Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION


SEMESTER 5
SKENARIO 1: SAPI BERKERINGAT DARAH

Disusun oleh:
Nama : Debi Ria Dwi Priti
NIM : 18/427300/KH/09674
Kelompok : 2b

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
I. JUDUL/TOPIK DISKUSI
Sapi Berkeringat Darah
Seorang peternak tergopoh-gopoh mencari dokter hewan dan minta supaya sapi-sapi
miliknya segera divaksin karena sapi-sapi milik tetangganya sakit, beberapa ada yang mati.
Dilaporkan sapi-sapi sebelum mati ada yang menunjukkan gejala keringat berdarah.
Peternak teringat bahwa sapi tersebut jika tidak segera divaksin tidak akan tertolong karena
penyakit ini belum ada obatnya.
Dokter Hewan bersama- sama dengan mahasiswa memeriksa sapi yang sakit dengan
gejala keringat darah dan menemukan bahwa sapi terlihat lesu, tidak mau makan, kurus,
demam, pembengkaan nodus limfatikus dan diare. Hasil pemeriksaan darah ditemukan
leukopenia, trombositopenia, eosinopenia, limfopenia.
Dijelaskan oleh dokter hewan bahwa ada dugaan penyakit ini adalah Jembrana yang
disebabkan oleh virus golongan Lentivirus dan hanya menyerang sapi Bali sedangkan sapi
breed lain tidak. Perlu dilakukan diagnosa lebih lanjut untuk konfirmasi dengan mengirim
sampel darah ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa secara serologi dengan ELISA dan
antigen presipitasi. Namun demikian akhir-akhir ini sudah dilakukan diagnosa secara
molekuler.
Dokter Hewan selanjutnya bertanya kepada mahasiswa mengenai perubahan
patologis baik makroskopik dan mikroskopik apabila dilakukan nekropsi pada sapi yang
terinfeksi Jembrana. Selanjutnya Dokter hewan memberikan injeksi antipiretik dan vitamin
B kompleks, serta menyarankan kepada peternak untuk membersihkan, mendesinfeksi
kandang, dan mengendalikan serangga di sekitar kandang karena penularan penyakit
Jembrana ini dapat melalui gigitan serangga penghisap darah.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


1. Mahasiswa dapat mengenali agen penyebab penyakit sapi berkeringat darah, morfologi,
karakter virus, memahami mekanisme infeksi dan patogenesisnya, gejala klinis, lesi
makroskopis dan mikroskopis yang ditimbulkan serta gambaran patologi klinis.
2. Mahasiswa mampu menerapkan konsep dasar kasus di lapangan disertai anamnesa,
pengamatan gejala klinis, pengambilan dan analisis sampel, pengumpulan data dari
berbagai laboratorium dengan interpretasi masing-masing menuju diagnosa pasti dan
diakhiri saran kepada pemilik.
3. Mahasiswa mengerti tata kelola penanganan kasus Jembrana, mengerti vaksin Jembrana
dan pencegahan lainya.
4. Mahasiswa dapat saling berkolaborasi, berbagi konsep, ketrampilan dan perilaku dalam
diskusi.

III. SKEMA PEMBELAJARAN

Skenario I: Memahami penyakit Jembrana, patogenesis penyakit,


mampu mengaitkan data dari berbagai laboratorium, melakukan
interpretasi data, diagnosis, dan pengendalian penyakit dalam
konteks terpadu dan holistik.

IV. BAHASAN
1. Virus Jembrana
a. Morfologi dan Karakter
Penyakit Jembrana (Jembrana Disease/JD) disebabkan oleh virus golongan
Lentiviridae dan diketahui hanya menyerang sapi bali, sedangkan breed sapi lainnya
dinyatakan tahan. Virus tersebut merupakan dari Retroviridae fam. Lentivirus. Virus
ini disebut lentivirus karena umumnya memiliki masa inkubasi lama/lenti (Suwiti,
2009).
Analisis struktur protein berdasarkan perbedaan berat molekul terhadap virus
JD dengan SDS-PAGE, virus jembrana diketahui disusun oleh beberapa protein
mayor dengan perkiraan berat molekul 45 kD, 42 kD, 33kD, 26kD dan 16 kD yang
terditeksi secara konsisten. Sedangkan protein minor yang terkadang ditemukan
dengan berat molekul 100 kD dan 15 kD (Suwiti, 2009).
Virus ini berbentuk pleomorf, beramplop dengan materi genetik tersusun atas
single stranded Ribonucleic Acid (ss-RNA), berukuran 80-120 nm. Virus memiliki
enzim reverse transkriptase, berkembang biak dalam sel dan keluar sel melalui
proses budding (Dirkeswan, 2015).
Target sel virus Jembrana, karena gambaran histologi tentang reaksi proliferasi
hebat di daerah non-follicular (T-cell) pada jaringan limpoid dan gambaran
haematologi tentang lymphopenia, yang menjadi ciri khas penyakit jembrana maka
ada asumsi bahwa virus ini mungkin menyerang T-cells (Tenaya, 2016).
Selain itu, sel B juga sebagai sel target JDV, hal ini dapat menjelaskan
menurunnya populasi sel-sel B muda di daerah follicular dan terlambatnya produksi
antibodi sampai 2-3 bulan pasca infeksi (Tenaya, 2016).
b. Mekanisme Infeksi
Virus Jembrana memasuki sel target dengan menempel di permukaan sel
melalui reseptor, kemudian melepas pembungkusnya di dalam sitoplasma. Genom
virus yang berupa RNA mengalami transkripsi balik menjadi DNA di dalam
sitoplasma. Enzim reverse transcriptase membuat DNA utas tunggal komplementer
terhadap RNA virus. Enzim RNase-H selanjutnya akan mendegradasi RNA virus dan
menggantinya dengan mensintesis DNA utas kedua, sehingga terbentuk double
stranded DNA. DNA virus akan bermigrasi dari sitoplasma ke nukleus, dan enzim
integrase akan mengintegrasikan DNA virus ke dalam DNA sel inang membentuk
provirus. Proses transkripsi akan berlangsung di dalam tubuh sel inang membentuk
mRNA yang selanjutnya bertanggung jawab atas sintesis protein virus dan digunakan
untuk perakitan bagian-bagian tubuh virus yang baru. Provirus yang terbentuk akan
tetap berada di dalam tubuh sapi, dan sapi tersebut akan menjadi hewan pembawa
(carrier). Apabila sapi carrier ini dalam kondisi tidak sehat serta kekebalan humoral
mulai menurun, diduga bahwa cDNA virus dapat berubah menjadi aktif kembali dan
dapat menginfeksi hewan di sekitarnya (Krisnayanti dkk., 2020).

Gambar 1. Siklus hidup Lentivirus dalam sel target (Dirkeswan, 2015)


Sistem vektor virus Jembrana (the JDV vector system) lebih ke sistem generasi
kedua, pada semua protein asesori virus (Tat, Rev, Vif) yang dibuat oleh packaging
vector. Vektor virus Jembrana dapat menginfeksi aphidicolin 2 93 dan sel Hela,
membuktikan bahwa kemampuan alami virus untuk menginfeksi sel tak membelah
tidak hilang selama pembuatan sistem vektor virus tersebut (Trono, 2002).
Penyakit Jembrana dapat ditularkan melalui jarum suntik ketika titer virus
dalam darah tinggi. Penularan secara mekanis juga dapat terjadi melalui insekta
penghisap darah, seperti lalat Tabanus rubidus. Disamping penularan secara
mekanis, penularan melalui kontak antara penderita dengan hewan sehat juga terjadi.
Secara eksperimental, penyakit Jembrana dapat ditularkan melalui oral, lubang
hidung, konjungtiva mata dan semen (Dirkeswan, 2015).
Selain itu, sapi Bali yang terinfeksi penyakit Jembrana akan mengalami
viraemia di mana darahnya mengandung virus Jembrana selama paling tidak 2 tahun
setelah sembuh. Sehingga sapi yang telah sembuh dapat menulari sapi lain melalui
vektor serangga penghisap darah (Guntoro, 2002).
2. Diagnosis Penyakit Jembrana
a. Gejala Klinis
Gejala-gejala klinis yang timbul dari serangan penyakit Jembrana antara lain
demam tinggi hingga mencapai 42°C yang berlangsung selama 5-12 hari,
pembengkakan kelenjar limfe prescapularis, prefemoralis, parotis, serta diikuti
dengan diare berdarah (Krisnayanti dkk., 2020).
Selain itu juga terjadi keringat berdarah dan leukopenia. Bila dilakukan
pembedahan akan terlihat adanya perdarahan pada usus. Pada pangkal kaki terjadi
benjolan. Erosi atau lepuh-lepuh kecil yang kemudian pecag pada bagian mulut
berlangsung 5-7 hari. Dari mulut atau hidung keluar cairan encer. Perdarahan pada
mata dan selaput lender alat kelamin (Guntoro, 2002).

