Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bioteknologi diartikan sebagai penerapan prinsip ilmu dan

rekayasa dalam pemanfaatan makhluk hidup (bakteri, fungi, virus, dan

lain-lain) maupun produk dari makhluk hidup (enzim,alkohol) dalam proses

produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Bioteknologi secara umum

berarti meningkatkan kualitas suatu organisme melalui aplikasi teknologi.

Aplikasi teknologi tersebut dapat memodifikasi fungsi biologis suatu

organisme dengan menambahkan gen dari organisme lain atau

merekayasa gen pada organisme tersebut.

Genetika adalah ilmu yang mempelajari sifat-sifat keturunan

(hereditas) serta segala sluk beluknya selama ilmiah. Genetika disebut

juga ilmu keturunan, ilmu ini mempelajari berbagai aspek yang

menyangkut pearisan sifat, bagaimana sifat keturunan ilmu itu diturunkan

dari generasi kegenerasi serta variasi-variasi yang mungkin timbul

didalamnya atau yang menyertainya. Pewarisan sifat tersebut dapat terjadi

melalui proses seksual. Genetika berusaha membawakan material

pembawa informasi untuk diwariskan (bahan genetik), bagaimana

informasi tersebut di ekspresikan ekspresi genetic dan bagaimana

informasi tersebut dipindahkan dari individu satu ke individu lain. PCR

adalah suatu metode in vitro yang digunakan untuk mensintesis sekuens

tertentu DNA dengan menggunakan dua primer oligonukleotida yang

1
menghibridisasi pita yang berlawanan dan mengapit dua target DNA.

Kesederhanaan dan tingginya tingkat kesuksesan amplifikasi sekuens

DNA yang diperoleh menyebabkan teknik ini semakin luas

penggunaannya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan PCR ?

2. Apa saja komponen dalam PCR ?

3. Bagaimana prinsip dari PCR ?

4. Bagaimana Pelaksaan dari PCR ?

5. Bagaimana Optimasi dari PCR ?

6. Bagaimana aplikasi dari PCR ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian PCR

2. Untuk mengetahui komponen PCR

3. Untuk mengetahui bagaimana prinsip PCR

4. Untuk mengetahui Bagaimana pelaksanaan dari PCR

5. Untuk mengetahui optimasi dari PCR

6. Untuk mengetahui aplikasi PCR

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian PCR

Polymerase Chain Reacton (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan

amplifikasi DNA secara in vitro. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh

Karry Mullis pada tahun 1985. Teknik PCR dapat digunakan untuk

mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali hanya dalam

beberapa jam. Dengan diketemukannya teknik PCR di samping juga

teknik-teknik lain seperti sekuensing DNA, telah merevolusi bidang sains

dan teknologi khususnya di bidang diagnosa penyakit genetik, kedokteran

forensik dan evolusi molekular.

Dengan menggunakan metode PCR dapat meningkatkan jumlah

urutan DNA ribuan bahkan jutaan kali dari jumlah semula, sekitar 106-107

kali. Setiap urutan basa nukleotida yang diamplifikasi akan menjadi dua

kali jumlahnya. Pada setiap siklus PCR akan diperoleh 2n kali banyaknya

DNA target. Kunci utama pengembangan PCR adalah menemukan

bagaimana cara amplifikasi hanya pada urutan DNA target dan

meminimalkan amplifikasi urutan non-target. Metode PCR dapat dilakukan

dengan menggunakan komponen dalam jumlah yang sangat sedikit,

misalnya DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5µg, oligonukliotida

yang digunakan hanya sekitar 1 mM dan reaksi ini biasa dilakukan dalam

volume 50-100 µl. DNA cetakan yang digunakan juga tidak perlu

3
dimurnikan terlebih dahulu sehingga metode PCR dapat digunakan untuk

melipatgandakan suatu sekuens DNA dalam genom bakteri.

PCR adalah reaksi polimerase berantai, yaitu reaksi yang

melibatkan enzim polimerase yang dilakukan secara berulang-ulang. Yang

diulang-ulang adalah proses pemisahan untai ganda DNA menjadi untai

tunggal, hibridisasi primer untuk mengawali replikasi DNA dilanjutkan

dengan proses penambahan basa pada cetakan DNA oleh enzim

polimerase, untuk melakukan kegiatan ini dibutuhkan tabung PCR yang

bersifat reponsif dengan perubahan suhu dan mesin thermal cycler, suatu

mesin yang mampu menaikkan dan menurunkan suhu dengan cepat, dan

bahan-bahan untuk membuat reaksi PCR.

Konsep asli teknologi PCR mensyaratkan bahwa bagian tertentu

sekuen DNA yang akan dilipatgandakan harus diketahui terlebih dahulu

sebelum proses pelipatgandaan tersebut dapat dilakukan. Sekuen yang

diketahui tersebut penting untuk menyediakan primer, yaitu suatu sekuens

oligonukleotida pendek yang berfungsi mengawali sintesis rantai DNA

dalam reaksi berantai polimerasi.

B. Prinsip - Prinsip PCR

Komponen- komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah

templat DNA; sepasang primer, yaitu suatu oligonukleotida pendek yang

mempunyai urutan nukleotida yang komplementer dengan urutan

nukleotida DNA templat; dNTPs (Deoxynucleotide triphosphates); buffer

PCR; magnesium klorida (MgCl2) dan enzim polimerase DNA.

4
Proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu: (1) pra-denaturasi

DNA templat; (2) denaturasi DNA templat; (3) penempelan primer pada

templat (annealing); (4) pemanjangan primer (extension) dan (5)

pemantapan (post-extension). Tahap (2) sampai dengan (4) merupakan

tahapan berulang (siklus), di mana pada setiap siklus terjadi duplikasi

jumlah DNA. Tahapan proses PCR dapat dilihat pada gambar 1.

PCR adalah suatu teknik yang melibatkan beberapa tahap yang

berulang (siklus) dan pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah target

DNA untai ganda. Untai ganda DNA templat (unamplified DNA) dipisahkan

dengan denaturasi termal dan kemudian didinginkan hingga mencapai

suatu suhu tertentu untuk memberi waktu pada primer menempel (anneal

primers) pada daerah tertentu dari target DNA. Polimerase DNA

digunakan untuk memperpanjang primer (extend primers) dengan adanya

dNTPs (dATP, dCTP, dGTP dan dTTP) dan buffer yang sesuai. Umumnya

keadaan ini dilakukan antara 20 – 40 siklus. Target DNA yang diinginkan

(short ”target” product) akan meningkat secara eksponensial setelah siklus

keempat dan DNA non-target (long prod-uct) akan meningkat secara linier

seperti tampak pada bagan di atas (Newton and Graham, 1994).

Jumlah kopi fragmen DNA target (amplicon) yang dihasilkan pada

akhir siklus PCR dapat dihitung secara teoritis menurut rumus:

Y = (2n – 2n)X
Y : jumlah amplicon

n : jumlah siklus

X : jumlah molekul DNA templat semula

5
Jika X = 1 dan jumlah siklus yang digunakan adalah 30, maka

jumlah amplicon yang diperoleh pada akhir proses PCR adalah 1.074 x

109. Dari fenomena ini dapat terlihat bahwa dengan menggunakan teknik

PCR dimungkinkan untuk mendapatkan fragmen DNA yang diinginkan

(amplicon) secara eksponensial dalam waktu relatif singkat.

Umumnya jumlah siklus yang digunakan pada proses PCR adalah

30 siklus. Penggunaan jumlah siklus lebih dari 30 siklus tidak akan

meningkatkan jumlah amplicon secara bermakna dan memungkinkan

peningkatan jumlah produk yang non-target.

Perlu diingat bahwa di dalam proses PCR effisiensi amplifikasi tidak

terjadi 100 %, hal ini disebabkan oleh target templat terlampau banyak,

jumlah polimerase DNA terbatas dan kemungkinan terjadinya reannealing

untai target.

Gambar 1. Bagan Proses Polymerase Chain Reaction

6
C. Komponen- Komponen PCR

Ada beberapa macam komponen utama dalam proses PCR, yaitu

antara lain:

1. DNA cetakan

DNA cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan.

Fungsi DNA templat di dalam proses PCR adalah sebagai cetakan untuk

pembentukan molekul DNA baru yang sama. Templat DNA ini dapat

berupa DNA kromosom, DNA plasmid ataupun fragmen DNA apapun asal

di dalam DNA templat tersebut mengandung fragmen DNA target yang

dituju.

Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan

melakukan denaturasi DNA template (cetakan) sehingga rantai DNA yang

berantai ganda (double stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal

(single stranded). Denatirasi DNA dilakukan dengan menggunakan panas

selama 1 – 2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi sekitar sehingga

oligonukleotida primer akan “menempel” (annealing) pada cetakan yang

telah terpisah menjadi rantai tunggal. oligonukleotida Primer akan

membentuk jembatan hydrogen dengan cetakan pada daerah sekuen

yang komplementer dengan dengan sekuen primer. Suhu yang

digunakan untuk penempelan primer pada dasarnya merupakan

kompromi. Amplifikasi akan lebih efisien jika dilakukan pada suhu yang

lebih rendah.

7
2. Oligonukleotida primer

Oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek

(15 – 25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai

DNA. Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida

yang mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu rantai DNA

cetakan pada ujung 5’-fosfat, dan oligonukleotida yang kedua identik

dengan sekuen pada ujung 3’OH rantai DNA cetakan yang lain. Proses

annealing biasanya dilakukan selama 1 – 2 menit. Setelah dilakukan

annealing oligonukleotida primer dengan DNA cetakan, suhu inkubasi

dinaikkan menjadi selama 1,5 menit. Pada suhu ini DNA polymerase

akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan

informasi yang ada pada DNA cetakan. Setelah terjadi polimerasi, rantai

DNA yang baru akan membentuk jembatan hydrogen dengan DNA

cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan

hydrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA yang baru hasil

polimerasi selanjutnya akan didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu

ingkubasi menjadi . Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan

berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya.

Reaksi-reaksi seperti yang sudah dijelaskan tersebut diulangi lagi

sapai 25 – 30 kali (siklus) sehingga pada akhir siklus akan didapatkan

molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam

jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang

digunakan. Banyaknya siklus amplifikasi tergantung pada kosentrasi DNA

8
target di dalam campuran reaksi. Paling tidak, diperlukan 25 siklus untuk

melipatgandakan satu kopin sekuen DNA target di dalam genom mamalia

agar hasilnya dapat dilihat secara langsung, misalnya dengan

elektroforosis gel agarose. Akan tetapi, pada umumnya kosentrasi DNA

polimerasi Taq menjadi terbatas setelah 25 – 30 siklus amplikasi.

3. Deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP)

Shanghai ShineGene Molecular Biotech,Inc. (2009) menyatakan

bahwa campuran dNTP adalah larutan air pada pH 7,0 yang mengandung

dATP, dCTP, dGTP dan dTTP, masing-masing pada konsentrasi akhir

baik 10mm atau 25mm. dNTP yang siap digunakan merupakan solusi

yang dirancang untuk menghemat waktu dan untuk menyediakan

reproduktifitas yang lebih tinggi dalam aplikasi PCR dan lainnya.

4. DNA Polimerase

Pada awal perkembangannya, DNA polymerase yang digunakan

dalam PCR adalah fragmen Klenow DNA polymerase I yang berasal dari

Escherichia coli (Mullis dan Fallona, 1989). Fragmen Klenow adalah DNA

polymerase yang telah dihilangkan aktivitas eksonuklease (5’ → 3’)-nya.

Beberapa kelemahan fragmen Klenow antara lain adalah bahwa enzim ini

tidak tahan panas, laju polemerase untuk menggabungkan nukleotida

dengan suatu primer secara terus-menerus tanpa terdisosiasi dari

komplek primer-DNA cetakan. Hampir semua DNA polymerase

mempunyai prosesivitas yang rendah sehingga akan terdisosiasi dari

komplek primer-DNA cetakan setelah menggabungkan kurang dari 10

9
nukleotida. Salah satu perkecualian adalah T7 DNA polymerase yang

mampu menggabungkan ribuan nukleotida tanpa terdisosiasi dari komplek

primer-DNA cetakan.

a.Taq DNA Polimerase

Taq DNA polymerase yang berasal dari bakteri Thermus

aquaticus BM, yaitu suatu strain yang tidak mempunyai endonuklease

retriksi TaqI. Taq DNA polymerase tersusun atas satu rantai polipeptida

dengan berat molekul kurang lebih 95 kD. Enzim ini mempunyai

kemampuan polimerasi DNA yang sangat tinggi, tetapi tidak

mempunyai aktivitas eksonuklease 3’ → 5’. Enzim ini paling aktif pada

pH9 (pada suhu 200 C) dan suhu aktivitas optimumnya sekitar 750C –

800C. Kelebihan enzim Taq DNA polimerase adalah bahwa enzim ini

tahan terhadap suhu tinggi yang diperlukan untuk memisahkan rantai

DNA cetakan. Dengan kelebihan semacam ini maka tidak diperlukan

penambahan enzim pada tiap-tiap siklus PCR seperti yang harus

dilakukan kalau enzim yang dig unakan adalah fragmen Klenow DNA

polymerase I (Gelfand dan White, 1990). Kelebihan lain enzim Taq

DNA polymerase adalah laju polimerasinya yang sangat tinggi serta

prosesivitasnya yang juga lebih tinggi disbanding dengan fragmen

Klenow.

Taq DNA polymerase mempunyai suhu optimum yang tinggi

untuk sintesis DNA yaitu 75 – 80 ͦC. aktivitas spesifik enzim ini dalam

menggabungkan nukleotida mencapai 150 nukleotida per detik per

10
molekul enzim. Waktu paruh (half-time) Taq DNA polymerase pada

ͦ adalah 40 menit (Gelfand dan White, 1990). Deterjen non-


suhu 95 C

ionik Tween 20 (0,5 -1 %) dapat digunakan untuk meningkatkan

efisiensi Taq DNA polymerase. Senyawa tambahan lain yang juga

dapat meningkatkan efisiensi polimerasi Taq DNA polymerase adalah

DMSO, gelatin, gliserol, dan ammonium sulfat. Salah satu kelemahan

enzim Taq DNA polymerase adalah bahwa enzim tersebut mempunyai

potensi untuk melakukan kesalahan dalam menggabungkan nukleotida

sehingga ada kemungkinan terjadi mutasi pada fragmen gen hasil

amplifikasi. Meskipun demikian dengan kondisi yang tepat, kesalahan

penggabungan nukleotida semacam itu tidak terjadi seperti misalnya

hasil amplifikasi fragmen gen HIV-1 (5400 nukleotida) dengan siklus

amplifikasi 30 kali. Demikian juga halnya dengan hasil amplifikasi gen

ß-globin (14990 nukleotida). Dengan demikian , rata-rata frekuensi

kesalahan penggabungan nukleotida sekitar 5 X kesalahan per

nukleotida yang digabungkan per siklus, dengan menggunakan 25

siklus.

b. Tth DNA polimerse

Enzim DNA polimerse lain yang juga dapat digunakan untuk

melakukan PCR adalah Tth DNA polimerse. Enzim ini diisolasi dari

eubakteri thermofilik Thermus thermophilus HB8. Tth DNA polimerse

mempunyai prosesivitas yang tinggi dan tidak mempunyai aktivitas

eksonuklease 3’ → 5’. Enzim ini menunjukkan aktivitas tertinggi pada

11
pH 9 (pada suhu 25) dan suhu sekitar . Selain aktivitas polymerase,

enzim ini juga mempunyai aktiviatas transcriptase balik (reverse

transcriptase) intrinsik yang sangat efisien dengan adanya ion mangan.

Aktivitas trankriptase balik tersebut jauh lebih tinggi disbanding dengan

aktivitas serupa yang dimiliki oleh DNA polymerase I yang ada pada

Escherichia coli maupun pada Taq DNA polymerase. Tth DNA

polimerse juga dapat menggunakan substrad yang dimodifikasi

sehingga juga dapat digunakan untuk melabel fragmen DNA dengan

radionukleotida, digoxigenin maupun biotin.

Oleh karena enzim Tth DNA polimerse mempunyai aktivitas

transkiptase balik yang tinggi pada suhu tinggi maka enzim ini dapat

digunakan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya struktur

skunder pada molekul RNA. Dengan demikian, enzim ini dapat

digunakan untuk melakukan RT-PCR (reverse Transkriptase PCR).

Molekul cDNA yang diperoleh dari hasil reaksi transkripsi balik dapat

sekaligus diamplifikasi dengan menggunakan Tth DNA polimerse

dengan adanya ion . Enzim ini dapat dilakukan untuk melakukan RT-

PCR molekul RNA sampai ukuran 1000 pasangan basa.

c. Pwo DNA polymerase

Enzim Pwo DNA polymerase diisolasi dari

archaebacterihiperthermofilik Pyrococcus woesei. Enzim Pwo DNA

polymerase mempunyai berat molekul sekitar 90 kD. Enzim ini

mempunyai prosesivitas polimerasi 5’ 3’ yang tinggi, mempunyai

12
aktivitas eksonuklease , dan tidak menunjukkan aktivitas

eksonuklease . Pwo DNA polymerase mempunyai stabilitas thermal

yang lebih tinggi dibandingkan dengan Taq DNA polymerase. Waktu

paruh enzim ini lebih dari 2 jam pada suhu , sedangkan Taq DNA

polymerase hanya mempunyai waktu paruh 5 menit pada suhu ini.

Aktivitas eksonuklease 3’ 5’ (aktivitas proof-reading dalam proses

sintesis DNA) yang dimiliki oleh Pwo DNA polymerase meningkatkan

ketepatan (fidelity) proses sintesis DNA sepuluh kali lebih tinggi

dibandingkan dengan ketepatan yang dimiliki oleh Taq DNA

polymerase. Jika Taq DNA polimerse digunakan untuk mengamplikasi

sekuen DNA sepanjang 200 bp sebanyak satu juta kali maka kurang

lebih 56% produk amplifikasinya akan mangandung satu atau lebih

kesalahan. Sebalikya, jika enzim Pwo DNA polymerase yang digunakan

untuk amplifikasi maka hanya 10% produk amplifikasinya yang

mengandung kesalahan. Ketepatan proses polimerasi DNA secara in

vitro merupakan salah satu parameter paling penting dalam PCR. Hal

ini terutama sangat penting jika DNA atau RNA cetakan yang

digunakan hanya berjumlah sangat sedikit.

Hasil amplifikasi menggunakan Pwo DNA polymerase adalah

molekul DNA dengan ujung pepat/tumpul (blunt-ended) sehingga dapat

digunakan dalam proses ligasi ujung tumpul secara langsung tanpa

harus dilakukan modifikasi terhadap ujung-ujung molekul DNA. Oleh

13
karena sifat ketepatanya yang tinggi maka enzim ini sangat berguna

untuk aplikasi:

1) Cloning produk PCR

2) Studi polimorfisme alel dalam transkrip RNA individual

3) Karakterisasi mutasi yang jarang di dalam suatu jaringan

4) Karakterisasi status alel suatu sel tunggal atau DNA molekul

tunggal

5) Karakterisasi populasi sel dalam suatu kultur

d. Pfu dan Tli DNA polymerase

DNA polymerase lain yang dapat digunakan untuk PCR adalah

Pfu DNA polymerase dan Tli DNA polymerase. Pfu DNA polymerase

diisolasi dari Pyrococcus furiosis, mempunyai berat molekul 92 kD,

aktif pada suhu dan mempunyai aktivitas eksonuklease . Enzim ini

diketahui mempunyai laju kesalahan yang paling kecil disbanding

dengan enzim DNA polymerase yang lain. Produk amplifikasi dengan

menggunakan enzim ini adalah molekul DNA dengan ujung tumpul. Tli

DNA polymerase diisolasi dari jasad Thermococcus litoralis, sangat

stabil terhadap panas, aktivitas optimum pada suhu dan dapat

berfungsi meskipun diinkubasi pada suhu . Berat molekul enzim ini

dalah 90 kD. Enzim juga mempunyai aktivitas eksonuklease .

e. PCR buffer dan konsentrasi Mg2+

Buffer standar untuk PCR tersusun atas 50mM KCl, 10mM Tris-

Cl (pH8.3) dan 1.5mM MgCl2. Buffer standard ini akan bekerja dengan

14
baik untuk DNA template dan primer dengan kondisi tertentu, tetapi

mungkin tidak optimum dengan kombinasi yang lain. Produk PCR

buffer ini terkadang dijual dalam bentuk tanpa atau dengan MgCl 2.

Konsentrasi ion magnesium dalam PCR buffer merupakan faktor yang

sangat kritikal, karena kemungkinan dapat mempengaruhi proses

annealing primer, temperatur dissosiasi untai DNA template, dan

produk PCR. Hal ini disebabkan konsentrasi optimal ion Mg2+ itu

sangat rendah. Hal ini penting untuk preparasi DNA template yang tidak

mengandung konsentrasi chelating agent yang tinggi, seperti EDTA

atau phosphat. Ion Mg2+ yang bebas bila terlalu rendah atau tidak ada,

maka biasanya tidak menghasilkan produk akhir PCR, sedang bila

terlalu banyak ion Mg2+yang bebas akan menghasilkan produk PCR

yang tidak diinginkan.

D. Tahapan Proses PCR

PCR merupakan tehnik amplifikasi DNA selektif in vitro yang

meniru fenommena replikasi DNA in vivo. Komponen reaksi yang

diperlukan dalam teknik ini adalah untai tunggal DNA sebagai cetakan,

primer (sekuens oligonukleotida yang mengkomplementeri akhiran

sekuens cetakan DNA yang sudah ditentukan), dNTPs (deoxynucleotide

triphosphates), dan enzim TAQ polimerase yaitu enzim dari bakteri

Termovilus aquatikus.

Sejak ditemukannya struktur DNA untai ganda, kita mulai

memahami prinsip replikasi DNA terutama kaitannya dengan mekanisme

15
transfer materi genetik. Seperti yang telah dijelaskan dalam materi Asam

Nukleat dalam struktur DNA untai ganda tersebut, basa A dan T , juga C

dan G , memiliki ikatan hidgrogen yang mudah dirusak dan mudah

dibentuk kembali. Untuk melakukan replikasi, mula-mula ikatan hidrogen

tersebut harus dirusak dahulu agar DNA untai ganda berubah menjadi

untai tunggal. Kemudian karena A selalu berpasangan dengan T, dan C

selalu berpasangan dengan G, maka jika kita memiliki satu untai DNA

dengan sequens ACTAG, misalnya, maka kita dapat mencetak untai

komplementernya, yaitu TGATC, begitu juga sebaliknya. Pada prinsipnya,

reaksi PCR ( protokol PCR konvensional ) membutuhkan tiga tahap :

1. Denaturasi

Denaturasi merupakan proses memisahkan DNA menjadi utas

tunggal. Tahap denaturasi DNA biasanya dilakukan pada kisaran suhu

92 – 95 oC. Denaturasi awal dilakukan selama 1 – 3 menit diperlukan

untuk meyakinkan bahwa DNA telah terdenaturasi menjadi untai

tunggal. Denaturasi yang tidak berlangsung secara sempurna dapat

menyebabkan utas DNA terputus. Tahap denaturasi yang terlalu lama

dapat mengakibatkan hilangnya aktivitas enzim polimerase.

2.Annealing

Annealing merupakan proses penempelan primer. Tahap annealing

primer merupakan tahap terpenting dalam PCR, karena jika ada sedikit

saja kesalahan pada tahap ini maka akan mempengaruhi kemurnian

dan hasil akhir produk DNA yang diinginkan. Faktor yang

16
mempengaruhi tahap ini antara lain suhu annealing dan primer. Suhu

annealing yang terlalu rendah dapat mengakibatkan timbulnya pita

elektroforesis yang tidak spesifik, sedangkan suhu yang tinggi dapat

meningkatkan kespesifikan amplifikasi. Kenaikan suhu setelah tahap

annealing hingga mencapai 70–74oC bertujuan untuk mengaktifkan

enzim TaqDNA polimerase. Proses pemanjangan primer (tahap

extension) biasanya dilakukan pada suhu 72oC, yaitu suhu optimal

untuk TaqDNA polimerase. Selain itu, pada masa peralihan suhu dari

suhu annealing ke suhu extension sampai 70 oC juga menyebabkan

terputusnya ikatan-ikatan tidak spesifik antara DNA cetakan dengan

primer karena ikatan ini bersifat lemah. Selain suhu, semakin lama

waktu extension maka jumlah DNA yang tidak spesifik semakin banyak.

3. Elongasi

Elongasi merupakan proses pemanjangan DNA. Dalam tahap

extension atau sintesis DNA, enzim polimerase bergabung bersama

dengan nukleotida dan pemanjangan primer lengkap untuk sintesis

sebuah DNA utas ganda. Reaksi ini akan berubah dari satu siklus ke

siklus selanjutnya mengikuti perubahan konsentrasi DNA.

Hasil sintesa DNA dalam satu siklus dapat berperan sebagai

cetakan (template) pada siklus berikutnya sehingga jumlah DNA target

menjadi berlipat dua pada setiap akhir siklus. Dengan kata lain DNA

target meningkat secara eksponensial, sehingga setelah 30 siklus akan

menjadi milyaran amplifikasi DNA target.

17
Ketiga tahap siklus tersebut diulang sesuai dengan jumlah siklus

amplifikasi. Pada siklus pertama dua untai tunggal DNA cetakan akan

disalin menjadi 2 DNA untai ganda. Pada siklus kedua, 2 DNA cetakan

untai ganda masing-masing akan bertindak sebagai cetakan sehingga

pada siklus kedua dihasilkan jumlah 4 DNA untai ganda. Pada siklus

berikutnya akan dihasilkan jumlah DNA secara eksponensial, dimana

pada siklus ketiga DNA akan disalin menjadi 8 kali, siklus ke 10 menjadi

1.024 kali, siklus 30 menjadi 1.073.741.824 dan seterusnya. Pada akhir

siklus, DNA cetakan akan digandakan secara eksponensial sehingga

dihasilkan DNA dalam jumlah yang berlipat ganda hanya dalam waktu

yang relatif singkat sekitar 3-4 jam.

E. Optimasi PCR

Untuk mendapatkan hasil PCR yang optimal perlu dilakukan

optimasi proses PCR. Secara umum optimasi proses PCR dapat

dilakukan dengan cara memvariasikan kondisi yang digunakan pada

proses PCR tersebut. Optimasi kondisi berkaitan erat dengan faktor-faktor

seperti jenis polimerase DNA; suhu; konsentrasi, dalam hal ini berkaitan

dengan dNTPs, MgCl2 dan DNA polimerase; buffer PCR dan waktu.

1. Jenis Polimerasi DNA

Kemampuan mengkatalisis reaksi polimerasi DNA pada proses PCR

yang terjadi pada tahap ekstensi untuk DNA rantai panjang akan

berbeda dengan untuk DNA rantai pendek. Penggunaan jenis DNA

polimerase tergantung pada panjang DNA target yang akan

18
diamplifikasi. Untuk panjang fragmen DNA lebih besar dari tiga

kilobasa akan memerlukan jenis polimerase dengan aktivitas tinggi.

2. Konsentrasi dNTPs, MgCl2; polimerase DNA

Konsentrasi optimal dNTPs ditentukan oleh panjang target DNA

yang diamplifikasi. Untuk panjang target DNA kurang dari satu kilobasa

biasanya digunakan konsentrasi dNTPs sebanyak 100 uM, sedangkan

untuk panjang target DNA lebih besar dari satu kilobasa diperlukan

konsentrasi dNTPs sebanyak 200 uM.

Umumnya konsentrasi optimal MgCl2 berkisar antara 1,0 – 1,5

mM. Konsentrasi MgCl2 yang terlalu rendah akan menurunkan

perolehan PCR. Sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi akan

menyebabkan akumulasi produk non target yang disebabkan oleh

terjadinya mispriming.

Jumlah polimerase DNA yang digunakan tergantung pada

panjang fragmen DNA yang akan diamplifikasi. Untuk panjang fragmen

DNA kurang dari dua kilobasa diperlukan 1,25 – 2 unit per 50 uL

campuran reaksi, sedangkan untuk panjang fragmen DNA lebih besar

dari dua kilobasa diperlukan 3 – unit per 50 uL campuran reaksi.

3. Suhu

Pemilihan suhu pada proses PCR sangat penting karena suhu

merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu

PCR. Dalam hal ini suhu berkaitan dengan proses denaturasi DNA

templat, annealing dan ekstensi primer. Suhu denaturasi DNA templat

19
berkisar antara 93 – 95oC, ini semua tergantung pada panjang DNA

templat yang digunakan dan juga pada panjang fragmen DNA target.

Suhu denaturasi yang terlalu tinggi akan menurunkan aktivitas

polimerase DNA yang akan berdampak pada efisiensi PCR. Selain itu

juga dapat merusak DNA templat, sedangkan suhu yang terlalu rendah

dapat menyebabkan proses denaturasi DNA templat tidak sempurna.

Pada umumnya suhu denaturasi yang digunakan adalah 94oC.

Secara umum suhu annealing yang digunakan berkisar antara 37 -

60oC. Pemilihan suhu annealing berkaitan dengan Tm primer yang

digunakan untuK proses PCR. Suhu annealing yang digunakan dapat

dihitung berdasarkan (Tm– 5)oC sampai dengan (Tm + 5)oC. Dalam

menentukan suhu annealing yang digunakan perlu diperhatikan adanya

mispriming pada daerah target dan non-target, dan keberhasilan suatu

proses PCR akan ditentukan oleh eksperimen. Proses ekstensi primer

pada proses PCR selalu dilakukan pada suhu 72oC karena suhu

tersebut merupakan suhu optimum polimerase DNA yang biasa

digunakan untuk proses PCR.

4. Buffer PCR

Buffer PCR yang digunakan berkaitan dengan pH dan kapasitas

buffer nya. Dalam perdagangan ada dua jenis buffer PCR yaitu “Low-

salt buffer” (pH 8,75 dan kapasitas buffer rendah) dan “High-salt buffer”

(pH 9,2 dan kapasitas buffer tinggi). Umumnya buffer PCR tersedia

sesuai dengan jenis polimerase DNA nya. Penggunaan jenis buffer ini

20
tergantung pada DNA target yang akan diamplifikasi. Untuk panjang

DNA target antara 0 – 5 kilobasa biasanya diperlukan “low-salt buffer”

sedangkan untuk panjang DNA target lebih besar dari lima kilobasa

digunakan “high-salt buffer”.

5. Waktu

Pemilihan waktu yang digunakan berkaitan dengan proses

denaturasi DNA templat, annealing dan ekstensi primer. Untuk

denaturasi DNA templat umumnya dilakukan selama 30 – 90 detik, ini

semua tergantung pada DNA templat yang digunakan. Waktu

denaturasi yang terlalu lama akan merusak templat DNA dan sekaligus

dapat menurunkan aktivitas polimerase DNA. Sedangkan waktu

denaturasi yang terlalu pendek akan menyebabkan proses denaturasi

tidak sempurna.

Penentuan waktu untuk proses annealing berkaitan dengan

panjang primer. Untuk panjang primer 18 – 22 basa cukup dengan 30

detik, sedangkan untuk panjang primer lebih besar dari 22 basa

diperlukan waktu annealing 60 detik.

Pemilihan waktu ekstensi primer tergantung pada panjang fragmen

DNA yang akan diamplifikasi. Secara umum untuk mengamplifikasi

setiap satu kilo basa DNA diperlukan waktu 30 – 60 detik. Pada setiap

melakukan PCR harus dilakukan juga kontrol positif, ini diperlukan

untuk memudahkan pemecahan masalah apabila terjadi hal yang tidak

21
diinginkan. Selain itu juga harus dilakukan terhadap kontrol negatif

untuk menghindari kesalahan positif semu.

F. Aplikasi PCR

Aplikasi PCR utama dibidang klinis adalah untuk diagnosis, dan

kloning. Yang paling sering dipakai di bidang klinis saat ini adalah untuk

diagnosis, yaitu untuk deteksi patogen infeksius dan identifikasi mutasi

pada gen yang berkaitan dengan faktor resiko penyakit.

Untuk aplikasi PCR dibidang klinis tersebut, telah dikembangkan

berbagai macam teknis berbasis PCR, antara lain :

1. RFLP-PCR (restriction fragment lenght polymorphisms)

Pada prinsipnya, teknik ini dimanfaatkan untuk deteksi

polimorfisme. Secara umum teknik ini menggunakan enzim restriksi untuk

mengetahui adanya polimorfisme (RFLP), dan produk hasil digesti

tersebut diamplifikasi dengan PCR (RFLP-PCR).

Teknik PCR yang mirip dengan teknik diatas AFLP-PCR

(amplification fragment lenght polymorphisme) yang digunakan untuk

membedakan isolat atau spesies yang berbeda berdasarkan daerah

enzim restriksi (polimorfisme daerah restriksi)

2. VNTR-PCR (variable number of tandem repeat sequence), dan

STR-PCR (short tandem repeats).

Teknik ini sering digunakan untuk tujuan forensi. Dengan

menggunakan primer yang tepat, variasi sekuens pengulangan berurutan

yang terdapat pada DNA sampel dapat diketahui.

22
3. Skreening / deteksi mutasi berbasis PCR

Dahulu, skreening/ deteksi mutasi dapat dilakukan dengan PCR

konvensional (misalnya dengan BESS-T-Scan (Base Excision Sequence

Scanning)) untuk mendeteksi mutasi T/A atau T / A, atau Amplification

refractory mutation system (ARMS) untuk mendeteksi point mutation

melalui priming oligonukleotida kompetitif.

4. PCR kuantitatif

Untuk keperluan diagnosis dan penilaian kemajuan tetapi kadang

membutuhkan pemeriksaan yang bersifat kuantitatif.

5. PCR konvensional

Dapat digunakan untuk mendapatkan data kuantitatif tersebut

dengan menggunakan kompetitor (internal exogenous standard) atau

dengan housekeeping gene(internal endogenous standard). Namun saat

ini, penggunaan PCR konvensional untuk PCR kuantitatif telah

digantikan real-time PCR. PCR dirancang pada tahun 1985 dab telah

memberikan dampak besar pada penelitian biologis dan bioteknologi.

PCR telah digunakan untuk memperkuat DNA dari berbagai macam

sumber misalnya fragmen DNA kuno dari gajah purba (mammoth) berbulu

yang telah membeku selama 40.000 tahun; DNA dari sedikit darah;,

jaringan, atau air mani yang ditemukan di tempat kejadian perkara

kriminal; DNA dari sel embrionik tunggal untuk diagnosis kelainan genetik

sebelum kelahiran dan DNA gen virus dari sel yang diinfeksi oleh virus

yang sulit terdeteksi seperti HIV.

23
Menurut Darmo dan Ari (2000), teknik PCR dapat didayagunakan

(kadang dengan modifikasi) guna fasilitasi analisis gen. Selain itu telah

dikembangkan banyak sekali aplikasi praktis. Sebagai contoh teknik dan

aplikasi PCR dapat disebutkan sebagai berikut: kloning hasil PCR;

sekuensing hasil PCR; kajian evolusi molekular; deteksi mutasi ( penyakit

genetik; determinasi seks pada sel prenatal; kajian forensik (tersangka

kriminal, tersangka ayah pada kasus paternal); dan masih banyak lainnya.

Pendapat lain mengenai manfaat dan aplikasi PCR juga dikemukakan

oleh Sunarto (1996) yang menyebutkan bahwa PCR dapat digunakan

sebagai alat diagnosis penyakit thalesemia. Menurut Sunarto sebelum

cara PCR ditemukan analisis DNA dilakukan dengan prosedur yang

panjang dan rumit, yaitu pertama-tama membentuk perpustakaan (library

construction) melalui digesti dengan endonuklease restriktif dan kloning,

kemudian skrining, mapping, subkloning dan terakhir sekuensing. Tetapi

dengan adanya PCR dalam waktu 24 jam sejak pencuplikan vili korialis

(chorionic villous sampling) diagnosis prenatal sudah dapat ditegakkan

dan berdasarkan prinsip PCR telah dikembangkan cara diagnostik

molekular yang terbukti sangat akurat.

Saat ini PCR sudah digunakan secara luas untuk berbagai macam

kebutuhan, diantaranya:

a. Isolasi Gen

DNA makhluk hidup memiliki ukuran yang sangat besar, DNA

manusia panjangnya sekitar 3 miliar basa, dan di dalamnya mengandung

24
ribuan gen. Sebagaimana fungsi utama DNA adalah sebagai sandi

genetik, yaitu sebagai panduan sel dalam memproduksi protein, DNA

ditranskrip menghasilkan RNA, RNA kemudian diterjemahkan untuk

menghasilkan rantai asam amino alias protein. Dari sekian panjang DNA

genome, bagian yang menyandikan protein inilah yang disebut gen,

sisanya tidak menyandikan protein atau disebut ‘junk DNA’, DNA ‘sampah’

yang fungsinya belum diketahui dengan baik. Kembali ke pembahasan

isolasi gen, para ahli seringkali membutuhkan gen tertentu untuk diisolasi.

Contoh, sebelumnya mengekstrak insulin langsung dari pankreas sapi

atau babi, kemudian menjadikannya obat diabetes, proses yang rumit dan

tentu saja mahal serta memiliki efek samping karena insulin dari sapi atau

babi tidak benar-benar sama dengan insulin manusia. Berkat teknologi

rekayasa genetik, kini mereka dapat mengisolasi gen penghasil insulin

dari DNA genome manusia, lalu menyisipkannya ke sel bakteri (dalam hal

ini E. coli) agar bakteri dapat memproduksi insulin juga. Hasilnya insulin

yang sama persis dengan yang dihasilkan dalam tubuh manusia, dan

sekarang insulin tinggal diekstrak dari bakteri, lebih cepat, mudah, dan

tentunya lebih murah ketimbang cara konvensional yang harus

‘mengorbankan’ sapi atau babi. Untuk mengisolasi gen, diperlukan DNA

pencari atau dikenal dengan nama ‘probe’ yang memiliki urutan basa

nukleotida sama dengan gen yang kita inginkan. Probe ini bisa dibuat

dengan teknik PCR menggunakan primer yang sesuai dengan gen

tersebut.

