkan hasil penelitian Kusmiati, Dameria, dan Priadi

(2014), menunjukkan bahwa ekstrak etanol kayu secang (Caesalpinia sappan L.)

mempunyai zona hambatan rata-rata 16,0 mm terhadap B. subtilis, ekstrak

metanol dan diklormetan (16,25 mm dan 10,95 mm) terhadap S. aureus.

Berdasarkan uji pendahuluan yang dilakukan, didapatkan hasil kadar air

yang terkandung di dalam kayu secang sebesar 30,06%. Dan pada pengujian

perebusan kayu secang dengan menggunakan pelarut aquadest menunjukan hasil

larutan yang berwarna kuning. Sedangkan pada pengujian perebusan kayu secang

dengan menggunakan pelarut air mineral didapatkan hasil larutan yang berwarna

merah.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, menyebutkan

bahwa tanaman secang khususnya kayu secang mempunyai kemampuan sebagai

antibakteri, maka penelitian kali ini dilakukan untuk menguji aktivitas antibakteri

ekstrak air rebusan kayu secang (Caesalpinia sappan L.) dengan variasi

konsentrasi dalam menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans secara

in vitro dengam metode difusi cakram.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, adapun rumusan masalah

dalam karya tulis ini yaitu ”Adakah perbedaan daya hambat variasi konsentrasi

ekstrak air rebusan kayu secang (Caesalpinia sappan L.) pada pertumbuhan

bakteri Streptococcus mutans secara in vitro?”.

6
C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui perbedaan daya hambat variasi konsentrasi ekstrak air

rebusan kayu secang (Caesalpinia sappan L.) pada pertumbuhan bakteri

Streptococcus mutans secara in vitro.

2. Tujuan khusus

a. Mengukur daya hambat ekstrak air rebusan kayu secang konsentrasi 0%

terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans secara in vitro.

b. Mengukur daya hambat ekstrak air rebusan kayu secang konsentrasi 10%

terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans secara in vitro.

c. Mengukur daya hambat ekstrak air rebusan kayu secang konsentrasi 15%

terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans secara in vitro.

d. Mengukur daya hambat ekstrak air rebusan kayu secang konsentrasi 20%

terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans secara in vitro.

e. Mengukur daya hambat ekstrak air rebusan kayu secang konsentrasi 25%

terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans secara in vitro.

f. Mengukur daya hambat ekstrak air rebusan kayu secang konsentrasi 50%

terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans secara in vitro.

g. Menentukan katagori zona hambat ekstrak air rebusan kayu secang

(Caesalpinia sappan L.) pada konsentrasi 0, 10, 15, 20, 25, dan 50%.

h. Menganalisis perbedaan zona hambat ekstrak air rebusan kayu secang dalam

berbagai konsentrasi 0, 10, 15, 20, 25, dan 50% terhadap pertumbuhan bakteri

Streptococcus mutans.

7
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang

ilmu pengetahuan sebagai salah satu bahan kepustakaan serta dapat menjadi dasar

penelitian selanjutnya mengenai aktivitas antibakteri dari senyawa aktif yang

terkandung dalam kayu secang.

2. Manfaat praktis

a. Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat bergunabagi masyarakat sebagai salah satu

upaya preventif dalam mencegah infeksi akibat bakteri yang terjadi pada rongga

mulut.

b. Bagi penulis

Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam bekerja di

laboratorium mengenai salah satu bahan alam yakni kayu secang (Caesalpinia

sappanL.) sebagai antibakteri dan penerapan keilmuan yang telah peneliti pelajari

dalam masa perkuliahan.

Anda mungkin juga menyukai