Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit gigi dan mulut yang paling banyak ditemukan pada penduduk Indonesia
adalah karies. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 yang dilaksanakan oleh
Badan Peneliti dan Pengembangan esehatan, prevalensi nasional masalah kesehatan
gigi dan mulut sebesar 23,5%. Penduduk usia 12 tahun keatas memiliki prevalens
karies sebesar 46,5% dan 72,1 % memiliki pengalaman karies (Depkes RI, 2008).
Salah satu etiologi local penyebab karies adalah plak gigi. Plak adalah suatu lapisan
lunak yang terdiri dari kumpulan bakteri penghasil asam yang berkembang biak dan
melekat erat pada permukaan gigi. Pada penderita karies aktif, jumlah Lactobacillus
pada plak gigi berkisar antara 104-105 sel/mg plak. Spesies Lactobacillus yang umum
dijumpai di rongga mulut adalah Lactobacillus acidophilus (L. acidophilus) (Pintauli
dan Hamada, 2008).
L. acidophilus teridentifikasi pada saliva dari subjek yang karies sebanyak 3-24%. L.
acidophilus dapat memfermantasi karbohidrat dan menghaslkan asam, sehingga pH
plak akan menurun. Penurunan pH yang berulang-ulang dalam waktu yang tertentu
akan mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi yang rentan dan proses karies
pun dimulai (Kidd dan Bechal, 1992).
Karies dapat dicegah dengan mengusahakan agar pembentukan plak dapat dibatasai,
dengan cara membersihkan plak secara teratur (Pratiwi, 2005). Pengendalian plak
dapat dilakukan dengan cara pembersihan plak secara mekanis menggunakan sikat
gigi secara teraur dengan pasta gigi yang mengandung antibakteri karies (Kidd dan
Bechal, 1992).
Banyak pasta gigi beredar di pasaran dengan berbagai merek dan hamper semuanya
mengandung lebih dari satu bahan aktif dan dipromosikan dengan beberapa
keuntungan bagi pengguna. Bahan aktif yang biasa digunakan dalam pasta gigi
umumnya merupakan senyawa fluoride. Pasta gigi komersial yang mengandung
fluoride berperan penting dalam mencegah kerusakan gigi. Apabila digunakan secara
berlebihan, senyawa fluoride akan menyebabkan deremineralisasi gigi, fluorosis,
kerusakan tulang dan anemia. Maka usaha mencari akternatif bahan aktif yang
memiliki potensi sebagai campuran dalam pasta gigi perlu dilakukan (Fejerskov,
1991).
1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penelitian

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gigi
Gigi adalah bagian keras yang terdapat di dalam mulut. Fungsi utama dari gigi
adalah untuk merobek dan mengunyah makanan. Gigi tertanam di dalam tulang
rahang bawah dan atas serta tersusun dalam dua lengkung. Lengkung rahang atas
lebih besar daripada lengkung rahang bawah. Gigi tetap berjumlah 32 pada setiap
setiap setengah rahang terdapat 8 buah gigi, yaitu 2 ginginsivus, 1 kaninus, dan 2
premolar yang menggantikan kedua molar gigi susu dan tambahan 3 molar lagi di
bagian posterior (Butler, 2000).

Gambar 2.1 Bagian-bagian gigi (Raven and Johnson, 2002)


Mahkota gigi (mahkota klinis) yaitu bagian yang menonjol diatas gusi (gingival),
sedangkan mahkota anatomis adalah bagian yang dilapisi email. Akar gigi yaitu
bagian yang terpendam dalam alveolus pada tulang maksila atau mandibula. Leher
gigi yaitu tempat bertemunya mahkota anatomis dan akar gigi. Di bagian tengah gigi
terdapat rongga pulpa yang melanjutkan diri menjadi saluran akar yang berakhir pada
foramen apical. Rongga pulpa ini dikelilingi oleh dentin dan di bagian luar dentin
dilapisi oleh email (pada mahkota) dan sementum (pada akar).
