3. Periode ekstensi pada suhu 72 oC selama 5 menit Catatan: bila primer diganti
program PCR menyesuaikan susunan primer dan panjang DNA produk amplifikasi
yang diinginkan.(Fatchiyah dkk., 2012). Selanjutnya Anda akan mempelajari dan
mencermati sub topik tentang Aplikasi Polymerase Chain Reaction (PCR) dalam
menegakkan diagnosis penyakit sebagai berikut.
Penyakit Genetik Kemampuan mendiagnosis adanya penyakit keturunan tertentu pada manusia
pada analisis molekuler membuka kemungkinan untuk seseorang apakah individu tersebut atau
anaknya berisiko membawa penyakit genetik. Analisis DNA dapat digunakan untuk
identifikasi pembawa penyakit keturunan; untuk diagnosis prenatal kelainan genetik dan untuk
diagnosis awal sebelum muncul gejala klinis. Analisis DNA dapat menentukan adanya mutasi
genetik tertentu. Sebelumnya tes genetik umumnya berdasarkan analisis biokimia yang
mengukur apakah ada atau tidak ada suatu enzim atau produknya. Analisis DNA berdasarkan
pada adanya gen termutasi. Oleh karena itu dikembangkan uji penapisan untuk suatu penyakit
genetik. (Sudjadi, 2008). Penyakit genetik yang sudah dapat dideteksi menggunakan teknik
PCR di antaranya:
a. Sickle cell anemia (Sel Sabit) Sickle cell anemia (Sel Sabit) merupakan penyakit
genetik yang dapat dilihat dengan adanya bentuk sel darah merah yang pipih panjang
seperti bulan sabit. Pada waktu dulu penyakit ini berakibat vatal karena adanya infeksi
, kegagalan ginjal, kegagalan jantung, atau thrombosis. Sel darah merah dalam bentuk
ini mudah terperangkap dalam pembuluh darah yang kecil yang menyebabkan
gangguan sirkulasi, dan menyebabkan kerusakan organ tersebut. Sel darah tersebut juga
mudah pecah daripada sel yang normal. Sel tersebut mempunyai waktu hidup lebih
pendek sehingga dapat menyebabkan anemia. Penyakit anemia sel sabit diturunkan
secara genetik. Pasien dengan anemia sel sabit homozigot untuk gen abnormal yang
terletak pada kromosom autosomal. Anak yang menerima gen abnormal dari salah satu
orang tuanya dan menerima gen normal dari orang tuanya akan menjadi pembawa
anemia sel sabit. Anak yang heterozigot tersebut biasanya tidak menunjukkan gejala.
Sel darah penderita anemia sel sabit akan tampak di bawah mikroskop bentuk yang
iregular apabila dalam konsentrasi oksigen rendah. Perubahan bentuk ini disebabkan
oleh perubahan satu nukleotida pada kodon ke-6 dari rantai β. Hemoglobin dalam sel
itu cacat. Deoksi Hb penderita dinamakan hemoglobin S (HbS), sedangkan Hb normal
dinamakan Hemoglobin A (HbA). Pada individu homozigot S/S (penderita) bentuk sel
darah merah tidak teratur. Hal tersebut disebabkan oleh konformasi hemoglobin
terganggu oleh perubahan glutamate menjadi valin. Anemia sel sabit ini disebabkan
ketidakmampuan hemoglobin mutan untuk membawa oksigen yang dibutuhkan.
Individu heterozigot (A/S) mempunyai bentuk sel darah merah yang normal dan tidak
menunjukkan gejala, kecuali terdapat pada kondisi yang ekstrem seperti hidup pada
daerah tinggi, suhu ekstrem sehingga pemberian oksigen menurun. Jika kedua
orangtuanya heterozigot maka 25% anaknya, adalah penderita (S/S). Substitusi valin
untuk glutamat pada β6 hemoglobin S disebabkan perubahan satu basa, T menjadi A.
Mutasi dapat dikenali dengan memotong DNA dengan enzim restriksi yang mengenal
urutan pada lokasi mutan. MstII mengenali urutan CCTNAGG (dimana N dapat segala
basa), yang terdapat pada gen hemoglobin A rantai β (gen βA ) tetapi tidak pada
hemoglobin S (βS ). Pada pemotongan gen itu dengan MstII, genβS menghasilkan
fragmen 1,3 kb. Sedangkan gen βA menghasilkan fragmen 1,1 kb. Fragmen tersebut
dipisahkan dengan elektroforesis dan divisualisasi dengan Southern blotting dengan
pelacak DNA berlabel 32P yang komplemen dengan fragmen 1,1 kb. Fragmen 1,3 kb
juga terhibridisasi oleh pelacak ini. Autiogram menunjukkan apakah gen A, gen S atau
keduanya terdapat dalam sampel.
b. Ovalositosis Ovalositosis merupakan sifat bawaan yang diturunkan secara dominan
autosomal dengan sel darah merah berbentuk oval. Dasar molekular ovalositosis adalah
perubahan protein band-3 eritrosit karena adanya delesi 27 pasang basa, denagn akibat
tidak ada 9 residu asam amino (400-408) pada batas antara bagian sitoplasmik dan
membrane. Kelainan genetik ini banyak ditemukan pada daerah endemik malaria
seperti thalasemia, defisiensi enzim dehidrogenase glukosa -6-fosfat (G6PD), sickle
cell anemia dan hemoglobin E. Tampaknya mutasi genetik tersebut memberikan
keuntungan karena individu dengan mutasi tersebut tahan terhadap infeksi malaria.
Dasar molekular yang menarik dari ovalositosis adalah tidak adanya bentuk homozigot
delesi 27 pasang basa (pb). Hal ini dapat terjadi karena kondisi homozigot mati selama
perkembangan fetus, sebab band-3 di ginjal berfungsi untuk transport ion dan
keseimbangan asam basa. Kemajuan teknologi dewasa ini memungkinkan analisis
genetik populasi dengan menggunakan PCR. Teknik ini sederhana dan cepat untuk
mengamplifikasi fragmen yang mengalami delesi. Analisis hasil dapat dilihat dari
ukuran fragmen hasil amplifikasi PCR. Penderita ovalositosis akan menghasilkan dua
pita dengan ukuran 148 pb dan 175 pb. Sedangkan pada individu sehat akan
menghasilkan satu pita dengan ukuran 175 pb. (Sudjadi, 2008).
c. Peramalan Hemofilia A Hemofilia adalah suatu penyakit yang terkait dengan
kromosom X dan disebabkan oleh kerusakan faktor koagulasi VIII, yaitu suatu protein
yang berfungsi sebagai kofaktor dalam koagulasi darah. Kerusakan pada faktor
koagulasi tersebut disebabkan adanya mutasi yang bermacam-macam yang belum
diketahui secara pasti. Untuk meramalkan penyakit ini berdasarkan analisis
pembawanya atau diagnosis sebelum kelahiran dapat dilakukan dengan polimorfisme
DNA di dalam dan dekat dengan gen faktor VIII (Kogan dan Gitschier, 1990). Ada dua
macam polimorfisme yang ada pada alel faktor VIII, yaitu yang mempengaruhi suatu
enzim restriksi dan yang tidak. Polimorfisme dapat dideteksi dengan analisis Southern
blot fragmen-fragmen DNA yang dipotong dengan suatu enzim restriksi tertentu, tetapi
metode semacam ini cukup memakan waktu. Metode alternatif untuk mendeteksi
hemophilia A adalah metode PCR (Kogan dan Gitschier, 1990 dalam Yuwono, 2006)
yang jauh lebih sederhana disbanding metode Southern blot.