Anda di halaman 1dari 34

Tugas Stase Imunologi 1

TUGAS STASE IMUNOLOGI-1 (Selasa 18 September 2018)


Nama : Emelia Wijayanti
Pembimbing : Dr. dr. I. Edward K. S. L., M.M., M.H.Kes., Sp.PK., M.Si.Med.

1. Parameter HIV & Indikasi/ Kegunaan


 Ag: Envelope, Capsid, Core  yang tersedia di psaran yang mana?
 Western blot
 PCR/ Viral Load
 CD4  penentuan terapi, prognosis, monitoring evaluasi
 Dotblot itu apa?
2. Parameter DBD
 NS1, IgM, IgG, Anti Dengue
 Hari ke Berapa dapat diperiksa & menurun/ berhenti pada hari ke berapa?
 IgM +, IgG+  Artinya? Bukan serotipe lain
3. Parameter Typhoid
4. Parameter TORCH (Sifilis tidak usah)
*Patofisiologi & Patoimunologi setiap Penyakit  Parameter Laboratorium  Metode
Pemeriksaan

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 1


Tugas Stase Imunologi 1
Parameter HIV

Virus Protein Location Gene


HIV-1 gp-41 Envelope (transmembrane protein) env
gp-160/ 120 Envelope (external protein)
p-17/ p-18 Capsid
p-24 Core (major structural protein) gag
HIV-2 gp-34/ gp-36 Envelope (transmembrane protein) env
gp-140 Envelope (external protein)
Capsid
p26 Core (major structural protein) gag

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 2


Tugas Stase Imunologi 1

Pemeriksaan HIV
Tujuan
 Keamananan Tranfusi & Tranplantasi
 Surveilans
 Menegakkan Diagnosis
 Monitoring pengobatan

Pemeriksaan Laboratorium

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 3


Tugas Stase Imunologi 1
1. Komponen Humoral (Antigen-Antibodi )/ Pemeriksaan Serologi
a. Pemeriksaan Penyaring : Rapid Test (Aglutinasi, Imunokromatografi, Dot Blot
Immunoassay), EIA
b. Pemeriksaan Konfirmasi: Western Blot
2. Komponen Selular ( CD4 = T- Helper  Imunofenotyping Flowcitometri & Cell Sorter)
3. Viral Load (PCR)

Bahan Pemeriksaan
 Blood : Serum, Plasma, Whole Blood, Dried Blood Spot
 Non Blood : Urine,oral fluid/saliva, cairan vagina, cairan otak

Prinsip Pemeriksaan Imunokromatografi


• Specimen yang di teteskan pada ruang membrane bereaksi dengan partikel yang telah
dilapisi dengan protein A yang terdapat pada bantalan specimen à bergerak secara
kromatografi & bereaksi dengan antigen HIV rekombinan yang terdapat pada garis test
• Spesimen mengandung antibody HIV à timbul garis warna

Dot Blot/ Imunokonsentrasi: Antibodi HIV berikatan dengan Antigen Peptida  Spot
WARNA

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 4


Tugas Stase Imunologi 1

Prinsip Pemeriksaan Western Blot


1. Fraksi protein dipisahkan dengan elektroforesis pada gel poliakrilimida
2. Fraksi protein dipindah ke membran  replika pola fraksi protein
3. Membran disaturasikan untuk menghindari pengikatan Ab non spesifik
4. Membran direaksikan dengan Ab primer
5. Membran direaksikan dengan Ab sekunder spesifik Ab Primer (Ab sekunder
dikonjugasikan dengan enzim sebelumnya)
6. Pita Protein yang berlabel enzim + Substrat Kromogen  Produk berwarna\

CD4
 Mengindentifikasi karakteristik permukaan cell dengan memisahkan cell yang berada
dalam suatu suspensi
 Menggunakan ³1 Probe yang sesuai secara automatis melalui celah yang diteruskan oleh
seberkas sinar laser

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 5


Tugas Stase Imunologi 1
Viral Load/ Polymerase Chain Reaction (PCR) HIV
 Jumlah partikel virus HIV yang ditemukan dalam darah
 Semakin banyak Σ partikel virus
dalam darah  semakin besar
kerusakan Sel CD4
 Pemeriksaan awalan/ baseline + CD4
untuk menentukan kapan mulai terapi,
Pemeriksaan setelah terapi (2-4
minggu post terapi) untuk respon
pengobatan – 4-6bulan/ VL tidak
terdeteksi; Pemeriksaan selama terapi
+CD4 (tiap 3-4bulan) untuk
memantau efektifitas terapi
PCR : teknologi yang menghasilkan turunan/kopi berlipat ganda sekuen nukleotida dari
organisme target, mendeteksi target organisme dalam Σ sangat rendah & spesifitas tinggi.

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 6


Tugas Stase Imunologi 1
Parameter DBD

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 7


Tugas Stase Imunologi 1

 Viremia: Virus Dengue masuk & replikasi dengan Monosit, Sel Mast, Fibroblas
 Respon Imun Bawaan
 Aktivasi Komplemen  kemoktaksis & anafilaktosis  histamin  permeabilitas
vaskular
 Pelepasan Sitokin TNFa, IL1, IL6, IL8, IL2  destruksi trombosit) &
 Respon Imun Adaptif
 Ab dependent enhacement  permeabilitas vaskular & infeksi severe
 Aktivasi sel T – CD4 & CD8)

Protein Virus Dengue : 11kb Genom  mengkode 10 Protein Virus (3Protein Struktural E
protein envelope, M Protein membran, C protein core) & 7 protein non struktural (NS1,
NS2a, NS2b, NS3, NS4b, dan NS5)

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 8


Tugas Stase Imunologi 1
Pemeriksaan Laboratorium DBD
1. Kultur Virus
a. RNA virus dengue
b. Ag spesifik virus dengue: NS1
2. Antibodi anti-dengue virus (IgM, IgG)

NS1
 Glikoprotein nonstruktural dengan bm 46-50kD untuk replikasi virus, bukan merupakan
bagian struktur virus tetapi diepkpresikan pada permukaan sel yang terinfeksi
 Diagnosis infkesi primer
 Selama replikasi, beberapa protein virus non struktural berfungsi membantu replikasi
 Sensitivitas 89%, spesifisitas 79%

IgM
 Meningkat dengan cepat
 Muncul Hari 3-5  Mencapai puncak 2 minggu/ 1-3 ,minggu setelah onset gejala
 Menurun/ tidak terdeteksi sampai 2-3 bulan

Ig G
 Infeksi Primer: mucul hari 14
 Infeksi Sekunder: muncul hari 2 diikuti peningkatan Ig M pada hari 5
 Ig G tetap positif sampai waktu yang lama, mungkin selama hidup
 Infeksi Primer  rasio IgM/IgG > 1.5

PRIMER SEKUNDER
https://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/laboratory.html

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 9


Tugas Stase Imunologi 1

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 10


Tugas Stase Imunologi 1

Dengue Virus enters host cells by receptor-mediated endocytosis, which involves binding
through the interaction between the surface proteins of virion (E) and cellular receptors on the
surface of target cell. Once the virus has entered a host cell, the virus penetrates deeper into
the cell and remains inside the endosome. Two conditions are needed for the dengue virus to
exit the endosome which are:
1. The endosome must be deep inside the cell where the environment is acidic and
2. The endosomal membrane must gain a negative charge.

 Virus Dengue memasuki sel inang oleh endositosis dimediasi reseptor, melibatkan
pengikatan melalui interaksi antara protein permukaan virion (E) dan reseptor seluler
pada permukaan sel target
 Setelah virus memasuki sel tuan rumah, virus menembus lebih dalam ke dalam sel dan
tetap berada di dalam endosome
Dua kondisi diperlukan untuk virus dengue untuk keluar dari endosome yaitu:
1. Endosome harus jauh di dalam sel di mana lingkungannya bersifat asam dan
2. Membran endosom harus mendapatkan muatan negatif.
These conditions allow the virus envelope to fuse with the endosomal membrane, releasing
the dengue nucleocapsid in the cell cytoplasm and the nucleocapsid uncoated to release viral
genome. The viral genome act as mRNA and is translated into polyprotein at rough
endoplasmic reticulum by viral and cellular proteases. Non-structural proteins replicate the
viral RNA. Viral replication occurs in two steps, first the positive-mRNA is copied to
negative sense RNA, which, in turn, serves as a template for the synthesis of multiple strands
of positive sense RNAs. Then the positive-sense RNA can be used for translation. Virus
assembly occurs at the endoplasmic reticulum (ER) membrane, where C protein enclose the
newly synthesized vRNA, forming nucleocapsid. The nucleocapsids are enveloped by the ER
membrane and glycoproteins to form immature virus particles. Finally, immature virus
particles travel in vesicles to the Golgi apparatus where they undergo glycosylation and in the
acidic environment of the trans- Golgi network (TGN), furin-mediated cleavage of prM in M
generates maturation of the virus. Mature virus is released from the cell by exocytosis.

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 11


Tugas Stase Imunologi 1

Kondisi ini memungkinkan amplop virus menyatu dengan membran endosomal, melepaskan
nukleokapsid dengue dalam sitoplasma sel dan nukleokapsid yang tidak dilapisi untuk
melepaskan genom virus. Genom virus bertindak sebagai mRNA dan diterjemahkan ke dalam
polyprotein pada retikulum endoplasma kasar oleh protease virus dan seluler. Protein non-
struktural mereplikasi RNA virus. Replikasi virus terjadi dalam dua langkah, pertama-mRNA
positif disalin ke RNA rasa negatif, yang, pada gilirannya, berfungsi sebagai template untuk
sintesis beberapa helai RNA perasaan positif. Kemudian RNA positif-sense dapat digunakan
untuk penerjemahan. Perakitan virus terjadi di membran retikulum endoplasma (ER), di mana
protein C melingkupi vRNA yang baru disintesis, membentuk nukleokapsid. Nukleokapsid
diselimuti oleh membran ER dan glikoprotein untuk membentuk partikel virus yang belum
matang. Akhirnya, partikel-partikel virus yang belum matang bergerak dalam vesikel ke
aparat Golgi di mana mereka menjalani glikosilasi dan di lingkungan asam dari jaringan
trans-Golgi (TGN), pembelahan prM dalam furin-dimediasi dalam M menghasilkan
pematangan virus. Virus dewasa dilepaskan dari sel dengan eksositosis.
In secondary infection with a heterologous serotype, which reportedly leads to more severe
disease, Antibody dependent enhancement (ADE) can mediate virus attachment and uptake.
The ADE model postulates that non-neutralizing antibodies can interact with the DENV and
facilitate viral entry into monocytes and macrophages via Fc receptors. However DEN-2 may
enter human peripheral blood monocytes by direct fusion with the plasma membrane. DENV
has been shown to infect numerous cell lines in vitro including endothelial cells, B and T
cells, and hepatocytes. However one important target cell type for DVI in Vivo is cell of
monocyte lineage.
Pada infeksi sekunder dengan serotipe heterologus, yang dilaporkan menyebabkan penyakit
yang lebih berat, peningkatan ketergantungan antibodi (ADE) dapat memediasi keterikatan
dan serapan virus. Model ADE mendalilkan bahwa antibodi non neutralizing dapat
berinteraksi dengan DENV dan memfasilitasi masuknya virus ke monosit dan makrofag
melalui reseptor Fc. Namun DEN-2 dapat memasuki monosit darah perifer manusia dengan
fusi langsung dengan membran plasma. DENV telah terbukti menginfeksi banyak jalur sel in
vitro termasuk sel-sel endotel, B dan sel T, dan hepatosit. Namun satu jenis target sel penting
untuk DVI di Vivo adalah sel garis keturunan monocyte
1. HIA (Hemagglutinin Inhibition assay): test antibody against hemagglutinin spike of
virus.
2. FAT (Fluorescence antibody test): detects virus antigen using virus specific
antibody
3. MAC-ELISA (IgM capture ELISA): detects Dengue specific IgM antibody.it can
distinguish primary infection from secondary infection. In primary infection ration of
IgM to IgG is greater than 1.5
4. Ig G ELISA
5. Neutralization test: detect antibody against dengue
6. Virus isolation: mosquito cell line culture with patient serum.
7. Nucleic acid detection: RT-PCR is used to detect virus genome.
 PCR
DENV can be detected in the blood (serum) from patients for approximately the first 5 days
of symptoms. Currently, several PCR tests are employed to detect the viral genome in serum.
In addition, virus can be isolated and sequenced for additional characterization. Real time
RT–PCR assays have been developed and automated; but none of these tests are yet
commercially available. Because antibodies are detected later, RT–PCR has become a
primary tool to detect virus early in the course of illness. Current tests are between 80-90%
sensitive, and more that 95% specific. A positive PCR result is a definite proof of current
infection and it usually confirms the infecting serotype as well. However, a negative result is
interpreted as “indeterminate”. Patients receiving negative results before 5 days of illness are

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 12


Tugas Stase Imunologi 1
usually asked to submit a second serum sample for serological confirmation after the 5th day
of illness (bellow).
 MAC ELISA
IgM antibody capture ELISA (MAC-ELISA) format is most commonly employed in
diagnostic laboratories and commercial available diagnostic kits. The assay is based on
capturing human IgM antibodies on a microtiter plate using anti-human-IgM antibody
followed by the addition of dengue virus specific antigen (DENV1-4). The antigens used for
this assay are derived from the envelope protein of the virus. One of the limitation of this
testing is the cross reactivity between other circulating flaviviruses. This limitation must be
considered when working in regions where multiple flaviviruses co-circulate. IgM detection
is not useful for dengue serotype determination due to cross-reactivity of the antibody.
 IgG ELISA
The IgG ELISA used for the detection of a past dengue infection utilizes the same viral
antigens as the MAC ELISA. This assay correlates with the hemagglutination assay (HI)
previously used. In general IgG ELISA lacks specificity within the flavivirus serocomplex
groups. Primary versus secondary dengue infection can be determined using a simple
algorithm. Samples with a negative IgG in the acute phase and a positive IgG in the
convalescent phase of the infection are primary dengue infections. Samples with a positive
IgG in the acute phase and a 4 fold rise in IgG titer in the convalescent phase (with at least a
7 day interval between the two samples) is a secondary dengue infection.
 NS1 ELISA
The non-structural protein 1 (NS1) of the dengue viral genome has been shown to be useful
as a tool for the diagnosis of acute dengue infections. Dengue NS1 antigen has been detected
in the serum of DENV infected patients as early as 1 day post onset of symptoms (DPO), and
up to 18 DPO. The NS1 ELISA based antigen assay is commercially available for DENV and
many investigators have evaluated this assay for sensitivity and specificity. The NS1 assay
may also be useful for differential diagnostics between flaviviruses because of the specificity
of the assay.Plaque Reduction and Neutralization Test (PRNT) and the microneutralization
PRNT can be used when a serological specific diagnostic is required, as this assay is the most
specific serological tool for the determination of dengue antibodies The PRNT test is used to
determine the infecting serotype in convalescent sera. This assay measures the titer of the
neutralizing antibodies in the serum of the infected individual and determines the level of
protective antibodies this individual has towards the infecting virus. The assay is a biological
assay based on the principle of interaction of virus and antibody resulting in inactivation of
virus such that it is no longer able to infect and replicate in cell culture. Some of the
variability of this assay is differences in interpretation of the results because of the cell lines
and virus seeds used as well as the dilution of the sera.