Email atau enamel adalah bahan terkeras pada tubuh. Terdiri atas 97% bahan
berkapur, terutama kalsium fosfat dalam bentuk kristal apatit, dan hanya 1% bahan
organik. Bahan organiknya terdiri dari enamelin yaitu suatu protein yang sangat kaya
prolin. Dentin merupakan bahan berkapur yang banyak mengandung unsur organik,
dengan proporsi yang sama seperti tulang. Dentin mengandung tubulus spinal yang
keluar dari rongga sumsum. Masing-masing tubulus tersebut ditempati oleh satu
ontoblas melalui proses protoplasmic yang sederhana.
2.2 Pasta Gigi
Menurut FI edisi IV (1995), pasta adalah sediaan semi padat yang mengandung
satu atau lebih bahan obat yang ditunjukan untuk pemakaian topikal. Untuk membuat
pasta pada umumnya berbentuk setengah padat, oleh sebab itu bahan tersebut
dicairkan terlebih dahulu kemudian dicampur dengan bahan padat dalam keadaan
panas agar lebih mudah bercampur dan homogeny.
Pasta detificiae (pasta gigi) merupakan campuran kental yang terdiri dari serbuk
dan gliserin, yang digunakan untuk pembersih gigi. Pasta gigi adalah produk semi
padat yang terdiri dari campuran bahan penggosok, bahan pembersih, dan bahan
tambahan yang digunakan untuk membantu membersihkan gigi tanpa merusak gigi
maupun membran mukosa mulut (Widodo, 2013).
Pasta (pastae) adalah sediaan semipadat (massa lembek) yang mengandung satu
atau lebih bahan obat yang ditunjukkan untuk pemakaian local. Kelompok pertama
dibuat dari gel fase tunggal yang mengandung air, misalnya pasta Na-
Karboksimetilselulosa (Na-CMC). Kelompok lainnya adalah pasta berlemak,
misalnya pasta Zn-Oksida yang merupakan salep yang padat, kaku, tidak meleleh
pada suhu tubuh, dan berfungsi sebagai lapisan pelindung pada bagian yang diolesi.
Pasta gigi digunakan agar berlekatan pada selaput lendir untuk memperoleh efek local
(misalnya pasta gigi Trimsinolon Asetonida) (Syamsuni, H. 2006).
Fungsi utama dari pasta gigi adalah menghilangkan pengotor dari permukaan gigi
dengan efek buruk yang kecil terhadap gigi. Timbulnya busa saat menggosok gigi
membuat proses pembersihan gigi menjadi lebih menyenangkan. Fungsi lain dari
pasta gigi adalah untuk mencegah kerusakan gigi dan mengurangi bau mulut (Mitsui,
1997).
2.3 Jambu Biji ( Psidium Guajava L.)
2.3.1. Klasifikasi Tanaman
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Myrtales
Family : Myrtaceae
Genus : Psidium
Spesies : Psidium Guajava L.
Sinonim : Guajava Pumila (Vahl) Kuntze, Guajava Piryfera (L.) Kuntze,
Myrtus Guajava (L.) Kuntze, Psidium Angustifolium Lam., Psidium Aromaticum
Blanco, Psidium Cujavillus Burm.f., Psidium Cujavus L., Psidium Fragrans Macfad.,
Psidium Guajava Griseb., Psidium Igamteyense Barb.Rodr., Psidium intermedium
Zipp. ex Blume. Psidium pomiferum L.,Syzygium ellipticum K.Schum. & Lauterb.
( Dwi Kusuma W., Dkk, 2016).
2.3.2 Deskripsi Tanaman
Tumbuhan berbatang keras/kayu, warna coklat muda, dikotom. Daun bertangkai,
bertulang dan menyirip, berbuah dengan kulit buah berwarna hijau dan daging buah
merah/putih, serta biji buah yang kecil-kecil (Sutrisna EM, 2016).
