Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kontaminasi makanan dan bahan pakan oleh spesies Aspergillus dan hasil
metabolismenya yang bersifat racun adalah masalah serius karena memiliki efek buruk pada
kesehatan manusia dan hewan. Pemantauan kontaminasi makanan merupakan hal
yang penting karena dapat memberikan informasi tentang tingkat dan jenis kontaminasi.
Metode konvensional untuk mengidentifikasi dan mendeteksi jamur ini dalam makanan
yang hanya mengandalkan metode mikroskopis atau pengkulturan memakan waktu dan
tenaga. Oleh Karena itu, Pengembangan metode yang cepat dan sensitif untuk deteksi dan
diferensiasi spesies aflatoxigenic di makanan diperlukan untuk memperkirakan potensiresiko
kesehatan dari makanan. Dalam hal ini, deteksi berbasis DNA seperti PCR lebih sensitif,
spesifik, dan sudah sering dilakukan untuk deteksi jamur aflatoxigenic .

1.2 Rumusan Masalah


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori

Kontaminasi makanan dan bahan pakan oleh Aspergillus spesies dan hasil
metabolismenya yang bersifat racun adalah masalah serius karena memiliki efek buruk pada
kesehatan manusia dan hewan. Oleh karena itu, pemantauan kontaminasi makanan merupakan
hal yang penting karena dapat memberikan informasi tentang tingkat dan jenis kontaminasi.
Sebuah metode berbasis PCR untuk deteksi Aspergillus spesies dikembangkan dengan
menggunakan tepung jagung yang steril sebagai sampelnya. Primer spesifik dirancang untuk
aflR gen danRFLP dari produk PCR dilakukan untuk membedakan Aspergillus flavus
dan Aspergillus parasiticus. Tepung jagung yang steril diinokulasi secara terpisah dengan A.
flavus dan A. parasiticus, masing-masing diinokulasi di beberapa konsentrasi spora. Hasil positif
diperolehsetelah inkubasi 12 jam dalam media yang diperkaya, dengan ekstrak jagung
diinokulasi dengan A. flavus (101 spora / g) dan A. parasiticus (104 spora / g).
Produk PCR dianalisa menggunakan enzim restriksi endonuklease (Hinc II dan PvuII)
untuk melihat RFLPs. Pola PCR-RFLP yang diperoleh dengan kedua enzim tersebut
menunjukkan perbedaan yang cukup untuk membedakan A. flavus dan A.parasiticus. Metode ini
dapat digunakan untuk membedakan kedua spesies karena lebih sederhana, lebih murah, dan
lebih cepat daripada konvensional sekuensing produk PCR .

Aflatoksin adalah senyawa metabolit sekunder yang beracun yang diproduksi terutama
oleh Aspergillus flavus Dan Aspergillus parasiticus
(Bennettdan Papa, 1988).
Makanan dan bahan pakan rentan terhadap invasi oleh aflatoxigenic yang dihasilkan dari
Aspergillus spesies selama pra-panen, pengolahan, pengangkutan atau penyimpanan. Aflatoksin
yang mengontaminasi bahan pakan jugadikaitkan dengan tingginya insiden kanker hati pada
manusia (Berry, 1988; Stark,1980).

Tingkat serangan jamur danidentifikasi spesies masih penting karena bisa memberikan
indikasi kualitas bahan serta potensi kehadiran mikotoksin (Shapira et al., 1996).

Metode konvensional untuk mengidentifikasi dan mendeteksi jamur ini dalam makanan
yanghanya mengandalkan metode mikroskopis atau pengkulturan memakan waktu dan tenaga.
Pengembangan metode yang cepatdan sensitif untuk deteksi dan diferensiasi spesies
aflatoxigenic di makanan diperlukan untuk memperkirakan potensiresiko kesehatan dari
makanan. Dalam halini, deteksi berbasis DNA seperti PCR lebih sensitif, spesifik, dan sudah
sering dilakukan untuk deteksi jamur aflatoxigenic .

A. flavus, A. parasiticus, A. oryzae Dan A. Sojae termasuk dalam kelompok Aspergillus


telah menunjukkan memiliki koresponden cDNA yang tinggi (69 -100%) dan ukuran genom
yang sama (Kurtzman et al., 1986).
Dua jamur penting ini, A. flavus dan A. Parasiticus yang bertanggung jawab
dalam pembusukan makanan dibedakan dengan identifikasi taksonomi pada tingkat morfologi
dimana membutuhkan ke ahlian mikologi dan memakan waktu. Media yang umum digunakan
untuk membedakan Aspergillus tidak bisa membedakan kedua spesies ini (Pitt et al., 1983).
Beberapa gendan enzim yang terlibat dalam aflatoksin biosintesis telah diidentifikasi,
dikloning dan dimurnikan; termasuk regulasi genlokus aflR dari A. flavus dan A. parasiticus.
Produk aflR dikenal untuk mengatur gen struktural secara positif pada tingkat transkripsi
(Woloshuk dan Prieto, 1998).
Metode berbasis PCR untuk identifikasi Aspergillus spesies berfokus pada amplifikasi
daerah yang conserved dari DNA dan men-sekuensing gen untuk membedakan Aspergillus spesies.
Variasi dalam urutan DNA dapat dideteksi dengan RFLP analisis. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui tingkat deteksi spora A. flavus dan A. parasiticus dalam sampel jagung
dengan PCR dan menggunakan amplifikasi PCR untuk daerah yangterpilih dari aflR gen diikuti
dengan analisa situs restriksi dari fragmen-fragmen DNA yang diamplifikasi untuk membedakan
kedua spesies.
2.3 Bahan dan metode

1. Organisme dan media


Sebuah penjelasan rinci dari strain jamur yang digunakan dalam penelitian inidiberikan pada
Tabel 1. Semua strain disimpan sebagai budaya miringmenggunakan media potato dextrose
agar pada suhu 40C

2. Deteksi spora jamur dalam tepung jagung


Untuk menguji kemampuan PCR untuk mendeteksi aflatoxigenic jamur dalam makanan,
disterilkan jagung tanah (masing-masing 1 gr) yang diinokulasi secara terpisah dengan 101 - 106
spora / g. Jagung tersebut kemudian disuspensidalam 5 ml media Czapekdox-casein yang berisi
(g / l) NaNO3 3.0, K2HPO4 1.0, KCl 0.5, MgSO4 0.5, FeSO4.7H2O 0.01, Kaseinhidrolisat 3.5 (Hi
Media, Mumbai, India)dan sukrosa 30.0, pH 5.0 dan diinkubasidalam uji steril. Tabung disimpan
di bawah kondisi stasioner pada suhu 300C.Untuk control, dipakai sample jagung steril tanpa
inokulasi. Setelah inkubasi selama periode waktu tertentu, dari masing-masing campuran
suspensi yangtelah diperkaya, diambil 2 ml bagian dan DNA diekstraksi untuk PCR

2.4 Isolasi DNA jamur

Isolasi DNA dari strain jamur dilakukan sesuai dengan metode Farber dkk,(1997).
dengan sedikit modifikasi. Campuran jamur yang telah diperkaya dari sampel jagung pada
interval waktu yang berbeda diambil dalam mortar dan tanahdengan manik-manik kaca steril.
Setelah itu disuspensikan dalam buffer lisis (50mM EDTA, 0.2% SDS, pH 8.0) dandipanaskan
sampai 680C selama 30 menit,kemudian disentrifugasi selama 15 menit pada 15.000 x gr. Setelah
disentrifugasi,supernatan dibawa ke tabung microfuge baru dan ditambahkan 0.3 ml dari 4 M
natrium asetat. Setelah itu ditempatkan diatas es selama 1 jam dan disentrifugasi selama 15 menit
pada 15.000 x gr. Ekstraksi double fenol-kloroformdilakukan dengan isopropanol presipitasi dan
resuspensi dalam 30 µl dari TE buffer (10 mM Tris-HCl, 1.0 mM EDTA, Ph (8,0) .

2.5 Polymerase chain reaction


PCR digunakan untuk memperkuatdua fragmen target di A. flavus dan A. parasiticus.
Urutan primer untuk aflatoksingen regulasi (aflR) dirancang menggunakan program software
'Primer-3' (Rozen dan Skaletsky, 1996-1997). Sintesa primer diperoleh dari Sigma, USA. Urutan
dari primer yang digunakan sebagai berikut : aflR-1, 5’-ACCGCATCCACAATCTCAT- 3’;
aflR-2,5’-AGTGCAGTTCGCTCAGAACA- 3’untuk memperkuat fragmen dari 796 bp; nested
primer aflR-1a, 5’-GCACCCTGTCTTCCCTAACA- 3’ ; aflR-2b, 5’-
ACGACCATGCTCAGCAAGTA- 3’untuk memperkuat fragmen 398 bp.
Amplifikasi DNA jamur dilakukan dalam total volume reaksi 25 µl, yang berisi 1 µlDNA
yang diekstraksi dari sampel jagung berduri. Campuran reaksi terdiri dari 1 x PCR buffer (10
mM Tris-HCl pH 9.0, 1.5mM MgCl2 , 50 mM KCl dan 0,01%gelatin),200 µM dari setiap
deoxynucleosidetrifosfat, 4 pmol dari masing-masing primer dan 1,0 U dari Taq DNA
Polymerase (Bangalore Genei, Bangalore,India). DNA Template awalnya didenaturasi pada
940C selama 5 menit. Selanjutnya, total dari 30 siklusamplifikasi dilakukan dalam pemrograman
thermocycler (GeneAmp. PCR system 9700, Perkin- Elmer, USA). Setiap siklus terdiri dari
denaturasi selama 0.3 menit pada 940C, primer annealing untuk 1.25menit pada 500 C dan
perpanjangan 1.40 menit pada 720C. Siklus terakhir diikutioleh ekstensi akhir pada 720 C selama
10 menit. Nested PCR dilakukan denganmenggunakan primer aflR-1a dan-2b,menggunakan
produk PCR dari aflR-1 danaflR-2 sebagai template (setelah dilusi1:1000) di bawah kondisi di
atas.

2.6 Analisis Restriction Site produk PCR


1. Proses produk PCR dengan HincIIdan Pvu II (MBI Fermentas,Lithuania) dilakukan pada
tabung terpisah dengan volume total 25.5 µl.
2. Produk PCR diencerkan tiga kali dengan air suling. Masing-masing reaksi restriksi
mengandung 22.5 µl produk PCR yang diencerkan (40 µg DNA), 10 unit enzim pilihan
dan 2 µl dari 1 x digestion buffer seperti yang direkomendasikan oleh manufaktur.
3. Campuran reaksi diinkubasi pada 37 0C selama 4 jam. Kemudian sampel dibekukan dan
diliofilisasi menggunakan Edwards lyophiliser, UK.
4. Sampel kemudian dilarutkan kembalidalam 10 µl T.E. dan hasil fragmen dipisahkan
dengan elektroforesis pada1.5% gel agarosa selama 1 jam 45 menit pada 100 V.
5. Double digestion dari produk PCR dari A. flavus dan A. Parasiticus juga dilakukan
secara individual. Kondisi untuk double digestion pada dasarnya sama kecuali bahwa 20
unit HincII dan 40 unitPvu II digunakan dalam 2 x Y+/ Tangouniversal buffer.
6. Ukuran dari fragmen DNA yang dihasilkan diperkirakan dibandingkan dengan komersial
100-bpDNA ladder
(Bangalore Genei)

