Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO 1

“PATOLOGI KLINIS”

Disusun oleh :

KELOMPOK 1

Dosen pembimbing :

dr. Lysa Veterini Sp.PA

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan tutorial SKENARIO 1 “Patologi Klinis” telah melalui konsultasi dan


disetujui oleh Tutor Pembimbing

Surabaya, 29 Februari 2019

Pembimbing

dr. Lysa Veterini Sp.PA


NAMA KELOMPOK

Anggota Kelompok :

Ketua = Dhimas Maulana Yusuf A. (6130017001)

Sekretaris = Firdaus Arafany Ady (6130017041)

Anggota =

Febriani Nasucha (6130017011)

Iwa Wahyu Kusuma (6130017016)

Aulia Adila Akhmad (6130017021)

Mizada Adini Fairuza (6130017026)

M. Ikhwan Fajri Utama (6130017031)

Zahrival Suhma (6130017036)

Nanda Cahya Nurul Aisah (6130017046)

Widya Dio Kharisma (6130017051)


SKENARIO 1 PATOLOGI KLINIS

Seorang anak usia 12 tahun datang ke poliklinik penyakit dalam dengan


keluhan sering cepat lelah, lemah, lesu, disertai mata sering berkunang-kunang dan
BAB keluar darah segar, tekanan darah 100/70, suhu 36,8 C, frekuensi nafas 20
x/menit, frekuensi nadi 80 x/menit, pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva
tampak pucat,atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan tidak terdapat pembesaran
kelenjar limfepada pemeriksaan laboratorium di dapatkan kadar Hb 7 g/dl, eosinophil
meningkat MCV menurun, MCH menurun, pada hapusan darah didapatkan anemia
hipokrom mikrositik, pemeriksaan feses terdapat telur cacing positif. Bagaimana anda
jelaskan hal tersebut.

SUBJECTIVE

 Anak usia 12 tahun


 Tinggal di pedesaan
 Diare terus-menerus
 Mata sering berkunang-kunang
 BAB keluar darah, tidak menetes
 Belum berobat
 Lemah
 Lesu
 Lelah

OBJECTIVE

 Vital Sign : dalam batas normal


 Stomatitis angularis
 Konjungtiva pucat
 Atrofi papil lidah
 Hasil pemeriksaan laboratorium :

Pemeriksaan Hasil
 Hb  7 g/dl
 Eosinofil  Meningkat
 MCV  Menurun
 MCH  Menurun
 Hapusan darah  Anemia hipokrom
mikrositik
 Feses  Telur cacing
positif

TABEL ASSESSMENT

Infeksi Cacing Kolitis Kronis


Deman Tifoid Defek Fe
Tambang
 Anemia  Tampak  Stomatitis  BAB
 Diare kurus angularis berdarah
 Lemah  Diare  Hb menurun  Diare
 Letih  BAB keluar  Lesu  Lesu
 Lesu darah  Lemah
 Lemah,  Letih
letih, lesu
 Hb
menurun
 Telur
cacing
positif
PENJELASAN

 INFEKSI CACING TAMBANG

PENGERTIAN

Infeksi cacing tambang adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing parasit
atau nematoda yang hidup pada usus kecil yang dapat berupa mamalia seperti kucing
anjing ataupun manusia ada dua spesies cacing tambang yang bisa menyerang
manusia, ancylostoma duodenale dan necator americanus banyak ditemukan di
Amerika sub Sahara Afrika Asia Tenggara Tiongkok dan Indonesia Ancylostoma
duodenale lebih banyak di Timur Tengah Afrika Utara India dan Eropa bagian
Selatan sekitar seperempat penduduk dunia terinfeksi oleh cacing tambang infeksi
paling sering ditemukan di daerah yang hangat dan lembab dengan tingkat kebersihan
yang buruk (Knowles,1970)

PATOFISIOLOGI

Hampir semua infeksi cacing tambang disebabkan oleh Ancylostoma


duodenale dan Necator Americanus. Parasite ini hidup di usus halus dan bereproduksi
secara seksual. Cacing betina mengeluarkan telurnya ke dalam feses manusia dan
menyebar ke lingkungan di sekitarnya. Pada kondisi iklim yang sesuai, telur cacing
tambang akan menempel di tanah dan menghasilkan larva yang infektif. Infeksi
terjadi melalui penetrasi larva melalui kulit, tetapi pada spesies Ancylostoma
duodenale juga dapat menginfeksi manusia secara oral. Setelah penetrasi ke dalam
tubuh manusia, larva akan bermigrasi melalui system peredaran darah, termasuk pula
ke dalam system peredaran darah pulmoner. Hal ini dikarenakan larva cacing
tambang tersebut memasuki pembuluh darah kapiler dan berpenetrasi ke parenkim
paru-paru. Kemudian larva memasuki saluran pernafasan dan tertelan ke saluran
pencernaan. Di dalam usus halus, larva berkembang menjadi stadium dewasa. Waktu
yang diperlukan dari tertelanya telur atau dari saat penetrasi larva hingga
menimbulkan infeksi adalah 28 - 50 hari untuk Ancylostoma duodenale. Dan 40 – 50
hari untuk Necator americanus. Cacing dewasa dapat berada di saluran pencernaan
hingga bertahun-tahun. (Budianto, 2006)

Infestasi cacing tambang pada manusia menyebabkan penderita


kehilangan banyak darah akibat parasit yang mengambil nutrisi dari darah manusia
sehingga berujung pada anemia. Di dalam saluran pencernaan, cacing tambang
mengambil makanan dari darah dengan cara merusak kapiler darah pada mukosa usus
halus yang mengakibatkan perdarahan gastrointestinal, hilangnya protein serum,
dan inflamasi pada usus halus. Hal ini mengakibatkan tubuh kehilangan banyak
darah yang dibutuhkan dan terjadi anemia defisiensi besi dengan gambaran hapusan
darah yang menunjukkan anemia hipokromik mikrositik. Ketika diperiksa pada
pemeriksaan darah lengkap maka kadar hemoglobin akan menurun dibawah 11
g/dl. (Budianto, 2006)

MANIFESTASI KLINIK

Gejala klinis penyakit cacing tambang berupa anemia yang diakibatkan oleh
kehilangan darah pada usus halus secara kronik jumlah darah yang hilang setiap hari
tergantung pada jumlah cacing terutama yang secara kebetulan melekat pada mukosa
yang berdekatan dengan kapiler arteri dua spesies cacing seekor A.duodenale lebih
besar dari N.americanus mengisap 5x lebih banyak darah Lamanya infeksi terjadinya
anemia tergantung pada keseimbangan zat besi dan protein yang hilang dalam usus
yang diserap dari makanan kekurangan gizi dapat menurunkan daya tahan terhadap
infeksi parasit beratnya penyakit cacing tambang tergantung pada beberapa faktor
antara lain umur lamanya penyakit dan keadaan gizi penderita penyakit cacing
tambang pertahun dapat dibagi dalam tiga golongan:

1. Infeksi ringan dengan kehilangan darah yang dapat diatasi tanpa gejala
walaupun penderita mempunyai daya tahan yang menurun terhadap penyakit
lain.
2. Infeksi sedang dengan kehilangan darah yang tidak dapat dikompensasi dan
penderita kekurangan gizi mempunyai keluhan pencernaan anemia lemah fisik
dan mental kurang baik.
3. Infeksi berat yang dapat menyebabkan Keadaan fisik buruk dan payah jantung
dengan segala akibatnya gejala lainnya yang menonjol dan terasa gatal bisa
muncul di tempat masuknya Larva pada kulit demam batuk dan bunyi nafas
terjadi akibat berpindahnya Larva, paru-paru terdapat cacing dewasa
seringkali menyebabkan nyeri di perut bagian atas, anemia karena kekurangan
zat besi dan rendahnya kadar protein di dalam darah bisa terjadi akibat
pendarahan usus kehilangan darah yang berat dan berlangsung lama bisa
menyebabkan pertumbuhan yang lambat gagal jantung dan pembengkakan
jaringan yang meluas pada anak-anak. (Fine, 1979)
KOMPLIKASI

Traumatik action
Infeksi cacing dapat menyebabkan abses di dinding usus, perforasi dan
kemudian peritonitis. Yang lebih sering terjadi cacing-cacing tambang ini berkumpul
dalam usus, menyebabkan obstuksi usus dengan segala akibatnya. Anak dengan
gejala demikian segera dikirim ke bagian radiologi untuk dilakukan pemeriksaan
dengan barium enema guna mengetahui letak obstruksi. Biasanya dengan tindakan ini
cacing-cacing juga dapat terlepas dari gumpalannya sehingga obstruksi dapat
dihilangkan. Jika cara ini tidak menolong, maka dilakukan tindakan operatif. Pada
foto rontgen akan tampak gambaran garis-garis panjang dan gelap (filling defect).

Dalam siklusnya larva dapat masuk ke otak sehingga timbul abses-abses kecil;
ke ginjal menyebabkan nefritis; ke hati menyebabkan abses-abses kecil dan hepatitis.
Di indonesia komplikasi ini jarang terjadi tetapi di srilangka dan Filipina banyak
menyebabkan kematian.

DIAGNOSIS

Pemeriksaan secara makroskopis, meliputi:


1. Konsistensi
2. Adanya bahan-bahan lain selain tinja, contoh: lendir, darah dan cacing dewasa
3. Warna tinja, yaitu: kuning sampai kuning tua dan coklat sampai hitam

Pemeriksaan secara mikroskopis, meliputi:


1. Pemeriksaan sediaan langsung
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara, ambil tinja pasien kira-kira 0,2 g
diletakkan pada kaca preparat. Kemudian ditambah 1-2 tetes larutan garam fisiologis
dan diratakan.Selanjutnya ditutup dengan Cover glass dan langsung diperiksa
dibawah mikroskop. Untuk memberikan warna tinja agar telur cacing tampak, dapat
digunakan 1 tetes eosin 0,2% sebagai pengganti garam fisiologis.

2. Pemeriksaan tinja tebal Menurut Kato


Teknik ini dirintis oleh Kato untuk pemeriksaan telur cacing, yaitu:
memotong kertas selofan 30-50 mm x 20-30 mm dan direndam dalam larutan
malachite green 3% yang encer selama 24 jam atau lebih. Diambil tinja pasien 50-
60mg diletakan diatas kaca preparat dan ditutup sepotong selofan yang telah
direndam dalam larutan tersebut. Diratakan dengan ibu jari dan ditekan selofan tadi
supaya tinjanya merata. Kaca preparat tersebut didiamkan pada suhu 40 C selama 30
menit atau suhu kamar selama 1 jam. Sediaan tersebut diperiksa dengan pembesaran
lemah atau lensa obyektif 10x.

Pemeriksaan dengan Ultrasonografi dan endoskopi


Pemeriksaan ini bermanfaat untuk diagnosis dari komplikasi ascariasis termasuk
obstruksi usus dan saluran hepatobilliar serta pancreas.

TERAPI

Terapi Infeksi Cacing Tambang (Hookwarm):

1. Terapi Farmakologi
Creeping eruption di tatalaksana dengan liquid nitrogen atau kloretilen spray,
tiabendazol topikal selama 1 minggu. Selain itu, penggunaan albendazol 400 mg
selama 5 hari berturut-turut sudah terbukti memberikan hasil yang memuaskan.
Pengobatan terhadap cacing dewasa digunakan gabungan pirantel-pamoat dengan
mebendazol, dengan cara pirantel pamoat dosis tunggal 10 mg/kgBB diberikan pada
pagi hari diikuti dengan pemberian mebendazol 100 mg 2 kali sehari selama 3 hari
berturut-turut. Hasil pengobatan sangat memuaskan terutama bila terdapat infeksi
bersama dengan cacing-cacing lain.

Terapi penunjang yang dilakukan yaitu dengan memberikan makanan bergizi


dan preparat besi untuk mencegah anemia. Pada keadaan anemia yang berat (Hb<5
mg/dl) diberikan preparat besi sebelum dimulai pengobatan dengan cacing besi
elmenter diberikan secara oral dengan dosis 2mg/kgBB 3 kali sehari sampai tanda-
tanda anemia hilang.