Sosok tanaman jambu biji berupa pohon kecil dengan tinggi sekitar 2-10 meter,
dan batangnya berukuran kecil dan keras. Permukaan warna batang berwarna coklat
mengkilap yang mudah terkelupas. Daunnya berbentuk bulat telur agak menjorong
dengan garis tulang daun yang tegas. Bunganya berwarna putih keluar dari ketiak
daun. Buah jambu biji berbentuk bulat, saat masih muda buah berwarna hijau gelap
dan berubah menjadi hijau muda atau hijau kekuning-kuningan setelah tua atau
masak. Daging buah mengandung biji yang sangat banyak, bijinya berukuran kecil-
kecil dan amat keras (Muhlisah, Fuziah).

Gambar 2.4 Daun jambu biji ( Hapsoh dan Hasanah, 2011)


2.3.3. Tempat Tumbuh
Tanaman jambu biji tumbuh di daerah rendah hingga dataran tinggi dengan
ketinggian 1.200 m dpl. Tanah gembur hingga tanah liat dapat ditanaminya, akan
tetapi baik jika lokasi tersebut merupakan tempat terbuka dan banyak air (Muhlisah,
Fuziah).
Syarat tumbuh (Budi Santoso, Hieronymus, 1998):
a. Iklim
1. Ketinggian tempat 1-1.200 m diatas ketinggian laut
2. Cyrhah hujan tahuna sebesar 1.000-2.000 mm/tahun
3. Bukan basah (diatas 100 mm/bulan) yaitu 6 bulan
4. Bulan kering (dibawah 60 mm/bulan) yaitu 4-6 bulan
5. Suhu udara sekitar 20-30oC
6. Kelembapan sedang dan penyinaran tinggi
b. Tanah
1. Tekstur berupa lempeng berpasir
2. Drainase baik
3. Kedalaman air tanah diatas 300 cm dari permukaan tanah
4. Kedalaman perakaran diatas 100 cm dari permukaan tanah
5. Kemasaman (pH) 6 sampai 7
6. Tingkat kesuburan sedang hingga tinggi
Pedoman bertanam (Budi Santoso, Hieronymus. 1998):
a. Pengolahan tanah
1. Buatkan lubang tanam berukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm
2. Galian tanah atas dipisahkan dengan tanah bawah
3. Campur pupuk kandang dengan tanah bagian atas dengan perbandingan 1:1
4. Tutup lubang dengan tanah bagian bawah dikembalikan dibagian bawah,
sedangkan tanah bagian atas dikembalikan di atas
b. Persiapan bibit
Perbanyakan tanaman jambu biji dapat dilakukan dengan biji, cangkok, dan
okulasi
c. Penanaman
1. Masukkan bibit pada lubang tanam yang telah disiapkan
2. Jarak tanam dibuat 5 m x 5 m
2.3.4. Kandungan Kimia
Buah, daun, dan kulit batang pohon jambu biji mengandung tannin. Khususnya
untuk daun jambu biji mengandung minyak atsiri, asam ursolat, asam psidiolat, asam
kratogolat, asam oleanolat, asam guajaverin, dan vitamin (Budi Santoso,
Hieronymus, 1998).
Daun jambu biji mengandung tannin, eugenol (minyak atsiri), minyak lemak,
dammar, zat samak, triterpenoid, dan asam afei. Buahnya mengandung asam amino
(triptofan, lisin), kalsium, fosfor, besi, belerang, vitamn A, vitamin B1, dan vitamin C
(Muhlisah, Fuziah).
Daun jambu biji mengandung beberapa metabolit sekunder hasil dari skrining
fitokimia seperti tannin, polifenolat, flavonoid, monoterpenoid, siskuiterpen, alkaloid,
kuinon, saponin, karsetin, guayavrin, minyak atsiri, asam malat, asam ursolat, dan
asam oksalat (Rusdiana, dkk, 2007).
2.3.5 Tinjauan Farmakologi
 Ekstrak etanol daun jambu biji memiliki efek antidiabetik dan antidiare (studi in-
vivo praklinik) (Sutrisna EM, 2016).
 Ekstrak air dan etanol buah jambu biji memiliki efek melindungi ginjal dari
progresifitas diabetes. Hal ini diduga karena ekstrak mengandung asam fenolic
dan flavonoid . ekstrak tersebut mampu menurunkan kadar renal N (Ɛ)-
(carboxymethyl) lysine, pentosidine dan fructose(Sutrisna EM, 2016).
 Ekstrak air daun jambu biji pada dosis kecil memiliki efek hepatoprotektor dan
pada dosis besar memiliki efek hepatotoksik (Sutrisna EM, 2016).
 Daun jambu biji berguna untuk obat persalinan yang memiliki khasiat
mempermudah persalinan (Budi Santoso, Hieronymus, 1998).
 Daun jambu biji berguna untuk obat luka yang memiliki khasiat menghentikan
pendarahan (Budi Santoso, Hieronymus, 1998).
 Daun jambu biji berguna untuk obat haid yang berkhasiat meluruhkan haid (Budi
Santoso, Hieronymus, 1998).
 Daun, ulit batang, akar jambu biji berguna untuk obat diare yang meiliki khasiat
menyembuhkan berat encer (Budi Santoso, Hieronymus, 1998).
2.3.6 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga kecuali dikatakan lain berupa bahan yang telah
dikeringkan (Depkes RI, 1995). Simplisia dibedakan menjadi tiga yaitu simplisia
nabati, simplisia hewani dan simplisia mineral.
a. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman dan
eksudat tanaman. Eksudat tanaman merupakan isi sel yang secara spontan keluar dari
tanaman atau dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya atau dengan cara tertentu
zat dipisahkan dari tanamannya yang belum berupa zat kimia murni (Depkes RI,
1979).
b. Simplisia hewani adalah simplisia yang berasal dari hewan utuh, bagian hewan,
atau zat-zat yag berguna dan dihasilakn oleh hewan serta belum berupa zat kimia
murni (Depkes RI, 1995).
c. Simplisia pelikan atau simplisia mineral adalah simplisia yang berupa bahan-
bahan pelikan atau mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan cara yang
sederhana dan belum berupa zat kimia murni (Depkes RI, 1995).
2.3.7 Ekstrak
a. Pengertian ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang didapatkan dengan cara mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia hewani ataupun dari simplisia nabati dengan
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian seluruh atau hampir seluruh pelarut
diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga
memenuhi bau yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995).
Menurut sifatnya ekstrak dibagi menjadi empat yaitu:
1. Ekstrak cair (Extractum fluidum) adalah sediaan cair yang diperoleh dari
simplisia nabati yang mengandung etanol berfungsi sebagai pelarut atau
sebagai pengawet atau sebagai pelarut dan pengawet (Depkes RI, 1995).
2. Ekstrak kental (Extractum spissum) adalah sediaan yang dapat dilihat dalam
keadaan dingin dan tidak dapat dituang dan memiliki kandungan airnya
berjumlah sampai 30% (Voigt, 1984).
3. Ekstrak kering (Extractum siccum) adalah sediaan yang memiliki konistensi
kering dan mudah digunakan. Melalui penguapan cairan pengekstraksi dan
pengeringan sisanya akan terbentuk suatu produk yang sebaiknya memiliki
kandungan lembab tidak lebih dari 5% (Voigt, 1984).
4. Ekstrak encer (Ekstraktum lenue) adalah sediaan yang memiliki konsistensi
semacam madu dan dapat dituang (Voigt, 1984).
b. Metode ektraksi
Metode pembuatan ekstrak dibagi menjadi dua yaitu metode maserasi dengan
pelarut dingin dan ekstraksi dengan pelarut panas.
1) Cara dingin
a) Maserasi
Maserasi adalah ekstraksi yang menggunakan pelarut yang sesuai dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu kamar (Depkes RI, 2000).
b) Perkolasi
Perkolasi adalah suatu proses ekstraksi menggunakan pelarut yang sesuai yang
dilakukan dengan cara dilewatkan perlahan lahan pada suatu kolom (Ansel, 1989).
2) Cara panas
a) Refluks
Refluks adalah ekstraksi yang menggunakan pelarut yang sesuai pada temperatur
titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang digunakan terbatas dan
relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000)
b) Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi yang menggunakan pelarut yang selalu baru yang pada
umumnya dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinue
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI,
2000).
c) Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik yang dilakukan dengan pengadukan terus-
menerus pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yang pada
umumnya dilakukan pada temperatur 40-50 °C (Depkes RI, 2000).
d) Infusa
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati
dengan menggunakan pelarut air pada suhu 90 °C selama waktu 15 menit (Depkes
RI, 2000).
e) Dekokta
Dekokta adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut ait pada temperatur
penangas air 50 °C selama waktu kurang lebih 30 menit (Depkes RI, 2000).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian kali ini diantaranya pisau, oven, rotary
evaporator, tabung reaksi, erlenmeyer, labu ukur, blender, pipet tetes, maserator,
timbangan analitik, batang pengaduk, cawan penguap, dan botol gelap.
Sedangkan bahan yang digunakan diantaranya daun jambu biji, aquadest, etanol
70%, simplisia daun jambu biji, ekstrak daun jambu biji,
3.2 Metode percobaan
3.2.1 Pembuatan Serbuk Simplisia
1. Siapkan daun jambu biji yang telah dikumpulkan
2. Lakukan sortasi basah dengan memilah bagian daun jambu biji yang bagus
dan pisahkan dari bagian tumbuhan yang lain
3. Cuci daun jambu biji menggunakan air mengalir dan keringkan (tiriskan)
hingga air pada daun hilang
4. Daun jambu yang telah ditiriskan dirajang atau dipotong kecil-kecil
5. Tempatkan pada wadah yang lebar dan masukkan dalam oven untuk
dikeringkan dengan suhu 60oC selama 24 jam
6. Haluskan daun jambu biji yang telah kering menggunakan blender
3.2.2 Pembuatan ekstrak
Metode ekstraksi yang digunakan berupa maserasi yang merupakan ekstraksi dingin.
1. Serbuk simplisia daun jambu biji ditimbang sebanyak 250 g
2. Direndam dengan menggunakan etanol 70% sebanyak 2 liter dalam suhu ruang dan
terhindar dari cahaya serta homogenkan dengan dikocok secara kuat
3. Ditunggu hingga 3x24 jam atau selama 3 hari untuk mengetahui perubahan yang
terjadi
4. Hasil rendaman disaring untuk memisahkan filtrat dengan residu
5. Filtrat hasil penyaringan dimasukkan dalam erlenmeyer atau labu ukur, sedangkan
residu hasil penyaringan direndam kembali menggunakan etanol 70% untuk
dilakukan remaserasi
6. Proses Remaserasi dilakukan secara berulang kali hingga didapatkan filtrate yang
sudah tidak lagi berwarna.
7. Seluruh filtrate yang dihasilkan diuapkan menggunakan rotary evaporator dibawah
suhu 60-70oC untuk mendapatkan ekstrak kental

3.2.3 Skrining Fitokimia


1. Pemeriksaan Flavonoid
Larutan uji sebanyak 1 ml dibasahkan dengan aseton P, ditambahkan sedikit serbuk
halus asam borat P dan serbuk halus asam oksalat P, dipanaskan diatas tangas air dan
dihindari pemanasan berlebihan. Sisa yang diperoleh dicampur dengan 10 mL eter P
kemudian diamati dengan sinar UV 366 nm. Larutan berfluoresensi kuning intensif
menunjukkan adanya flavonoid (Depkes RI, 1989).
2. Pemeriksaan Steroid dan Triterpenoid
Larutan uji sebanyak 2 ml diuapkan dalam cawan penguap. Residu dilarutkan dengan
0,5 mL kloroform, ditambahkan 0,5 mL asam asetat anhidrat dan 2 mL asam sulfat
pekat melalui dinding tabung. Terbentuknya cincin kecoklatan atau violet pada
perbatasan larutan menunjukkan adanya triterpenoid, sedangkan bila muncul cincin
hijau kebiruan menunjukkan adanya steroid (Ciulei, 1984).
3. Pemeriksaan Tanin dan Polifenol
Larutan uji sebanyak 2 ml dibagi kedalam 2 bagian. Tabung A digunakan sebagai
blanko dan tabung B direaksikan dengan larutan besi (III) klorida 10%, warna biru
tua atau hitam kehijauan menunjukkan adanya tanin dan polifenol (Robinson, 1991;
Marliana dkk, 2005).
4. Pemeriksaan Saponin
Larutan uji sebanyak 10 ml dalam tabung reaksi dikocok vertikal selama 10 detik
kemudian dibiarkan selama 10 detik. Pembentukan busa setinggi 1-10 cm yang stabil
selama tidak kurang dari 10 menit menunjukkan adanya saponin. Pada penambahan 1
tetes HCl 2N, busa tidak hilang (Depkes RI, 1995).
5. Pemeriksaan Alkaloid
Larutan uji sebanyak 2 ml diuapkan diatas cawan porselin hingga diperoleh residu.
Residu kemudian dilarutkan dengan 5 mL HCL 2N. Larutan yang didapat di bagi ke
dalam 3 tabung reaksi. Tabung pertama ditambahkan dengan asam encer yang
berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua ditambahkan 3 tetes pereaksi Dragendroff
dan tabung ketiga ditambahkan 3 tetes pereaksi Mayer. Terbentuknya endapan jingga
pada tabung kedua dan endapan kuning pada tabung ketiga menunjukkan adanya
alkaloid (Farnsworth, 1966).
6. Pemeriksaan Glikosida
Serbuk simplisa uji dilarutkan dalam pelarut etanol 90%, diuapkan diatas tangas air,
dilarutkan sisanya dalam 5 mL asam asetat anhidrat P, dan ditambahkan 10 tetes
asam sulfat P. Warna biru atau hijau yang terbentuk menunjukkan adanya glikosida
(Depkes RI, 1989).
3.2.4 Standarisasi Ekstrak

BAB IV
PEMBAHASAN
Pasta gigi berupa suatu sediaan produk kefarmasian yang digunakan dalam
bidang kosmetik dan kesehatan. Pada masa lalu, penggunaan pasta gigi terbatas hanya
sebagai kosmetik. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak dibuat pasta gigi
yang mempunyai efek untuk mengobati penyakit mulut dan mencegah karies gigi
(Pratiwi, 2005).
Dalam hal ini, pembuatan pasta gigi dilakukan dengan menggunakan ekstrak
etanol daun jambu biji (Psidium Guajava L) dimana daun jambu biji memiliki
kandungan senyawa kimia yang sangat bermanfaat berupa aktivitas antimikroba.
Aktivitas antimikroba yang dimanfaatkan dari daun jambu biji ini berasal dari
metabolit sekunder berupa flavonoid. Dalam berbagai sumber telah diketahui bahwa
kandungan flavonoid dalam daun jambu biji memiliki aktivitas sebagai antimikroba,
antiinflamasi, dan lainnya.
Flavonoid merupakan senyawa yang larut dalam air, dapat diekstraksi dengan
etanol. Dimana quarsetin adalah senyawa pigrm berwarna kuning redup turunan
flavonol yang merupakan golongan flavonoid (Harborne, 1996). Havsteen (2002)
meyatakan bahwa flavonoid merupakan suatu komponen alam yang diketahui
memiliki efek farmakologik seperti antioksidatif, antiinflamasi, dan anti diuretic serta
memiliki kemampuan sebagai zat antimikroba (Pepeljnjak, 2005).
Flavonoid termasuk kelompok senyawa fenol terbesar dialam, diduga efek
fenolik dalam flavonoid juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Ajizah, 2004).
Hal ini diebabkan pleh karena adanya (OH) yang menyebabkan presipitasi protein.
Sebagian besar struktur dinding sel dan membrane sitoplasma bakteri mengandung
protein dan lemak. Kerusakan dinding sel akan berpengarus pada kerusakan
membrane sel yang dapat menyebabkan kerusakan sitolasma, sehingga
memungkinkan isi sel seperti ion organic, nukleotida, koenzim dan asam amino
merembes keluar, ketika itulah bahan antimikroba masuk kedalam sitoplasma
sehingga mengendapkan protein. Kehidupan sel sangat terganggu pada terpeliharanya
sitoplasma karena reaksi anabolic dan katabolic sel berlangsung di tempat ini.
Apabila protein pada sitoplasma telah rusak, maka pertumbuhan bakteeri pun akan
terhambat atau bahkan mati (Rinawati, 2010).
Proses pembuatan simplisia dimulai dengan dilakukannya sortasi basah
dengan memilah bagian dari tanaman jambu biji dan memisahkan daun yang bagus
dengan daun yang lain. Dilanjutkan dengan pencucian untuk membersihkan daun dari
kotoran atau residu yang berasal dari luar yang kemudian ditiriskan (dikeringkan)
untuk menghindari adaanya pertumbuhan mikroba pada daun. Proses pengeringan
daun jambu biji dilakukan dengan menggunakan oven untuk mencapai hasil
pengeringan yang maksimal dan menjaga kandungan senyawa metabolit sekunder
didalam tumbuhan. Selain itu, penggunaan oven juga ditujukan untuk meminimalisir
waktu dan mempercepat proses pengeringan. Dilanjutkan dengan proses
penghancuran atau pembuatan menjadi serbuk menggunakan blender.
Ekstraksi yang digunakan berupa maserasi (ekstraksi dingin) karena sifat dari
favonoid yang tidak terlalu tahan terhadap pemanasan. Selain itu, maserasi dilakukan
karena dalam skala laboratorium mudah untuk dijangkau dalam hal biaya, waktu, dan
alatnya. Dimana maserasi termasuk metode ekstraksi yang paling sederhana tanpa
memerlukan alat khusus dan mudah untuk dilakukan. Kelemahan dari metode
maserasi sendiri berupa filtrate atau hasil ekstraksi yang tidak 100% murni dan
memerlukan pelarut dalam jumlah yang besar.
Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi ini berupa etanol dengan konsentrasi
70%. Pemilihan etanol sebagai pelarut dipilih karena sifatnya yang polar dan lebih
ekonomis serta mudah untuk didapatkan. Etanol juga dapat melarutkan hamper semua
senyawa organic yang ada pada sampel, mudah menguap sehingga udah dibebaskan
dai ekstrak (Andayani, et al. 2008). Etanol 70% bukanlah etanol murni dimana di
dalam nya sudah terdapat air, sehingga etanol 70% memiliki aktivitas antimikroba
dibandingkan etanol dengan konsentrasi lainnya. Selain itu, prinsip pelarutan atau
penarikan senyawa metabolit sekunder didasarkan pada prinsip like dissolve like,
dimana senyawa yang bersifat polar akan larut dalam pelarut polar serta sebalinya
senyawa yang bersifat non-polar akan larut dalam pelarut non-polar juga.
Pengujian terhadap ekstrak daun jambu biji berupa skrining fitokimia dimana
berupa pengujian untuk memastikan kandungan senyawa kimia yang terdapat
didalam ekstrak tersebut. Skrining fitokimia merupakan cara seerhana untuk
melakukan analisis kualitatif kandungan senyawa yang terdapat dalam tumbuhan.
