PENDAHULUAN
Kontaminasi makanan dan bahan pakan oleh Aspergillus spesies dan hasil
metabolismenya yang bersifat racun adalah masalah serius karena memiliki efek buruk pada
kesehatan manusia dan hewan. Oleh karena itu, pemantauan kontaminasi makanan merupakan
hal yang penting karena dapat memberikan informasi tentang tingkat dan jenis kontaminasi.
Sebuah metode berbasis PCR untuk deteksi Aspergillus spesies dikembangkan dengan
menggunakan tepung jagung yang steril sebagai sampelnya. Primer spesifik dirancang untuk
aflR gen danRFLP dari produk PCR dilakukan untuk membedakan Aspergillus flavus
dan Aspergillus parasiticus. Tepung jagung yang steril diinokulasi secara terpisah dengan A.
flavus dan A. parasiticus, masing-masing diinokulasi di beberapa konsentrasi spora. Hasil positif
diperolehsetelah inkubasi 12 jam dalam media yang diperkaya, dengan ekstrak jagung
diinokulasi dengan A. flavus (101 spora / g) dan A. parasiticus (104 spora / g).
Produk PCR dianalisa menggunakan enzim restriksi endonuklease (Hinc II dan PvuII)
untuk melihat RFLPs. Pola PCR-RFLP yang diperoleh dengan kedua enzim tersebut
menunjukkan perbedaan yang cukup untuk membedakan A. flavus dan A.parasiticus. Metode ini
dapat digunakan untuk membedakan kedua spesies karena lebih sederhana, lebih murah, dan
lebih cepat daripada konvensional sekuensing produk PCR .
Aflatoksin adalah senyawa metabolit sekunder yang beracun yang diproduksi terutama
oleh Aspergillus flavus Dan Aspergillus parasiticus
(Bennettdan Papa, 1988).
Makanan dan bahan pakan rentan terhadap invasi oleh aflatoxigenic yang dihasilkan dari
Aspergillus spesies selama pra-panen, pengolahan, pengangkutan atau penyimpanan. Aflatoksin
yang mengontaminasi bahan pakan jugadikaitkan dengan tingginya insiden kanker hati pada
manusia (Berry, 1988; Stark,1980).
Tingkat serangan jamur danidentifikasi spesies masih penting karena bisa memberikan
indikasi kualitas bahan serta potensi kehadiran mikotoksin (Shapira et al., 1996).
Metode konvensional untuk mengidentifikasi dan mendeteksi jamur ini dalam makanan
yanghanya mengandalkan metode mikroskopis atau pengkulturan memakan waktu dan tenaga.
Pengembangan metode yang cepatdan sensitif untuk deteksi dan diferensiasi spesies
aflatoxigenic di makanan diperlukan untuk memperkirakan potensiresiko kesehatan dari
makanan. Dalam halini, deteksi berbasis DNA seperti PCR lebih sensitif, spesifik, dan sudah
sering dilakukan untuk deteksi jamur aflatoxigenic .
Isolasi DNA dari strain jamur dilakukan sesuai dengan metode Farber dkk,(1997).
dengan sedikit modifikasi. Campuran jamur yang telah diperkaya dari sampel jagung pada
interval waktu yang berbeda diambil dalam mortar dan tanahdengan manik-manik kaca steril.
Setelah itu disuspensikan dalam buffer lisis (50mM EDTA, 0.2% SDS, pH 8.0) dandipanaskan
sampai 680C selama 30 menit,kemudian disentrifugasi selama 15 menit pada 15.000 x gr. Setelah
disentrifugasi,supernatan dibawa ke tabung microfuge baru dan ditambahkan 0.3 ml dari 4 M
natrium asetat. Setelah itu ditempatkan diatas es selama 1 jam dan disentrifugasi selama 15 menit
pada 15.000 x gr. Ekstraksi double fenol-kloroformdilakukan dengan isopropanol presipitasi dan
resuspensi dalam 30 µl dari TE buffer (10 mM Tris-HCl, 1.0 mM EDTA, Ph (8,0) .
2.7 Metode
Dalam rangka memeriksa sensitivitas PCR untuk mendeteksi spora Aspergillus dalam
sampel jagung berduri, pengayaan dilakukan dengan cara menggunakan media Czapek-dox,
lalualiquot diambil pada interval waktu yang berbeda yang ditujukan untuk proses ekstraksi
DNA. Pasangan primer yang digunakan untuk amplifikasi gen aflR diuji pada aliquot sampel
dari kultur yang telah diperbanyak setelah 12 dan 24 jam inkubasi dengan konsentrasi spora 10
1-10 6 dari A. flavus serta A.parasiticus.
