Anda di halaman 1dari 5

Nama : Aranty Fahira Ardisa

Nomor Induk Mahasiswa : 1308617023


Mata Kuliah : Praktikum Genetika (A)

PCR digunakan untuk deteksi spesifik, teknik ini banyak digunakan oleh dokter dan
peneliti untuk mendiagnosis penyakit, mengkloning dan mengurutkan gen. Salah satu aplikasi
medis yang paling penting dari metode PCR klasik adalah deteksi patogen. Selain itu, uji PCR
digunakan dalam kedokteran forensik untuk mengidentifikasi tindakan kriminal.
PCR adalah pengujian enzimatik sederhana yang dapat mengamplifikasi fragmen DNA
spesifik dari kumpulan DNA kompleks. PCR dapat dilakukan dengan menggunakan sumber
DNA dari berbagai jaringan dan organisme, termasuk darah, kulit, rambut, air liur, dan
mikroba. PCR membutuhkan jumlah DNA untuk menghasilkan salinan yang cukup untuk di
analisis menggunakan metode laboratorium konvensional. Untuk alasan ini, dapat dikatakan
bahwa PCR adalah uji yang sensitif. Disebutkan oleh (Mullis, 1990) bahwa uji PCR
"memungkinkan memilih potongan DNA yang di minati dan dapat mengambil bagian yang
diinginkan".
Setiap pengujian PCR membutuhkan template DNA, primer, nukleotida, dan DNA
polimerase. DNA polimerase adalah enzim kunci yang menghubungkan nukleotida individu
bersama-sama untuk membentuk produk PCR. Nukleotida meliputi empat basa yaitu adenin,
timin, sitosin, dan guanin (A, T, C, G) yang ditemukan dalam DNA. Empat basa tersebut
bertindak sebagai building blocks yang digunakan oleh DNA polimerase untuk membuat
produk PCR. Primer dalam reaksi berfungsi untuk menentukan produk DNA yang tepat untuk
diamplifikasi. Primer adalah fragmen DNA pendek dengan urutan yang ditentukan saling
melengkapi dengan DNA target yang harus dideteksi dan diperkuat. Ini berfungsi sebagai titik
perpanjangan untuk membangun DNA polimerase.
Komponen tersebut dicampur dalam tabung reaksi atau 96-well plate dan kemudian
ditempatkan dalam mesin untuk amplifikasi DNA. Mesin tersebut memiliki tempat tabung atau
pelat uji yang menahan campuran reaksi PCR yang dimasukkan. Mesin dapat menaikkan dan
menurunkan temperatur blok dalam prosesnya secara terprogram (Weier and Gray, 1988).
Mekanisme atau reaksi pertama adalah dipanaskannya di atas titik lebur dari dua untai DNA
komplementer dari DNA target, yang memungkinkan untaian terpisah, proses itu disebut
denaturasi. Temperatur kemudian diturunkan untuk memungkinkan primer spesifik dapat
mengikat ke segmen DNA target, proses itu dikenal sebagai hibridisasi atau annealing.
Annealing antara primer dan DNA target hanya terjadi jika mereka saling melengkapi secara
berurutan (mis. A yang mengikat G). Suhu dinaikkan lagi, pada saat itu DNA polimerase
mampu memperpanjang primer dengan menambahkan nukleotida ke untai DNA yang sedang
berkembang (Gambar 1). Dengan setiap pengulangan dari tiga langkah ini,menghasilka jumlah
molekul DNA yang disalin berlipat ganda.
Proses denaturasi, annealing, dan elongasi atas serangkaian suhu atau temperatur dan waktu
dikenal sebagai siklus amplifikasi. Setiap langkah siklus harus dioptimalkan untuk template
dan set primer yang digunakan. Siklus ini diulang sekitar 20-40 kali dan produk yang diperkuat
kemudian dapat dianalisis.

Mata Kuliah Genetika, Semester 112 1


Prodi Biologi FMIPA UNJ
Wilayah Guanine / Cytosine (kaya GC) mewakili tantangan dalam teknik PCR standar.
Sekuens yang kaya GC cenderung membentuk struktur sekunder. Akibatnya, untaian ganda
yang kaya GC sulit untuk dipisahkan selama fase denaturasi. Akibatnya, DNA polimerase tidak
dapat mensintesis untai baru. Suhu denaturasi yang lebih tinggi dapat meningkat dan
penyesuaian menuju suhu annealing yang lebih tinggi dan waktu annealing yang lebih pendek
dapat mencegah pengikatan primer primer kaya-GC yang tidak spesifik. Reagen tambahan
dapat meningkatkan amplifikasi urutan kaya GC. DMSO, gliserol dan betaine membantu
mengganggu struktur sekunder yang disebabkan oleh interaksi GC dan dapat memfasilitasi
pemisahan untaian ganda.

DNA

53

Target
sequence

35
Cycle 1

Denaturation1 5
Cycle
3

3

Annealing2

Extension3 Cycle
2

Gambar 1. Schematic presentation of the polymerase chain reaction principle. Modified from
“PCR: Uses, Steps, Purpose,” SchoolWorkHelper, St. Rosemary Educational Institution
(http://schoolworkhelper.net/pcr-uses-steps-purpose).

PCR kuantitatif (qPCR) menyediakan informasi dalam deteksi DNA. Hal ini berfungsi untuk
menunjukkan berapa banyak DNA atau gen tertentu yang terdapat dalam sampel. qPCR
memungkinkan deteksi dan kuantifikasi produk PCR secara real time ketika sedang disintesis
(VanGuilder et al., 2008). Dua metode yang biasa digunakan untuk mendeteksi dan mengukur
produk adalah (i) pewarna fluoresen yang secara spesifik menginterkalasi dengan DNA
beruntai ganda dan (ii) probe DNA spesifik urutan yang terdiri dari fluorescent labeling.
Metode ini dilakukannya deteksi setelah hibridisasi probe dengan target DNA
komplementernya. PCR real time dapat digabungkan dengan transkripsi terbalik, yang
memungkinkan messenger RNA untuk dikonversi menjadi cDNA (mis., Transkripsi balik),
setelah itu kuantifikasi cDNA dilakukan dengan qPCR (Valasek dan Repa, 2005). Kuantifikasi
Mata Kuliah Genetika, Semester 112 2
Prodi Biologi FMIPA UNJ
gen yang diinginkan selama amplifikasi eksponensial menghindari masalah yang terkait
dengan PCR titik akhir, yang dianalisis setelah selesainya siklus PCR akhir.
Analisis tumor adalah contoh ideal penggunaan PCR. Hal inidapat digunakan untuk
mengisolasi dan memperkuat DNA gen penekan tumor atau proto-onkogen. Pada tahapannya,
PCR kuantitatif dapat digunakan untuk mengukur jumlah gen tertentu yang diisolasi. Di sisi
lain, PCR kuantitatif dapat digunakan untuk menganalisis sel tunggal dan menghitung
kombinasi DNA, mRNA, dan protein (Stahlberg et al., 2012).
PCR kuantitatif (qPCR) digunakan untuk mendeteksi, mengkarakterisasi dan mengukur asam
nukleat untuk berbagai aplikasi. Mekanismenya dimulai dalam RT-qPCR, transkrip RNA
dikuantifikasi dengan membalikkan transkripnya menjadi cDNA terlebih dahulu, dan kemudian
qPCR baru dapat dilakukan. Seperti pada PCR standar, DNA diamplifikasi dengan 3 langkah
berulang: denaturasi, annealing, dan elongasi. Namun, di qPCR, fluorescent labeling
memungkinkan pengumpulan data saat PCR berlangsung.
Dalam qPCR berbasis pewarna (biasanya hijau), pelabelan fluoresen memungkinkan
kuantifikasi molekul DNA yang diperkuat dengan menggunakan penggunaan pewarna pengikat
dsDNA. Selama setiap siklus, fluoresensi diukur. Sinyal fluoresensi meningkat secara
proporsional dengan jumlah DNA yang direplikasi dan karenanya DNA dikuantifikasi dalam
"real time". Kerugian dari qPCR berbasis pewarna adalah bahwa hanya ada satu target yang
dapat diperiksa pada satu waktu dan bahwa pewarna tersebut akan mengikat setiap DNA-ds
yang ada dalam sampel.
Dalam qPCR berbasis probe, banyak target dapat dideteksi secara bersamaan di setiap
sampel tetapi membutuhkan optimasi dan desain probe spesifik target yang harus digunakan
sebagai tambahan untuk primer. Ada beberapa jenis desain probe yang tersedia, tipe yang
paling umum adalah probe hidrolisis, yang menggabungkan penggunaan fluorophore dan
quencher. Transfer energi resonansi fluoresensi (FRET) mencegah emisi fluorofor melalui
quencher saat probe masih utuh. Namun, selama reaksi PCR, probe dihidrolisis selama ekstensi
primer dan amplifikasi dari urutan spesifik yang terikat. Pembelahan probe memisahkan
fluorophore dari quencher dan menghasilkan peningkatan fluoresensi yang bergantung pada
amplifikasi. Jadi, sinyal fluoresensi dari reaksi qPCR berbasis probe sebanding dengan jumlah
urutan target probe yang ada dalam sampel. Karena qPCR berbasis probe lebih spesifik
daripada qPCR berbasis pewarna.
Digunakannya metode qPCR dalam deteksi dan validasi penyakit CoVID-19 karena dalam
sampel swab tenggorokan terdapat adanya asam nukleat yang akan di ekstrak oleh tim peneliti.
Di dalam asam nukleat tersebut terdapat genom virus yang dapat menentukan adanya infeksi atau
tidak dalam tubuh, metode qPCR ini dapat bekerja dengan mendeteksi bahan genetik spesifik di
dalam virus. Mekanismenya dimulai dalam RT-qPCR, transkrip RNA dikuantifikasi dengan
membalikkan transkripnya menjadi cDNA terlebih dahulu, dan kemudian qPCR baru dapat
dilakukan. Seperti pada PCR standar, DNA diamplifikasi dengan 3 langkah berulang:
denaturasi, annealing, dan elongasi. Namun, di qPCR, fluorescent labeling memungkinkan
pengumpulan data.

Petugas kesehatan akan mengambil sampel air liur, menyeka bagian belakang tenggorokan,
sampel cairan dari saluran pernapasan bawah, kemudian peneliti dapat memperkuat daerah genom
Mata Kuliah Genetika, Semester 112 3
Prodi Biologi FMIPA UNJ
tertentu dengan menggunakan teknik yang dikenal sebagai reaksi berantai transkripsi polimerase
terbalik (reverse transcription polymerase chain reaction). Metode qPCR dilakukan untuk
mencocokkan DNA atau RNA yang dipunyai virus, dengan teknik ini, DNA atau RNA yang
ada pada sampel dari swab tadi akan direplikasi atau digandakan sebanyak mungkin. Lalu
setelah digandakan, DNA atau RNA dari sampel tersebut akan dicocokkan dengan susunan
DNA SARS-COV2 yang sebelumnya sudah ada. Jika ternyata cocok, maka DNA yang ada
di sampel tersebut adalah benar DNA SARS COV-2. Artinya, orang tersebut positif
terinfeksi CoVID-19. Sebaliknya, jika ternyata tidak cocok, tandanya orang tersebut negatif
terinfeksi CoVID-19.

Digunakannya metode qPCR ini dianggap sebagai metode terbaik (Gold-standard) dalam
penentuan suspect CoVID-19 dibandingkan dengan metode yang telah dijalani seperti Rapid Test.
Menurut (Achamd Yurianto, 2020) dijelaskan bahwa metode tes massal atau rapid test yang
dilaksanakan berbasis data menggunakan darah dengan menggunakan kit. Dengan menggunakan
sampel darah tersebut, rapid test hanya akan mengukur antibodi pasien dan tidak dapat digunakan
untuk mendeteksi adanya virus CoVID-19.

Departemen Kesehatan Filipina menjelaskan bahwa kit yang digunakan tersebut rentan terhadap
negatif palsu. Pasalnya, alat kit tersebut mungkin tidak dapat mendeteksi antibodi pada tahap awal
infeksi, sehingga hasilnya kurang akurat. Rapid test memeriksa virus menggunakan IgG dan
IgM yang ada di dalam darah. IgG dan IgM adalah sejenis antibodi yang terbentuk di tubuh
saat kita mengalami infeksi virus. Jika di tubuh terjadi infeksi virus, maka jumlah IgG dan
IgM di tubuh akan bertambah. Hasil rapid test dengan sampel darah tersebut, dapat
memperlihatkan adanya IgG atau IgM yang terbentuk di tubuh. Jika ada, maka hasil rapid
test dinyatakan positif ada infeksi. Namun, hasil tersebut bukanlah diagnosis yang
menggambarkan infeksi CoVID-19.

Maka dari itu, orang dengan hasil rapid testnya positif, perlu menjalani pemeriksaan
lanjutan, yaitu pemeriksaan swab tenggorok atau hidung. Pemeriksaan ini dinilai lebih
akurat sebagai patokan diagnosis. Sebab, virus corona akan menempel di hidung atau
tenggorokan bagian dalam, saat ia masuk ke tubuh. Sampel lendir yang diambil dengan
metode swab nantinya akan diperiksa menggunakan metode PCR (Polymerase Chain
Reaction). Hasil akhir dari pemeriksaan ini, nantinya akan benar-benar memperlihatkan
apabila ada virus SARS-COV2 (penyebab CoVID-19) di dalam tubuh.

Mata Kuliah Genetika, Semester 112 4


Prodi Biologi FMIPA UNJ
DAFTAR PUSTAKA

Mullis KB (1990) The unusual origin of the polymerase chain reaction. Sci Am 262:56–61,
64–5
Stahlberg A, Thomsen C, Ruff D et al. (2012) Quantitative PCR analysis of DNA, RNAs,
and proteins in the same single cell. Clin Chem 58:1682– 91
Valasek MA, Repa JJ (2005) The Power Of Real-time PCR. Adv Physiol Educ 29:15 1-9
VanGuilder HD, Vrana KE, Freeman WM (2008) Twenty-five years of quantitative
PCR for gene expression analysis. BioTechniques 44:619– 26
Weier HU, Gray JW (1988) A programmable system to perform the polymerase chain
reaction. DNA 7:441–7

Mata Kuliah Genetika, Semester 112 5


Prodi Biologi FMIPA UNJ

Anda mungkin juga menyukai