Terdapat beberapa senyawa kimia dalam ekstrak daun jambu biji yang dianalisis
berupa tannin, flavonoid, saponin, alkaloid, dan triterpenoid.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
Andayani, Yovita dan Maimunah. 2008. Penentuan Aktivitas Antioksidan, Kadar
Fenolat Titla dan Likopen pada Buah Tomat (Solanum lycopersicum L.). Jurnal
Sains dan Teknologi Farmasi. UNAND. Padang.
Ajizah, A. 2004. Sensitivitas Salmonella Typhymurium terhadap Ekstrak Daun
Psidium Guajava L. Bioscientiae. Januari Vol.1 (1) : 31- 38
Ansel, H. C., 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. University
Indonesia Press. Jakarta.
Budi Santoso, Hieronymus. 1998. TOGA 2 Tanaman Obat Keluarga Penyembuh :
Cacingan, Demam, Mencret, TBC. Kanisius. Yogyakarta. ISBN 979-672-266-6
Butler, H. 2000. Cosmetics and Soaps 10th Edition. Kluwer Academic Publisher.
London.
Ciulei, J. 1984. Metodology for Analysis of vegetable and Drugs. Faculty of
Pharmacy. Bucharest Rumania.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi V. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia IV. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
Depkes RI. 1989. Materi Medika Indonesia Jilid V. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuha Obat. Dikjen POM,
Direktorat Pengawasan Obat Tradisional. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2007.
Depkes RI. Jakarta.
Dwi Kusuma W, et al. 2016. Tanaman Obat Keluarga (TOGA) Indonesia. Airlangga
University Press. Surabaya. ISBN 978-602-0820-62-0
EM. Sutrisna. 2016. Herbal Medicine : Suatu Tinjauan Farmakologis (Buku Ajar
Mata Kuliah Herbal Medicine Mahasiswa Kedokteran). Muhammadiah University
Press. Surakarta.
Farnsworth, N. R. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plants. J.
Pharm. Sci 55.
Fejerskov, Ole. 1991. Fluorosis. Hipokrates. Jakarta.
H. Syamsuni. 2006. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. EGC. Jakarta. ISBN
979-228-777-5
Kidd, E. A. M., & Bechal, S. J. 1992. Dasar-Dasar Karies : Penyakit
Penanggulangannya. Oleh Narlan Sumawinata & Si Faruk. EGC. Jakarta.
Marliana, S.D., V. Suryanti., Suyono. 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis
Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium edule Jacq.
Swartz.) dalam Ekstrak Etanol. Biofarmasi. 3(1): 26-31.
Mitsui T. 1997. New Cosmetics Science. Dalam Elsevier Science B.V., Amsterdam.
Pepeljnjak, S dkk. 2005. Antimicrobial Activity of Flavonois from Pelargonium
radula (Cav.) L Harit. Acta Pharm. Vol.55 : 431-435
Pintauli, S. Dan Hamada, T. 2008. Menuju Gigi dan Mulut Sehat Pencegahan dan
Pemeliharaan. USU Press. Medan.
Pratiwi, Rini. 2005. Perbedaan Daya Hambat Terhadap Streptococcus Mutas dari
Beberapa Pasta Gigi yang Mengandung Herbal. Maj. Ked. Gigi (Dnt. J) April-Juni
Vol. 38 (2) : 65-67
Rinawati, N. D. 2010. Daya Antibakteri Tumbuhan Majapahit (Crescentia cujete L.)
terhadap Bakteri Vibrio Alginolyticus. Institut Teknologi Sepuluh November.
Surabaya.
Robinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Penerbit ITB.
Bandung.
Voight, R., 1984. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Gadjah Mada University Press.
Yogykarta.
Widodo, et al. 2013. Psikologi Belajar. PT.Rineka Cipta. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai