NIM : 2207501010066
Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh agen mikrobiologi yaitu bakteri. Kemampuan
bakteri dalam menginvasi dan menimbulkan infeksi ini disebut sebagai patogen.[1] Terapi terhadap
infeksi yang disebabkan oleh bakteri umumnya menggunakan antibiotik. Antibiotik berasal dari
dua kata bahasa Yunani yaitu “anti” yaitu lawan dan “bios” yaitu hidup, dan bisa juga diartikan
“melawan sesuatu yang hidup”. Antibiotik merupakan zat kimia yang berasal dari bakteri atau
mikroorganisme lain dengan kemampuan mematikan atau menghambat pertumbuhan pada bakteri.
umumnya antibiotik yang digunakan untuk terapi infeksi bakteri adalah golongan sefalosporin,
antara lain cefadroxil, ceftriaxone, cefuroxim, cefazolin, cefixim, ceftazidime, dan cefotaksim.
Golongan antibiotik ini sering digunakan daripada golongan antibiotik lainya, dan seringnya
penggunaan antibiotik ceftriaxone bisa mempengaruhi penyakit infeksi seperti pada sepsis, dan
juga infeksi penyakit dalam. Dampak negatif yang terjadi akibat penggunaan antibiotik dengan
tidak rasional, terlalu seringnya menggunakan antibiotik yang berlebihan, dan konsumsi dalam
jangka waktu yang tidak ditentukan dapat menimbulkan resistensi bakteri terhadap antibiotik
tersebut. Hal ini dapat menyebabkan terapi yang tidak akurat, dan juga bisa menyebabkan tingkat
biaya kesehatan yang mahal. Upaya peningkatan terapi atau pengobatan pasien terinfeksi bakteri
resistan antibiotik dapat dilakukan dengan pemeriksaan diagnostik dalam laboratorium medis.
Pemeriksaan ini sangat penting dilakukan dalam menegakkan sebuah diagnosa apakah seseorang
terinfeksi agen bakteri patogen atau tidak dan apakah infeksi bakteri tersebut termasuk dalam strain
yang resistan antibiotik atau tidak. Dalam perkembangannya terdapat teknik diagnostic yang dapat
diaplikasikan dalam uji diagnostik dalam laboratorium, yaitu biologi molekuler. Biologi molekuler
merupakan aplikasi teknologi yang dapat mendiagnosis secara cepat dan tepat agen patogen yang
menginfeksi tubuh.[2]
Prinsip dasar PCR adalah proses siklus yang berulang meliputi denaturasi, annealing dan
ekstensi/ elongasi oleh enzim DNA polimerase. Semua tahap dan perubahan suhu dilakukan pada
tabung reaksi PCR yang diinkubasi pada alat pemanas terprogram dan otomatis.[2]
1) Denaturasi
Tahap pertama pada sistem amplifikasi PCR adalah denaturasi DNA sampel dengan
menaikkan suhu dalam tabung reaksi sampai 95ºC. Tabung reaksi ini berisi DNA target, dua
primer oligonukleotida dalam jumlah berlebih, Taq DNA polymerase yang tahan panas,
keempat deoksiribonukleotida dan bufer yang mengandung Mg. Selama proses denaturasi yang
berlangsung dalam beberapa menit, untai ganda DNA (dsDNA) mencair dan ikatannya terbuka
sehingga terjadi pemisahan untai ganda DNA menjadi untai tunggal DNA (ssDNA).[2]
2) Primer Annealing
Tahap kedua pada sistem amplifikasi PCR adalah primer annealing. Primer Annealing
merupakan pengenalan (annealing) suatu primer terhadap DNA target tergantung pada panjang
untai, banyaknya kandungan GC, dan konsentrasi primer itu sendiri. Waktu annealing yang
biasa digunakan dalam PCR adalah 30 – 45 detik. Semakin panjang ukuran primer, semakin
tinggi suhunya. Kisaran suhu penempelan yang digunakan adalah antara 37ºC sampai dengan
60ºC. Pada tahap ini, primer menempel pada sekuen komplementernya pada DNA target.[2]
3) Ekstensi/Elongasi
Tahap ketiga pada sistem amplifikasi PCR adalah DNA Polymerase extension. Pada tahap
extension ini terjadi proses pemanjangan untai baru DNA, dimulai dari posisi primer yang telah
menempel di urutan basa nukleotida DNA target yang akan bergerak dari ujung 5’ menuju ujung
3’ dari untai tunggal DNA. Proses pemanjangan atau pembacaan informasi DNA yang
diinginkan sesuai dengan panjang urutan basa nukleotida yang ditargetkan. Adapun temperatur
ekstensi berkisar antara 70-72°C.[2]
PCR konvensional adalah PCR di mana tahap perbanyakan materi genetik dan tahap deteksi
produk PCR dilakukan secara berturut-turut, yaitu tahap deteksi dilakukan bila tahap perbanyakan
materi genetik telah selesai. Reaksi PCR konvensional biasanya menggunakan satu pasang primer
oligonukleotida untuk mengamplifikasi bagian tertentu dari genom agen infeksi serta dilakukan
pada suatu tabung. Primer PCR adalah oligodeoksiribonukleotida pendek, atau oligomer yang
dirancang untuk melengkapi urutan akhir sekuen dari amplikon target PCR dan digunakan untuk
mengawali sintesis rantai DNA.
Real Time PCR adalah suatu metode analisa yang dikembangkan dari reaksi PCR. Real
time ini juga dikenal sebagai quantitative real time polymerase chain reaction atau Q-PCR. Teknik
ini dapat digunakan untuk mengamplifikasi sekaligus menghitung jumlah target molekul DNA
hasil amplifikasi tersebut. Maksud dari kata real time pada metode ini adalah data fluoresensi yang
dihasilkan dari proses amplifikasi dapat diamati secara langsung pada saat proses amplifikasi
masih berjalan dan tanpa harus menunggu seluruh siklus amplifikasi selesai.[3] Real Time PCR
merupakan pengembangan metode PCR yang hasil amplifikasinya dianalisis selama proses
amplifikasi dengan menggunakan pewarna DNA atau pelacak berfluoresensi. Analisis data
dilakukan dalam instrumen yang sama, tanpa pemindahan sampel, tanpa penambahan sampel dan
tanpa pemisahan dengan elektroforesis. Metode ini dapat digunakan untuk analisis secara
kuantitatif jumlah awal sehingga dapat digunakan pengukuran secara kuantitatif.[2]
Reverse transcriptase-PCR (RT-PCR) merupakan metode yang digunakan untuk
mengamplifikasi cDNA dari mRNA atau Bisa juga langsung dari mikroorganisme yang memiliki
materi genetik RNA (seperti virus (polio, campak, rubella, influenza, dll). RT-PCR digunakan
untuk mendapatkan kembali dan menyalin utas 5’ dan 3’ dari mRNA, menghasilkan kumpulan
cDNA yang banyak dari jumlah mRNA yang sangat sedikit. RT-PCR dapat dengan mudah
digunakan untuk mengidentifikasi mutasi, polimorfisme dan mengukur kekuatan ekspresi gen.[3]
RT-PCR merupakan salah satu jenis uji molekular yang dapat digunakan untuk mendeteksi
infeksi COVID-19. RT- PCR merupakan metode identifikasi dan konfirmasi laboratorium kasus
COVID-19 yang paling disarankan. RT-PCR mendeteksi apakan adanya RNA virus yang muncul
pada sampel pasien. Pemeriksaan ini bekerja dengan menangkap dan memperjelas material genetik
seperti protein S, protein N dan envelope dari virus. Untuk mengukur viral RNA, RNA perlu
dikonversi menjadi DNAdan disalin secara berulang menggunakan siklus temperatur yang terdapat
pada mesin PCR dan kemudian menggunakan marker fluorescent untuk mendeteksi virus.
Jika nilai fluoresen mencapai level tertentu, maka hal ini mengkonfirmasi presensi dari virus.[3]