Polymerase Chain Reaction (PCR) atau reaksi berantai polimerase adalah metode enzimatis
untuk melipatgandakan (amplification) secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu
secara in vitro. Metode ini ditemukan oleh Kary B. Mullis pada tahun 1985, seorang saintis
dari perusahaan CETUS Corporation. Metode PCR ini pada awalnya hanya digunakan untuk
melipatgandakan molekul DNA, akan tetapi dalam perkembangannya dapat digunakan untuk
melipatgandakan molekul mRNA.
Metode PCR dapat melipatgandakan fragmen molekul DNA menjadi molekul DNA (110
bp/5×10-19) sebesar 200.000 kali setelah dilakukan 20 siklus reaksi selama 220 menit.
Kelebihan dari metode PCR adalah DNA cetakan yang digunakan juga tidak perlu
dimurnikan terlebih dahulu sehingga metode PCR dapat digunakan untuk melipatgandakan
suatu sekuen DNA dalam genom bakteri hanya dengan mencampurkan kultur bakteri di
dalam tabung PCR.
1. DNA cetakan
2. oligonukleotida primer
3. deosiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang terdiri dari dATP, dCTP, dGTP, dTTP
4. enzim polimerase yang digunakan untuk mengkatalis reaksi sintesis rantai DNA.
1. Denaturasi
Pada tahap denaturasi, suatu fragmen DNA (duoble strand) dipanaskan pada suhu
950C selama 1-2 menit sehingga akan terpisah menjadi rantai tunggal (single strand).
2. Penempelan (annealing)
Tahap berikutnya adalah penempelan (annealing) pada suhu 550C selama 1-2 menit,
yakni oligonukleotida primer menempel pada DNA cetakan yang komplementer
dengan sekuen primer.
3. Polimerasi
Setelah dilakukan penempelan, tahap selanjutnya adalam memperkuat atau
penyalinan beberapakali atau disebut amplifikasi dengan menaikkan suhu menjadi
720C selama 1,5 menit. Pada suhu ini, enzim DNA polimerase akan melakukan poses
polimerasi, yakni rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan
DNA cetakan.
Reaksi-reaksi seperti diatas dapat diulangi sampai 25-30 kali (siklus) sehingga akan
didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru. Banyaknya amplifikasi tergantung
pada konsentrasi DNA target yang akan digunakan. Setelah diperoleh molekul-molekul DNA
dalam jumlah yang sesuai, maka DNA tersebut dapat diamati dengan menggunakan cara
elektroforesis gel, analisis fragmen restriksi, atau metode Sanger.
Beberapa Metode PCR
1. Multiplex PCR
Adapatasi dari PCR dari berbagai sekuen atau urutan. Teknik ini digunakan untuk
diagnosis penyakit yang berbeda dalam sampel yang sama.
Multiplex PCR dapat mendeteksi pathogen yang berbeda dalam satu sampel. Juga
dapat digunakan untuk mendeteksi urutan exonic dan intronic dalam gen tertentu
2. Nested PCR
Set primer pertama memungkinkan amplifikasi pertama. Produk PCR ini dikenakan
PCR kedua menggunakan set primer kedua. Primer yang digunakan pada PCR kedua
adalah khusus untuk urutan amplifikasi internal pada PCR pertama. Oleh karena itu,
spesifisitas produk PCR pertama diverifikasi dengan yang kedua. Kerugian dari
teknik ini adalah kemungkinan kontamunasi selama transfer dari produk amplifikasi
pertama ke dalam tabung dimana amplifikasi kedua akan dilakukan. Kontaminasi
dapat di kendalikan menggunakan primer yang didesain untuk menempel (anneal)
pada temperature yang berbeda. Kontaminasi dapat juga di kendalikan dengan
menambahkan minyak ultra murni untuk membuat pemisahan fisik dari kedua
campuran amplifikasi.
PCR jenis ini telah digunakan untuk diagnosis RNA virus, serta untuk evaluasi
terapi antimikroba. Hal ini juga digunakan untuk mempelajari ekspresi gen in
vitro, karena diperoleh cDNA yang dapat mempertahankan urutan asli RNA.
Tantangan utama menggunakan teknik ini adalah sampel dari mRNA, karena
ini dianggap sulit untuk menangani mRNA dengan tingkat dan konsentrasi
rendah serta stabilitas yang rendah pada suhu kamar bersama dengan kepekaan
terhadap aksi ribonucleases dan perubahan pH.
5. Semiquantitative PCR
Teknik ini memungkinkan pendekatan untuk jumlah relative keberadaan asam nukleat
dalam sampel. cDNA diperoleh dengan PCR ketika sampel tersebut adalah RNA.
Kemudian pengendalian internal (yang digunakan sebagai penanda) diamplifikasi.
Penanda yang biasanya digunakan adalah Apo A1 dan B aktin. Produk amplifikasi
dipisahkan melalui elektroforesis. Gel agarosa difoto setelah perwarnaan etidium
bromide, dan densitas optic dihitung dengan densitometer. Kerugian dari teknik ini
adalah kemungkinan hibridisasi nonspesifik, menghasilkan hasil yang tidak
memuaskan. Pengendalian spesifisitas dilakukan dengan menggunakan penyelidikan
yang sangat spesifik untuk hibridisasi.
6. Real-Time PCR
Real time PCR atau kuantitatif PCR (qPCR) merupakan bentuk adaptasi lain
dari metode PCR untuk menghitung jumlah penggandaan dari asam nukleat
selama PCR.
ELISA telah digunakan sebagai alat diagnostik dalam bidang medis, patologi
tumbuhan, dan juga berbagai bidang industri. Dalam pengertian sederhana, sejumlah
antigen yang tidak dikenal ditempelkan pada suatu permukaan, kemudian antibodi
spesifik dicucikan pada permukaan tersebut, sehingga akan berikatan dengan
antigennya. Antibodi ini terikat dengan suatu enzim, dan pada tahap terakhir,
ditambahkan substansi yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal yang dapat
dideteksi. Dalam ELISA fluoresensi, saat cahaya dengan panjang gelombang tertentu
disinarkan pada suatu sampel, kompleks antigen/antibodi akan berfluoresensi
sehingga jumlah antigen pada sampel dapat disimpulkan berdasarkan besarnya
fluoresensi.
Pada penelitian ini, PCR multipleks menggunakan tiga pasang primer, yaitu inhA, rpoB, dan
katG secara bersamaan dalam satu tabung. Tujuan digunakannya PCR multipleks adalah
untuk mempercepat proses diagnosis berbagai kasus resisten obat dalam sekali proses.
Bagian gen yang conserved dari urutan DNA bakteri M. tuberculosis seperti gen katG dan
inhA pada kasus resistensi isoniazid, rpoB pada kasus resistensi rifampisin atau dari sekuens
sisipan/insertion sequence seperti IS6110 (nonresisten).
Karakterisasi hasil PCR dari templat DNA dibandingkan dengan marker 100 bp pada lajur
1.Lajur 2 merupakan kontrol negatif PCR. Lajur 3 merupakan kontrol negatif MDR-TB
(sampel kode K) dengan panjang fragmen 200 pb. Lajur 4 merupakan kontrol positif MDR-
TB (sampel kode 798) dengan panjang fragmen 71 pb, 124 pb, dan 186 pb. Hasil ini
menunjukkan primer inhA, rpoB, dan katG dapat bekerja optimal pada sistem PCR
multipleks.
Hasil lain yang sangat menarik ditunjukkan oleh pasangan primer B yang ternyata juga dapat
bekerja pada kondisi PCR multipleks yang sama menggunakan kombinasi empat pasang
primer sehingga dapat membedakan kasus MDR-TB dan non MDR-TB secara langsung. Dari
hasil identifikasi menggunakan PCR multipleks diperoleh fragmen DNA spesifik dangan
ukuran 71 pb, 124 pb dan 186 pb yang mengindikasikan adanya kasus resistensi terhadap
isoniazid dan rifampisin pada sampel 798 (MDR-TB), sedangkan pada sampel K (non MDR-
TB) tidak ditemukan adanya fragmen DNA spesifik dengan ukuran fragmen yang diinginkan.
Hal ini mengindikasikan bahwa primer inhA, rpoB dan katG yang digunakan secara
bersamaan dalam PCR multipleks telah berhasil digunakan untuk mengidentifikasi gen inhA,
rpoB dan katG yang berperan terhadap munculnya kasus MDR-TB pada M. tuberculosis. Hal
lain yang menarik dari data yang diperoleh pada gambar diatas adalah ditemukannya pita
hasil amplifikasi primer B, inhA, rpoB dan katG pada sampel non MDR-TB (sampel kode K)
dengan ukuran fragmen 200 pb yang mengindikasikan kasus non MDR-TB (nonresisten).
Walaupun dilakukan amplifikasi kondisi PCR yang berbeda dengan prosedur sebelumnya,
ternyata primer B juga dapat bekerja pada kondisi PCR multipleks hasil optimasi yang
digunakan. Ini memberikan suatu kemungkinan baru bahwa primer ini juga dapat digunakan
pada kondisi PCR multipleks yang sama menggunakan kombinasi primer B, inhA, rpoB, dan
katG untuk membedakan sampel MDR-TB dan non MDR-TB secara langsung.