Anda di halaman 1dari 5

Prosedur dan Aplikasi PCR dalam Diagnostik

A. PERALATAN , BAHAN DAN PROSEDUR YANG DIGUNAKAN DALAM


PROSES PCR
Sebelum melakukan prosedur amplifikasi DNA dengan teknik PCR, diperlukan
pengenalan peralatan dan bahan terlebih dahulu sesuai dengan metode pengembangan
PCR masing-masing. Berikut ini akan disajikan persiapan alat, bahan dan prosedur
dalam teknik PCR yang rutin digunakan yaitu teknik PCR standar atau konvensional.
1. Peralatan Peralatan dasar di laboratorium biologi molekuler sudah dibahas pada
topik sebelumnya pada Bab 6 tentang Teknik dasar Analisis Biologi Molekuler.
Pada sub topik ini hanya akan dibahas peralatan yang diperlukan terutama untuk
teknik PCR konvensional diperlukan peralatan sebagai berikut:
a. Biosafety Cabinet Komponen utama biosafety cabinet HEPA (High Efficiency
Particulate Air) dan ULFA (Ultra Low Penetration Air), merupakan jantung dari
Biosafety Cabinet terbuat dari filter tipe kering berbentuk mikrofiber borosilikat
lembaran tipis seperti kertas. Fungsinya menyaring debu, asap, bakteri, jelaga,
serbuk sari dan partikel radioaktif).
b. Mesin PCR (PCR Thermal cycler) Mesin PCR merupakan suatu alat yang
dipergunakan untuk mengamplifikasi atau menggandakan untaian basa-basa
DNA yang dibatasi oleh pasangan primer pengapitnya melalui pengaturan suhu
dan penggunaan enzim tahan panas tinggi. Dalam proses amplifikasi tersebut,
mesin PCR akan bekerja secara otomatis sesuai permintaan pengaturan suhu
untuk tahap denaturasi, annealing maupun ektensi/ elongasi serta berapa siklus
yang diperlukan sampai dengan proses PCR selesai.
c. Pipet Mikro Pipet dimaksudkan alat untuk mengambil larutan dari suatu tempat
ke tempat lain dalam jumlah tertentu secara akurat. Alat ini diperlukan dalam
teknik PCR untuk mengambil larutan atau suspensi dengan ketepatan yang
sangat tinggi dan volume yang relatif kecil ( dalam µL). Dalam pemakaian pipet
mikro perlu diperhatikan kisaran volume yang sesuai untuk pipet yang
bersangkutan. Angka yang tercantum di dalam pipet menunjukkan volume
maksimum yang dapat diambil pemilihan ukuran pipet dan tips pipet mikro
tergantung pada volume yang akan diambil. Misalnya untuk mengambil volume
80 µL, kita gunakan pipet mikro dengan kisaran 10- 100 µL. Pengambilan bisa
dengan pipet mikro yang 1000 µL, tetapi kurang akurat. Demikian pula dapat
dilakukan dengan pipet ukuran 0-10 µL, tetapi harus diulang beberapa kali. Hal
tersebut dapat menyebabkan kesalahan yang cukup besar karena dengan
pengambilan berulang kali terdapat kesalahan setiap kali pemipetan walaupun
dengan kesalahan yang sangat kecil.
d. Tabung (tubes) Tabung mikro (micro tubes) dipergunakan dalam berbagai
proses di laboratorium molekuler termasuk proses PCR dalam berbagai volume.
Dikenal berbagai macam ukuran tabung, mulai ukuran kecil sampai besar, di
antaranya ukuran 0,5 mL; 1,5 mL; 2,0 mL. (Maftuchah, 2014).
e. Perangkat elektroforesis Perangkat elektroforesis digunakan untuk mendeteksi
secara visual hasil produk PCR (Amplikon).
2. Bahan (Reagensia) yang diperlukan dalam proses PCR Sebelum melakukan PCR,
komponen-komponen yang akan digunakan dipersiapkan terlebih dahulu, yaitu:
a. Larutan buffer stock 100 mM Tris-HCl pH 8,3 (pada suhu 25oC); 500 mM KCl;
1,5 mM MgCl2; 0,1% (b/v) gelatin. Untuk mempersiapkan arutan buffer harus
digunakan komponen-komponen yang steril.
b. Larutan dNTP Larutan dATP, dTTP, dCTP, dCTP dan dGTP masing-masing
disiapkan dengan konsentrasi 10 mM sebagai larutan stock. Kemudian buatlah
larutan dNTP yang merupakan campuran keempat deoksiribonukleotida
trifosfat sehingga masing-masing deoksinukleotida trifosfat mempunyai
konsentrasi 0,2 mM. Sterilkan larutan dNTP dengan menggunakan filter.
Larutan deoksinukleotida trifosfat tersebut harus disimpan di dalam freezer
bersuhu -20oC.
c. Larutan oligonukleotida primer Sebelum digunakan untuk membuat larutan
stok primer, oligonukleotida yang diperoleh dari hasil sintesis dengan DNA
synthesizer sebaiknya dimurnikan terlebih dahulu dengan cara tertentu. Pada
saat ini sudah tersedia kit komersial yang dapat digunakan untuk memurnikan
DNA. Bahkan jika primer dipesan dari perusahaan yang bagus, biasanya dikirim
sudah dalam keadaan siap digunakan.
d. Larutan enzim Taq DNA polymerase Enzim Taq DNA polymerasesebaiknya
disiapkan menjelang digunakan. Encerkan stok enzim dengan menggunakan
larutan 1X buffer PCR steril sehingga diperoleh konsentrasi 2,5 unit/µL.
Sebelum digunakan, enzim yang telah diencerkan tadi harus selalu diletakkan
pada es. Oleh karena enzim ini merupakan salah satu komponen yang termasuk
mahal, enzimTaq DNA polymerasedisiapkan seperlunya saja dan sisanya
disimpan kembali dalam freezer bersuhu - 20oC.
3. Prosedur Pada reaksi PCR diperlukan DNA template, primer spesifik, enzim DNA
polimerase yangthermostabil, buffer PCR, ion Mg 2+, danthermal cycler. Cara
Kerja: PCR mix solution, untuk keperluan 10 μL pereaksi, maka campurkan:
Aquadest steril = 2 μL ; PCR mix = 5 μL ; Primer 1(10pmole) = 1 μL ; Primer 2
(10pmole) = 1 μL dan Sampel DNA = 1 μL. Contoh PCR Program:

1. Hot start (denaturasi awal) 94 oC selama 2 menit

2. Siklus amplifikasi diulang 31 kali terdiri dari

a) Denaturasi 94 oC selama 60 detik

b) Annealing 58 oC selama 45 detik

c) Ekstensi 72 oC selama 60 detik

3. Periode ekstensi pada suhu 72 oC selama 5 menit Catatan: bila primer diganti
program PCR menyesuaikan susunan primer dan panjang DNA produk amplifikasi
yang diinginkan.(Fatchiyah dkk., 2012). Selanjutnya Anda akan mempelajari dan
mencermati sub topik tentang Aplikasi Polymerase Chain Reaction (PCR) dalam
menegakkan diagnosis penyakit sebagai berikut.

Aplikasi Dalam Menegakkan Diagnosis

Penyakit Genetik Kemampuan mendiagnosis adanya penyakit keturunan tertentu pada manusia
pada analisis molekuler membuka kemungkinan untuk seseorang apakah individu tersebut atau
anaknya berisiko membawa penyakit genetik. Analisis DNA dapat digunakan untuk
identifikasi pembawa penyakit keturunan; untuk diagnosis prenatal kelainan genetik dan untuk
diagnosis awal sebelum muncul gejala klinis. Analisis DNA dapat menentukan adanya mutasi
genetik tertentu. Sebelumnya tes genetik umumnya berdasarkan analisis biokimia yang
mengukur apakah ada atau tidak ada suatu enzim atau produknya. Analisis DNA berdasarkan
pada adanya gen termutasi. Oleh karena itu dikembangkan uji penapisan untuk suatu penyakit
genetik. (Sudjadi, 2008). Penyakit genetik yang sudah dapat dideteksi menggunakan teknik
PCR di antaranya:
a. Sickle cell anemia (Sel Sabit) Sickle cell anemia (Sel Sabit) merupakan penyakit
genetik yang dapat dilihat dengan adanya bentuk sel darah merah yang pipih panjang
seperti bulan sabit. Pada waktu dulu penyakit ini berakibat vatal karena adanya infeksi
, kegagalan ginjal, kegagalan jantung, atau thrombosis. Sel darah merah dalam bentuk
ini mudah terperangkap dalam pembuluh darah yang kecil yang menyebabkan
gangguan sirkulasi, dan menyebabkan kerusakan organ tersebut. Sel darah tersebut juga
mudah pecah daripada sel yang normal. Sel tersebut mempunyai waktu hidup lebih
pendek sehingga dapat menyebabkan anemia. Penyakit anemia sel sabit diturunkan
secara genetik. Pasien dengan anemia sel sabit homozigot untuk gen abnormal yang
terletak pada kromosom autosomal. Anak yang menerima gen abnormal dari salah satu
orang tuanya dan menerima gen normal dari orang tuanya akan menjadi pembawa
anemia sel sabit. Anak yang heterozigot tersebut biasanya tidak menunjukkan gejala.
Sel darah penderita anemia sel sabit akan tampak di bawah mikroskop bentuk yang
iregular apabila dalam konsentrasi oksigen rendah. Perubahan bentuk ini disebabkan
oleh perubahan satu nukleotida pada kodon ke-6 dari rantai β. Hemoglobin dalam sel
itu cacat. Deoksi Hb penderita dinamakan hemoglobin S (HbS), sedangkan Hb normal
dinamakan Hemoglobin A (HbA). Pada individu homozigot S/S (penderita) bentuk sel
darah merah tidak teratur. Hal tersebut disebabkan oleh konformasi hemoglobin
terganggu oleh perubahan glutamate menjadi valin. Anemia sel sabit ini disebabkan
ketidakmampuan hemoglobin mutan untuk membawa oksigen yang dibutuhkan.
Individu heterozigot (A/S) mempunyai bentuk sel darah merah yang normal dan tidak
menunjukkan gejala, kecuali terdapat pada kondisi yang ekstrem seperti hidup pada
daerah tinggi, suhu ekstrem sehingga pemberian oksigen menurun. Jika kedua
orangtuanya heterozigot maka 25% anaknya, adalah penderita (S/S). Substitusi valin
untuk glutamat pada β6 hemoglobin S disebabkan perubahan satu basa, T menjadi A.
Mutasi dapat dikenali dengan memotong DNA dengan enzim restriksi yang mengenal
urutan pada lokasi mutan. MstII mengenali urutan CCTNAGG (dimana N dapat segala
basa), yang terdapat pada gen hemoglobin A rantai β (gen βA ) tetapi tidak pada
hemoglobin S (βS ). Pada pemotongan gen itu dengan MstII, genβS menghasilkan
fragmen 1,3 kb. Sedangkan gen βA menghasilkan fragmen 1,1 kb. Fragmen tersebut
dipisahkan dengan elektroforesis dan divisualisasi dengan Southern blotting dengan
pelacak DNA berlabel 32P yang komplemen dengan fragmen 1,1 kb. Fragmen 1,3 kb
juga terhibridisasi oleh pelacak ini. Autiogram menunjukkan apakah gen A, gen S atau
keduanya terdapat dalam sampel.
b. Ovalositosis Ovalositosis merupakan sifat bawaan yang diturunkan secara dominan
autosomal dengan sel darah merah berbentuk oval. Dasar molekular ovalositosis adalah
perubahan protein band-3 eritrosit karena adanya delesi 27 pasang basa, denagn akibat
tidak ada 9 residu asam amino (400-408) pada batas antara bagian sitoplasmik dan
membrane. Kelainan genetik ini banyak ditemukan pada daerah endemik malaria
seperti thalasemia, defisiensi enzim dehidrogenase glukosa -6-fosfat (G6PD), sickle
cell anemia dan hemoglobin E. Tampaknya mutasi genetik tersebut memberikan
keuntungan karena individu dengan mutasi tersebut tahan terhadap infeksi malaria.
Dasar molekular yang menarik dari ovalositosis adalah tidak adanya bentuk homozigot
delesi 27 pasang basa (pb). Hal ini dapat terjadi karena kondisi homozigot mati selama
perkembangan fetus, sebab band-3 di ginjal berfungsi untuk transport ion dan
keseimbangan asam basa. Kemajuan teknologi dewasa ini memungkinkan analisis
genetik populasi dengan menggunakan PCR. Teknik ini sederhana dan cepat untuk
mengamplifikasi fragmen yang mengalami delesi. Analisis hasil dapat dilihat dari
ukuran fragmen hasil amplifikasi PCR. Penderita ovalositosis akan menghasilkan dua
pita dengan ukuran 148 pb dan 175 pb. Sedangkan pada individu sehat akan
menghasilkan satu pita dengan ukuran 175 pb. (Sudjadi, 2008).
c. Peramalan Hemofilia A Hemofilia adalah suatu penyakit yang terkait dengan
kromosom X dan disebabkan oleh kerusakan faktor koagulasi VIII, yaitu suatu protein
yang berfungsi sebagai kofaktor dalam koagulasi darah. Kerusakan pada faktor
koagulasi tersebut disebabkan adanya mutasi yang bermacam-macam yang belum
diketahui secara pasti. Untuk meramalkan penyakit ini berdasarkan analisis
pembawanya atau diagnosis sebelum kelahiran dapat dilakukan dengan polimorfisme
DNA di dalam dan dekat dengan gen faktor VIII (Kogan dan Gitschier, 1990). Ada dua
macam polimorfisme yang ada pada alel faktor VIII, yaitu yang mempengaruhi suatu
enzim restriksi dan yang tidak. Polimorfisme dapat dideteksi dengan analisis Southern
blot fragmen-fragmen DNA yang dipotong dengan suatu enzim restriksi tertentu, tetapi
metode semacam ini cukup memakan waktu. Metode alternatif untuk mendeteksi
hemophilia A adalah metode PCR (Kogan dan Gitschier, 1990 dalam Yuwono, 2006)
yang jauh lebih sederhana disbanding metode Southern blot.

Anda mungkin juga menyukai