2.7 Metode
Dalam rangka memeriksa sensitivitas PCR untuk mendeteksi spora Aspergillus dalam
sampel jagung berduri, pengayaan dilakukan dengan cara menggunakan media Czapek-dox,
lalualiquot diambil pada interval waktu yang berbeda yang ditujukan untuk proses ekstraksi
DNA. Pasangan primer yang digunakan untuk amplifikasi gen aflR diuji pada aliquot sampel
dari kultur yang telah diperbanyak setelah 12 dan 24 jam inkubasi dengan konsentrasi spora 10
1-10 6 dari A. flavus serta A.parasiticus.
2.8 Hasil

Hasil positif diperoleh dengan cara PCR setelah 12 jam perbanyakan koloni A.flavus pada
konsentrasi 10 1-10 6.Spora A. Parasiticus dibiarkan berkecambah untuk menghasilkan sel-
selmisel dalam medium Czapekdox selama12 jam. Sampel yang telah diperbanyak dibentuk dari
produk PCR 796 bp dengan menggunakan primer aFlR pada konsentrasi spora 10 4-10 6, tetapi
tidak pada konsentrasi 10 1 -10 2 PCR prduk tidak terdapat pada sample jagung yang
tidak terinokulasi, yang ditampilkan sebagai kontrol (Fig. 2).
Sampel yang diambil pada waktu 0 hingga 6 jam tidak terdapat amplikon, sedangkan
sampel yang diambil pada waktu 36 jam dapat menunjukan hasil amplifikasi dari gene aFlR pada
keduakultur. Peningkatan konstan dari intensitas amplikon juga diikuti dengan
peningkatan jumlah sel. Untuk A. Flavus dan A.parasiticus, amplicon 796 bp telah dikonfirmasi
kembali keberadaannya dengan menggunakan amplicon tersebut sebagai template dalam nested
PCR. Primer-primer dari nested PCR telah dibentuk dan diperkirakan memiliki ukuran amplikon
sebesar 398 bp. DNAdari A.oryzae dan A.sojae juga ditujukanuntuk PCR yang menggunakan
primer aFlR, tetapi tidak terlihat adanya amplikon.
Variasi dalam sekuens DNA dapat dideteksi dengan menggunakan RFLP-PCR
(Restriction Fragment Length Polymorphism-Polymerase Chain Reaction). Oleh karena itu,
untuk membedakan antara A. Flavus serta A.Parasiticus, dapat dilakukan metode RFLP-PCR.
Dengan perbandingan yang lebih rinci dari peta restriksi produk PCR dari fragmen gen aflR
(Nomor akses gen bank dari A.Flavus : AY197608, dan A.Parasiticus AF110766), dapat dilakukan
identifikasi terhadap minimal 2 macam enzim endonuclease restriction (HincIIdan PvuII) yang dapat
digunakan untuk membandingkan spesies yang telah disebutkan (Fig. 3). Menurut analisa
sekuens yang didapat, terdapat 2 situs restriksi untuk PvuII dalam sekuens A.Parasiticus yang
seharusnya dapat membagi produk PCR menjadi 3 fragmen 413,239, dan 144 bp. Namun, hanya
terdapat 1 situs restriksi untuk enzim ini pada sekuens A. Flavus, yang dapat membagi sekuens
tersebut menjadi 2 fragmen 652 dan 144 bp (tabel 1, dan Fig.4).

Enzim restriksi HincII dapat memotong produk PCR dari A.flavus pada2 situs restriksi,
sehingga dihasilkan 3 fragmen 385, 250, dan 161 bp. Tetapi,hanya terdapat 1 situs restriksi pada
sekuens A.parasiticus yang menghasilkan2 fragmen 546 dan 250 bp (tabel 1 danFig. 5). Dengan
melakukan RFLP-PCR ini, seseorang dapat membedakan 2 fungi yang hampir serupa ini dalam
makanan yang terkontaminasi, mengembangbiakkan fungi-fungi tersebut dan mengidentifikasi
fungi-fungi tersebut dengan tidak menggunakan prosedur yang panjang dari metode klasifikasi
taksonomi. Pencernaan ganda oleh produk PCR dari A.flavus dan A.Parasiticus tidak
menunjukkan perbedaan pada pola RFLP (data tidak ditunjukkan).Sebagian besar kerja yang
dikutip dari literatur melibatkan
Monomeric PCR atau multiplex PCR, yang dapat mendeteksi rantai-rantai
aflatoksigenik dari A.flavus dan A.parasiticus, tetapi hal ini tidak selalu mentoleransi perbedaan
antar kedua spesies tersebut dan strainnon-aflatoksigenik (Criseo et al., 2001).Oleh karena itu,
kami mempelajari bahwaRFLP-PCR dapat membedakan antarastrain aflatoksigenik dan strain
non-aflatoksigenik pada A.flavus. Keduaspesies ini ditujukan untuk analisa restriksi dengan
menggunakan enzim HincII danPvuII, tetapi tidak terdapat perbedaan pada panjang fragmen dari
kultur aflatoksigenik dan kultur non-aflatoksigenik.

2.9 Diskusi

Metode konvensional dari deteksispesies Aspergillus memerlukan waktu kurang lebih


selama 44 – 48 jam, tetapi haltersebut tidak dapat membedakan antara A. flavus dan A.
parasiticus dimana keduanya diketahui memproduksi aflatoksin. Teknik PCR (polymerase
chainreaction) untuk kultur murni sedikit lebih mudah untuk dilakukan, bila di bandingkan
dengan pendektesi anorganisme terkait dalam sampel makanan yang ada.
Diketahui bahwa komponen makanan yang terganggu oleh enzim Taq Polymerase akan
memberikan hasil negative yang salah (Rossen dkk. 1992).Farber dkk. (1997)
Mendeteksi produksi aflatoksin oleh strain A.flavus pada buahara yang terkontaminasi
dengan teknik PCR monomerik. Chen dkk. (2002)
Dapat mendeteksi Aspergillus dengan teknik mulipleks PCR setelah mempengaruhi dan
menginkubasi kacang – kacangan setelah 7 hari. Shapira dkk. (1996)
Dengan menggunakan beberapa primer sepertiomt-1 dan ver-1 dimana primer –
primer tersebut mampu untuk mendeteksi spesies Aspergillu pada tepung jagung
setelah penginkubasian selama 24 jam pada media yang telah diperkaya. Pada laporan yang
diatas nitrogen cair digunakan untuk proses ekstraksi DNA dan deteksi dari spesies Aspergillus
memakan waktu lebih lama lagi (>24jam).
Metode yang digunakan pada pembelajaran ini sangatlah mudah dan tidak melibatkan
penggunaan nitrogen cair pada proses ekstraksi DNA. Kami mampu mendeteksi A.flavus dan
A.parasiticus di waktu yang jauh lebih singkat, yakni pada 12 jam dan pada level10 1 untuk
A.flavus dan 10 4 untuk A. parasiticus. Perbedaan tingkat deteksi mungkin lebih dikarenakan
oleh kerapu hansel dinding untuk dilakukan pada teknik ekstraksi DNA. Dinding sel dari A
flavus mungkin lebih rapuh jika dibandingkandengan A.parasiticus untuk lisis sel dan sangat
mungkin bila muncul amplikon dibawah konsentrasi jamur 10 4 pada A. parasiticus tidak dapat
dideteksi dengangel agarosa. Protocol PCR telah di rancanguntuk system kultur murni, tetapi
untuk deteksi dari makanan yang sama (sampelyang sama) sangatlah terbatas. Lebih lanjut,
jamur dapat ditemui pada makanan kering dan yang biasanya sangat seringdijumpai adalah spora
aseksual atau mycelia yang telah mengering dimanamengandung sebagian kecil dari DNA
dan bersifat resisten kepada gangguan saat ekstraksi DNA (Shapira dkk., 1996).
Primer yang spesifik untuk fragmen genaflR dan ukuran amplikon berhubungan dengan
ukuran yang diharapkan dan tidak ada band tambahan atau band non-spesifik yang diamati.
Nested PCR digunakanterutama untuk mengkonfirmasi keasliandari PCR primer. Batas deteksi
dan waktu inkubasi untuk mendeteksi A. flavus dan A. parasiticus dalam studi kami telah
kurangdari yang dilaporkan oleh pekerja lainnya.Tidak ada amplifikasi yang diamati pada
A.oryzae dan A. sojae yang telah diuji,kemungkinan karena kurangnya primer yang komplemen
dengan daerah penempelan. Sampel tepung jagung yang belum diinokulasi gagal memberikan
hasilamplifikasi, memberi indikasi bahwa produk PCR adalah hasil dari sampel buahara yang