25
b. DNA Sequencing

Urutan basa suatu DNA dapat ditentukan dengan teknik DNA

Sequencing, metode yang umum digunakan saat ini adalah metode

Sanger (chain termination method) yang sudah dimodifikasi menggunakan

dye-dideoxy terminator, dimana proses awalnya adalah reaksi PCR

dengan pereaksi yang agak berbeda, yaitu hanya menggunakan satu

primer (PCR biasa menggunakan 2 primer) dan adanya tambahan

dideoxynucleotide yang dilabel fluorescent. Karena warna fluorescent

untuk setiap basa berbeda, maka urutan basa suatu DNA yang tidak

diketahui bisa ditentukan.

c. Forensik

Identifikasi seseorang yang terlibat kejahatan (baik pelaku maupun

korban), atau korban kecelakaan/bencana kadang sulit dilakukan. Jika

identifikasi secara fisik sulit atau tidak mungkin lagi dilakukan, maka

pengujian DNA adalah pilihan yang tepat. DNA dapat diambil dari bagian

tubuh manapun, kemudian dilakukan analisa PCR untuk mengamplifikasi

bagian-bagian tertentu DNA yang disebut fingerprints alias DNA sidik jari,

yaitu bagian yang unik bagi setiap orang. Hasilnya dibandingkan dengan

DNA sidik jari keluarganya yang memiliki pertalian darah, misalnya ibu

atau bapak kandung. Jika memiliki kecocokan yang sangat tinggi maka

bisa dipastikan identitas orang yang dimaksud. Konon banyak kalangan

tertentu yang memanfaatkan pengujian ini untuk menelusuri orang tua

‘sesungguhnya’ dari seorang anak jika sang orang tua merasa ragu.

26
d. Diagnosa Penyakit

Penyakit Influenza A (H1N1) yang sebelumnya disebut flu babi

sedang mewabah saat ini, bahkan satu fase lagi dari fase pandemi.

Penyakit berbahaya seperti ini memerlukan diagnosa yang cepat dan

akurat. PCR merupakan teknik yang sering digunakan. Teknologi saat ini

memungkinkan diagnosa dalam hitungan jam dengan hasil akurat.

Disebut akurat karena PCR mengamplifikasi daerah tertentu DNA yang

merupakan ciri khas virus Influenza A (H1N1) yang tidak dimiliki oleh virus

atau makhluk lainnya.

Berdasarkan uraian diatas penemuan dan manfaat teknik PCR ini

berdampak sangat luas terhadap kemajuan sains dan teknologi secara

umum yaitu antara lain sebagai berikut:

1. Memperkuat gen spesifik sebelum diklon.

2. Membuat fragmen gen DNA secara berlimpah

3. Dapat mendeteksi DNA gen virus yang sulit untuk dideteksi

4. Dapat mendeteksi/ mendiagnosis DNA sel embrionik yang mengalami

kelainan sebelum dilahirkan.

5. Bidang kedokteran forensik. Contohnya mendeteksi penyakit yang

dapat menginfeksi, variasi dan mutasi dari gen.

6. Mengetahui hubungan kekerabatan antar spesies atau untuk

mengetahui dari mana spesies tersebut berasal.

7. Melacak asal usul seseorang dengan membandingkan “finger print

27
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Reaksi Polimerase Berantai atau dikenal sebagai Polymerase

Chain Reaction (PCR), merupakan suatu proses sintesis enzimatik untuk

melipatgandakan suatu sekuens nukleotida tertentu secara in vitro. PCR

merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan

(replikasi) DNA secara enzimatik tanpa menggunakan organisme.

Prinsip dasar dari proses PCR yaitu Tahap pertama Denaturasi.

Tahap 2 penempelan. Tahap 3 elongasi. Ketiga tahap siklus tersebut

diulang sesuai dengan jumlah siklus amplifikasi. Pada siklus pertama

dua untai tunggal DNA cetakan akan disalin menjadi 2 DNA untai ganda.

Pada siklus kedua, 2 DNA cetakan untai ganda masing-masing akan

bertindak sebagai cetakan sehingga pada siklus kedua dihasilkan jumlah

4 DNA untai ganda. Pada siklus berikutnya akan dihasilkan jumlah DNA

secara eksponensial, dimana pada siklus ketiga DNA akan disalin

menjadi 8 kali, siklus ke 10 menjadi 1.024 kali, siklus 30 menjadi

1.073.741.824 dan seterusnya

Adapun komponen dari PCR yaitu DNA cetakan, Oligonukleutida

primer, DNA polymerase, Larutan Buffer, dan Deoksiribonukleotida

trifosfat (dNTP)

Contoh aplikasi PCR antara lain yaitu proses Isolasi Gen, DNA

Sequencing, Forensik dan Diagnosa penyakit.

28
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. “Makalah Genetika PCR”.


(Online). http://apikdewefppundip 2011.wordpress.com/2012/06/29/m
akalah-genetika-pcr-polimerase-chain-reaction/.
Budi, Siska. 2012. “PCR ( Polymerase Chain Reaction
)” (Online).http://siska-theanalyst.blogspot.com/2012/06/pcr-
polymerase-chain-reaction.html.
Yudha. 2012. “Polymerase Chain Reaction (PCR)”. (Online). http://biologi-
yudha. blogspot .com /2012/ 06/ polymerase-chain-reaction-pcr.html.

29

Anda mungkin juga menyukai