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 13


Tugas Stase Imunologi 1
Parameter Thypoid

Antigen :
 O= cell envelope or Antigen O
 H= flagellar (motile cells only) antigen
 K = capsular polysaccharide antigen
 Vi (virulence) = Salmonella capsular antigen
S. Typhi dapat bertahan intraseluler dan bereplikasi di makrofag karena :
 Fusi lisosom dan fagosom
 Defensin à bertahan mekanisme proses oxygen-dependent &oxygen-
independent killing
 Antigen Kapsular Vi à bertahan dari komplemen

Pemeriksaan Laboratorium
1. Antibodi
a. Widal
b. Tes Tubex
c. Salmonella typhi IgG dan IgM ELISA
d. Rapid test IgG dan IgM
2. Antigen
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman;
4. Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella typhi dalam darah dengan teknik
hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chainreaction
(PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk Salmonella typhi
5. Pemeriksaan Kultur pada demam typhoid: mencari kuman Salmonella dalam darah
Pengambilan spesimen sebaiknya dilakukan pada minggu pertama timbulnya penyakit,
karena kemunginan positif mencapai 80-90% (khususnya pada pasien yang belum
mendapat terapi antibiotik). Pada minggu ke 3 kemungkinan positif menjadi 20-25%
Pada minggu ke 4 hanya 10-15%
Prinsip : Bekuan darah + media Gall atau Bile 1% dalam Pepton Water (1:1) diinkubasi
37C selama 24 jam dalam suasana aerob., kemudian dilakukan penanaman media
differensial, kuman yang meragikan laktosa (laktosa positif) maka pemeriksaan tidak
dilanjutkan, dan bila kuman tidak meragi laktosa (laktosa negatif) maka pemeriksaan
dilanjutkan untuk mencari kuman Salmonella.

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 14


Tugas Stase Imunologi 1

Uji Widal :
Penentuan kadar aglutinasi antibodi terhadap antigen O ( somatik ) dan H ( flagellar ) S.Typhi
Prinsip : Reaksi Aglutinasi AB pasien + Ag S.Typhii
 Antibody in the serum produced in the response to Salmonella organism, the kit contains
antigen suspensions that are killed bacteria and they were stained to enhance the reading
of agglutination tests
 The blue stained antigens are specific to the somatic antigens (O-Ag), while the red
stained antigens are specific to the flagella antigens (H-Ag).
Kelemahan :
 Spesifisitas rendah
 Negatif Palsu 30%
 Ag H >>> karena reaksi silang (salmonela non tifoid, malaria dan vaksin) à Daerah
endemis cukup diperiksa titer Ab O S.Typhii saja.
Antibodi Antigen O : setelah 6-8 hari dari awal penyakit  Infeksi Akut
Antibodi Antigen H : 10-12 hari dari awal penyakit  Imunisasi/ Pernah terInfeksi
Peningkatan 4x lipat dalam waktu 2-3 minggu

Tubex Tes
 Tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
 Menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas
 Menggunakan antigen O yang benar-benar
spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella à O9 LPS
 Hanya mendeteksi adanya antibodi IgM
dan tidak mendeteksi antibodi IgG
 Metodenya dinamakan IMBI (Inhibition
Magnetic Binding Immunoassay)
 Pemeriksaan dilakukan pada hari ke 4-5
infeksi primer & hari ke r-3 infeksi sekunder

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 15


Tugas Stase Imunologi 1
Rapid Test metode Imunokromatografi
Reaksi antara Ag S.Typhii & IgM (Typhidot Rapid IgM) atau IgG/IgM (Typhidot IgG/IgM
combo)

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 16


Tugas Stase Imunologi 1
Parameter TORCH
TORCH singkatan dari toxoplasma, rubella, citomegalovirus, dan herpes, yang merupakan
penyakit infeksi akibat protozoa atau parasit darah dan virus. Suatu sumber lain menyatakan
bahwa TORCH merupakan akronim dari Toxoplasmosis, Other (T. pallidum, Varicella-
zoster virus (VZV), Parvovirus B19), Rubellavirus, Cytomegalovirus (CMV), dan Herpes
Simplex Virus (HSV). Penyakit ini sering ditemui dalam bidang kebidanan maupun pediatri,
karena menjadi salah satu penyebab terbanyak kematian bayi saat proses kelahiran.

Toxoplasmosis Gondii

Oocyst unsporulated and sporulated Tachyzoite Toxoplasma gondii


Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis toksoplasmosis

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 17


Tugas Stase Imunologi 1
Penegakan diagnosis  pemeriksaan penunjang berdasarkan status imunitas pasien, penyakit
penyerta serta gejala klinis.
Toksoplasmosis terbagi 5 kategori: (1) didapat pada pasien imunokompeten, (2) didapat
selama kehamilan, (3) didapat - kongenital, (4) didapat/ reaktivasi pasien imunokdefiseinsi
dan (5) infeksi okuler. Kondisi klinik pasien toksoplasmosis kurang spesifik sehingga harus
didiagnosis banding dengan penyakit lain. Moteda pemeriksaan untuk diagnosis serta
interpretasinya juga harus diperhatikan pada tiap kategori pasien.
Tabel 1. Strategi diagnosis toksoplasmosis berdasar pasien dan penyakitnya
4
Pasien Penyakit penyerta Pendekatan Dx Teknik pemeriksaan Sesimen
Pasien Infeksi primer atau Serologi Rutin, deteksi IgG/ serum
imunokompeten penentuan status IgMa, Komplemenb,
Pasien imun IgG aviditasc,
transplantasi deteksi IgA,dye test
Wanita hamil Western blotting, d
ISAGAe
Fetus Infeksi maternal Diagnosis PCR, pemeriksaan Cairan amnion
primer prenatalfberdasar mencitb
pada deteksi parasit
Newborn Infeksi maternal Deteksi parasit PCR, pemeriksaan Plasenta, darah
primer Serologi mencitb umbilikal
Deteksi IgG/ IgMe/ Serum darah
IgAb umbilikal, serum
newborn
Comparative Western Neonatal dan serum
blottinb ibu secara paralel
Pasien Toksoplasmosis Deteksi parasitb PCR Darah
immunocompro dieminata atau PCR, kultur sel, LCS, BAL,
mised serebral pemeriksaan mencit spesimen jaringan
dan histologi
Pasien Retinokoroiditis Serologi Comparative Western
Aqueous humor dan
imunokompeten blottingb, Goldman-
serum secara
/immunocompro Witmer coefficient
paralel
mised Deteksi parasit PCR Aqueous humor
a Diagnosis rutin terutama dengan ELISA
b Sebaiknya dirujuk ke laboratorium rujukan
c Untuk penentuan waktu deteksi IgM, terutama pada wanita hamil atau donor organ
d Saat dibutuhkan untuk hasil titer IgG yang rendah
e Pemeriksaan dengan immunosorbent agglutination assay merupakan teknik rujukan untuk mengkonfirmasi
IgM spesifik dan untuk deteksi IgM pada neonatus yang terinfeksi secara kongenital
f Diperlukan persetujuan menteri pada beberapa negara

Pemeriksaan Laboratorium
a. Observasi parasit - spesimen penderita (cairan bronkoalveolar dari pasien dengan
kondisi immunocompromised atau dari biopsi limfonodi)
b. Isolasi parasit darah/ cairan tubuh lain, dengan inokulasi pada mencit/ kultur jaringan.
Mencit dilakukan pemeriksaan parasit Toxoplasma pada cairan peritoneal 6-10 hari
setelah inokulasi, dan jika tidak didapatkan adanya parasit maka bisa dilakukan
pemeriksaan serologi pada binatang pada 4 – 6 minggu setelah inokulasi
c. Deteksi materi genetik parasit dengan polymerase chain reaction (PCR), terutama
deteksi infeksi kongenital dalam kandungan
d. Pemeriksaan serologi biasanya dilakukan rutin sebagi metode diagnosis. Pemeriksaan
berupa deteksi Ab spesifik Toxoplasma yaitu IgM, IgG, IgA dan IgE. Teknik digunakan
diantaranya adalah Sabin Feldman dye test (SFDT), enzyme linked imm

1. Deteksi parasit

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 18


Tugas Stase Imunologi 1
Deteksi T.gondii pada feses, cairan dan sampel jaringan dapat dilihat secara mikroskopik, tetapi
identifikasi dengan mikroskop cahaya cinderung kurang sensitif. Hal ini dapat ditingkatkan
dengan jalan pengecatan, sentrifugasi maupun filtrasi.
Deteksi takizoit dalam irisan jaringan atau apusan cairan tubuh (misal cairan otak atau
bronkoalveolar) menetapkan diagnosis infeksi akut. Deteksi takizoit dalam irisan jaringan yang
diwarnai secara konvensional sering sulit. Teknik immunoperoxidase yang menggunakan antisera
T.gondii dapat menunjukkan keberadaan parasit dalam sistem syaraf pusat pasien dengan AIDS,
serta terbukti sensitivitas dan spesifisitasnya. Metode immunoperoxidase ini dapat diaplikasikan
pada parafin dengan ataupun tanpa fiksasi formalin yang tertanam dalam irisan jaringan. Suatu
teknik lain dengan pengecatanWright-Giemsa pada sedimen cairan otak atau aspirasi otak yang
telah disentrifus atau juga jaringan biopsi.Pengecatan dengan Giemsa dan Haematoxylin-Eosin
(HE) sering digunakan, murah dan mudah. Pengecatan periodic acid schiff (PAS) dapat mengecat
granula amylopection dalam bradizoit, tetapi membutuhkan waktu lama dan keahlian pengecat
dapat mempengaruhi hasil. Mikroskop elektron dapat digunakan untuk mendeteksi kista pada otak
tikus dan ookista dalam usus kucing terinfeksi, sulit dilaksanakan sebagai pemeriksaan rutin
2. Isolasi Parasit
Isolasi T.gondii merupakan baku emas untuk deteksi infeksi T.gondii. Spesimen yang
biasa digunakan untuk isolasi adalah cairan sekresi, cairan ekskresi, cairan tubuh, limfonodi, otot
dan jaringan otak. Mencit dan kucing biasanya digunakan untuk teknik bioasai T.gondii.
Sensitivitas infeksi mencit terhadap T.gondii saat dilakukan isolasi akan meningkat dengan
perangsangan terhadap interferon gama. Alternatif lain yang digunakan adalah pemberian injeksi
deksametason (10-15µg/mL) dalam air minum untuk menekan sistem imun, sehingga
keberhasilan bioasai lebih meningkat. Kucing juga adapat digunakan untuk deteksi t.gondii dalam
daging karena kucing akan memakan volume daging yang besar yang akan meningkatkan
sensitivitasnya. Secara keseluruhan, pemeriksaan ini membutuhkan waktu yang panjang (hingga
mencapai 6 minggu), sehingga tidak dapat digunakan untuk skrining dalam jumlah banyak. 11-3
3. Deteksi genetik parasit
Deteksi DNA T.gondii dapat dilakukan dengan pemeriksaan amplifikasi polymerase chain
reaction (PCR). Deteksi dapat dilakukan untuk diagnosis infeksi kongenital, okuler, serebral dan
disseminated toxoplasmosis. PCR dikembangkan untuk diagnosis T.gondii intrauterindengan
prosedur invasif pada fetus. PCR dapat mendeteksi DNA T.gondii pada jaringan otak, cairan otak,
cairan vitreus dan aquous, cairan bronkoalveolar dan darah pasien dengan AIDS. PCR merupakan
metode yang aman dan akurat untuk diagnosis. Pemeriksan ultrasonografi fetus secara berkala
perlu dilakukan jika dicurigai adanya infeksi kongenital untuk mendeteksi peningkatan ukuran
ventrikel lateral pada sistem syaraf pusat atau untuk mendeteksi gejala infeksi fetus. 5,9
4. Pemeriksaan serologi
Berbagai macam tes serologi seperti dye test (DT), modified agglutination test (MAT),
enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA), immunosorbent agglutination assay (ISAGA),
indirect fluorescent antibody test (IFAT) and indirect haemagglutination assays (IHA) telah
dikembangkan untuk deteksi berbagai jenis antibodi dan antigen (LIU)

Tabel 2. Ringkasan metode serologi untuk deteksi T.gondii10-16


METODE ANTIGEN ATAU ANTIBODI YANG DIGUNAKAN JENIS Ab/Ag
DT Takizoit hidup IgG, IgM, IgA
MAT Takizoit terfiksasi formalin IgG
IFAT Takizoit mati IgG, IgM
IHA Eritrosit yang tersensitisasi dengen antigen terlarut IgG
ELISA Antigen lisat takizoit, Antigen rekombinan, Antibodi spesifik IgG, IgM, IgA, Ag
ISAGA Antibodi anti IgM IgM
LAT Ag terlarut yang dilapisi (coated) dengan partikel lateks IgG, IgM
PIA Antigen yang dilapisi (coated) nanopartikel emas IgG
WB Antigen lisat takizoit, Antigen rekombinan IgG, IgM
ICT Antigen atau antibodi yang dilabel dengan koloid emas IgG, ESA
Uji Aviditas Antigen lisat takizoit, Antigen rekombinan IgG, IgA, IgE

Antibodi T.gondii

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 19


Tugas Stase Imunologi 1
Imunoglobulin A dan M diproduksi pada minggu pertama infeksi dan meningkat mencapai fase plato
dalam waktu 1 bulan. Antibodi IgE juga diproduksi saat awal infeksi dan segera menghilang dengan
cepat. Kadar antibodi IgM akan menurun setelah 1 – 6 bulan dan menjadi negatif pada 25% pasien
dalam jangka waktu 7 bulan tetapi umumnya tetap terdeteksi setelah 1 tahun atau lebih. IgM akan
menghilang dalam jangka waktu 3 bulan atau sulit terdekteksi. IgA diperkirakan memiliki durasi lebih
pendek, tetapi ternyata penelitian menunjukkan bahwa IgA dapat terdeteksi hingga 9 bulan, sehingga
tidak dapat digunakan sebagai petanda awal infeksi. Antibodi IgG dapat terdektesi lebih awal
tergantung dari teknik pemeriksaan yang digunakan serta menggunakan membran antigen atau parasit
yang utuh. IgG dapat terdeteksi 1 – 3 minggu setelah awal peningkatan kadar IgM dan mencapai
puncak dalam waktu 2 – 3 bulan dan akan menurun secara perlahan, dapat juga menetap dengan kadar
yang berbeda antara individual yang satu dengan yang lain. 9
Antibodi IgG
Metode yang sering digunakan adalah : DT, ELISA, IFA, and the modified direct agglutination test.
Pada metode ini, IgG muncul pada 1 – 2 minggu infeksi, mencapai puncak pada 1 – 2 bulan dan
menetap seumur hidup. Keberadaan IgG T.gondii menunjukkan adanya infeksi parasit tetapi belum
menunjukkan waktu infeksi sehingga IgG bukan merupakan petanda akurat untuk infeksi akut.
Tes igG aviditas dikenalkan untuk membedakan infeksi baru atau lampau. Fungsi afinitas antibodi
IgG spesifik saat infeksi awal adalah rendah dan akan meningkat seiring lamanya infeksi, sehingga
dapat digunakan untuk membedakan infeksi akut dan kronik.(montoya)(liu) Keterbatasan dari
pemeriksaan ini adalah IgG aviditas dapat rendah pada ibu hamil selama berbulan-bulan dan juga
pengobatan T.gondii selama kehamilan dapat menghambat pematangan aviditas.

Antibodi IgM
Antibodi IgM muncul lebih awal dan menurun lebih cepat dibandingkan dengan IgG. Pemeriksaan
yang paling sering digunakan untuk antibodi IgM ini adalah doublesandwich atau capture IgM-
ELISA, IFA, dan immunosorbent agglutination assay (IgM-ISAGA). Positif palsu dapat terjadi jika
terdapat rheumatoidfactordan antinuclear antibodies pada uji IgM-IFA, tetapi biasanya tidak
terdeteksi dengandouble-sandwichatau capture IgM-ELISA. Pemeriksaan IgM sering memiliki
spesifisitas rendah dan menyebabkan misiterpretasi sehingga perlu pemeriksaan lain sebagai
penunjang atau konfirmasi. Pada pasien dengan infeksi primer yang awal, antibodi IgM spesifik
T.gondii akan terdeteksi awal dan pada sebagian besar kasus akan menjadi negatif dalam jangka
waktu beberapa bulan. Antibodi IgM spesifik T.gondiipada beberapa pasien dapat juga ditemukan
saat infeksi fase kronik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa antibodi IgM dapat terdeteksi
hingga 12 tahun setelah infeksi akut. Terdapatnya Ab IgM persisten tidak menunjukkan relevansi
klinik pada pasien dan pasien bisa dianggap mengalami infeksi kronik. Interpretasi IgM positif masih
banyak pertimbangan karena metode pemeriksaan Ab IgM ini masih didapatkan hasil positif palsu.
Hasil IgM positif pada serum tunggal dapat diinterpretasikan sebagai hasil positif yang sesungguhnya
pada infeksi baru; hasil positif sesungguhnya pada kondisi infeksi lampau atau hasil positif palsu.

Antibodi IgA
Antibodi IgA terdeteksi pada serum pasien dewasa dengan infeksi awal dan infeksi kongenital pada
infant dengan menggunakan ELISA atau ISAGA. Seperti halnya antibodi IgM terhadap parasit,
antibodi IgA bisa menetap hingga beberapa bulan atau lebih dari satu tahun. IgA dapat digunakan
untuk deteksi infeksi awal pada pasien dewasa. Sebaliknya sensitivitas pemeriksaan IgA lebih tinggi
dibandingkan IgM untuk diagnosis toksoplasmosis kongenital pada janin dan bayi baru lahir.Sejumlah
bayi yang baru lahir dengan toksoplasmosis kongenital dan antibodi IgM negatif, diagnosis serologi
telah ditetapkan dengan antibodi IgA dan IgG

Antibodi IgE
Antibodi IgE dapat terdeteksi dengan ELISA pada pasien dewasa dengan infeksi akut, infeksi
kongenital pada bayi dan anak dengan toksoplasma kongenital koriorenitis. IgE masih kurang
bermakna dibandingkan dengan IgA untuk diagnosis infeksi T.gondiipada fetus atau bayi baru lahir.
Durasi IgE seropositif lebih singkat dibanding antibodi IgM atau IgA, sehingga bermanfaat untuk
mengidentifikasi infeksi baru

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 20


Tugas Stase Imunologi 1

Gambar . Kinetik respon antibodi. Rerata kinetik tiap isotipe, tetapi mungkin berbeda antara pasien
yang satu dengan yang lain, dan tergantung dari teksnik serologi yang digunakan. IgM dapat
terdeteksi bertahun-tahun setelah infeksi - Dikutip dari Robert-Gangneux F dkk 4

Tabel 3. Interpretasi hasil pemeriksaan serologi7


IgG Result IgM Result Report/interpretation for humans*
Negative Negative No serological evidence of infection with Toxoplasma.
Possible early acute infection or false-positive IgM reaction.
Obtain a new specimen for IgG and IgM testing. If results for the
Negative Equivocal
second specimen remain the same, the patient is probably not
infected with Toxoplasma.
Possible acute infection or false-positive IgM result. Obtain a new
specimen for IgG and IgM testing. If results for the second
Negative Positive
specimen remain the same, the IgM reaction is probably a false-
positive.
Indeterminate: obtain a new specimen for testing or retest this
Equivocal Negative
specimen for IgG in a different essay.
Equivocal Equivocal Indeterminate: obtain new specimen for both IgG & IgM testing.
Possible acute infection with Toxoplasma. Obtain a new
specimen for IgG and IgM testing. If results for the second
Equivocal Positive specimen remain the same or if the IgG becomes positive, both
specimens should be sent to a reference laboratory with
experience in diagnosis of toxoplasmosis for further testing.
Positive Negative Infected with Toxoplasma for six months or more.
Infected with Toxoplasma for probably more than 1 year or false-
positive IgM reaction. Obtain a new specimen for IgM testing. If
Positive Equivocal results with the second specimen remain the same, both
specimens should be sent to a reference laboratory with
experience in the diagnosis of toxoplasmosis for further testing.
Possible recent infection within the last 12 months, or false-
positive IgM reaction. Send the specimen to a reference
Positive Positive
laboratory with experience in the diagnosis of toxoplasmosis for
further testing.
Beberapa Teknik/ Prinsip pemeriksaan
1. Dye Test (DT)

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 21


Tugas Stase Imunologi 1
Pertama dikembangkan oleh Sabin Feldman tahun 1948, dan dijadikan baku emas pemeriksaan
antibodi anti T.gondii pada manusia. Tes ini membutuhkan parasit yang lisis oleh antibodi serum
dengan komplemen. Pemeriksaan dengan metode ini berpotensi bahaya dan membutuhkan
keahlian tersendiri, sehingga hanya dilakukan pada laboratorium rujukan tertentu saja. Takizoit
dari kultur sel biasa digunakan, tetapi hasil negatif palsu bisa terjadi pada beberapa kasus.
Takizoit yang disiapkan dari mencit lebih dipilih untuk pemeriksaan DT
 Serum pasien + trofozoit + komplemen sebagai aktivator  diinkubasi
 Metilen biru ditambahkan
 Jika antibodi antitoksin ada dalam serum  Ab diaktifkan oleh komplemen dan
melisiskan membran parasit Toxoplasma trophozoites tidak terwarna (hasil positif)
 Jika tidak ada antibodi trofozoit  berwarna dan tampak biru (hasil negatif)
 Komplemen yang dimediasi antigen antibodi  positif 2 minggu setelah infeksi
 Tidak banyak digunakan

2. Modified agglutination test (MAT)


Takizoit T.gondii yang difiksasi dengan formalin ditambahkan pada lempeng mikrotiter
berbentuk “U” dan ditambahkan dengan serum yang akan diuji. Hasil positif akan menunjukkan
hasil aglutinasi MAT, sedangkan hasil negatif akan menunjukkan pelletpadat dari presipitasi
takizoit pada dasar well.MAT merupakan pemeriksaan yang mudah dan akurat sehingga dapat
digunakan sebagai metode diagnosis dalam laboratorium maupun survei epidemiologi

MAT LAT

3. Latex agglutination test (LAT)


Pada pemeriksaan ini antigen terlarut terlapis pada partikel lateks dan akan terbentuk aglutinasi
saat serum positif ditambahkan. LAT merupakan pemeriksaan yang cepat dan mudah untuk
mendeteksi antibodi anti T.gondii. LAT memiliki sensitivitas 86-94% dan spesifisitas 100% pada
manusia. LAT sering digunakan untuk survei epidemiologi karena mudah, tetapi hasil yang
positif membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut dengan pemeriksaan serologi lain. LAT
dikembangkan untuk deteksi IgM sebagai diagnosis infeksi baru. Sato dkk mengembangkan
deteksi antibodi IgM dengan aglutinasi lateks berdasarkan reaksi dengan antigen. Pengembangan
yang lain oleh Cambiaso dkk memantapkan LAT untuk deteksi antibodi IgM tanpa terpengaruh
oleh IgG, faktor rematoid atau antibodi antinuklear. 11,16-9

4. Indirect hemagglutination test (IHA)


Prinsip IHA adalah sel darah merah yang disensitisasi dengan antigen T.gondiiterlarut akan
mengalami aglutinasi dengan serum positif. Deteksi IgG dengan IHA lebih lambat dibanding

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 22


Tugas Stase Imunologi 1
dengan DT, sehingga kondisi penyakit akut dan infeksi kongenital dapat terlewatkan oleh
pemeriksaan ini. Pemeriksaan IgG-IHA ini mudah dan cepat sehingga direkomendasikan untuk
pemeriksaan dalam jumlah besar pada survei epidemiologi. Yamamoto dkk mengembangkan
modifikasi IgM-IHA dengan sel darah merah manusia yang distabilkan dan dilapisi oleh extrak
T.gondiiheat-stable alkaline-solubilized extract yang dapat digunakan untuk serodiagnosis
toksoplasmosis pada manusia dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 98,5%. 20-2

5. Indirect fluorescent antibody test (IFAT)


IFAT merupakan pemeriksaan yang mudah untuk deteksi kedua antibodi IgM dan IgG, serta
telah digunakan untuk deteksi antibodi T.gondii pada manusia dan hewan. Takizoit t.gondii yang
telah mati diinkubasi denganserum yang akan diperiksa, ditambahkan dengan fluoresen anti
terhadap antibodi, dan hasil dibaca di bawah mikroskop fluoresen. Kelemahan pemeriksaan ini
adalah membutuhan mikroskop fluoresen dan terpengaruh oleh variasi tenaga pembaca karena
pembacaan dilakukan secara manual mikroskopik. Tes ini juga bisa terjadi reaksi silangdengan
faktor reumatoid dan antibodi antinuklear.11, 23-4

6. Enzyme-linked immunosbsorbent assay (ELISA)


ELISA biasanya menggunakan antibodi atau antigen fase padat, antigen atau antibodi yang
dilabel dan substrat reaksi enzim yang bisa dimodifikasi untuk pemeriksaan antigen maupun
antibodi. ELISA dapat dilakukan secara otomatis untuk sampel dalam jumlah besar. Beberapa

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 23


Tugas Stase Imunologi 1
tipe ELISA dikembangkan untuk mendeteksi antibodi maupun antigen T.gondii, seperti ELISA
indirek dan sandwich ELISA.Indirect ELISA : antigen terlapisi pada fase paadat dan spesimen
yang mengandung antibodi akan ditambahkan sehingga terjadi reaksi antigen –antibodi yang
akan ditingkatkan dengan penambahan enzyme-linked antibody yang kedua. Reaksi akan
dideteksi dengan adanya perubahan warna yang terjadi. Pemeriksaan ini biasanya lebih banyak
untuk mendeteksi Ab anti T.gondii yaitu IgG, IgM dan IgA dibandingkan mendeteksi Ag

7. Immunosorbent agglutination assay (ISAGA)


Plate mikrotiter dilapisi oleh antibodi IgM anti human, dan spesimen serum ditambahkan pada
well untuk 2 jam pada suhu 37°C untuk proses ikatan IgM. Plate kemudian dicuci dan suspensi
berisi takizoid yang telah terfiksasi ditambahkan pada well dan diinkubasi overnight pada suhu
37°C. IgM spesifik dalam serum akan terikat oleh anti IgM dan menggumpalkan antigen parasit
yang terfiksasi. Tes ini lebih mudah dibandingkan IgM –ELISA, tetapi membutuhkan lebih
banyak takizoit. Dalam perkembangannya, IgM-ISAGA dimodifikasi dengan menggantikan
takizoit T.gondiidengan latex beads coated with soluble antigens. IgM-ISAGA dapat digunakan
untuk diagnosis infeksi akut dapatan dan kongenital.11

8. Immunochromatographic test (ICT)


Merupakan teknik pemeriksaan cepat dengan colloidal gold-labeled antigen atau antibodi
digunakan sebagai pendeteksi dan membran selulosa sebagai benda padat penunjang. Deteksi
antigen atau antibodi dengan meneteskan spesimen pada sample pad membran nitroselulosa yang
akan berinfiltrasi perlahan secara kapilaritas pada conjugated pad, kompleks antibodi-antigen
menunjukkan colloidal gold color reaction . Perkembangan selanjutnya adalah strip ICT
menggunakan antibodi IgG colloid gold conjugated antiexcretory/ secretory antigens (ESA)
untuk deteksi ESA pada infeksi akut T.gondii setelah 2-4 hari post infeksi, menunjukkan hasil
yang cukup baik dibandingkan dengan ELISA. ICT merupakan pemeriksaan yang mudah, cepat
dan tidak membutuhkan peralatan tertentu sehingga susai jika digunakan di lapangan. 11, 25-6

9. Piezoelectric immunoagglutination assay (PIA)


Aglutinasi antigen-coated gold nanoparticles akibat adanya antibodi spesifik dapat dideteksi oleh
piezoelektrik, yang telah digunakan untuk deteksi infeksi parasit. Pemeriksaan ini memberikan
hasil yang sama dengan ELISA

10. Western blotting (WB)


WB dapat digunakan sebagai penunjang pemriksaan serologis konvensional. Serum akan
bereaksi dengan antigen T.gondii pada membran transfer yang terbuat dari polyacrylamide gel.
Pola yang dihasilkan dibandingkan dengan berat molekul yang telah diketahui. 11

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 24


Tugas Stase Imunologi 1

11. Polymerase Chain Reaction (PCR)


Pemeriksaan ini digunakan jika terjadi keterbatasan deteksi dan sebagai tambahan pemeriksaan
serologi. PCR merupakan pemeriksaan spesifikamplifikasi DNA in vitro dalam waktu singkat.
Metode ini banyak digunakan dalam diagnosis prenatal toksoplasmosis dan infeksi T. gondii
pada pasien immunocompromisedpasien. PCR dengan 529 bp lebih sensitif 10 – 100kalilebih
sensitif dibandingkan dengan gen B1.ITS-1 dan 18S rDNA juga digunakan sebagaitarget dalam
beberapa penelitian, menunjukkan sensitivitas yang samagen B1. 11

Gambar 2. Interpretasi serologi T.gondii pada kehamilan - Dikutip dari Robert-Gangneux 4

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 25


Tugas Stase Imunologi 1

Rubella Virus

Infeksi primer pada kehamilan

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 26


Tugas Stase Imunologi 1
Infeksi primer terdeteksi dengan adanya IgM atau kombinasi adanya serokonversi IgG >4
kali lipat pada serum. IgG kadar rendah belum mengindikasikan infeksi primer baru karena :
a. Reaktivasi IgM setelah vaksinasi atau infeksi primer Rubella terkadang bisa menentap
hingg abeberapa tahun,
b. Reaktivasi antibodi IgM heterotipik bisa muncul pada pasien yang baru saja terinfeksi
dengan Epstein Barr virus (EBV), Cytomegalovirus (CMV), human parvovirus B19 dan
patogen lain, sehingga dapat menimbulkan positif palsu IgM;
c. Respon IgM spesifik Rubella dapat bersifat positif palsu pada pasien dengan penyakit
autoimun seperti systemic lupus erythematosus (SLE) or juvenile rheumatoid arthritis
dan lainnya yang berkaitan dengan adanya rheumatoid factor (RF)
d. IgM Rubella spesifik dapat ditemukan pada kehamilan berkaitan dengan aktivasi sel B
poliklonal yang dipacu oleh infeksi virus lain.
Hasil negatif palsu dapat ditemukan pada sampel yang terlalu awal pengambilannya,
sehingga adanya IgM spesifik Rubella hasrus diartikan sesuai dengan kondisi klinis lain dan
perlu ditegakkan diagnosis prenatal. IgG avidity dapat membedakan antibodi yang tinggi atau
rendah aviditasnya (/ afinitasnya) terhadap suatu Ag. IgG avidity digunakan jika ibu
ditemukan IgM & IgG pada serum pertama yang diperiksa. Post natal infeksi primer ditandai
dengan IgG avidity yang rendah. IgG avidity digunakan untuk membedakan Infeksi Rubella
primer baru (klinik, terutama infeksi subklinik), reinfeksi dan reaktivasi IgM persisten.

Pemeriksaan Laboratorium Infeksi kongenita Rubella pre dan post natal


Infeksi primer pada ibu selanjutnya mmebutuhkan pemriksaan untuk mengetahui infeksi pada
janin. Biasnya dilakukan pemriksaan antibodi IgM pada darah fetus dengan cara
cordocentesis.Pemeriksaan untuk mendeteksi virus dapat dilakukan pada spesimen villi
korialis atau cairan amnion dengan Real Time/ Polymerase chain reaction (RT/PCR). Perlu
diperhatikan hasil negatif palsu karena viru dapat ditemukan hanya pada cairan amnion dan
tidak pada fetus atau sebaliknya. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa RT/PCR pada cairan
amnion memiliki sensitivitas 83 – 95% dan spesifisitas 100%.
Diagnosis post natal infeksi kongenital rubella
a. Isolasi virus rubella dari sekresi pernafasan infant
b. Antibodi spesifik rubella IgM (atau IgA) pada darah plasenta atau serum neonatus, yang
dapat didetksi pada usia 6 12 bulan
c. Antibodi anti rubella IgG yang menetap pada bayi usia 3 – 6 bulan

Gambar 4. Alogaritma penetapan infeksi Rubella dalam kehamilan - Mendelson dkk27

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 27


Tugas Stase Imunologi 1
Tabel 4. Ringkasan & karakteristik pemeriksaan laboratorium deteksi infeksi rubella pada kehamilan 28
Laboratorium Prinsip pemeriksaan Spesimen Interpreatasi hasil +
SEROLOGI
Neutralization (NT) Inhibisi pertumbuhan virus pada kultur Darah ibu Neutralizing
jaringan oleh antibodia Antibodies nampak
pada titer tertentu
Hemagglutination Mencegah hemaglutinasi dengan Darah ibu Antibodi HI tampak
inhibition (HI) mengikatkan Ab dengan Ag virusb pada titer tertentu
ELISA IgM Deteksi Ab spesifik virus yang terikat Darah ibu Tampak antibodi IgM
pada fase solid dengan berlabel Ab Darah fetus
anti-IgM sekunder Darah BBL
ELISA IgG Deteksi Ab spesifik virus yang terikat Darah ibu Tampak antibodi IgM
pada fase solid dengan berlabel Ab Darah BBL (terkadang dengan
anti-IgM sekunder units)
IgG avidity Penghilangan Ab IgG dengan aviditas Darah ibu Aviditas rendah :
(ELISA) rendah dengan hasil pengurangan infeksi baru
sinyal Aviditas medium :
tidak diketahui
Aviditas tinggi : infeksi
lampau
Immunofluorescence Deteksi IgG atau OgM yang terikat Darah ibu Antibodi tampak paada
(IFA; IFAMA, etc.) pada sel yang terinfeksi virus pada Darah fetus titer tertentu
slide yang dilabel - An sekunder Darah BBL
Western blot (WB) Memisahkan protein virus yang Darah ibu Antibodi spesifik
menempel pada membran  bereaksi Darah infant terhadap antigen virus
dengan serum pasien  dideteksi dg
anti human-Ab yang dilabel
DETEKSI VIRUS
Isolasi virus pada Inokulasi kultur jaringan spesifik Spesimen klinik Terdapat virus hidup
kultur jaringan dengan spesimen klinik yang dicurigai pada spesimen klinik
mengandung
virus
Deteksi antigen direk Deteksi antigen virus pada sel dari Untuk IFA : sel Spesimen menganding
sampel klinik dengan IFA atau ELISA dari spesimen virus hidup
klinik
ELISA : seluruh
spesimen
Shell-vial assay
Inokulasi kultur jaringan spesifik pada Spesimen klinik Terdapat virus hidup
spesimen klinik, difiksasi dan deteksi dicurigai pada spesimen klinik
virus dalam sel yang terikat dengan mengandung
antigen oleh IFA virus
PEMERIKSAAN MOLEKULER
PCR, RT-PCR Amplifikasi enzimatik dari asam Spesimen klinik Asam nukleat virus
nukleat virus dan deteksi sekuens yang dicurigai terdapat pada
amplifikasi mengandung spesimen, tetapi tidak
virus diketahui keterdapatan
virus hidup
Real-time Deteksi akumulasi hasil PCR dengan Asam nukleat virus
PCR/RT-PCR fluoresen dye atau probe pada terdapat pada
instrumen khusus spesimen, tetapi tidak
diketahui keterdapatan
virus hidup
In situ Deteksi asam nukleat virus pada Sel atau Asam nukleat virus
hybridization apusan atau pemotongan jaringan jaringan dari terdapat pada
dengan probe yang berlabel spesimen klinik spesimen, tetapi tidak
diketahui virus hidup
In situ PCR Deteksi asam nukleat virus pada Asam nukleat virus
apusan atau pemotongan jaringan PCR terdapat pada
dengan primer yang berlabel spesimen, tetapi tidak
diketahui keterdapatan
virus hidup
a
Antibodi; bAntigen; cCytopathic effect

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 28


Tugas Stase Imunologi 1

Cytomegalo Virus (CMV)

Pemeriksaan laboratorium infeksi CMV pada wanita hamil


CMV dikenali dapat menyebabkan bayi lahir mati. Diagnosis infeksi CMV kongenital berawal saat
diketahui hasil serologi ibu terbukti adanya infeksi primer atau sekunder yang abu terjadi. Tidak
semua infeksi pada ibu dapat menyebabkan transmisi fetus dan terjadi kerusakan. Diagnosis prenatal
harus dilakukan mengikuti diagnosis ibu jika terminasi kehamilan awal tidak menjadi pilihan, yaitu
dengan metode deteksi virus pada spesimen cairan amnion. Infeksi ibu ditunjukkan dengan

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 29


Tugas Stase Imunologi 1
pemeriksaan IgM dan IgG ELISA serta CMV IgG avidity. Tidak ada metode baku emas pada
pemeriksaan CMV yang dapat digunakan sebagai tes konfirmasi. 27,32-3

Pemeriksaan laboratorium infeksi kongenital CMV prenatal


Deteksi untuk diagnosis CMV tidak bisa hanya dengandeteksi IgM fetus karena pada janin
tidak bisa memproduksi IgM. CMV dapat diekskresi di urin fetus yang terinfeksi, deteksi virus pada
cairan amnion sudah terbukti memiliki sensitivitas tinggi. Cairan amnion diambil pada usia kehamilan
21 -23 minggu dan setidaknya 6 – 9 minggu setelah infeksi ibu. Jika persyaratan ini terpenuhi makan
sensitivitas akan mencapai 95% dari rerata umum 70 -80%. Jika pengambilan spesimen dilakukan
pada usia 14 – 20 kehamilan maka sensitivitas dapat menurun hingga 45%, sehingga hal ini
menunjukkan bahwa waktu pengambilan cairan amnion mempengaruhi sensitivitas hasil deteksi virus
dari cairan amnion. Isolasi virus pada kultur jaringan dengan menggunakan Shell Vial dan
berkembang dengan deteksi DNA virus spesifik pada spesimen klinik seperti dot-blot
hybridization.Metode ini lebih cepat dibandingkan kultur virus.27,32-3

Gambar 4. Alogaritma penetapan infeksi CMV dalam kehamilan- Dikutip dari Mendelson dkk 27

Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis infeksi CMV


a. Electron microscopy
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengidentifikasi CMV di urin dan memiliki sensitivitas 25 – 95 %
sepertkultur virus pada bayi dengan infeksi kongenital. Pemeriksaan dapat dilakukan ultrasentrifugasi atau
teknik pseudoreplika. Teknik ini sensitif jika titer mencapai 10 4/ ml, dan akan menurun sensitivitasnya
menjadi kurang dari 25% jika titer dibawah batas tersebut. Pemeriksaan ini jarang digunakan. (gambar 6)

Gambar 6. Electron micrograph of CMV - Dikutip dari Jahan 34/ Gambar 6. Sitopatik efek CMV
Gambar 7. CMV pp65 antigen pada inti neutrofil darah tepi
b. Sitologi / histologi
Teknik ini dilakukan untuk menemukan gambaran karakteristik inklusi intranuklear pada spesimen,
diantaranya adalah air liur, susu, sekret serviks dan trakea juga preparasi jaringan biopsi atau nekropsi. Ciri
khas infeksi CMV adalah sel berukuran besar 25 – 35 µm (sitoplasmik) yang mengandung inklusi
intranuklear besar, sentral dan berwarna basofilik yang disebut sebagai owl’s eye karena terpisah dari
membran nuklear dengan hallo. Benda inklusi ini dapat terlihat dengan pengecatan Papanicolau atau
Hematoxylin eosin atau terbaik menggunakan Wright Giemsa.(Gb. 7)

c. IgM CMV

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 30


Tugas Stase Imunologi 1
Menunjukkan adanya infeksi primer walaupun dapat berkaitan dengan infeksi sekunder. Teknik terbanyak
yang digunakan adalah ELISA.27
d. IgG CMV
Teknik terbanyak yang digunakan adalah ELISA.IgG dapat membantu memantapkan diagnosis infeksi
CMV saat ini pada suspek infeksi CMV sekunder; atau saat hasil pemeriksaan IgM tidak meyakinkan
dengan adnya IgG serokonversi atau peningkatan IgG secara bermakna antara 2 kali pengambilan serum
dengan selisih waktu 2 – 3 minggu. Fungsi IgG sebagai konfimasi diagnosis akan terbatas jika
pemeriksaan awal wanita didapatkan titer IgG yang tinggi atau kesulitan mendapatkan spesimen kedua. 27
e. IgG CMV avidity
Pemeriksaan ini dilakukan jika IgM dan IgG positif pada awal pemeriksaan, tetapi tidak bisa jika serum
mengandung titer IgG yang rendah. Pemeriksaan ini bisa untuk mengetahui infeksi primer CMV dan
prediksi infeksi kongenital. Aviditas tinggi menunjukkan infeksi yang lampau yang tidak terjadi dalam 3
bulan terakhir. Infeksi kongenital berkaitan dengan aviditas rendah, sedangkan aviditas tinggi berkaitan
dengan fetus yang tak terinfeksi.27
f. CMV neutralization assays
Neutralizing antibodies muncul 13 – 15 minggu setelah infeksi primer, sehingga adanya titer tinggi dari
neutralizing antibodies selama infeksi akut lebih menunjukkan infeksi sekunder dibandingkan infeksi
primer. Pemeriksaan ini rumit, lama dan tidak bersifat komersil sehingga hanya laboratorium tertentu yang
mengerjakan27
g. Virus isolation in tissue culture
Virus dikultur dari cairan amnion untuk mengetahui infeksi fetus. CMV harus disimpaan pada suhu 4 - 8°C
dan harus sampai di laboratorium dalam jangka waktu 48 jam untuk segera diproses. Cara ini merupakan
baku emas pemeriksaan CMV. CMV juga bisa diisolasi pada sel fibroblas diploid seperti sel embrionik.
Prosedur lain sebagai alternatif adalah Shell-Vial assay yaitu kultur inokulasi dilakukan pemusingan
selama 0 – 60 meni sebelum diinkubasi pada 37°C. prosedur ini meningkatkan dan mempercepat infeski
virus pada sel kultur. Sel yang terinfeski dapat terdeteksi dalam 16 – 72 jam dengan immunofluoresen
menggunakan antibodi monoklonal terhadap protein virus yang disintesis pada awal setelah infeksi 27
h. Detection of CMV by PCR
Merupakan deteksi virus DNA dari spesimen klinik yang eliputi ekstraksi dan analisis DNA.
Metode ini lebih dipilih tetapi memiliki kekurangan yaitu bisa terdapat positif palsu jika terdapat
kontaminasi. PCR dikatakan lebih sensitif dibanding dengan isolasi kultur. PCR juga dapat dilakukan
pengulangan sehingga memberikan keuntungan lebih, dimana spesimen dapat dibekukan pada suhu kurang
dari -70°C untuk dapat diolah kembali dan ekstrak DNA dapat dilakukan pemeriksaan ulang atau dikirim
ke laboratorium lain untuk konfirmasi.27,34
i. Antigen detection PP-65 antigenemia
Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi pp65, yaitu struktur protein yang diekspresikan pada
permukaan leukosit polimorfonuklear yang terinfeksi, dimana jumlah leukosit yang terinfeksi dilaporkan
berkaitan dengan derajat keparahan infeksi.Kelebihan pemeriksaan ini adalah cepat (4 – 5 jam setelah
pengambilan spesimen) sehingga hasil dapat diperoleh pada hari yang sama. Tes ini dapat mengetahui
infeksi lebih awal dibandingkan dengan IgM CMV. Tes ini biasa digunakan untuk monitoring pasien
transplantasi atau pasien immunocompromised. Pemeriksaan ini juga dapat memperkirakan jumlah virus
sehingg adapat digunakan sebagai monitoring sebelum, selama dan setelah pemberian terapi. 34 (Gambar 7)

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 31


Tugas Stase Imunologi 1
INFEKSI HERPES SIMPLEX VIRUS (HSV)
HSV merupakan infeksi laten yang mengikuti infeksi primer dan bisa terjadi reaktivasi. HSV merupakan
anggota dari family Herpesvirus dan terdiri dari 2 genus : HSV type 1 (HSV-1) and HSV type 2 (HSV-2). Efek
infeksi HSV bisa bervariasi mulai tanpa gejala hingga penyakit yang membutuhkan perawatan seumur hidup
seperti ensefalitis HSV dan herpes neonatal. HSV-1 biasanya ditransmisikan secara oral dan menyebabkan
infeksi pada bagian atas tubuh, sedangkan HSV-2 biasanya ditransmisikan melalui hubungan seksual dan
menyebabkan herpes genital primer. HSV 1 dan 2 dapat menyebabkan herpes genital pada episode awal. Untuk
mengetahui penyebab pasti, maka harus dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk masing-masing virus, baik
itu HSV 1 maupun HSV 2. Infeksi HSV dapat berakibat fatal pada fetus dan neonatus. Penularan transplasental
sebelum usia 20 minggu kehamilan  aborsi spontan hingga 25% kasus. Infeksi pada kehamilan usia lebih tua
dapat menyebabkan infeksi intrauterin. Episode awal herpes genital baik itu dengan maupun tanpa gejala tetapi
terdapat infeksi berulang berkaitan dengan prematuritas & gangguan pertumbuhan fetus.27

Pemeriksaan laboratorium infeksi HSV pada kehamilan dan neonatus


Diagnosis infeksi HSV dibutuhkan pemeriksaan virologi dan serologi, tetapi sulit. Metode laboratorium standar
untuk mengkonfirmasi infeksi HSV adalah isolasi virus dan kultur virus pada jaringan. Virus dapat diisolasi
dalam waktu 2- 4 hari dari swab kulit yang terinfeksi herpes dan lesi laringeal atau genital. Antibodi akan
mentap selama hidup dengan fluktuasi minimal. IgM spesifik muncul setelah infeksi primer tetapi juga dapat
terdeteksi saat infeksi rekuren. HSV-1 dan HSV-2 dapat bereaksi silang dengan epitop pada permukaan
glikoprotein yang menjadi target utama antibodi pada serum, sehingga infeski awal HSV sulit mengidentifikasi
infeksi dapatan yang baru dengan tipe HSV yang telah didapatkan imunitas sebelumnya. Pemeriksaan serologi
spesifik dikembangkan untuk wanita hamil dan pasangannya untuk mengidentifikasi infeksi sebelumnya,
serokonversi atau penularan dari pasangan. Hasil yang didapat dapat memberikan informasi risiko dapatan atau
penularan HSV ke janin. Diagnosis cepat dan sensitif untuk bayi dengan HSV penting untuk awal pemberian
asiklovir. Infeksi HSV pada bayi dikatakan positif dengan adanya kultur positif dari kulit, lesi mata, nasofaring,
rectum atau cairan otak dan deteksi IgM pada bayi menunjukkan hasil lebih bermakna. 27,37

Gambar 8. Alogaritma penetapan infeksi HSV dalam kehamilan - Dikutip dari Mendelson dkk27
Gambar 8. Sel yang terinfeksi HSV dari lesi kulit
Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis infeksi HSV dan status imunitas
a. Pemeriksaan IgG HSV
Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan antara jenis HSV 1 dan 2. Biasanya digunakan untuk deteksi awal
infeksi tanpa riwayat imunitas penyakit sebelumnya. Pemeriksaan ini bisa mendeteksi infeksi HSV 2
dengan riwayat infeksi HSV1, sehingga dikembangkan pemeriksaan yang lebih spesifik.27
b. Pemeriksaan IgG spesifik HSV
Pemeriksaan ini hanya akurat untuk pasien dengan satu jenis infeksi saja. Dapat menggunakan NT atau IF
yang lebih spesifik dan mendeteksi lebih awal yaitu minggu pertama infeksi. Pemeriksaan dengan westren
blotting lebih akurat untuk membedakan kedua tipe berdasarkan glikoprotein gG1 dan gG2 sehingga
merupakan standar baku emas.
c. Pemeriksaan IgM HSV
Tes ini perlu dikombinasi dengan IgG karena IgM negatif belum memastikan tidak adanya infeksi baru.
d. Isolasi virus pada kultur jaringan
Virus HSV labil sehingga tergantung pada pengambilan spesimen dan penyimpanannya.
e. Deteksi antigen HSV langsung
Pemeriksaan cepat lain adalah direct fluorescent assay (DFA) atai enzyme immunoassay (EIA) yang
dilakukan pada apusan sel dari lesi.
f. Deteksi DNA HSV dengan PCR
Pemeriksaan bisa dengan RT PCR maupun PCR biasa untuk deteksi DNA HSV, sensitivitas tetap tinggi
walaupun hanya terdapat sedikit virus.

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 32


Tugas Stase Imunologi 1

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 33


Tugas Stase Imunologi 1

Emelia Wijayanti PPDS PK-FK UNDIP JAN17 Page 34

Anda mungkin juga menyukai