Gambar 2. Keringat darah pada sapi terinfeksi JDV (Heru, 2011 dalam
BBPPeternakan Kupang, 2018)
Berdasarkan asumsi sel target JDV, yaitu leukosit dan trombosit, timbulnya
perdarahan pada banyak organ ini mungkin terjadi akibat proses pembekuan darah
yang tidak sempurna, karena berkurangnya total trombosit darah. Ketika limfosit T,
yang berperan dalam kekebalan seluler diserang, pertahanan tubuh akan menurun.
Berdasarkan literatur (Tenaya, 2016) terjadi fluktuasi limfosit selama infeksi JDV.
Selama demam (akut) semua komponen limfosit menurun tajam. Tetapi pada awal
kesembuhan limfosit T perlahan meningkat hingga akhirnya perubahan sub-populasi
sel-sel T terkait penyembuhan infeksi JDV memperkuat peranan kekebalan seluler
dalam proses kesembuhan penyakit Jembrana.
b. Diagnosis Laboratorium
- Indirect Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Uji ini merupakan uji serologi untuk mendeteksi antibodi. Antigen virus
Jembrana yang dipakai dapat berupa virus utuh yang diperoleh dari plasma darah
sapi terinfeksi atau dapat berupa rekombinan protein utama virus jembrana (P26).
Antigen diletakkan pada plat mikro, kemudian direaksi dengan antiserum dari
sapi yang diuji. Selanjutnya ditambahkan kompleks antigen-antibodi direaksikan
dengan konjugat anti bovine IgG yang dilabel/dicoating enzim tertentu.
Perubahan warna akan terjadi pada sampel yang positif (Dirkeswan, 2015).
- Western Immunoblotting (WIB)
Uji ini didasari atas analisis pemisahan protein antigen virus Jembrana
berdasarkan berat molekulnya. Protein virus Jembrana mula-mula dipisahkan
dengan menggunakan metode SDS-PAGE, kemudian protein antigen yang
terpisah pada gel ditransanfer pada kertas selulosa sebagai antigen. Reaksi positif
ditunjukan dengan munculnya garis berwarna 20 pada kertas selulosa tersebut.
Uji ini dapat dipakai untuk membuktikan adanya beberapa protein yang
menyusun virus Jembrana (Dirkeswan, 2015).
Hasil uji serologis dengan Western Immunoblotting menunjukkan salah
satu protein virus JD yakni P26 kD bereaksi silang dengan antibodi terhadap P26
kD dari virus BIV (Bovine Immunodeficiency Virus) dan sebaliknya, tetapi tidak
dengan protein lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa antara kedua virus tersebut
ada hubungan antigenitas (Suwiti, 2009)
- Immunohistokimia (IHK)
Immunohistokimia ialah suatu uji yang dilakukan untuk mendeteksi agen
penyakit Jembrana pada organ atau jaringan yang berasal dari hewan-hewan yang
terinfeksi. Dengan menggunakan anti serum monoklonal antibodi virus
Jembrana, maka virus Jembrana pada sel-sel jaringan terinfeksi dapat dideteksi
dengan melihat perubahan warna pada sel (Dirkeswan, 2015).

Gambar 3. Sel positif JDV (Tenaya, 2016)