2. Non Farmakologi
a. Mengatur pola makan
Makanan sangat berpengaruh agar tidak mudah terkena infeksi cacing, jenis
makanan yang disarankan adalah berupa sayuran dan buah-buahan serta
makanan yang tidak banyak mengandung gula dan karbohidrat.
b. Menerapkan pola hidup bersih dan sehat
Dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat maka cacing tidak akan
muda masuk kedalam tubuh. Beberapa langkah yang dilakukan seperti
menerapkan cara mencuci tangan dengan benar sesering mungkin.
Menggunakan sabun anti bakteri, mencuci tangan dengan air hangat sebelum
tidur selalu membersihkan bagian bawah kuku dan kuku secara teratur.
c. Selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.
d. Selalu berganti pakaian luar dan pakaian dalam setiap hari atau sesering
mungkin.

MONITORING

Secara garis besar terdapat tiga intervensi untuk mengendalikan infeksi STH,
yaitu pemberian obat, antelmintik dan sanitasi

1. Pemberian obat antelmintik


Pemberian obat antelmintik bertujuan mengurangi kesakitan dengan
menurunkan gangguan akibat infeksi STH. Pemberian kemoterapi berulang
kali secara teratur dengan interval tertentu (periodic deworming) pada
kelompok risiko tinggi mampu menurunkan angka kesakitan dan
memperbaiki kesehatan serta pertumbuhan anak. (Suriptiastuti, 2006)

Pemberian obat pada masyarakat dapat dilakukan secara: i) universal (semua


penduduk tidak tergantung usia, jenis kelamin, dan status infeksi diberikan
pengobatan, ii) populasi sasaran (pengobatan diberikan pada kelompok usia dan jenis
kelamin tertentu tanpa memperhatikan status infeksi), dan iii) selektif (pengobatan
diberikan pada individu yang dipilih berdasarkan diagnosisnya). (Suriptiastuti,2006)

Obat yang direkomendasikan untuk mengendalikan infeksi STH di


masyarakat adalah benzimidazole, albendazole (dosis tunggal 400 mg, dan untuk
anak usia 12–24 bulan dikurangi menjadi 200 mg) atau mebendazole (dosis tunggal
500 mg) dapat juga diberikan levamisole atau pyrantel pamoate.(5) Anak usia sekolah
merupakan kelompok risiko tinggi untuk menderita infeksi STH dengan intensitas
yang tinggi.Pengobatan secara teratur dapat mencegah terjadinya kesakitan yang
kemudian mampu memperbaiki keadaan gizi dan kognitif anak-anak. (Suriptiastuti.
2006)

Bukan hanya anak usia sekolah yang memperoleh manfaat dari pemberian
pengobatan antelmintik, anak usia pra-sekolah (1–5 tahun) juga sangat rentan untuk
mengalami anemia defisiensi zat besi yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan
dan perilaku anak. Infeksi cacing tambang terbukti merupakan kontributor utama
terhadap anemia defisiensi zat besi pada anak-anak pra sekolah. (Suriptiastuti,2006)

Ibu hamil di daerah endemik yang diberikan pengobatan satu atau dua kali
selama kehamilan terbukti dapat memperbaiki status anemia ibu dan berat lahir bayi
serta menurunkan angka kematian bayi pada 6 bulan pertama. Pada daerah di mana
infeksi cacing tambang sudah endemik, dianjurkan pemberian pengobatan antelmintik
selama kehamilan kecuali pada trimester pertama. (Suriptiastuti,2006)

2. Sanitasi
Perbaikan sanitasi bertujuan untuk mengendalikan penyebaran STH dengan
cara menurunkan kontaminasi air dan tanah. Sanitasi merupakan intervensi utama
untuk menghilangkan infeksi STH, tetapi supaya intervensi ini efektif harus
mencakup populasi yang luas. Namun strategi ini memerlukan biaya yang tidak
sedikit dan sulit dilaksanakan bila biaya yang tersedia sangat terbatas. Lagi pula bila
digunakan sebagai intervensi primer untuk mengendalikan infeksi STH diperlukan
waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun supaya dapat efektif.

Pengendalian baru
Pengobatan antelmintik secara teratur belum menjamin hilangnya infeksi
STH. Akhir-akhir ini ditemukan resistensi terhadap obat-obat tersebut. Untuk itu
diperlukan cara pengendalian yang baru. Vaksinasi tetap merupakan metode yang
tepat untuk mengendalikan infeksi STH, karena dapat memotong penyebaran infeksi
STH. Vaksin cacing tambang yang mengandung antigen larva Ancylosoma – secreted
protein (ASP)2 efektif pada model hewan (anjing dan tupai) dan studi epidemiologi
menunjukan adanya efek pencegahan. Vaksin cacing tambang Na ASP-2 saat ini
masih dalam tahap pengembangan untuk dapat digunakan pada manusia.
(Suriptiastuti,2006)

EDUKASI

Pencegahan terutama dilakukan dengan menjaga hygiene dan sanitasi, tidak


buang air di sembarang tempat, melindungi makanan dari pencemaran kotoran,
mencuci bersih tangan sebelum makan, dan tidak memakai tinja manusia sebagai
pupuk tanaman (Safar, 2010).

Pendidikan kesehatan bertujuan menurunkan penyebaran dan terjadinya


reinfeksi dengan cara memperbaiki perilaku kesehatan. Untuk infeksi STH, tujuannya
adalah mengurangi kontaminasi dengan tanah dan air melalui promosi penggunaan
jamban dan perilaku kebersihan. Tanpa perubahan kebiasaan buang air besar,
pengobatan secara teratur ternyata tidak mampu menurunkan penyebaran infeksi
STH. Pendidikan kesehatan dapat menurunkan biaya pengendalian infeksi STH dan
terjadinya reinfeksi. (Suriptiastuti. 2006)

 DEFEK Fe

PENGERTIAN

Defek fe adalah suatu keadaan dimana terjadi kecacatan atau pengurangan zat
besi dalam tubuh yang akan menyebabkan produksi hemoglobin pada sel darah merah
akan menurun atau terganggu (depkes, 2000).

MANIFESTASI KLINIK

Gejala yang akan dialami oleh orang yang menderita defek fe biasanya Lesu,
Lemah, Letih, Lelah, Lalai (5L), sering mengeluh pusing dan mata berkunang-
kunang. Gejala lebih lanjut adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan
menjadi pucat dan sering kehilangan fokus, biasanya defek fe akan mengakibatkan si
penderita akan mengalami kekurangan darah atau biasa disebut anemia defisiensi
besi. (Mansjoer,2011)
Dari gejala-gejalan ini ditemukan bebrapa persaman gejala dari pasien pada
skenario Namun mengapa kelompok kami tidak memilih sebagai diagnosis utama,
karena dari gejala-gejala ini belum begitu spesifik dengan apa yang ditemukan pada
pasien.

 DEMAM TIFOID

PENGERTIAN

Thypus adalah penyakit infeksi bakteri pada usus halus dan terkadang pada
aliran darah yang disebabkan oleh Bakteri Salmonella typhosa atau Salmonella
paratyphi A, B dan C, selain ini dapat juga menyebabkan gastroenteritis (radang
lambung ).

Kuman tersebut masuk melalui saluran pencernaan, setelah berkembang biak


kemudian menembus dinding usus menuju saluran limfa, masuk ke dalam pembuluh
darah dalam waktu 24-72 jam. Kemudian dapat terjadi pembiakan di sistem
retikuloendothelial dan menyebar kembali ke pembuluh darah yang kemudian
menimbulkan berbagai gejala klinis. (depkes, 2000)

MANIFESTASI KLINIK

1. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut
pada umumnya seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan
menurun, sakit perut, diare pada anak-anak atau sulit buang air pada orang
dewasa, dan suhu tubuh meningkat terutama sore dan malam hari.
2. Setelah minggu ke dua, gejala menjadi lebih jelas yaitu demam yang tinggi
terus-menerus, nafas berbau tak sedap, kulit kering, rambut kering, bibir
kering pecah-pecah, lidah ditutupi selaput putih kotor, pembesaran hati dan
limpa dan timbul rasa nyeri bila diraba, dan perut kembung. Anak nampak
sakit berat, disertai gangguan kesadaran dari yang ringan, acuh tak acuh
(apatis), sampai berat (koma).
3. Gejala tifus endemik berkembang dalam waktu sekitar 1-2 minggu setelah
infeksi awal dan mungkin termasuk demam tinggi , sakit kepala, malaise,
mual, muntah, diare, dan ruam yang mulai sekitar empat sampai tujuh hari di
dada dan perut setelah gejala awal di atas berkembang; ruam sering menyebar.
Beberapa pasien juga mungkin memiliki batuk dan perut, nyeri sendi, dan
punggung. Gejala dapat berlangsung selama sekitar dua minggu, dan
komplikasi pembatasan atau kematian (kurang dari 2% meninggal), gejala
mereda. Namun, epidemi gejala tifus, meskipun awalnya mirip dengan tifus
endemik, menjadi lebih parah. Pasien mungkin mengalami gejala tambahan
perdarahan ke dalam kulit (petechiae), delirium, stupor, hipotensi, dan shock,
yang dapat menyebabkan kematian mereka. Penyakit tifus yang berat
menyebabkan komplikasi perdarahan, kebocoran usus, infeksi selaput usus,
renjatan bronkopneumonia (peradangan paru) dan kelainan di otak.
(Maramis,2004)

Dari gejala-gejalan ini ditemukan bebrapa persaman gejala dari pasien pada
skenario Namun mengapa kelompok kami tidak memilih demam tifoid sebagai
diagnosis utama, karena dari gejala-gejala ini belum begitu spesifik dengan apa
yang ditemukan pada pasien.

 KOLITIS KRONIS

PENGERTIAN

Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang


melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui
jelas. Secara garis besar IBD teridiri dari 3 jenis, yaitu colitis ulseratif, penyakit
Crohn, dan bila sulit membedakan kedua hal tersebut, maka dimasukkan dalam
kategori indeterminate colitis. Hal ini untuk secara praktis membedakannya dengan
penyakit inflamasi usus lainnya seperti infeksi, iskemia dan radiasi (Djojoningrat,
2006). Colitis ulseratif merupakan salah satu dari dua tipe Inflammatory Bowel
Disease (IBD), selain Crohn disease. Tidak seperti Crohn disease, yang dapat
mengenai semua bagian dari traktus gastrointestinal, colitis ulseratif seringnya
mengenai usus besar, dan dapat terlihat dengan colonoscopy (Basson, 2011).

MANIFESTASI KLINIK

Gejala utama colitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen,
seringkali dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada penyakit
ringan, bisa terdapat satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang mengandung
sedikit darah dan tanpa manifestasi sistemik.

Derajat klinik colitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan,
berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang
terjadi dan laju endap darah (klasifikasi Truelove). Perjalanan penyakit colitis
ulseratif dapat dimulai dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan
yang bertambah berat secara gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan
pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Pada colitis ulseratif, terdapat
reksi radang yang secara primer mengenai mukosa kolon. Secara makroskopik,, kolon
tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran mencolok dari
radang adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak ada daerah tersisa
mukosa yang normal.

Perjalanan klinis colitis ulseratif bervariasi. Mayoritas pasien akan mendertia


relaps dalam waktu 1 tahun dari serangan pertama, mencerminkan sifat rekuren dari
penyakit. Namun demikian, bisa terdapat periode remisi yang berkepanjangan hanya
dengan gejala minimal. Pada umumnya, beratnya gejala mencerminkan luasnya
keterlibatan kolon dan intensitas radang.

Temuan fisik pada colitis ulseratif biasanya nonspesifik, bisa terdapat


distensi abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan,
pemeriksaan fisik umum akan normal. Demam, takikardia dan hipotensi postural
biasanya berhubungan dengan penyakit yang lebih berat.

