Anda di halaman 1dari 10

Case Report Session

DEMAM TIFOID

Preseptor:
Rd. Reni Ghrahani D.M, dr.,Sp.A, M.Kes

Disusun Oleh:
Ari Sri Wulandari
130112140020

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. HASAN SADIKIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2014
Identitas Pasien
Nama

: An. PR

Jenis Kelamin
Tanggal Lahir
Usia
Alamat
Pekerjaan Orangtua
Tanggal & Jam Masuk
Tanggal & Jam Periksa

: Laki-laki
: 10 November 2006
: 8 tahun 2 hari
: Cibaligo, Bandung
: Karyawan Swasta
: 15 November 2014, pukul 10.00 WIB
: 18 November 2014, pukul 07.30 WIB

Anamnesis
Keluhan utama: Panas badan
Seorang anak laki-laki berumur 8 tahun mengeluhkan panas badan yang naik-turun,
tinggi terutama pada malam hari semenjak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan
disertai perut kembung, muntah 1 kali berisi sisa makanan, mencret tiga kali tanpa lendir dan
darah, disertai dengan penurunan nafsu makan. Keluhan ridak disertai dengan batuk pilek,
sesak kejang, bintik-bintik pendarahan, pendarahan gusi maupun tempat lain, atau penurunan
kesadaran.
Karena keluhannya, pasien dibawa berobat ke Puskesms, kemudian diberikan obat
penurun panas yang diminum tiga kali dua sendok teh. Karena belum ada perbaikan selama
tiga hari, pasien berobat ke dokter umum dan disarankan untuk dirawat. Selama perawatan,
pasien telah diperiksa darah, urin, foto dada, dan foto perut. Dari hasil pemeriksaan dikatakan
bahwa pasien mengalami infeksi di usus. Selama perawatan, pasien telah mendapat antibiotik
yang disuntikan dua kali dalam sehari, obat anti parasit yang diminum tiga kali sehari, dan
obat untuk lambung yang diminum dua kali sehari.
Riwayat kontak dengan penderita batuk lama dan batuk berdarah tidak ada. Riwayat
berat badan sulit naik tidak ada. Riwayat keluhan serupa di keluarga tidak ada. Riwayat
berpergian ke daerah endemik penyakit tidak ada. Riwayat imunisasi pasien lengkap. Ibu
pasien mengakui bahwa pasien memiliki kebiasaan jajan makanan yang tidak diketahui
kebersihannya.

Pemeriksaan Fisis
Keadaan Umun
Kesadaran
Berat Badan
Tinggi Badan
Status Gizi
Tanda Vital

Kepala

: Tampak sakit ringan


: Compos mentis
: 20 kg
: 120 cm
: TB/U = < 1SD; BMI/U = < 1SD
: Tekanan darah: 90/60 mmHg
Nadi : 120 kali/menit, reguler
Respirasi : 32 kali/menit, reguler
Suhu : 36,30C
: Konjungtiva tidak anemis
Sklera tidak ikterik
Pernafasan cuping hidung (-)
Telinga tidak hiperemis, lendir (-)
2

Leher
Thorak

Abdomen

Kulit
Ekstremitas

Mukosa mulut dan lidah basah, lidah kotor (+)


: Pembesaran KGB tidak teraba
: Bentuk dan gerak simetris
Jantung: Bunyi jantung murni reguler
Paru: VBS kanan = kiri, sonor
: Datar lembut
Hepar lien tidak teraba
Bising usus (+) normal
: Rose spot (-)
: Akral hangat
Petechie (-)

Diagnosis Banding
-

Demam tifoid
Malaria
Tuberkulosis

Pemeriksaan Penunjang
-

Pemeriksaan darah rutin & differential count


Urin & feses rutin
Biakan Salmonella
IgM anti-S.typhi

Diagnosis Kerja
Demam tifoid dengan perbaikan

Penatalaksanaan
-

Istirahat
Kloramfenikol 50-75 mg/kgBB/hari selama 14-21 hari
Makanan lunak namun rendah serat
Edukasi penyakit dan pengobatan yang akan diberikan ke pasien serta pencegahan
penyakit

Prognosis
Quo ad vitam
Quo ad fungsionam
Quo ad sanationam

: Ad bonam
: Ad bonam
: Dubia ad bonam

Pembahasan Kasus
Pasien ini didiagnosa demam tifoid karena kriteria:
Anamnesis

- Panas > 7 hari


- Mencret, muntah, perut kembung
- Infeksi saluran cerna
- Riwayat jajan makanan yang tidak diketahui kebersihannya
Pemeriksaan Fisis
: Tidak dapat dinilai karena sedang dalam masa perbaikan
Pemeriksaan Penunjang : - Foto BNO polos yang mengindikasikan adanya infeksi
saluran cerna
- Kemungkinan limfositosis relatif, trombositopenia
- Kemungkinan serologi IgM-anti S. typhi
- Kemungkinan hasil gall culture (+) S. typhi

Pembahasan Penyakit
A. Definisi Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan salah satu jenis dari demam enterik. Demam tifoid merupakan
penyakit infeksi sistemik akut yang mengenai sistem retikuloendotelial, kelenjar limfe
saluran cerna, dan kantung empedu disebabkan oleh Salmonella enterica serovar typhi
(S.typhi) dan menular melalui jalur fekal-oral.
B. Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di negara berkembang, khususnya Asia
Tenggara. Sebuah penelitian berbasis populasi yang melibatkan 13 negara di berbagai
benua melaporkan bahwa selama tahun 2000 terdapat 21.650.974 kasus demam tifoid
dengan angka kematian 10%. Insidensi demam tifoid pada anak tertinggi ditemukan pada
kelompok usia 5-15 tahun. Indonesia merupakan salah satu negara dengan insidensi
demam tifoid pada kelompok umur 5-15 tahun mencapai angka 180,3 per 100,000
penduduk.
C. Patogenesis
Demam enterik dapat terjadi karena ingesti dari organisme, bisa dari kontaminasi tinja
yang menyebar di makanan yang dijajakan di jalan ataupun sumber air. Manusia
membutuhkan 105-109 organisme sebagai infecting dose, dengan masa inkubasi 4-14
hari. Setelah teringesti, S. typhi akan menginvasi mukosa usus, terutama pada ileum
distal. Flora normal usus berada di lapisan mukosa atau menempel pada epitel saluran
cerna dan akan berkompetisi untuk mendapatkan kebutuhan metabolik untuk keperluan
pertumbuhan, memproduksi asam amino rantai pendek sehingga menurunkan suasana
asam serta memproduksi zat antibakteri seperti kolisin. Bila respon imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka bakteri akan menembus sel-sel epitel (terutama sel
M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Bakteri dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke Peyer patches ileum
4

distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus
torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteriemia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama limpa dan hati. Di organ-organ ini, bakteri
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteriemia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus.
Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis S. typhi terjadi pelepasan beberapa
mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan
mental dan koagulasi.
Di dalam Peyer patches, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan
(S. typhi intra-makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia
jaringan, dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar Peyer patches yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia
akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid
dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan
perforasi.
Perubahan pada jaringan limfoid di daerah ileosekal yang timbul selama demam tifoid
dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu: hiperplasia, nekrosis jaringan, ulserasi, dan
penyembuhan. Adanya perubahan pada nodus Peyer tersebut menyebabkan penderita
mengalami gejala intestinal yaitu nyeri perut, diare, perdarahan, dan perforasi. Diare
dengan gambaran pea soup merupakan karakteristik yang khas yang dijumpai pada
kurang dari 50% kasus dan biasanya timbul pada minggu kedua.
Nyeri perut pada demam tifoid dapat bersifat menyebar atau terlokalisir di kanan
bawah daerah ileum terminalis. Nyeri ini disebabkan karena mediator yang dihasilkan
pada proses inflamasi (histamin, bradikinin, serotonin) merangsang ujung saraf sehingga
menimbulkan rasa nyeri. Selain itu rasa nyeri dapat disebabkan karena peregangan
kapsul yang membungkus hati dan limpa karena organ tersebut membesar.
Perdarahan dapat timbul apabila proses nekrosis sudah mengenai lapisan mukosa dan
submukosa sehingga terjadi erosi pasa pembuluh darah. Konstipasi dapat terjadi pada
ulserasi tahap lanjut, dan merupakan tanda prognosis yang baik. Ulkus biasanya
menyembuh sendiri tanpa meninggalkan jaringan parut, tetapi ulkus dapat menembus
lapisan serosa sehingga terjadi perforasi. Pada keadaan ini tampak adanya distensi
abdomen. Distensi abdomen ditandai dengan adanya meteorismus atau timpani yang
disebabkan konstipasi dan penumpukan tinja atau berkurangnya tonus pada lapisan otot
intestinal.
Gambaran klinis yang khas pada demam tifoid merupakan hasil interaksi antara S.
typhi dan makrofag di hati, limpa, kelenjar limfoid intestinal, dan mesenterika. Sejumlah
besar bakteri yang berada di dalam jaringan limfoid intestinal, hati, limpa, dan sumsum
5

tulang menyebabkan inflamasi di tempat tersebut dan melepaskan mediator inflamasi


dari makrofag. Makrofag memproduksi sitokin, diantaranya cachectin, IL-1 dan
interferon. Makrofag juga merupakan sumber mtabolit arakhidonat dan oksigen reaktif
intermediet. Produk makrofag tersebut dapat menyebabkan nekrosis seluler,
perangsangan sistem imun, ketidakstabilan vaskuler, permulaan mekanisme pembekuan,
penekanan sumsusm tulang, demam, dan keadaan lain yang berhubungan dengan demam
tifoid. Tampaknya endotoksin merangsang makrofag untuk melepaskan produknya yang
secara lokal menyebabkan nekrosis intestin maupun sel hati dan secara sistemik
menyebabkan gejala klinis demam tifoid.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan
organ lainnya. Endotoksin yang dilepaskan ke dalam sistem sirkulasi berperan sebagai
zat pirogen, akan tetapi bila dilepaskan dan terkonsentrasi di suatu tempat akan bertindak
sebagai mediator pada proses inflamasi lokal. Endotoksin juga berperan langsung pada
aktivasi faktor XII dari jalur pembekuan sehingga terjadi perubahan fibrinogen yang
larut menjadi fibrin yang tidak larut dalam darah. Selanjutnya terjadi penyebaran bekuan
darah (DIC) sehingga terjadi penyumbatan pada pembuluh darah organ vital termasuk
paru-paru, ginjal, otak, dan hati menimbulkan kegagalan fungsi organ dan gangguan
mental. Selain itu melalui aktivitas faktor XII, terjadinya DIC mungkin disebabkan
hipoksia jaringan, kerusakan endotel dan trombosit sehingga terjadi agregasi
intravaskuler.
D. Presentasi Klinis
- Masa inkubasi pada umumnya terjadi pada 7-14 hari namun tergantung dari
infecting dose (3-30 hari)
- Pada usia sekolah dan masa remaja, gejala klinis menyerupai penderita dewasa.
Pada saat onset-insidious akan ditemukan malaise, anoreksia, mialgia, sakit kepala,
sakit di daerah abdomen. Keluhan-keluhan tersebut akan meningkat kualitasnya
pada minggu kedua. Pada pemeriksaan fisis akan ditemukan bradikadia relatif
(jarang ditemukan pada anak usia lebih muda, umumnya pada remaja);
hepatomegali, splenomegali, distensi abdomen yang disertai rasa sakit; rose spot di
daerah dada bawah atau abdomen bagian atas (50% kasus); bila terjadi superinfeksi
dapat muncul tanda pneumonia seperti sesak nafas dan crackles.
- Pada usia balita, gejala akan muncul dan bersifat ringan berupa demam ringan,
malaise, dan diare.
- Pada neonatus, gejala akan timbul sesudah 3 hari pasca dilahirkan, berupa muntahmuntah, diare, berat badan menurun atau sulit naik, gelisah, kadang disertai kejang.
Tabel Tanda dan Gejala Demam Tifoid pada Anak1
Tabel 190-5 Common Clinical Features of Typhoid Fever in Children*
Feature
Rate (%)
High-grade fever
95
Coated tongue
76
Anorexia
70
Vomiting
39
6

Hepatomegaly
Diarrhea
Toxicity
Abdominal pain
Pallor
Splenomegaly
Constipation
Headache
Jaundice
Obtundation
Ileus
Intestinal perforation
*Data collected in Karachi, Pakistan, from 2,000 children

37
36
29
21
20
17
7
4
2
2
1
0.5

E. Komplikasi
- Meskipun berubahnya kualitas dari fungsi hati karena demam enterik, baik hepatitis,
jaundice, kosistitis secara signifikan jarang ditemukan pada anak-anak. Pendarahan
intestinal (<1%) dan perforasi (<0.5-1%) juga jarang ditemukan pada anak-anak.
Apabila terdapat perforasi usus maupun peritonitis, akan timbul gejala meningkatnya
nadi, hipotensi, pekak samping dan pekak pindah positif. Dapat ditandai juga dengan
limfosit yang shift-to-the-left dan adanya udara bebas pada foto BNO polos pada
beberapa kasus.
- Komplikasi jarang lainnya dapat berupa toksik miokarditis.
- Komplikasi neurologis yang dapat terjadi pada anak dapat berupa delirium, psikosis,
peningkatan ICP, ataksia serebelum akut, korea, ketulian, atau sindroma GuillainBarre.
- Komplikasi lainnya dapat berupa nekrosis sumsum tulang, DIC, sindroma hemolisis
uremik, pielonefritis, sindroma nefrotik, meningitis, endocarditis, parotitis, orkitis,
dan limpadenitis supuratif.
F. Diagnosis
- Hasil positif kultur, baik dari darah maupun lokasi lainnya.
- Hasil laboratorium lainnya bersifat non-spesifik, seperti leukositosis, dan
trombositopenia. Sama halnya dengan tes fungsi liver.
- Tes Widal dapat digunakan, namun pada daerah endemik berkurang sensivitas dan
spesifitasnya sehingga memacu sering terjadinya false-negative result dan falsepositive result.
- Dapat menggunakan pemeriksaan IgM anti S. typhi pada hari keenam hingga
kedelapan.
G. Diagnosis Banding
- Pada fase awal akan sulit dibandingkan dengan gastroenteritis akut, bronchitis, dan
bronkopneumonia (bila batuk).
- Malaria
- Sepsis karena bakteri pathogen
- Infeksi karena mikroorganisme intraselular, seperti tuberculosis, bruselosis,
tularemia, leptospirosis, dan penyakit riketsia.
- Infeksi virus, seperti demam dengue, hepatitis akut, dan infeksi mononukleosis.
7

