Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PRAKTIKUM

PATOLOGI KLINIK
BABESIOSIS PADA ANJING RAS DACHSHUND

Oleh :
Kelompok A4
Muhamad Fahmi Firdaus 195130100111018
Muhammad Daffa Raflyansyah 195130101111027
Tiara Chintya Devi 195130107111007
Reza Fahmiantika 195130100111010
Sefti Nindia Pertiwi 195130101111007

Asisten : Retno Wilujeng

LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2022
A. Sinyalmen
Anjing betina bernama Archie dan memiliki ras Dachshund berumur 4
tahun.

B. Anamnesa
Setahun yang lalu diadopsi dari shelter dengan cukup banyak manifestasi
Rhipicephalus sanguineus namun sudah bersih. Obat cacing lengkap namun
tidak vaksin selama dua tahun terakhir.

C. Gejala Klinis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang


 Gejala Klinis : Vomit, melena dan sempat banyak manifestasi
Rhipicephalus sanguineus.
 Pemeriksaan Fisik : Kondisi lethargy, anorexia, melena berwarna
gelap dan bau anyir pada mulut.
 Pemeriksaan Penunjang : Pemeriksaan hematologi serta test kit
Parvo (Hasil Negatif).

D. Diagnosa Banding
a) Babesiosis
Infeksi babesiosis pada anjing menunjukkan gejala klinis seperti
lemas,tidak nafsu makan, demam, anemia, anoreksia, pucat pada
bagian membran mukosa mulut, pembengkakan di limfonodus, serta
ditemukan infeksi caplak. Gigitan caplak pada tubuh anjing dapat
memicu respon imun pada inang atau hospes yang sifatnya sistemik.
Dalam hal ini juga dilakukan pemeriksaan laboratorium Complete
Blood Count yang mana menghasilkan interpretasi bahwa anjing
mengalami anemia hiperkromik, leukositosis, eritrositopenia,
limfositosis, dan trombositopenia (Septianingsih et al., 2021)
b) Canine Parvovirus
Penyakit ini merupakan penyakit yang menyerang sistem
saluran pencernaan, yang mana disebabkan oleh canine parvovirus
tipe 2 (CPV-2). Penyakit parvovirus pada anjing terdiri dari 2 tipe
gejala klinis, yaitu tipe miokarditis dan enteritis. Dalam tipe gejala
klinis yang umum menyerang anjing sendiri merupakan tipe enteritis
dimana memiliki gejala yang yang khas, yaitu muntah dan diare
berdarah dengan aroma yang sangat khas. Pada tipe ini sendiri gejala
diawali dengan muntah, diikuti demam,tidak ada nafsu makan, dan
diare mulai mencret berwarna kekuningan, abu-abu dengan bau
yang khas hingga berdarah berwarna kehitaman ( Jedaunt et al.,
2021).
c) Canine distemper
Manifestasi klinis awal yang ditunjukkan oleh infeksi distemper
anjing adalah anoreksia, demam, letargi, kehilangan berat badan,
dehidrasi, eksudasi berlebih dan cavum nasal dan mata, batu-batuk,
kesulitan bernafas, dan gastroenteritis. Anjing dapat bertahan dari
gejala awal CDV sering kali akan menunjukkan gejala saraf seperti
kejang-kejang, tremor, paralisis, perubahan tingkah laku, chorea,
chewing gum. Dalam hal ini juga dilakukan pemeriksaan
hematologi darah yang mana didapatkan hasil bahwa terjadi
penurunan pada total leukosit yang mengindikasi terjadinya
leukopenia, dan kadar limfosit yang menurut juga mengindikasikan
terjadinya limfopenia. Penurunan sel darah merah, hemoglobin, dan
hematokrit mengindikasikan terjadinya anemia (Gurning et al,
2019).