Hasil pengujian terhadap sel B, sel T, sel dendritik dan sel makrofag,
menggunakan penanda sel yang spesifik diketahui bahwa dengan menggunakan
antibodi monoclonal anti JDV, dapat diketahui sel-sel yang positif JDV seperti
pada gambar (Tenaya, 2016).
- Diagnosa Molekuler: Polymerase Chain Reaction (PCR)
Peneguhan diagnosis laboratorium dilakukan dengan PCR. Prinsip uji ini
adalah mendeteksi adanya cDNA virus penyakit Jembrana dengan menggunakan
primer yang spesik (JDV-1 dan JDV-3) yang diamplikasi dengan mesin PCR
(Dirkeswan, 2015).
Proses amplifikasi PCR berlangsung dalam mesin thermal cycler yang
sudah deprogram sebagai berikut: pradenaturasi pada suhu 94°C selama 5 menit
dan 35 siklus denaturasi pada suhu 94°C selama 30 detik, anneling pada suhu
66°C selama 1 menit, pemanjangan (ekstensi) pada suhu 72°C selama 1,5 menit
dan pada akhir siklus diprogramkan tambahan 72°C selama 10 menit dan 4°C
selama 15 menit. Produk amplifikasi selanjutnya dielektroforesis dalam 2% gel
agarosa dalam buffer TAE (Tris-asetat-EDTA), dan ditambahkan dengan
ethidium bromide untuk visualisasi hasil (Krisnayanti dkk., 2020).
Sel yang menjadi target infeksi dari virus penyakit Jembrana adalah sel
limfosit, sehingga untuk mendeteksi keberadaan DNA provirus virus penyakit
Jembrana dapat dilakukan dengan mengekstraksi DNA dari leukosit perifer.
Pengujian terhadap adanya DNA provirus virus penyakit Jembrana pada
darah sapi bali dilakukan dengan menggunakan PCR dengan primer spesifik
yang mengamplifikasi DNA provirus Virus Penyakit Jembrana. Pasangan primer
yang digunakan, JDV 1(5’ GCAGCGGAGGTGGCAATTTTGATAGGA 3’) dan
JDV 3 (5’ CGGCGTGGTGGTCCACCCCATG 3’), bersifat sangat spesifik,
yaitu mampu membedakan antara proviral DNA JDV (Jembrana Disease Virus)
dan BIV (Bovine Immunodeficiency Virus). PCR juga dapat mendeteksi adanya
proviral DNA pada saat hewan klinis, maupun setelah hewan sembuh (carrier)
(Krisnayanti dkk., 2020).
3. Penanganan Kasus Jembrana
a. Pencegahan
- Vaksinasi
Vaksinasi merupakan cara yang efektif untuk mencegah penyakit viral.
Tetapi, menurut (Guntoro, 2006) biaya untuk memproduksi vaksin Jembrana
masih dirasa mahal. Sebab, pembuatan vaksin sumber virus harus berasal dari
plasma hewan yang diinfeksi karena belum menemukan metode yang efektif
untuk mengadaptasi virus dengan baik pada biakan sel. Lebih lanjut, terdapat
penelitian dengan pengembangbiakan virus dalam sel limfosit.
Selain itu, (Suwiti, 2009) mengatakan bahwa dapat dikembangkan vaksin
heterolog yang berasal dari BIV, jika infeksi BIV dapat melindungi
(crossprotection) sapi Bali dari serangan penyakit jembrana. Seperti yang
diketahui bahwa BIV dan JDV memiliki hubungan antigenitas, maka BIV sangat
berpotensi untuk dikembangkan sebagai vaksin heterolog untuk mencegah
infeksi virus penyakit jembrana.
Kemudian, pedoman dari (Dirkeswan, 2015) menyatakan bahwa sapi bali
asal daerah bebas yang akan didistribusikan ke daerah endemis harus divaksinasi
3 hari sebelum diberangkatkan dan 3-4 minggu sesudah vaksinasi pertama dan
dilakukan di daerah tujuan. Vaksinasi selanjutnya mengikuti program vaksinasi
di daerah endemis. Demikian pula sapi bali yang akan dilalulintaskan dari daerah
endemis ke daerah endemis harus dilakukan vaksinasi. Di daerah endemis,
pengendalian dilakukan dengan vaksinasi secara rutin 3 tahun berturut-turut
(pada sapi yang sama). Setiap tahun dilakukan 2 kali vaksinasi dengan interval 1
bulan.
- Desinfeksi
Berdasarkan (Dirkeswan, 2015), virus Jembrana merupakan virus
beramplop, yang tersusun dari lipid. Pemberantasan virus di lingkungan dapat
dilakukan dengan desinfeksi dengan pelarut lemak, sehingga envelop virus akan
larut dan virus tidak dapat bertahan di lingkungan. Desinfeksi bisa dilakukan
terhadap kandang dan peralatan kandang.
- Spraying
Dilakukan untuk membunuh vektor. Spraying dilakukan terhadap ternak
sapi, kandang, dan lokasi sekitarnya dengan menggunakan larutan insektisida
(Guntoro, 2006).
- Pengawasan Lalu Lintas Ternak
Sapi Bali dari daerah endemis yang akan dilalulintaskan harus dilakukan
vaksinasi Jembrana terlebih dahulu. Ternak sapi Bali harus disertai dengan
dokumen kesehatan hewan yang ditanda tangani oleh dokter hewan berwenang di
daerah asal. Dilarang melalu-lintaskan hewan dari daerah endemis ke daerah
bebas. Persyaratan teknis lalu lintas sapi Bali lebih lanjut diatur oleh Direktorat
Kesehatan Hewan (Dirkeswan, 2015).
b. Pengobatan
- Pernyataan Wabah
Dilakukan oleh organisasi/dinas terkait, dengan cara: a) Pernyataan wabah,
b) Penutupan daerah wabah terhadap lalu lintas ternak dan bahan asal ternak, c)
Pemberantasan vektor, d) Pengobatan ternak, e) Isolasi ternak sakit, f)
Pemotongan bersyarat, g) Pemusnahan, h) Vaksinasi masal (Dirkeswan, 2015).
- Kebijakan Isolasi
Berdasarkan (Guntoro, 2006), virus Jembrana masih berada dalam sapi
yang seudah sembuh selama kurang lebih 2 tahun, dan dapat menularkan sapi
yang sehat melalui vektor serangga penghisap darah, maka kegiatan isolasi
hewan terinfeksi (carrier) sebaiknya masih terus berlanjut setelah hewan tersebut
sembuh. Pengelompokan hewan yang sudah terinfeksi (carrier) dan yang belum
terinfeksi akan lebih efektif jika disertai pemberian vaksin pada hewan yang
belum terinfeksi.
- Pemberian Antibiotik dan Vitamin
Sapi Bali yang terinfeksi dianjurkan untuk diberi antibiotik berspektrum
luas dan vitamin untuk menghindari infeksi sekunder. Perlakuan ini dapat
menekan angka kematian hingga 13% dari kasus penyakit (Guntoro, 2006).

V. KESIMPULAN
1. Penyakit Jembrana disebabkan oleh JDV (Jembrana Disease Virus), virus tersebut
merupakan dari Retroviridae fam. Lentivirus.
2. Sel target dari JDV adalah sel limfosit T, B, dan trombosit.
3. Mekanisme infeksi JDV, virus memasuki sel target dengan menempel di permukaan sel
melalui reseptor, kemudian melepas pembungkusnya di dalam sitoplasma, RNA virus
mengalami transkripsi balik menjadi DNA di dalam sitoplasma kemudian bermigrasi ke
nukleus, dan enzim integrase akan mengintegrasikan DNA virus ke dalam DNA sel
inang membentuk provirus. Provirus yang terbentuk akan tetap berada di dalam tubuh
sapi, dan sapi tersebut akan menjadi carrier.
4. Gejala klinis yang menonjol pada penyakit Jembrana adalah demam tinggi,
pembengkakan limfonodus, diare berdarah, keringat berdarah dan leukopenia.
5. Diagnosis laboratorium yang sering dilakukan adalah uji ELISA di daerah, jika hasilnya
positif, dilanjutkan dengan uji PCR. Bisa juga dilakukan uji WIB, IHK, maupun uji
biologis.
6. Pencegahan penyakit Jembrana yang dapat dilakukan antara lain vaksinasi, desinfeksi,
spraying, dan pengawasan lalu lintas ternak.
7. Pengobatan yang sering dilakukan adalah pemberian antibiotik dan vitamin untuk
menghindari infeksi sekunder.

VI. REFERENSI
BBPPeternakan Kupang. 2018. Penyakit Jembrana Musuh Utama Sapi Bali. Center for
Indonesian Veterinary Analytical Studies. diakses tanggal 8 Oktober 2020,
https://civas.net/2018/10/28/penyakit-jembrana-musuh-utama-sapi-bali/.
Dirkeswan. 2015. Pedoman Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Jembrana.
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Kementerian Pertanian.
Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Yogyakarta: Kanisius.
Krisnayanti, N. P. E., Pharmawati, M., Narayani, I., Agustini, N. L. P. 2020. Monitoring
DNA Provirus Virus Penyakit Jembrana pada Sapi Bali dengan Metode PCR. Jurnal
Metamorfosa: Journal of Biological Sciences, Vol. 7 No. 1: 14-20.
Suwiti, N. K. 2009. Fenomena Jembrana Disease dan Bovine Immunodeficiency Virus pada
Sapi Bali. Buletin Veteriner Udayana, Vol. 1 No. 1: 21-25.
Tenaya, I. W. M. 2016. Studi Bio-Molekuler Virus Penyakit Jembrana: Sebagai Dasar
Pengembangan Tissue Culture Vaksin. Buletin Veteriner Udayana, Vol. 8 No. 2: 187-
202.
Trono, D. 2002. Lentiviral Vectors. New York: Springer.

Anda mungkin juga menyukai