…Pemeriksaan penyakit novel corona virus disease (COVID-19) yang merupakan baku
emas adalah pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR). Interpretasi hasil
pemeriksaan baku emas tersebut perlu diketahui oleh klinisi yang merawat pasien
terkonfirmasi COVID-19, selain sebagai alat diagnostik, pemeriksaan ini dapat
digunakan sebagai monitoring kondisi pasien.
Seluruh dunia saat ini terkena dampak dari penyakit COVID-19, bahkan WHO telah
menyatakan keadaan pandemi berlaku untuk seluruh negara tanpa terkecuali. Jenis
virus penyebab COVID-19 masuk golongan coronaviridae, serupa dengan virus
penyebab SARS (severe acute respiratory syndrome), sehingga penamaannya adalah
SARS-CoV-2. Sedangkan istilah COVID-19 secara resmi diperkenalkan WHO pada
tanggal 11 Februari 2020.[1-3]
Meskipun banyak aspek biologi yang mempengaruhi tingkat keparahan pada penyakit
infeksi tersebut, tetapi penatalaksanaan penyakit yang dilakukan sedini mungkin dapat
meningkatkan luaran klinis yang lebih baik. Angka kesembuhan pasien COVID-19 akan
semakin meningkat dengan penurunan progresifitas komplikasi sistemik, serta
penurunan atau pencegahan terjadinya badai sitokin dan SIRS (systemic inflammatory
response syndrome). Untuk itu, dibutuhkan interpretasi tes diagnostik COVID-19 yang
tepat sesuai indikasi.[2]
Pemeriksaan COVID-19
…Selain metode pemeriksaan ada persyaratan lain yang penting diperhatikan, yaitu
jenis sampel, alat pengumpulan sampel, suhu penyimpanan dan pengiriman, serta
ketepatan sampel tersebut mendeteksi COVID-19, rangkuman diatas ada di tabel 3.
Pemeriksaan COVID-19 dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu pemeriksaan skrining dan
pemeriksaan diagnostik. Namun, sebagai pemeriksaan baku emas hingga saat ini
masih menggunakan metode PCR.
Untuk pemeriksaan skrining, biasanya menggunakan sampel darah serum atau darah
kapiler. Pemeriksaan ini sering disebut rapid test antibody. Metode menggunakan
prinsip pemeriksaan antibodi serologi. Antibodi yang diperiksa ada yang antibodi total,
atau antibodi yang terpisah, yaitu immunoglobulin M (IgM), IgA dan IgG. Interpretasi
pada kebanyakan alat menggunakan tanda positif (+) atau reaktif (tergantung alat
pemeriksaan tes serologinya), berarti tubuh aktif membentuk antibodi terhadap COVID-
19. Sedangkan tanda negatif (-) atau non reaktif menandakan di dalam tubuh belum
terbentuk antibodi. [6-8].
Pada PCR, setelah dilakukan pemeriksaan maka selanjutnya adalah tahapan validasi
yang dilakukan sebelum hasil resmi dikeluarkan. Tahapan ini menggunakan satuan LoD
(limit of Detection), yaitu jumlah berapa banyak sampel telah diencerkan (dilusi).
Biasanya menggunakan 1 log atau 10x pengenceran. [10]
Rentang atau cut-off nilai Ct ~ cycle threshold untuk hasil positif (+) diagnosis COVID-
19 berada pada nilai Ct yang mendeteksi adanya salinan gen atau protein virus (angka
Ct yang lebih rendah dari 38), contoh nilai Ct dengan hasil positif COVID-19 adalah nilai
Ct ≤ 38. Sedangkan untuk cut-off nilai Ct untuk hasil negatif (-) diagnosis COVID-19
berada pada nilai Ct yang tidak lagi mendeteksi adanya salinan gen atau protein virus
(angka Ct yang lebih tinggi dari 40), contoh nilai Ct dengan hasil negatif COVID-19
adalah nilai Ct ≥ 40. Nilai Ct ini berbeda-beda tiap vendor alat PCR.
Tidak semua jenis gen maupun protein dari virus COVID-19 yang diperiksa oleh PCR.
Sebuah studi analisis dari beberapa penelitian mendapatkan beberapa gen yang secara
signifikan dapat menentukan keadaan klinis pasien, di antaranya:
1. Gen ORF1ab, dari sampel nasal dan swab faring dapat menentukan tingkat
mortalitas
2. Gen N dan ORF1b, dari sampel sputum dapat menentukan progresivitas
penyakit
3. Gen N dan ORF1ab, dari sampel swab tenggorok dapat menentukan tingkat
keparahan penyakit
4. Gen E dan RdRP, dari swab nasofaring juga dapat menentukan tingkat
keparahan penyakit [10]
Beberapa jenis alat PCR menyertakan zona indeterminate, dimana rentang nilainya
terdapat pada nilai Ct positif dan negatif. Sebagai contoh, pada pusat penelitian di pusat
kesehatan di Ontario Kanada didapatkan nilai Ct antara 38,1–39,9. Zona indeterminate
bisa disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kuantitas target virus yang sedikit atau
merupakan representasi dari reaktivitas yang nonspesifik (sinyal palsu) pada sampel
klinik. [9-11]
Apabila gejala klinis dari pasien kuat mengarah pada infeksi COVID-19, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan target gen yang berbeda, dan pemeriksaan RT-
PCR yang tervalidasi sebanding atau lebih sensitif dari pemeriksaan semula. Sebagai
alternatif dapat dilakukan sekuensing asam nukleat dengan target gen yang sudah di
amplifikasi. [9-11]
Hasil positif palsu masih dapat ditemukan, tetapi persentasenya sangat jarang yaitu <
0,01 %. Penyebab dari hasil positif palsu dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
Virus penyebab COVID-19 mempunyai tingkat penularan yang cukup tinggi. Kekhasan
dari virus ini adalah banyaknya gen yang terlibat dalam proses infeksi antar hewan ke
manusia, dan manusia ke manusia. Beberapa protein dan gen yang sering digunakan
untuk pemeriksaan diagnostik di antaranya adalah gen N, RdRP, ORF1ab dan gen E.
Sampel yang digunakan untuk pemeriksaan bervariasi, dari saluran nafas, feses, darah
dan urin. Namun, sampel terbaik adalah menggunakan bilasan bronkovaskuler, saliva,
serta usap orofaring atau nasofaring. Metode pemeriksaan COVID-19 dibagi menjadi
skrining antibodi dengan metode serologi (CLIA, ELISA atau ELFA), dan diagnostik
antigen dengan metode RT-PCR. Metode serologi menggunakan hasil (+) dan (-),
sedangkan metode RT-PCR menggunakan nilai Ct. Pada metode RT-PCR terdapat
zona indeterminate yang berpotensi menghasilkan hasil positif palsu.
…..
Referensi