Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PRAKTIKUM

PATOLOGI KLINIK

Canine Distemper Virus pada Anjing Hero

Maria Widyaneni T. 175130101111002


Monike Lanina 175130101111007
Fomalha Hari Andani 175130107111003
Radix Fehrnanda D. 175130107111029

KELOMPOK : A8
ASISTEN : Muhammad Kholif A.

LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
A. Sinyalemen dan Anamnesa
Anjing Hero dengan ras Dobermen, berumur 7 bulan, dengan jenis kelamin
jantan dan memiliki berat badan 15kg. Anjing Hero mengalami diare yang disertai
dengan pendarahan, mual, muntah, mukosa berwarna pucat, lemas, dehidrasi dan
sempat terdapat leleran pada hidung.
B. Temuan Klinis atau Pemeriksaan Fisik
Didapati anjing Hero mengalami demam, membrane mukosa pucat, lemas,
dehidrasi, ataksia atau tremor otot dan keratoconjunctivitis sicca (KCS). Menurut
Almeida dkk (2009) KCS adalah penyakit mata kronis yang ditandai dengan sekresi
yang tidak memadai (defisiensi lapisan film air mata kuantitatif) atau penguapan yang
berlebihan (defisiensi lapisan film air mata kualitatif) atau bisa dikatakan mata kering.
Menurut Widodo (2011), suhu normal anjing yang berukuran besar adalah
38,0°C– 38,5°C. Membrane mukosa normal pada anjing adalah ros (fisiologis)
dengan hidung, gusi selalu basah, berwarna merah muda dan tidak ada kelainan
seperti ulkus, vesikula, papula, bengkak, perdarahan dan keluarnya cairan-cairan lain.
Dehidrasi dapat diamati dengan menarik turgor kulit. Bila turgor kulit ditarik dan
kembali ke posisi semula dalam waktu lebih dari 2-3 detik maka kandungan air di
kulit menurun. Turgor kulit berkurang karena hewan kehilangan banyak cairan ragawi
sangat cepat seperti dalam kondisi diare disertai muntah dan pendarahan seperti pada
kasus anjing Hero.
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Hematologi dan Kimia Serum

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


WBC 1,2 10^3/L 6-17 Turun
Limfosit 5,6 10^3/L 1-4,8 Naik
Monosit - 10^3/L 0,15-1,35 -
Eosinofil - 10^3/L 0,01-1,25 -
Granulosit 7 10^3/L 3,5-14 Normal
RBC 2,24 10^6/L 5,5-8,5 Turun
Hb 4,5 g/dL 12-18 Turun
HCT 13 % 37-55 Turun
MCV 58 fL 60-77 Turun
MCH 30 Pg 19,5-24,5 Naik
MCHC 42 g/dL 32-36 Naik
Ureum 45,9 mg/dL 10-20 Naik
Kreatinin 2,4 mg/dL 1-2 Naik
Total Protein 9 g/dL 5,4-7,5 Naik
AST 72 U/L 8,9-48,5 Naik
ALT 75 U/L 8,2-57,3 Naik
PLT 190 10^3/L 200-500 Turun
Albumin 7 g/dL 2,6-4,0 Naik
Glukosa 300 mg/dL 60-100 Naik
K+ 16 mmol/l 3,7-5,8 Naik
Na+ 140 mmol/l 138-150 Normal

D. Interpretasi Hasil
Penurunan WBC dapat terjadi akibat adanya gangguan infeksius seperti
parvovirus, Canine distemper, Canine hepatitis awal dan efek penggunaan obat.
Peningkatan kadar limfosit dapat terjadi karena pasien dalam kondisi sehat ataupun
kesakitan selain itu dapat juga terjadi adanya stimulasi agen infeksius maupun non
infesius serta neoplasia. Penurunan RBC, hemoglobin dan hematokrit dapat terjadi
akibat anemia dari penyakit kronis, ulserasi pada gastrointestinal, defiensi zat besi,
defisiensi nutrisi, kerusakan hemostasis. Penurunan MCV dapat terjadi akibat adanya
defiensi zat besi, gagal hati, hewan masih berusia muda. Peningkatan MCH dan
MCHC dapat terjadi akibat hemolysis. Peningkatan kadar ureum dapat terjadi akibat
dehidrasi, sepsis, hemoragi pada saluran gastrointestinal, makanan mengandung
protein tinggi kemudian peningkatan kreatinin dapat terjadi akibat hypovolemia,
dehidrasi, inflamasi pada ginjal. Peningkatan kadar total protein dapat terjadi
diakibatkan oleh hemokonsentrasi akibat dehidrasi, adanya inflamasi akibat agen
infeksius atau non-infeksius. Peningkatan kadar AST dapat terjadi akibat kerusakan
atau kebocoran pada sel hepar hal ini dapat disebabkan oleh inflamasi, adanya toksin
atau reaksi obat, trauma, hypoxia, anemia serta dapat disebabkan kerusakan otot atau
nekrosis kemudian peningkatan kadar ALT pada serum dapat terjadi karena adanya
kerusakan atau kebocoran pada sel hepar hal ini dapat disebabkan oleh inflamasi,
adanya toksin atau reaksi obat, trauma, hypoxia, anemia. Peningkatan kadar albumin
dalam serum atau hiperalbuminemia disebabkan oleh hemokonsentrasi akibat
dehidrasi, peningkatan kadar glukosa dalam serum atau hiperglikemia dapat terjadi
akibat terapi obat, hipertiroidism, defisiensi insulin dan juga dapat dialami oleh pasien
yang sedang sehat atau ketakutan (Vaden et al., 2011)
E. Differential Diagnosa
o Canine Parvoviral Enteritis
Menurut Uzegbu (2015), gejala klinis yang tampak pada penyakit ini adalah
demam, muntah, diare berdarah, letargi, membrane mukosa pucat, adanya leleran
pada kedua mata dan dehidrasi. Gejala klinis pada penyakit ini mirip dengan gejala
klinis yang dialami oleh pasien tetapi pada Canine parvoviral enteritis gejala utama
yang ditimbulkan yaitu demam, letargi, tidak nafsu makan, muntah, diare dan
dehidrasi sementara pasien juga mengalami keratoconjunctivitis sicca dimana
gejala ini tidak dilaporkan ada pada penyakit Canine parvoviral enteritis (Sykes,
2013).
o Infectious Canine Hepatitis
Gejala klinis yang tampak pada penyakit ini adalah demam, letargi, diare
terkadang berdarah, muntah, batuk, takipnea, konjungtivitis, dan ikterus. Gejala
klinis neurologis terkadang muncul seperti konvulsi dan ataksia (Sykes, 2013).
Gejela klinis pada penyakit ini mirip dengan gejala klinis yang dialami oleh pasien,
tetapi pasien tidak mengalami ikterus, batuk, dan takipnea.
o Canine Distemper
Pasien yang mengalami Canine distemper terdapat gejala klinis seperti
demam, letargi, adanya leleran pada kedua mata dan hidung, konjungtivitis,
muntah, diare, dehidrasi. Gejala klinis pada mata berupa uveitis, chorioretinitis,
keratoconjunctivitis sicca. Selain itu, gejala klinis neurologis yang muncul seperti
tremor, konvulsi dan ataksia (Sykes, 2013). Gejala klinis pada penyakit ini dapat
dikatakan memiliki karakteristik yang sama dengan gejala klinis pada pasien.
F. Diagnosa
Berdasarkan gejala klinis yang muncul, anjing Hero mengalami diare yang
disertai dengan pendarahan, mual, muntah, mukosa berwarna pucat, lemas, dehidrasi
dan sempat terdapat leleran pada hidung. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapati
anjing Hero mengalami demam, membrane mukosa pucat, lemas, dehidrasi, ataksia
atau tremor otot dan keratoconjunctivitis sicca (KCS). Kemudian didukung
pemeriksaan laboratorium sebagai pemeriksaan penunjang, hasil yang didapat
menunjukkan bahwa anjing Hero mengalami leukopenia, anemia, penurunan
hemoglobin, hematokrit, dan MCV. Adapula peningkatan terjadi pada nilai MCH dan
MCHC yang dapat disebabkan oleh hemolysis, peningkatan kadar ureum, kadar total
protein, kadar AST, ALT, hiperalbuminemia yang dapat disebabkan oleh
hemokonsentrasi akibat dehidrasi, dan hiperglikemia dapat terjadi akibat terapi obat,
hipertiroidism, serta defisiensi insulin.
Untuk eliminasi differential diagnosanya, diketahui bahwa anjing Hero
mengalami keratoconjunctivitis sicca, namun gejala ini tidak dilaporkan ada pada
penyakit Canine parvoviral enteritis. Selanjutnya untuk eliminasi Infectious Canine
Hepatitis, gejala klinis yang ditampakkan pasien menyerupai dengan penyakit ini,
namun pasien tidak mengalami ikterus, batuk, dan takipnea yang merupakan
patognomonis dari Infectious Canine Hepatitis.
Sehingga berdasarkan historis, anamnesa, pemeriksaan urinolithiasis, serta
perbandingan dan eliminasi differential diagnosis, anjing Hero didiagnosa mengalami
Canine Distemper. Distemper atau canine distemper merupakan penyakit yang sangat
menular pada anjing, ditandai dengan kenaikan suhu tubuh, leukopenia, radang
saluran pencernaan dan pernafasan dan sering diikuti oleh komplikasi berupa
gangguan saraf pusat. Pasien yang mengalami Canine distemper terdapat gejala klinis
seperti demam, letargi, adanya leleran pada kedua mata dan hidung, konjungtivitis,
muntah, diare, dehidrasi. Gejala klinis pada mata berupa uveitis, chorioretinitis,
keratoconjunctivitis sicca. Selain itu, gejala klinis neurologis yang muncul seperti
tremor, konvulsi dan ataksia (Sykes, 2013). Pada hasil pemeriksaan laboratorium,
anemia regenerative, dan peningkatan α-dan γ- globulin dapat ditemukan dalam kasus
Canine Distemper (Degene dan Zebene, 2019).
G. Etiologi
Canine Distemper disebabkan oleh virus RNA Paramyxovirus yang berukuran
150-300µm dengan nukleokapsid simetris dan berbungkus lipoprotein. Virus
distemper terdiri atas 6 struktur protein yaitu nukleoprotein (N) dan 2 enzim (P dan L)
pada nukleokapsidnya, juga membran protein (M) disebelah dalam dan 2 protein lagi
(H dan F) pada bungkus lipoprotein sebelah luar. Pembungkus lipoprotein mudah
dihancurkan oleh pelarut lemak yang menjadikan virus tidak menular lagi. Semua
bangsa dan umur anjing secara universal dapat menderita distemper. Anjing yang
menderita distemper akut akan mengeksresikan virus. Sekresi melalui alat pernafasan
merupakan jalur penyebaran virus lewat udara yang paling sering terjadi. Virus
distemper diluar induk semang memiliki sifat tidak stabil dan akan segera mati
(Degene dan Zebene, 2019).
Sistem yang dapat terpengaruh yakni multisistemik, meliputi semua jaringan
limfatik, epitel permukaan pada saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan sistem
urogenital termasuk sistema kelenjar endokrin dan eksokrin. Sistem saraf pusat
meliputi grey matter ataupun white matter otak dan /atau tulang belakang (Degene
dan Zebene, 2019), (Sykes,2013).
H. Patogenesa
Jalur alami infeksi dapat terjadi melalui udara dan paparan droplet; dari
saluran pernapasan, menyebabkan infeksi ke dalam sel makrofag alat pernafasan,
yang kemudian makrofag membawa virus ke kelenjar getah bening lokal, tempat
replikasi virus terjadi. Virus mula-mula akan berkembang di dalam kelenjar getah
bening terdekat. Dalam waktu 1 minggu virus menjalani replikasi dan menyebabkan
viremia, yang selanjutnya virus tersebar ke berbagai organ limfoid,sumsum tulang dan
lamina propria dari epitel. Apabila respon jaringan retikuloendotelial baik, segera
terbentuk antibodi yang cukup dan virus akan dinetralisasi hingga tubuh bebas dari
virus. Sebaliknya kalau antibodi tidak terbentuk, virus menyebar cepat. Suhu tubuh
saat itu akan naik , anoreksia, depresi dan sel-sel kelenjar di saluran pernafasan dan
mata menghasilkan sekretnya secara berlebihan. Batuk, dipsnea, disertai adanya suara
cairan dari paru-paru segera terjadi. Rusaknya epitel saluran pencernaan
menyebabkan diare, muntah dan nafsu makan tertekan (Degene dan Zebene, 2019).
I. Treatment atau Penanganan
Penanganan Canine Distemper Virus pada anjing Hero bisa dilakukan dengan
cara pemberian antiviral, antibiotik spektrum luas seperti Ampicillin, Tetracycline,
dan Cholramphenicol untuk mengurangi infeksi bakteri sekunder dimana CDV ini
bersifat imunosupresif, serta pemberian obat antikonvulsi seperti Phenobarbital dan
Potassium bromide untuk mengurangi kejang. Pencegahan Canine Distemper Virus
pada anjing dapat dilakukan dengan cara pemberian vaksinasi, isolasi puppies agar
tercegah infeksi dari alam liar atau anjing tertular (anjing yang sudah sembuh tidak
bersifat karier) (Tilley, 2016).
J. Kesimpulan
Anjing Hero dengan ras Dobermen, berumur 7 bulan, dengan jenis kelamin
jantan dan memiliki berat badan 15kg. Anjing Hero mengalami diare yang disertai
dengan pendarahan, mual, muntah, mukosa berwarna pucat, lemas, dehidrasi dan
sempat terdapat leleran pada hidung. Pada pemeriksaan kimia klinik diketahui anjing
hero mengalami penurunan WBC, RBC, Hb, PCV, MCV, dan PLT. Terjadi juga
peningkatan Limfosit, SGPT, SGOT, Total Protein, Kreatinin, BUN, MCH, MCHC,
Albumin, Glukosa, dan K+. Diduga anjing Hero ini mengalami penyakit Canine
Distemper Virus yang disebabkan oleh Morbillivirus dalam family Paramyxoviridae.
Penanganan yang seharusnya dilakukan adalah pemberian antivirus, antibiotic
spektrum luas, dan antikonvulsi. Pencegahan yang seharusnya dilakukan berupa
vaksinasi rutin pada hewan peliharaan.
K. Saran
Seharusnya dilakukan tes serologis untuk mengetahui apakah benar anjing
Hero terkena Canine Distemper Virus (ditandai adanya antibodi CDV pada cairan
serebrospinal) atau tidak. Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan
berupa pemeriksaan radiologi dimana CDV dapat mengakibatkan pneumonia pada
pasiennya. Perlu adanya edukasi kepada pemilik anjing atau hewan kesayangannya
lainnya terkait pemberian vaksinasi secara rutin agar hewan terhindar dari berbagai
penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Almeida, D.E., C, Roveratti., F.L.C, Brito., G.S, Godoy., J.C.M, Duque., G.H, Bechara., and
J.L, Laust. 2009. Conjunctival Effects of Canine Distemper Virus-Induced
Keratoconjuctivitis Sicca. Veterinary Ophthalmology, 12 (4) : 211.

Degene,B., dan M. Zebene, 2019. Canine Distemper, A Review. Int. J. Adv. Res. Biol. Sci.
6(7): 12-19

Sykes, Jane E.. 2013. Canine and Feline Infectious Diseases. Missouri: Elsevier Saunders

Tilley, Larry P., Francis W. K. Smith, Jr. 2016. Blackwell’s Five-Minute Veterinary Consult:
Canine and Feline Sixth Edition. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Uzegbu,. 2015. A Case Report on Suspected Parvoviral Enteritis in a Dog. Journal of


Biochemistry and Bioinformatics 3(2):9-12

Vaden, S. L., Knoll, J. S., Smith, F. W. K., Tilley, L. P.. 2011. Blackwell’s Five-Minute
Veterinary Consult: Laboratory Tests and Diagnostic Procedures: Canine and
Feline. Iowa: Wiley-Blackwell

Widodo, S. 2011. Diagnostik Klinik Hewan Kecil. IPB Press. Bogor. 40, 64-65, 69-70.

Anda mungkin juga menyukai