Manifestasi ekstraintestinal bisa dijumpai, yaitu :

1. Sendi : peripheral arthritis, ankylosing spondylitis dan sacroilitis


(berhubungan dengan HLA-B27)
2. Kulit : erythema nodosum, aphtous ulcer, pyoderma gangrenosum
3. Mata : episkleritis, iritis, uveitis
4. Liver : fatty liver, pericholangitis (intrahepatic sclerosing cholangitis),
primary sclerosing cholangitis, cholangiocarcinoma, chronic hepatitis
5. Lain-lain : autoimmune hemolytic anemia, phlebitis, pulmonary embolus
(hypercoagulablestate)(Fauci,2009).
Planning
Subjective Objective Assessment
Dx Tx Monitoring Edukasi
Anak 12 • Vital Sign : Infeksi 1. Pemeriksaan •Tiabendazol topical • obat, antelmintik: • Pendidikan
tahun dalam batas Cacing Makroskopis (1 minggu) benzimidazole, Kesehatan:
•Tinggal di normal Tambang •albendazol 400 mg albendazole, - promosi
pedesaan • Stomatitis 2. Pemeriksaan selama 5 hari mebendazole, dapat penggunaan
•Diare terus- angularis Mikroskopis •pirantel-pamoat juga diberikan jamban
menerus •Konjungtiva dengan mebendazol levamisole atau - perilaku
•Mata sering pucat  Pemeriksaan •Preparat besi pyrantel pamoate kebersihan
berkunang- •Atrofi papil lidah sediaan 2mg/kgBB 3 kali - Mengatur pola
kunang • Hasil langsung sehari •sanitasi : makan
•BAB keluar pemeriksaan  Pemeriksaan Menurunkan
darah, tidak laboratorium : Hb tinja tebal kontaminasi air dan
menetes : 7 g/dl, Eosinofil Menurut Kato tanah
•Belum : meningkat,
berobat MCH : turun, 3. Pemeriksaan
•Lemah MCV: turun, dengan
•Lesu Hapusan darah: Ultrasonografi
•Lelah Anemia hipokrom dan endoskopi
mikrositik, Feses
: telur cacing
positif
DAFTAR PUSTAKA

Aditian, Nari. 2009. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Anemia Gizi


Remaja Putri SMP 133 Di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu Tahun 2009. Jakarta;
Universitas Indonesia

Basson, Marc D. 2011. Ulcerative Colitis. emedicine.medscape.com.

Budianto, Rahmad. 2006. Infeksi Cacing Tambang disertai Anemia. Universitas


Lambung Mangkurat: Banjarbaru

Djojoningrat, Dharmika. Inflammatory Bowel Disease : Alur Diagnosis dan


Pengobatannya di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi ke IV.
Hal. 384-388. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Fauci, Anthony S., et all. 2009. Inflammatory Bowel Disease. Harrison’s


Manual of Medicine 17th Edition. Hal. 836-840. United States of America : Mc.Graw
Hill.

FINE, J.D., : loeffler s syndrom? Letter. Arch. Dermatol., 117:677,1979

Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000. Departemen Kesehatan Republik


Indonesia Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta : Penerbit CV.
Sagung Seto

KNOWLES, J.H: Other disordes of the lung, dalam Wintrobe,M.M., Thorn, G.


W., Adams, R.D. (eds) : Harrison s Principles of internal medicine ed. 6, New York,
Mc Graw-Hill book Co Inc., 1970, pp. 1370 1371

Mansjoer, Arif, Triyanti, Kuspuji dkk.(2000).Kapita Selekta


Kedokteran.Jilid II. Jakarta; EGC

Maramis WF. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Penerbit Airlangga


University Press.

Risa, Harmeida., Onibala, Franly. (2013). Hubungan Kecacingan dengan


Status Gizi pada Murid sekolah dasar Negeri 1 Krawang Sari Natar

Soedarmo SSP, Gama H, Hadinegoro SSR, Satari HI. 2012. Penyakit Infeksi
Parasit. Dalam: Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi kedua. Jakarta: Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FK UI. pp370–84.
Suhatman.2006.Diagnosa Infeksi Cacing Tambang.Media Litbang Kesehatan
XVI.Nomor 4

Sukisworo, Nana. 2013. Makalah Penyakit Colitis Ulseratif.


www.academia.edu.

Suriptiastuti.2006.Infeksi soil-transmitted helmint : ascariasis, trichiuriasis dan


cacing tambang.Universa Medicina.Vol.25(2): 89

Tjandra YA. Dampak Merokok Bagi Kesehatan. Simposium Nasional I. Hasil


Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Di selenggarakan oleh : Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta, 20-21 Desember
2004.

Anda mungkin juga menyukai