Anda di halaman 1dari 11

Nama : Maula Al Farisi

NPM : 1618011002

1. PCR (Polymerase Chain Reaction)


 Definisi :
Merupakan salah satu metode yang di gunakan dalam identifikasi suatu
organisme. Identifikasi secara molekular menggunakan metode berbasis PCR
ini perlu di lakukan pada organisme yang memiliki tingkat kesulitan untuk
identifikasi morfologi. Identifikasi tersebut dapat di lakukan menggunakan
DNA fingerprinting atau dengan melalui DNA barcoding (Pertiwi, Mahardika,
Watiniasih, 2015).
Merupakan suatu metode dalam bidang biologi molekular yang bertujuan untuk
melipatgandakan asam nukleat dengan jumlah kelipatan ribuan hingga jutaan
secara konvensioanl (Feranisa, 2016).
 Prinsip Kerja :
Prinsip kerja pada PCR meliputi 3 tahapan, yaitu denaturasi, penempelan
(annealing), dan ampifikasi. Pada tahap denaturasi, suatu fragmen DNA
(double strand) akan terdenaturasi pada suhu 90C sampai 97C. Pada Teknik
PCR, denaturasi optimum terjadi pada suhu 95C selama 30 detik. Pada tahap
penempelan (annealing) penempelan primer pada pita DNA yang sesuai pada
suhu 55C sampai 60C selama 30 detik. Dan pada tahap ampifikasi atau
melipat gandakan oleh enzim DNA polimerasi pada suhu 72C dalam waktu
yang di sesuaikan dengan panjang atau pendeknya ukuran dari DNA. Umumnya
waktu yang di gunakan pada tahap ampifikasi DNA adalah 2-3 menit. Seperti
gambar di bawah ini.
 Aplikasi :
Pengaplikasian PCR dapat di gunakan untuk : mengidentifikasi dari
karakteristik morfologi suatu organisme, mendeteksi resistensi terhadap
antibiotik, kemajuan rekayasa gen dalam bidang farmasi, pengidentifikasian
keragaman genetik suatu organisme.
1) Aplikasi PCR dalam Mengidentifikasi FMA (Fungi Mikoriza
Arbuskula)
Identifikasi FMA berdasarkan karakteristik morfologi memiliki
kelemahan, yaitu tidak dapat mengungkap keragaman pada tingkat
strain dalam suatu spesies, sehingga perlu memanfaatkan karakter
molekular dan genetik berdasarkan DNA ribosom. Teknologi yang
digunakan adalah Random Ampified Polymorphic DNA (RAPD) yang
didasarkan pada metode Polimerase Chain Reaction (PCR) dengan
menggunakan primer rantai pendek yang dapat diterapkan pada mikroba
yang tidak dapat dikulturkan seperti FMA, melalui amplifikasi genom
dari spora tunggal, akar terinfeksi, atau sampel tanah langsung dari
lapangan.Teknik PCR bisa berupa Nested PCR yang untuk memonitor
spesies FMA dan kelimpahannya atau Competitive PCR untuk
mendeteksi sekuen yang muncul dalam FMA pada akar yang
dikumpulkan dari lapangan. Dengan teknik PCR genom DNA tersedia
dalam jumlah memadai untuk keperluan identifikasi (Hidayat, 2014).
2) Deteksi Gen Resistensi Ampisilin (bla) pada E. coli Isolat Klinik
dengan Metode PCR
Uji resistensi antibiotik dapat menggunakan metode PCR, baik PCR-
colony, maupun PCR-DNA. Berdasarkan hasil uji resistensi terhadap
ampisilin, E. coli hasil isolasi telah resisten terhadap ampisilin.
Elektroforesis hasil PCR-koloni dan PCR-DNA menunjukkan bahwa
resistensi terhadap ampisilin di sebabkan oleh gen bla dengan ukuran
199 pb (Milanda, Saragih, Kusuma, 2014).
3) Kloning Gen pcbC dari Penicillium chrysogenum ke dalam Plasmid
pPICZA untuk Pengembangan Produksi Penisilin G
Salah satu enzim penentu dalam biosintesis penisilin G adalah
Isopenisilin N Sintase (IPNS) yang dikode oleh gen pcbC pada
Penicillium chrysogenum. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
rekombinan berupa fragmen gen pcbC yang disisipkan ke dalam
plasmid pPICZA. Amplifikasi gen pcbC dilakukan dengan metode
Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan primer pcbC-F dan
pcbC-R yang selanjutnya disisipkan ke dalam vektor ekspresi pPICZA
dan ditransformasikan ke dalam bakteri kompeten E. coli TOP 10 F’.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rekombinan berupa fragmen gen
pcbC dari P. chrysogenum yang disisipkan ke dalam plasmid pPICZA
telah diperoleh. Analisis sekuen DNA menggunakan program BLAST
menunjukkan bahwa fragmen gen pcbC tersebut memiliki tingkat
homologi yang tinggi (99%) dengan gen pcbC P. chrysogenum
Wisconsin 54-1255 dan P. chrysogenum AS-P-78 yang merupakan
pengkode IPNS (Wiharyanti et al, 2014).
4) Optimalisasi Produk PCR pada Analisa Keragaman Genetika
Mikrosatelit Burung Kakaktua Kecil Jambul Kuning (Cacatua
sulphurea)
Ekstraksi DNA menggunakan modifikasi metode Phenol- Kloroform
(Sambrook dan Russel, 2001). Amplifikasi DNA menggunakan mesin
PCRx merk Sensoquest menggunakan dua pasang primer mikrosatelit
Prob06 dan Prob15§. Campuran untuk proses PCR adalah: PCR Master
Mix Solution (i-Taqm) intron biotechnology 9,5 μl, DNA template 2 μl
dan primer mikrosatelit 2 μl dengan volume total 13,5μl. Untuk Proses
optimasi PCR menggunakan tiga suhu berbeda pada masing masing

primer yaitu : suhu annealing 600, 650 dan 700 C pada Prob06 dan suhu

570, 620 dan 670 C pada Prob15§. Analisis DNA mikrosatelit dilakukan
di Laboratorium Serologi dan Molekuler UPT Forensik Universitas
Udayana, Bukit Jimbaran. Pada lokus Prob 06 semua suhu yang
digunakan dalam amplifikasi tidak menghasilkan pita-pita alel DNA

atau null alelle. Pada lokus Prob 15 § dengan menggunakan suhu 620C

menghasilkan alel 133 pb serta 137 pb. Pada suhu 570C tidak

menghasilkan pita-pita atau alel DNA dan pada suhu 670C pita DNA
yang dihasilkan berupa pita yang berbentuk smear (Rosiana,
Widhiantara, 2018).

2. ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay)


 Definisi :
Merupakan salah satu teknik dalam biokimia yang berfungsi untuk mendeteksi
keberadaan dari antibody atau antigen di dalam sampel. Terdapat beberapa jenis
dari tes ELISA ini, antara lain adalah jenis ELISA langsung (direct ELISA),
secara tidak langsung (indirect ELISA), ELISA sandwich, ELISA multiplex
dan ELISA biotin streptavidin. Namuan jenis ELISA yang di gunakan dalam
penelitian adalah jenis ELISA langsung dan ELISA tidak langsung (Sendow et
al, 2015).
 Prinsip Kerja :
Antigen yang di gunakan pada metode ELISA selalu berikatan pada fase padat.
Tabung dan lempeng mikro yang terbuat dari polistiren kaku, polivinil, dan
polipropilen digunakan sebagai fase padat. Pelat mikro yang digunakan harus
dapat menyerap antigen dan antibodi, tetapi tidak menyerap komponen dalam
fase lain. Enzim yang dapat digunakan dalam ELISA yaitu: beta galacididase,
glukosa oksidase, peroksidase, dan alkali fosfatase. Alkaline phosphatase dapat
disimpan pada suhu 4 ◦ C dengan natrium azida konjugatnya. Alkali fosfatase
dan P-nitro-fenil fosfat digunakan sebagai substrat, dan menghasilkan warna
kuning dalam reaksi positif. Untuk konjugat peroksidase, 5 asam salisilat amino
dan orthophenylenediamine digunakan sebagai substrat dan produksi warna
coklat dianggap sebagai reaksi positif. Jika beta galactosidase digunakan,
sampel harus dibaca dalam fluorometer. Efek katabolik enzim menentukan
akselerasi dan spesifisitas reaksi imunologis selama reaksi enzim-substrat.
Reaksi enzim-substrat biasanya selesai dalam 30-60 menit. Reaksi dapat
dihentikan dengan menggunakan natrium hidroksida (NaOH), asam klorida
(HCl) atau asam sulfat (H2 SO4). Hasilnya dibaca pada spektrofotometer
tergantung pada karakteristik konjugat yang digunakan (Aydin, 2015).
 Aplikasi :
Pengaplikasian ELISA dapat di gunakan untuk : mendeteksi suatu penyakit,
pengevaluasian suatu antigen sebagai potensial diagnosis, penelitian biologi
molekular (enzim).
1) Aplikasi Antibodi Monoklonal Dikembangkan Terhadap Protein
IpaJ untuk Deteksi Ayam yang Terinfeksi Salmonella enterica
Serovar Pullorum Menggunakan ELISA Kompetitif.
Dalam mendeteksi ayam yang terinfeksi tersebut dapat menggunakan
metode kompetitif ELISA baru berdasarkan pengembangan antibodi
monoklonal (MAbs) terhadap imunogen spesifik S. Pullorum, protein
IpaJ. Secara total, delapan MAb terhadap IpaJ disiapkan menggunakan
protein His-IpaJ rekombinan yang dimurnikan sebagai imunogen.
Karakterisasi dari delapan MAbs menunjukkan bahwa 4G5 dapat
digunakan sebagai antibodi kompetitif dalam ELISA. Tes spesifisitas
menunjukkan bahwa uji ELISA dapat membedakan antisera dari ayam
yang terinfeksi S. pullorum dari yang dari S. Gallinarum dan S.
Enteritidis. Lebih lanjut, 4 dari 200 klinisi yang dikumpulkan dari
peternakan unggas terdeteksi positif S. Pulloram menggunakan metode
ini.
2) Evaluasi Babesia gibsoni GPI-anchored Protein 47 (BgGPI47-WH)
sebagai Antigen Diagnostik Potensial oleh Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay.
Permukaan protein adalah bagian ideal untuk target diagnostik karena
mereka adalah target utama untuk respon imun pejamu selama interaksi
host-parasit. Protein Glycosylphosphatidylinositol (GPI) sangat banyak
di tubuh parasit dan memainkan peran penting dalam diagnosis parasit.
Dalam studi ini, protein GPI bernama BgGPI47-WH diperoleh dari
antibodi poliklonal tikus (anti-rBgGPI47-WH) yang diproduksi dengan
mengimunisasi tikus dengan protein yang dimurnikan dan
menggunakan adjuvan Freund. Western blot digunakan untuk
mengidentifikasi dari bentuk asli dan imunogenisitas BgGPI47-WH.
Metode ELISA menggunakan protein BgGPI47-WH rekombinan untuk
mengevaluasi potensinya sebagai antigen diagnostik dan metode yang
ditetapkan menunjukkan spesifisitas tinggi. Hasilnya adalah bahwa
BgGPI47-WH dapat digunakan sebagai antigen diagnostik yang dapat
diandalkan (Zhan et al, 2019).
3) Penerapan Teknik ELISA dan Mikrosomom Manusia dalam
Pencarian Inhibitor Dehydrogenase 11β-Hydroxysteroid.
Ada semakin banyak bukti untuk peran glukokortikoid dalam
pengembangan sindrom metabolik. Faktor paling penting yang
mengatur akses glukokortikoid endogen ke reseptor setelah pelepasan
glukokortikoid dan difusinya ke dalam sitoplasma sel target adalah
metabolisme steroid yang melibatkan enzim mikrosomal, 11𝛽-
hydroxysteroid dehydrogenase (11𝛽-HSD). Dalam penelitian ini kami
menggunakan teknik ELISA menggunakan 96-well microplate yang
dilapisi dengan antibodi yang spesifik untuk enzim yang dianalisis.
Metode ini dapat mengukur penghambatan 11 measure-HSD1 dan 11𝛽-
HSD2 dengan cepat dan efisien. Metode ini dapat digunakan untuk
mencari dan menentukan inhibitor enzim ini. Kortison digunakan
sebagai substrat untuk pengujian enzim yang sesuai. Sebagai
kesimpulan, penelitian ini menunjukkan metode yang efisien dan cepat
untuk menentukan aktivitas penghambatan senyawa dalam kaitannya
dengan 11𝛽-hydroxysteroid dehydrogenase (Kupczyk et al, 2019).

3. SPEKTROFOTOMETRI
 Definisi :
Spektrofotometri merupakan salah satu metode yang dapat dilakukan dalam
menganalisis komponen-komponen yang terdapat dalam suatu bahan pangan yang di
konsumsi. Ada dua komponen bahan pangan yang utama, yaitu komponen makro dan
komponen mikro. Komponen makro terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, dan air.
Sedangkan komponen mikro terdiri dari vitamin, mineral, pigmen, dan komponen
organic lainnya. Sebelum menggunakan spektrofotometer, akan dibuat larutan standar
yang akan digunakan sebagai acuan dalam menetukan nilai absorbansi dari suatu
sampel (Chandra, Irwan, 2018).
 Prinsip Kerja :

Prinsip kerja Spektrofotometer yaitu apabila cahaya monokromatik melalui


suatu media (larutan), maka sebagian cahaya tersebut diserap (I), sebagian
dipantulkan (lr), dan sebagian lagi dipancarkan (It). Aplikasi rumus tersebut
dalam pengukuran kuantitatif dilaksanakan dengan cara komparatif
menggunakan kurva kalibrasi dari hubungan konsentrasi deret larutan alat untuk
analisa suatu unsur yang berkadar rendah baik secara kuantitatif maupun secara
kualitatif, pada penentuan secara kualitatif berdasarkan puncak-puncak yang
dihasilkan spektrum dari suatu unsur tertentu pada panjang gelombang tertentu,
sedangkan penentuan secara kuantitatif berdasarkan nilai absorbansi yang
dihasilkan dari spektrum dengan adanya senyawa pengompleks sesuai unsur
yang dianalisisnya. Adapun yang melandasi pengukuran spektrofotometer ini
dalam penggunaannya adalah hukum Lambert-Beer yaitu bila suatu cahaya
monokromatis dilewatkan melalui suatu media yang transparan, maka intensitas
cahaya yang ditransmisikan sebanding dengan tebal dan kepekaan media
larutan yang digunakan (Yanlinastuti, Fatimah, 2016).
 Aplikasi :
Pengaplikasian SPEKTROFOTOMETRI dapat di gunakan untuk : mengukur
absorbansi dari suatu bahan pangan yang di konsumsi atau unsur unsur kimia.

1) Penentuan Kadar Besi Selama Fase Pematangan Padi Menggunakan


Spektrofotometer UV-Vis.

Kadar besi pada padi selama fase pematangan dan pada lingkungan sekitar
padi yaitu tanah maupun air ditentukan menggunakan spektrofotometer
UV-Vis. Sampel padi, tanah, dan air didestruksi terlebih dahulu untuk
mendapatkan ion besi. Pengukuran dilakukan dengan mereaksikan ion besi
dengan pengompleks 1,10-fenantrolin sehingga terbentuk senyawa
kompleks besi(II)-fenantrolin. Panjang gelombang maksimum yang didapat
sebesar 509 nm dan nilai regresi pada kurva kalibrasi r = 0,9951. Terdapat
10 variasi hari yang berada dalam fase pematangan padi (52 hari, 63 hari,
67 hari, 71 hari, 77 hari, 81 hari, 85 hari, 90 hari, 95 hari, 98 hari) di setiap
sampel yang dianalisis (padi, tanah, dan air) kadar besinya. Hasil analisis
menunjukkan bahwa kadar besi di dalam padi memiliki korelasi dengan
kadar besi pada tanah temapat menanam padi dan tidak memiliki korelasi
dengan kadar besi di dalam air yang digunakan untuk mengairi padi
tersebut. Padi memiliki kadar besi tertinggi saat berumur 77 hari yaitu
sebesar 0,565 mg (564,325 ppm) dan memiliki kadar besi terendah saat
berumur 90 hari yaitu sebesar 0,306 mg (Dianawati, Sugiarso, 2015).

2) Identifikasi Jenis Asap Menggunakan Spektrofotometer Dan Jaringan


Syaraf Tiruan.

Metode Spektroskopi dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis gas


dengan cara melewatkan cahaya kedalam sampel gas lalu cahaya tersebut
diuraikan menggunakan monokromator. Cahaya yang dihasilkan ditangkap
menggunakan detektor yang akan yang menghasilkan spektrum yang
berbeda untuk tiap-tiap gas. Sumber cahaya dapat menggunakan lampu pijar
atau menggunakan Light Emitting Diode (LED). Apabila gas yang diuji
merupakan jenis gas yang sulit untuk diambil, seperti jenis gas beracun, gas
dari keluaran gunung berapi, maka cara ini akan mengalami kesulitan dan
data yang diperoleh tidak real time. Pada penelitian ini dirancang sebuah
sistem identifikasi gas atau asap di udara menggunakan spektrofotometer
dengan menggunakan cahaya matahari. Spektrum cahaya yang telah
terserap oleh gas atau asap ditangkap menggunakan teleskop, lalu diuraikan
menggunakan monokromator menghasilkan kurva tingkat keabuan yang
mewakili serapan setiap panjang gelombang cahaya. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah asap pembakaran oli, belerang dan
daun kering. Kurva setiap sampel yang dihasilkan, dianalisa dan dikenali
jenis asapnya menggunakan metode Jaringan Syaraf Tiruan (JST) dengan
algoritma pelatihan backpropagation. Arsitekturnya terdiri dari lapis
masukan, tersembunyi dan keluaran. Jumlah node masukan adalah 197,
jumlah neuron pada lapis tersembunyi pertama adalah 150, jumlah neuron
pada lapis tersembunyi kedua adalah 20, dan jumlah neuron pada lapis
keluaran adalah 4. Pada proses pembelajaran JST ini memerlukan iterasi
sebanyak 900 epoch dan diperoleh hasil dapat membedakan asap oli,
belerang dan daun kering. Tingkat keberhasilan 70 % untuk oli dan daun
kering, 80 % untuk belerang (Tukadi, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Risma W, Dudi H, Hermin P, Anto B. 2014. Kloning Gen pcbC dari Penicillium chrysogenum
ke dalam Plasmid pPICZA untuk Pengembangan Produksi Penisilin G. Bioma. 16(1):33-8.

Ni Putu D, Mahardika, Ni Luh W. 2015. OPTIMASI AMPLIFIKASI DNA MENGGUNAKAN


METODE PCR (Polymerase Chain Reaction) PADA IKAN KARANG ANGGOTA FAMILI
Pseudochromidae (DOTTYBACK) UNTUK IDENTIFIKASI SPESIES SECARA
MOLEKULAR. Jurnal Biologi. 19(2):1-5.

Anggun F. 2016. KOMPARASI ANTARA POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) DAN


LOOP- MEDIATED ISOTHERMAL AMPLIFICATION (LAMP) DALAM DIAGNOSIS
MOLEKULER. Odonto Dental Jurnal. 3(2):145-51.

Tiana M, Bonar C, Sri A. 2014. Deteksi Gen Resistensi Ampisilin (bla) pada E. coli Isolat
Klinik dengan Metode PCR. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. 3(3):98-106.

Kequan Y, Jingwei R, Yeu Z, Lijuan X, Chao Y, Yang L, et al. 2019. Application of


Monoclonal Antibodies Developed Against the IpaJ Protein for Detection of Chickens Infected
With Salmonella enterica Serovar Pullorum Using Competitive ELISA. Frontiers in Veterinary
Science. https://doi.org/10.3389/fvets.2019.00386.

Suleyman A. 2015. A short history, principles, and types of ELISA, and our laboratory
experience with peptide/protein analyses using ELISA. Elsevier.
http://dx.doi.org/10.1016/j.peptides.2015.04.012

Indrawati S, Abdul A, Atik R, Muharam S. 2015. PENGEMBANGAN TEKNIK ENZYME-


LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) MENGGUNAKAN ANTIBODI
MONOKLONAL UNTUK MENDETEKSI ANTIBODI PENYAKIT BOVINE EPHEMERAL
FEVER. Jurnal Kedokteran Hewan. 9(1):5-8.

Wayan R, Gede W. 2018. Optimalisasi Produk PCR (Polymerase Chain Reaction) Pada
Analisa Keragaman Genetik Mikrosatelit Burung Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua
sulphurea). Jurnal Media Sains. 2(1):37-42.
Xueyan Z, Long Y, Xiaomeng A, Qin L, Muxiao L, Zheng N, et al. 2019. Evaluation of
Babesia gibsoni GPI-anchored Protein 47 (BgGPI47-WH) as a Potential Diagnostic Antigen
by ELISA. Frontiers in Veterinary Science. https://doi.org/10.3389/fvets.2019.00333.

Daria K, Renata S, Rafal B, Alina W. 2019. Aplication of ELISA Technique and Human
Microsomes in the Search for 11-Hydroxysteroid Dehydrogenase Inhibitors. Biomed
Research International. https://doi.org/10.1155/2019/5747436.

Yanlinastuti, Syamsul F. 2016. Pengaruh Konsentrasi Pelarut Untuk Menentukan Kadar


Zirkonium dalam Paduan U-Zr dengan Menggunakan Metode Spektrofotometri UV-Vis.
17(9):22-33.

Anda mungkin juga menyukai