H. Penatalaksanaan
- Mayoritas dari kasus pada anak, dapat diterapi di rumah dengan antibiotic oral dan
pengawasan ketat dari komplikasi atau kegagalan respon pada terapi.
- Pada pasien yang memiliki gejala vomiting persistent, diare parah, dan distensi
abdomen dapat dirawat dan diberikan antibiotik secara parenteral.
- Prinsip manajemen demam tifoid:
1. Cukup istirahat
2. Cukup hidrasi
3. Pemulihan keseimbangan elektrolit dan cairan tubuh.
- Terapi antipiretik diberikan apabila di perlukan (Asetaminofen 10-15 mg/kg, setiap
4-6 hari per oral).
- Terapi antibiotik dibutuhkan sebagai eradikasi bakteri etiologi.
Tabel Manajemen Demam Enterik: Eradikasi Kuman2
Oral
Parenteral
- Kloramfenikol 50-75
- Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hr
mg/kgBB/hr selama 14-21 hr
selama 14-21 hr
- Amoksisilin 75-100
- Ampisilin 75-100 mg/kgBB/hr
mg/kgBB/hr selama 14 hr
selama 14 hr
- TNP-SMX 8/40 mg/kgBB/hr
selama 14 hr
Terapi alternatif - Sefiksim (multi-drug resistance)
tanpa komplikasi
15-20 mg/kgBB/hr selama 7-14
hr
- Azitromisin (quinolone
resistance) 8-10 mg/kgBB/hr
selama 7 hr
Dengan
- Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hr
komplikasi
selama 14-21 hr
- Ampisilin 100 mg/kgBB/hr
selama 14 hr
- Seftriakson 75 mg/kgBB/hr atau
sefotaksim 80 mg/kgBB/hr selama
10-14 hr
Tanpa
komplikasi

I. Prognosis
- Bergantung pada kecepatan dan ketepatan diagnosis dan penggunaan antibiotik yang
tepat.
- Faktor lainnya yang mempengaruhi adalah faktor usia, nutrisi, serotype dari
Salmonella, dan komplikasi lainnya yang muncul.
- Apabila terapi telah dilakukan dengan tepat, kemungkinan terjadinya tifoid relaps
hanya 2-4%.
J. Pencegahan
- Menghindari sumber air tercemar. Apabila sudah tercemar dapat melakukan
purifikasi air dengan klorin.
8

Pada daerah endemik, hindari mengonsumsi makanan yang dibeli di jalanan.


Edukasi pentingnya cuci tangan yang benar di keluarga.
Vaksin S. typhi, terdapat dua macam vaksin yang dapat diberikan kepada anak-anak:
1. Vaksin hidup dari strain Ty21a S. typhi yang diberikan secara oral untuk anak
dengan usia 5 tahun. Efikasi: 67-82%
2. Vaksin kapsul polisakarida Vi S. typhi yang dapat digunakan untuk usia 2
tahun intra muscular dengan efikasi 70-80 %. Booster setiap 2 tahun.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bhutta ZA. Enteric Fever (Typhoid Fever). In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
et al. Nelson Essential of Pediatrics, 19th ed. Philadelphia: Saunders. 2012. Page: 954958.
2. Garna H, Nataprawira HM, et al. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak,
4th ed. Bandung: Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. 2012.
3. WHO Indonesia. Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. 1 st ed. Jakarta: WHO
Indonesia. 2009.
4. Sidabutar S, Satari HI. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada Anak: Kloramfenikol
atau Seftriakson?. In : Sari Pediatri Vol. 11. Original Article. Published date: April 6 th,
2010

10

Anda mungkin juga menyukai