terinfeksi Aspergillus.
Diferensiasi A.flavus dari A.Parasiticus sangat penting karenadeferensiasi dalam
produksi metabolit. A.parasiticus membuat toksin tipe ‘B’ dan‘G’, dimana A.flavus hanya
membuat toksin tipe ‘B’. Secara taksonomi, A.flavus yang telah diselimuti konidia kasar dan
sering diproduksi dari bantalan kepala baik metulae dan phialides, sementara itukonidia dari
A.parasiticus biasanya terlihat kasar dan sebagian besar kepala beruang phialides saja (Pitt dan
Hocking,1985). Hasil dari RFLPs spesifik berbeda pada sekuens DNA, dimana ukuran fragmen
ditentukan oleh aktifita sendonuklease tipe II. RFLPs yang memiliki korelasi dengan beberapa
karakter morfologi dan biokimia mungkindapat diindentifikasi dan digunakan sebagai sidik jari
individual (Michelmoredan Hulbert, 1987). Dalam studi ini,didasari oleh PCR-RFLP, dari dua
spesies A.flavus dan A.parasiticus dapat dibedakan. Pola dari PCR-RFLP ditambahkan dengan
Hinc II dan Pvu IImenunjukkan perbedaan yang cukup untuk membedakan kedua spesies. Hal
initergantung pada kemiripan ukuran restriksi produk seperti hasil dari situs restriksiserupa
(Gambar 3). Sejak kami tidak mendapatkan beberapa strain dari A.parasiticus pada sampel
makanan yangdiamati jamur aflatoksigeniknya (datatidak ditampilkan), studi yang ada
telahmemisahkan kepada pembagian dari strain tunggal A. parasiticus dari beberapa strain
A.flavus. Bagaimanapun itu, metode ini dapat dibangun untuk membedakan strain lain dari
A.parasiticus. Kehadiran studi tidak langsung mendiskriminasikan antara aflaktoksikgenik dan
strain non aflaktoksigenik. Hal ini menunjukkan bahwa hanya keberadaan gen yang bertanggung
jawab untuk biosintesis aflatoksin tidak perlu menganugerahkan status aflatoxigenicity di spesies
Aspergillus Itu selalu merupakan pengaruh lingkungan yang menentukan apakah gen untuk
mengekspresikan atau tetap non-fungsional setiap saat. Oleh karena itu, kehadiran atau
kurangnya mRNA dapat memungkinkan diferensiasi langsung antara aflatoxigenic dan
strainnon-aflatoxigenic. PCR-RFLP, untuk membedakan A. flavus dan A. parasiticus yang
digunakan dalam penelitian ini, lebih sederhana, hemat biaya dan lebih cepat daripada
sekuensing konvensional PCR produk diikuti oleh perbandingan individu urutan. Terlepas dari
beberapa metode yang dijelaskan dalam sastra, metode meyakinkan membedakan antara anggota
yang tergabung dalam grup A.flavus masih kurang. Oleh karena itu ada banyak ruang lingkup
untuk mengembangkan secara sederhana dan cepat, metode untuk membedakan spesies milik
kelompok A.Flavi .
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

D. Somashekar, E.R. Rati, A. Chandrashekar. Analisa panjang fragmen gen aflR


menggunakan restriksi PCR untuk diferensiasi dan deteksi Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus pada jagung. Karnataka, India : Food Microbiology Department, Central Food
Technological Research Institute, Mysore-570 013. Diakses pada : 20 Maret 2017

Anda mungkin juga menyukai