E. Pemeriksaan Hematologi

Jenis Hasil Nilai Rujukan Satuan Keterangan


Pemeriksaan

Leukosit 20,9 6,0 – 17,0 x 10^3 μL Leukositosis

Limfosit 4,8 1,0 – 4,8 x 10^3 μL Normal

Monosit 4,2 3,0 – 10,0 x 10^3 μL Normal

Granulosit 19,6 3,5 – 14,0 x 10^3 μL Granulocytosis


Eritrosit 3,4 5,5 – 8,5 x 10^6 μL Eritrositopenia

Haemoglobin 5,0 12,0 – 18,0 g/dL Menurun

MCHC 35,1 32,0 – 36,0 g/dL Normocytic

MCH 20,3 19,5 – 24,5 pg Normochromic

MCV 69,7 60,0 – 77,0 fL Normochromic

RDW-CV 15,0 12,0 – 16,0 % Normal

Haematokrit 26,2 37,0 – 55,0 % Anemia

Platelet 163,0 200,0 – 500,0 x 10^3 μL Trombositopenia

F. Interpretasi Hematologi
Dari hasil pemeriksaan hematologi menunjukkan penurunan
hemoglobin, granulositosis, eritrositopenia, dan trombositopenia. Maka dari
itu anjing kasus mengalami anemia normositik normokromik,
granulositosis. Hal tersebut didapatkan dari hasil hematologi anjing kasus
yang mengalami penurunan nilai eritrosit dan hematokrit. Nilai eritrosit
anjing kasus sebesar 3,4 x 10^6 μL dan nilai hematokrit sebesar 26,2%,
sedangkan nilai normal eritrosit anjing adalah 5,5 – 8,5 x 10^6/μL dan nilai
normal hematokrit adalah 37–55%.
Menurut Lestari (2021), hal ini dapat terjadi akibat adanya penurunan
volume plasma seperti pada kasus dehidrasi. Selain itu dehidrasi juga dapat
muncul akibat pengeluaran cairan secara berlebih salah satunya yang
disebabkan adanya gejala muntah. Pada umumnya pemeriksaan hematologi
anjing yang mengalami gastritis menunjukkan nilai yang normal.
Penurunan HGB dan HCT juga bisa terindikasi akibat adanya gangguan
pada sel darah merah yang dikaitkan dengan hemolisis karena agen parasit
intraeritrosit (Wira, 2020).

G. Diagnosa
Diperoleh diagnosa akhir pada anjing betina bernama Archie dengan
gejala klinis vomit, melena dan sempat banyak manifestasi Rhipicephalus
sanguineus, Kondisi lethargy, anorexia, melena berwarna gelap dan bau
anyir pada mulut. Dengan dilakukan pemeriksaan hematologi terdapat
Penurunan hemoglobin, granulositosis, eritrositopenia, dan trombositopenia
maka anjing didiagnosa mengalami Babesiosis.
Menurut literature di jelaskan bahwa Babesiosis pada anjing
menunjukan gejala klinis seperti lemas, tidak nafsu makan, demam, anemia,
anoreksia, pucat pada membran mukosa mulut dan pembengkakan
limfonodus, serta ditemukan infestasi caplak R. sanguineus. Hasil
pemeriksaan darah lengkap menunjukkan penurunan, hemoglobin,
limfositosis, eritrositopenia dan trombositopenia. Pemeriksaan darah
lengkap terhadap kasus babesiosis pada anjing kerap menunjukkan
leukositosis (Wira,2020).
H. Patogenesa
Babesiosis Demam, Anemia, Depresi

Eritrosit memicu
Peredaran darah
respon imun

Sel Makrofag
ACP (Antigen Presenting Cell)

Disampaikan ke sel
limfosit T

Sitokin Sel B
Demam
(Meningkat)

Menghasilkan
Sitokin Berlebih antibodi

Kerusakan eritrosit
dan pecah

Anemia

Babesia yang merupakan parasit intraeritrosit dengan penularan masuk


melalui gigitan caplak ke tubuh anjing sehingga dapat memicu respon imun pada
hospes (anjing) yang sifatnya sistemik. Saliva dari caplak maupun babesia akan
memicu sel makrofag sebagai salah satu sistem pertahanan tubuh dan juga sebagai
antigen presenting cell (APC) yang akan menangkap serta memproses antigen
untuk disampaikan ke sel limfosit T. Sitokin akan dikelurkan oleh sel Th2 untuk
mengaktifkan sel-sel lain, termasuk sel B yang berfungsi untuk menghasilkan
antibodi terhadap babesia. Sitokin yang dihasilkan oleh sel Th2 akan melawan
parasite babesia dengan menimbulkan efek sebagai pirogen. Pirogen merupakan
suatu zat yang dapat menyebabkan demam yang bertujuan untuk menciptakan
kondisi lingkungan yang tidak sesuai bagi perkembangan mikroorganisme sehingga
dapat membantu efektifitas kerja respon imun seluler dalam mengeleminasi
babesia. Selain itu, sitokin yang berlebih dapat menyebabkan kerusakan sel dan
eritrosit menjadi pecah. Perkembangan protozoa ini di eritrosit juga menyebabkan
eitrosit menjadi pecah sehingga terjadi anemia (Wira, 2020).

I. Kesimpulan
Kasus pada anjing Archie yang berumur 4 tahun pernah memiliki
manifestasi Rhipicephalus sanguineus, melena gelap, anorexia, lethargy
disertai bau anyir pada mulut. Hasil dari pemeriksaan hematologi,
menunjukkan adanya penurunan hemoglobin, granulositosis,
eritrositopenia, dan trombositopenia. Dilihat dari hasil tersebut, anjing dapat
disimpulkan mengalami anemia normositik normokromik, granulositosis.
Dengan dilakukannya beberapa pemeriksaan maka anjing didiagnosa
mengalami Babesiosis.

J. Saran
Babesiosis yang dialami anjing Archie ada beberapa terapi yang dapat
diberikan antibiotik Clindamycin (10mg/kg BB, q: 12 jam, PO) dan terapi
suportif menggunakan livron B-pleks untuk meningkatkan daya tahan
tubuh. Clindamycin dapat mengurangi gejala klinis seperti anemia,
anoreksia, dan kelemahan. pemberian Clindamycin efektif untuk terapi
babesiosis pada anjing tanpa menimbulkan efek samping. Pengobatan
penyakit babesiosis harus dilakukan secara periodik dengan uji
laboratorium berulang kali setiap setelah pengobatan (Widyastuti dan
Paramitha, 2019). Dapat dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu
menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk membuktikan jenis
babesia ( Wijaya Agus, 2018).
Daftar Pustaka

Jedaunt F A., Rohi N K., Simarmata Y T R M R. 2021. Kajian Literatur Canine


Parvovirus Pada Anjing. Jurnal Veteriner Nusantara : 1-6.
Gurning S D S., Widyastuti S K., Soma I G. 2019. Studi Kasus : Paralisis pada
Anjing Shih-tzu yang Diduga Terinfeksi Virus Distemper Anjing. Indonesia
Medicus Veterius vol 8(1) : 34-44.
Lestari, D. L. P. 2021. Hemorrhagic Gastritis in Crossbreed Pomeranian Dog: A
Case Report. Indonesia Medicus Veterinus, 10(3): 441-451.
Septianingsih N L P D., Widyastuti S K., Suartha I N. 2021. Laporan Kasus :
Babesiosis pada Anjing Pomeranian. Indonesia Medicus Veterinus. Vol
10(4) : 622-632.
Wira, Amar. 2020. Case Study: Babesiosis (Piroplasmosis) with Severe Ticks
Infestation in German Shepherd Dog. Jurnal Sains dan Teknologi
Peternakan, 1(2): 30-35.
Wijaya Agus.2018. Studi Kasus: Babesiosis pada Anjing Doberman (Borna). Proc.
of the 20th FAVA CONGRESS & The 15th KIVNAS PDHI, Bali.
Widyastuti dan Paramitha. 2019. Studi Kasus : Babesiosis Pada Anjing
Persilangan. Indonesia Medicus Veterinus.Universitas Udayana. Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai