Anda di halaman 1dari 5

Tugas

Tutorial Skenario A Blok 9 2014

Devin Chandra
04011181320016
PDU Unsri B 2013

Pendidikan Dokter Umum


Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
2013/2014
Tutorial Skenario A Blok 9 2014

A. Analisis Masalah
1. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan PA, serologi, dan PCR-RFLP?
Dari hasil pemeriksaan patologi anatomi didapatkan penderita mengalami karsinoma
nasofaring. Hal ini diketahui karena terdapat benjolan di sekitar leher penderita akibat
perbesaran limfonodus di leher. Untuk pemeriksaan serologi, karena penderita terinfeksi
EBV maka terjadi kenaikan titer antibodi terhadap EBV yaitu jenis Epstein-Barr Virus
(EBV) IgA-viral capsid antigen (VCA) dan EBV IgA early antigen (EA). Titer antibodi
dikatakan normal bila semua hasil tes menunjukkan negatif. Hasil PCR-RFLP juga
menunjukkan adanya polimorfisme karena terjadi mutasi setelah sekuens genomik di
mana enzim restriksi gagal memotong sampel sesuai ukuran yang diinginkan dan juga
terdapat 2 alel pada hasil pemeriksaan.

2. Bagaimana prinsip kerja pemeriksaan PCR-RFLP ?


PCR-RFLP ini sebenarnya merupakan 2 metode berbeda yang dikombinasikan untuk
meningkatkan akurasi dan kecepatan mendapatkan hasil pemeriksaan. Prinsipnya yaitu
dengan memecah sampel DNA menjadi potongan kecil dengan enzim restriksi dan
dipisahkan berdasarkan ukuran pecahannya dengan proses agarose gel elektroforesis,
lalu, ditransfer ke membran dengan proses Southern Blot. Hibridisasi membran terhadap
probe DNA dan menentukan ukuran pecahan yang dapat melengkapi probe. Jika terjadi
perbedaan pada ukuran pecahan setiap individual maka terjadi polimorfisme. Ukuran
pecahan ini dapat dianggap sebagai alel. PCR hanyalah sebagai peningkat kecepatan
untuk melakukan analisis RFLP.

3. Mengapa PCR-RFLP yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan pada kasus ini?
Karena teknik ini merupakan teknik dengan biaya termurah, tercepat (metodenya
simpel), dan cukup akurat untuk mendeteksi penyakit polimorfisme. Teknik ini dapat
mendeteksi penyakit polimorfisme hanya dengan sampel DNA, enzim restriksi, gel
elektroforesis, dan PCR yang berguna mempercepat proses tersebut.
4. Bagaimana mekanisme dari polimorfisme?
Mekanisme dari polimorfisme ini sendiri karena terjadi mutasi pada satu nukleotida
misalnya AAGCCTA ke AAGCTTA. Pada kasus ini, penderita biasanya memiliki dua
alel. Perubahan ini dapat mengakibatkan penderita memberikan respon yang berbeda dari
orang normal terhadap suatu obat, infeksi virus dan patogen.

B. Learning Issue
1. PCR-RFLP
a) Pendahuluan
PCR-RFLP ini sebenarnya merupakan 2 metode berbeda yang dikombinasikan untuk
meningkatkan akurasi dan kecepatan mendapatkan hasil pemeriksaan. Metode ini
dapat digunakan untuk menentukan penyakit genetik pada penderita.

b) Prinsip Kerja
PCR-RFLP ini sebenarnya merupakan 2 metode berbeda yang dikombinasikan untuk
meningkatkan akurasi dan kecepatan mendapatkan hasil pemeriksaan. Prinsipnya
yaitu dengan memecah sampel DNA menjadi potongan kecil dengan enzim restriksi
dan dipisahkan berdasarkan ukuran pecahannya dengan proses agarose gel
elektroforesis, lalu, ditransfer ke membran dengan proses Southern Blot. Hibridisasi
membran terhadap probe DNA dan menentukan ukuran pecahan yang dapat
melengkapi probe. Jika terjadi perbedaan pada ukuran pecahan setiap individual maka
terjadi polimorfisme. Ukuran pecahan ini dapat dianggap sebagai alel. PCR hanyalah
sebagai peningkat kecepatan untuk melakukan analisis RFLP.

c) Kelebihan menggunakan PCR-RFLP


Teknik ini merupakan teknik dengan biaya termurah, tercepat (metodenya simpel),
dan cukup akurat untuk mendeteksi penyakit polimorfisme. Teknik ini dapat
mendeteksi penyakit polimorfisme hanya dengan sampel DNA, enzim restriksi, gel
elektroforesis, dan PCR yang berguna mempercepat proses tersebut. Hasil dapat
diperoleh dalam wkatu 24 jam setelah pengetesan.
2. Single Nucleotide Polymorphism (SNP)
Mekanisme dari polimorfisme nukleotida tunggal ini sendiri karena terjadi mutasi pada
satu nukleotida misalnya AAGCCTA ke AAGCTTA. Pada kasus ini, penderita biasanya
memiliki dua alel. Perubahan ini dapat mengakibatkan penderita memberikan respon
yang berbeda dari orang normal terhadap suatu obat, infeksi virus dan patogen. Hal ini
dapat memicu terjadinya karsinogenesis karena kelainan genetik sehingga terjadilah
karsinoma nasofaring ditambah penderita yang suka mengkonsumsi ikan asin yang
bersifat karsinogenik.
Daftar Pustaka

R, Tsang, K.. 2004. Sensitivity and specificity of Epstein-Barr virus IgA titer in the
diagnosis of nasopharyngeal carcinoma: a three-year institutional review.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15229902, diakses pada 27 Mei 2014

Varmus, Harold. . 2012. Nasopharyngeal Cancer Treatment. http://www.cancer.gov/


cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/HealthProfessional, diakses pada 27 Mei
2014

H, Fukushima. 2007. Single nucleotide polymorphism detection by polymerase chain


reaction-restriction fragment length polymorphism.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18007620, diakses pada 27 Mei 2014

Dugdale, David C. 2012. Antibody Titer. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/


article/003333.htm, diakses pada 27 Mei 2014

Srivastava, Shikha. 2009. Genetic Markers – A Cutting-Edge Technology in Herbal Drug


Research . http://jocpr.com/first-issue/JOCPR-1.pdf, diakses pada 27 Mei 2014

Anda mungkin juga menyukai