2.8 Hasil
Hasil positif diperoleh dengan cara PCR setelah 12 jam perbanyakan koloni A.flavus pada
konsentrasi 10 1-10 6.Spora A. Parasiticus dibiarkan berkecambah untuk menghasilkan sel-
selmisel dalam medium Czapekdox selama12 jam. Sampel yang telah diperbanyak dibentuk dari
produk PCR 796 bp dengan menggunakan primer aFlR pada konsentrasi spora 10 4-10 6, tetapi
tidak pada konsentrasi 10 1 -10 2 PCR prduk tidak terdapat pada sample jagung yang
tidak terinokulasi, yang ditampilkan sebagai kontrol (Fig. 2).
Sampel yang diambil pada waktu 0 hingga 6 jam tidak terdapat amplikon, sedangkan
sampel yang diambil pada waktu 36 jam dapat menunjukan hasil amplifikasi dari gene aFlR pada
keduakultur. Peningkatan konstan dari intensitas amplikon juga diikuti dengan
peningkatan jumlah sel. Untuk A. Flavus dan A.parasiticus, amplicon 796 bp telah dikonfirmasi
kembali keberadaannya dengan menggunakan amplicon tersebut sebagai template dalam nested
PCR. Primer-primer dari nested PCR telah dibentuk dan diperkirakan memiliki ukuran amplikon
sebesar 398 bp. DNAdari A.oryzae dan A.sojae juga ditujukanuntuk PCR yang menggunakan
primer aFlR, tetapi tidak terlihat adanya amplikon.
Variasi dalam sekuens DNA dapat dideteksi dengan menggunakan RFLP-PCR
(Restriction Fragment Length Polymorphism-Polymerase Chain Reaction). Oleh karena itu,
untuk membedakan antara A. Flavus serta A.Parasiticus, dapat dilakukan metode RFLP-PCR.
Dengan perbandingan yang lebih rinci dari peta restriksi produk PCR dari fragmen gen aflR
(Nomor akses gen bank dari A.Flavus : AY197608, dan A.Parasiticus AF110766), dapat dilakukan
identifikasi terhadap minimal 2 macam enzim endonuclease restriction (HincIIdan PvuII) yang dapat
digunakan untuk membandingkan spesies yang telah disebutkan (Fig. 3). Menurut analisa
sekuens yang didapat, terdapat 2 situs restriksi untuk PvuII dalam sekuens A.Parasiticus yang
seharusnya dapat membagi produk PCR menjadi 3 fragmen 413,239, dan 144 bp. Namun, hanya
terdapat 1 situs restriksi untuk enzim ini pada sekuens A. Flavus, yang dapat membagi sekuens
tersebut menjadi 2 fragmen 652 dan 144 bp (tabel 1, dan Fig.4).
Enzim restriksi HincII dapat memotong produk PCR dari A.flavus pada2 situs restriksi,
sehingga dihasilkan 3 fragmen 385, 250, dan 161 bp. Tetapi,hanya terdapat 1 situs restriksi pada
sekuens A.parasiticus yang menghasilkan2 fragmen 546 dan 250 bp (tabel 1 danFig. 5). Dengan
melakukan RFLP-PCR ini, seseorang dapat membedakan 2 fungi yang hampir serupa ini dalam
makanan yang terkontaminasi, mengembangbiakkan fungi-fungi tersebut dan mengidentifikasi
fungi-fungi tersebut dengan tidak menggunakan prosedur yang panjang dari metode klasifikasi
taksonomi. Pencernaan ganda oleh produk PCR dari A.flavus dan A.Parasiticus tidak
menunjukkan perbedaan pada pola RFLP (data tidak ditunjukkan).Sebagian besar kerja yang
dikutip dari literatur melibatkan
Monomeric PCR atau multiplex PCR, yang dapat mendeteksi rantai-rantai
aflatoksigenik dari A.flavus dan A.parasiticus, tetapi hal ini tidak selalu mentoleransi perbedaan
antar kedua spesies tersebut dan strainnon-aflatoksigenik (Criseo et al., 2001).Oleh karena itu,
kami mempelajari bahwaRFLP-PCR dapat membedakan antarastrain aflatoksigenik dan strain
non-aflatoksigenik pada A.flavus. Keduaspesies ini ditujukan untuk analisa restriksi dengan
menggunakan enzim HincII danPvuII, tetapi tidak terdapat perbedaan pada panjang fragmen dari
kultur aflatoksigenik dan kultur non-aflatoksigenik.
2.9 Diskusi
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA