Anda di halaman 1dari 16

ANEMIA HEMOLITIK

MATA KULIAH STUDI KASUS PELAYANAN KEFARMASIAN

Kelompok 4
Alfia Zahra Rahmadhani 260112230518

Desra Widdy Syafra 260112230524

Michellina Yunardy 260112230532

Balqis Hira 260112230536

Siti Nur Fadhiilah 260112230554

Oktria Ayu Diana Putri 260112230560

Jan Reza Putra 260112230570

Syifa Fauziah 260112230586

Abdul Aziz Akmal 260112230590

Utri Sari 260112230598

Fidi Yuliani 260112230608

KELAS B PSPA GENAP 2023/2024

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2024
SKENARIO KASUS
Seorang anak laki-laki usia 2 tahun (BB 12kg; TB 90 cm) sering mengalami lemas dan
pingsan. Nafsu makan pasien dan aktivitas sejauh ini masih terbilang bagus. Pasien sudah 3
bulan mengkonsumsi multivitamin secara rutin tetapi keluhan masih sering terjadi. Pasien
dibawa ke dokter imunologi anak dan melakukan pemeriksaan laboratorium.

Hasil pemeriksaan lab menunjukkan:


- Hb = 4,6 g/dL; - MCV = 85,6%
- Leukosit = 3510 mm3/uL; - MCH = 28,4%
- Trombosit = 143.000 mm3/uL; - Bilirubin direk = 3,5 mg/dL
- Eritrosit = 1,62 mm6/uL; - Bilirubin total = 16,3 mg/dL
- MCHC = 33,2 g/dL;
Berdasarkan hasil pemeriksaan, pasien didiagnosa anemia hemolitik. Kajilah kasus tersebut !!

A. Pendahuluan
Anemia ditandai dengan penurunan Hb atau RBC(Red Blood Cell) dan
mengakibatkan berkurangnya kemampuan darah untuk membawa oksigen secara efisien
(Dipiro JT et ak, 2020).
Klasifikasi Anemia
Anemia diklasifasikan menjadi anemia mikrositi, anemia mikrositik dan anemia
normositik. Anemia makrositik yaitu dimana sel lebih besar daripada ukuran normal,
berkaitan dengan defisiensi B12 dan asam folar yang berperan dalam proses maturasi sel
darah merah. Anemia mikrositik yaitu sel lebih kecil dari normal dan berkaitan dengan
defisiensi besi. Anemia normositik yaitu berkaitan dengan kehilangan jumlah darah
dalam jumlah yang banyak atau penyakit kronis(seperti penyakit ginjal, kanker,
reumatoid artritis, tiroidistis) (Dipiro JT et ak, 2020).
Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik merupakan subklasifikasi dari anemia normositik dimana
kisaran hemoglobin dan hematokrit rendah tetapi ukuran rata-rata sel darah merah atau
Mean Corpuscular Volume(MCV) dalam kisaran normal yaitu 80-100 femtol Liter. Jenis
anemia ini dapat disubklasifikasikan mejadi hemolitik dan non-hemolitik. Hemolitik
normositik dapat terjadi secara intravaskular dan ekstravaskular dan dapat disebabkan
oleh berbagai penyebab. Nilai laboratorium lain pada CBC selanjutnya akan
menunjukkan jenis anemia. Keadaan anemia ini dapat terjadi karena Autoimmune
Hemalytic Anemia(AIHA), infeksi virus(HIV) atau kanker(leukemia).

B. Patofisiologi
1. Anemia Hemolitik Karena Leukimia
Anemia disebabkan oleh karena gangguan pembentukan eritrosit oleh
sumsum tulang, kehilangan darah yang keluar tubuh (hemoragi), dan proses
penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). Anemia
karena leukimia yaitu termasuk kedalam anemia normokromik normosister yang
dimana retikulosit dengan kadar normal atau menurun lalu pada sumsum tulang
belakang terdapat tumor ganas hematologi (leukimia atau mieloma), maka terjadi
anemia pada pasien dengan leukimia akut atau mieloma (Bakta, 2017).
2. Autoimmune Hemolytic Anemia(AIHA)
Peningkatan penghancuran sel darah merah (sel darah merah) dengan
adanya autoantibodi anti-sel darah merah dengan atau tanpa aktivasi komplemen.
Autoantibodi diproduksi oleh limfosit B reaktif diri di jaringan dan di sirkulasi,
setelah bekerja sama dengan limfosit T helper (Al kasiron, et al. 2022).
3. Anemia Hemolitik Karena Infeksi Virus(HIV)
Patofisiologis anemia terkait HIV kemungkinan besar terjadi akibat tiga
mekanisme penurunan produksi sel darah merah, peningkatan destruksi sel darah
maerah dan infektivitas produksi sel darah merah. Umumnya, ketiga mekanisme
tersebut termasuk infiltrasi sumsum tulang yang disebabkan oleh neoplasma atau
infeksi, penurunan produksi erythropoietin endogen, anemia hemolitik,
penggunaan obat obatan mielosupresif atau akibat penggunaan berbagai macam
obat. Produksi eritrosit yang inefektif dapat membawa kepada keadaan anemia.
Pada pasien dengan infeksi HIV, defisiensi asam folat secara umum disebabkan
oleh baik defisiensi dalam diet maupun oleh keadaan patologis dari jejunum.
Defisiensi vitamin B12 kemungkinan diakibatkan oleh malabsorpsi pada ileum
atau dari kerusakan lambung yang disebabkan infeksi oportunistik pada mukosa
lambung. Faktor risiko yang hingga saat ini diasosiasikan dengan anemia pada
infeksi HIV adalah perjalanan klinis AIDS, CD4 <200 g/l, viral load, ras hitam,
wanita, penggunaan Zidovudin, peningkatan umur, indeks masa tubuh, riwayat
pneumonia bakterial, kandidiasis oral, dan riwayat demam (Volberding et al.,
2010).
C. Subjective
Seorang anak laki-laki usia 2 tahun (BB 12kg; TB 90 cm) sering mengalami lemas dan
pingsan. Nafsu makan pasien dan aktivitas sejauh ini masih terbilang bagus. Pasien sudah
3 bulan mengkonsumsi multivitamin secara rutin tetapi keluhan masih sering terjadi.

D. Objectives
No Kategori Data Lab Data Normal Intepretasi

1. Hb 4,6 g/dL 13 g/dL Rendah

2. Leukosit 3510 mm3/uL 4500 - 11000 mm3/uL Rendah

3. Trombosit 143.000 mm3/uL 135000 - 317000 mm3/uL Rendah

4. Eritrosit 1,62 mm6/uL 4,5 - 6,5 mm6/uL Rendah

5. MCHC 33,2 g/dL 32 - 36 g/dL Normal

6. MCV 85,6 % 80 - 100% Normal

7. MCH 28,4 % 27,5 - 33,2% Normal

8. Bilirubin direk 3,5 mg/dL 0,1 - 0,4 mg/dL Tinggi

9. Bilirubin total 16,3 mg/dL 0,2 - 1,2 mg/dL Tinggi

E. Assessment
Hasil pemeriksaan laboratrium menunjukkan nilai Hb, leukosit, trombosit, dan eritrosit
pasien mengalami penurunan (sitopenia), disertai dengan kenaikan bilirubin total dan
bilirubin direk. Hasil ini menunjukkan gejala anemia hemolitik.
(Koda-Kimble & Young, 2013)

Keadaan anemia, leukopenia, dan trombositopenia ini dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya sebagai berikut:
1. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA)
2. Inveksi Virus (HIV, CMV)
3. Kanker (leukemia)

F. Plan Terapi
Terapi Kegawatdaruratan
Pasien dengan haemoglobin (Hb) < 7 gr/dL, perlu diberikan transfusi PRC
(Packed Red Cell) untuk meningkatkan nilai Hb pasien. Apabila kadar Hb pasien setelah
dilakukan transfusi masih tetap sama dengan sebelumnya, maka ulangi transfusi.
Pemberian transfusi pada anak-anak dan neonatus harus dilakukan dengan perhatian
khusus. Dengan catatan, keputusan untuk pemberian transfusi jangan hanya didasarkan
pada batas nilai Hb saja karena anak dengan anemia kronik dapat beradaptasi dengan Hb
sangat rendah. Sebelum dilakukan donor darah, setiap produk darah dari donor harus
melalui serangkaian uji saring untuk mengidentifikasi adanya infeksi yang dapat
ditularkan melalui transfusi. Uji saring ini meliputi pemeriksaan Hepatitis B surface
antigen (HBsAg), HIV 1/HIV 2 antibody (anti-HIV1/HIV2), Hepatitis C antibody
(anti-HCV), dan Sifilis menggunakan metode Nucleic Acid Amplification Test (NAT)
(Permenkes, 2015).
Pada saat akan dilakukannya transfusi, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan, diantaranya:
1. Reaksi transfusi akut dapat terjadi pada 1 – 2% pasien yang mendapat transfusi
darah. Deteksi dan penanganan dini reaksi transfusi dapat menyelamatkan jiwa
pasien. Karena itu, pasien yang mendapat transfusi harus diawasi dengan baik.
2. Untuk setiap pemberian transfusi darah dianjurkan untuk mengawasi pasien:
a. Saat transfusi dimulai
b. 15 menit setelah transfusi dimulai
c. Saat selesai transfusi
d. 4 jam setelah transfusi kantong darah terakhir untuk pasien rawat inap atau
untuk pasien rawat jalan tidak boleh pulang selama 1 jam setelah transfusi.
3. Reaksi yang berat biasanya terjadi dalam 15 menit pertama pemberian transfusi
setiap kantong. Karena itu, pada 15 menit pertama transfusi, pasien harus diawasi
dan kecepatan transfusi diatur dengan kecepatan lambat kurang lebih 2 mL/menit.
Apabila tidak terjadi reaksi apapun maka transfusi dapat dipercepat sesuai target
dan sesuai keadaan pasien.
4. Pada saat mengakhiri tindakan transfusi, keadaan pasien dan tanda vital dicatat,
kantong darah beserta selangnya dibuang sesuai prosedur pembuangan limbah
medis.
5. Pengawasan transfusi (disesuaikan dengan kondisi klinis), berupa pemeriksaan:
keadaan umum pasien, suhu tubuh, frekuensi nadi, tekanan darah, frekuensi nafas.
6. Penilaian kadar Hb setelah transfusi dapat dilakukan 1 jam setelah transfusi darah
untuk melihat dampak transfusi pada kenaikan Hb, namun demikian sebaiknya
penilaian Hb dilakukan setelah 24 jam setelah transfusi agar didapatkan hasil
yang lebih stabil.
7. Penilaian kadar trombosit setelah transfusi 10-60 menit setelah transfusi dan
18-24 jam setelah transfusi untuk menilai keberhasilan transfusi trombosit.
(Permenkes, 2015).

Permintaan Pemeriksaan Lanjutan


Pemberian terapi harus disesuaikan dengan penyebab utama terjadinya anemia
hemolitik. Untuk mengetahui jenis anemia hemolitik yang diderita pasien, perlu
dilakukan pemeriksaan tambahan, yang dapat dilihat pada alur diagnosis penentuan
penyebab anemia hemolitik berikut

:
Berdasarkan alur diagnosis penentuan penyebab anemia hemolitik, perlunya
untuk dilakukan Direct Antiglobulin Test (DAT) untuk pemeriksaan lanjutan mengenai
penyebab anemia hemolitik baik dari sistem imun ataupun non imun. Dengan memeriksa
apakah IgG dan/ c3d terikat pada membran sel darah merah. Atau dapat dilakukan direct
coombs test untuk melihat penyebab hemolisis yang bersifat imun atau non-imun.
Diagnosis lainnya juga perlu dilakukan apakah anemia yang diderita pasien
disebabkan karena adanya infeksi virus terutama virus HIV pada pasien. Diagnosis HIV
dapat ditegakkan dengan menggunakan 2 metode pemeriksaan, yaitu pemeriksaan
serologis dan virologis. (Kemenkes, 2019) Uji diagnostik direkomendasikan pada anak >
18 bulan, remaja dan orang dewasa adalah uji serologis dengan strategi diagnosis HIV
berdasarkan hasil tiga tes berturut-turut reaktif. Pemeriksaan kepada orang tua pasien
juga dibutuhkan untuk mengetahui apakah pasien termasuk ke dalam kategori berisiko
HIV atau tidak.

(Permenkes, 2014)
Sedangkan untuk diagnosis leukemia pada pasien dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan darah rutin, termasuk apusan sel darah tepi,
foto toraks AP dan lateral, aspirsi sumsum tulang, pungsi lumbal, sitokimia sumsum
tulang, imunofeti ping, atau sitogenik.

(Kemenkes, 2011)

Algoritma Terapi
Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA)
Jika hasil DAT atau Coombs test positif, pasien dinyatakan menderita AIHA.
Algoritma terapi jika pasien positif AIHA adalah sebagai berikut:

(Kurnia & Yonathan, 2019)


Pasien yang datang dengan keluhan hemolisis yang parah dan cepat dapat
ditangani dengan memberikan metilprednisolon dan IV Imunoglobulin, ditambahkan
dengan transfusi darah disertai plasma exchange jika diperlukan. Setelah kondisi stabil,
dapat diberikan prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari untuk maintenance therapy, diikuti dengan
tappered off selama 4-6 bulan. Disertai dengan pemberian suplementasi asam folat. Jika
tidak ada perbaikan, diberikan terapi lini kedua yaitu Rituxumab.

Infeksi Human Immunodeficiency Virus


Jika pasien dinyatakan positif HIV, pasien harus menjalami pemeriksaan
prapemberian ARV (antiretroviral) terlebih dahulu, diantaranya memeriksaan infeksi dan
penyakit tidak menular. Pasien anak < 5 tahun yang terkonfirmasi menderita HIV harus
endapat terapi ARV sesegera mungkin. Jika pasien dinyatakan siap untuk menjalani
terapi retroviral, diberikan terapi ARV lini pertama yaitu (ABC atau AZT) + 3TC +
LPV/r (Kemenkes, 2019). Terapi AZT (Zidovudin) dikontraindikasikan pada pasien
dengan Hb < 7,5 karena dapat memberikan efek menekan fungsi sumsum tulang
belakang untuk memproduksi sel darah merah (Kemenkes, 2014), sehingga pada kasus
ini, digunakan terapi ABC + 3TC + LPV/r.

Leukemia Limfoma Akut (LLA)

Pengobatan utama leukemia pada anak adalah dengan kemoterapi untuk meningkatkan
angka keberhasilan hidup. Perawatan LLA pediatric dibagi menjadi lima atau enam fase
kemoterapi yaitu induksi, terapi konsolidasi, pemeliharaan sementara, intensifikasi
tertunda, pemeliharaan sementara II (High Risk) dan terapi pemeliharaan. Total durasi
pengobatan adalah dua sampai tiga tahun.

Terapi Induksi
Pengobatan untuk terapi induksi pada anak kategori standar risk adalah vincristine,
glukokortikoid (deksametason atau prednison), dan pegaspargase. Sedangkan untuk anak
kategori high risk terapi ditambahkan daunorubicin.

Terapi Konsolidasi
Pada terapi konsolidasi standar berlangsung 4 minggu dan biasanya terdiri dari
vincristine, mercaptopurine, dan intrathecal metotreksat. Pada anak-anak, intensitas terapi
konsolidasi disesuaikan secara personal berdasarkan klasifikasi risiko awal anak dan
respons terhadap terapi induksi. Anak-anak yang mempunyai penyakit berisiko tinggi
menerima konsolidasi intensif meliputi penambahan pegaspargase, siklofosfamid, dan
dosis rendah sitarabin terhadap terapi standar.

Reinduksi (Pemeliharaan Sementara dan Intensifikasi Tertunda)


Pasien berisiko standar menerima satu siklus pemeliharaan sementara yang mencakup
metotreksat IV (dosis rendah yang meningkat sepanjang siklus) dan vincristine,
sedangkan pasien risiko tinggi menerima pemeliharaan sementara yang mencakup
vincristine, metotreksat dosis tinggi, dan merkaptopurin. Pasien berisiko tinggi akan
menerima pemeliharaan sementara kedua setelah intensifikasi tertunda yang mirip
dengan pemeliharaan sementara risiko standar tetapi menambahkan asparaginase.
Intensifikasi tertunda serupa untuk pasien standar dan risiko tinggi dan mencakup
vincristine, glukokortikoid, doksorubisin, asparaginase, siklofosfamid, sitarabin, dan
tioguanin.

Terapi Pemeliharaan (Maintenance Therapy)


Terapi pemeliharaan memberikan obat jangka panjang biasanya terdiri dari
merkaptopurin harian dan metotreksat mingguan selama 12 minggu, dengan dosis yang
menghasilkan myelosupresi ringan, dengan pemberian vincristine dan steroid setiap
bulan.
Berikut adalah dosis untuk pengobatan LLA:

Induksi (1 bulan)

Regimen Dosis

Predisone PO 40 mg/m2/hari selama 28 hari


or
Dexametason PO 6 mg/m2/hari selama 28 hari

Vincristine IV 1.5 mg/m2/dosis (max 2 mg) selama 4 minggu (1


dosis/minggu)

Asparaginase IM 6000 units/m2/dosis pada hari senin, rabu, dan


jumat untuk 6 dosis

Daunorubicin (High Risk) IV 25 mg/m2 pada hari ke 2, 8, 15

Konsolidasi (1 bulan)

Vincristine IV 1.5 mg/m2/dosis (max 2 mg) pada hari ke- 0

Mercaptopurine PO 50-75 mg/m2/dose selama 28 hari sebelum tidur

Methotrexate IT 10 mg perminggu untuk 1-3 dosis

Pemeliharaan sementara (Interim maintenance) 1-2 siklus (2 bulan)

Methotrexate PO 20 mg/m2/dosis saat tidur setiap minggu

Mercaptopurine PO 75 mg/m2/dosis setiap hari pada hari ke 0-49

Vincristine 1,5 mg/m2/dosis (maksimum, 2 mg) IV pada hari ke 0


dan 28

Dexamethasone PO 6 mg/m2/hari hari ke 0-4 dan 28-32

Intensifikasi Tertunda (Delayed Intensification) 1-2 siklus (2 bulan)

Dexamethasone PO 10 mg/m²/hari pada hari 0-6 dan 14-20

Vincristine 1,5 mg/m²/dosis (maksimum, 2 mg) IV setiap minggu


untuk tiga dosis
Pegaspargase 2500 unit/m²/dosis IM untuk satu dosis

Doxorubicin 25 mg/m²/dosis IV pada hari ke 0, 7, dan 14

Cyclophosphamide 1000 mg/m²/dosis IV pada hari ke 28

Thioguanine PO 60 mg/m²/dosis sebelum tidur pada hari ke 28-41

Cytarabine 75 mg/m²/dosis SC atau IV pada hari ke 28-31 dan


35-38

IT methotrexate Pada hari ke 0 dan 28

Pemeliharaan (siklus 12 minggu)

Methotrexate PO 20 mg/m²/dosis sebelum tidur atau IM setiap


minggu dengan peningkatan dosis sesuai toleransi

Mercaptopurine PO 75 mg/m²/dosis sebelum tidur pada hari ke 0-83

Vincristine 1,5 mg/m²/dosis (maksimum, 2 mg) IV pada hari ke 0,


28, dan 56

Dexamethasone PO 6 mg/m²/hari pada hari 0-4, 28-32, dan 56-60

IT methotrexate IT metotreksat pada hari ke 0


(Dipiro et.al, 2016; Dipiro et.al, 2020)

G. Terapi Non Farmakologi


a. Mengonsumsi sayuran dan buah-buahan
b. Pemberian jus jambu biji untuk meningkatkan kadar hemoglobin
c. Mengonsumsi makanan yang mengandung zat besi seperti daging, ikan, dan
unggas
d. Mengonsumsi vitamin B12 dan asam folat sebagai profilaksis (Ainiyati et al.,
2022)

H. Monitoring
a. Tranfusi sel darah merah
1. Tanda vital (suhu, denyut nadi, tekanan darah, dan laju pernapasan) harus dipantau
dan dicatat sesaat sebelum, selama dan 15 menit setelah pemberian
2. Reaksi tranfusi meliputi: (King & Ness, 2005; Lotterman, Seth and Sharma, Sandeep
2023; Madden, 2007; New York State Council On Human Blood And Transfusion
Services and New York State Board for Nursing, 2012)
- Alergi ditangani dengan pemberian antihistamin
- Demam ditangani dengan pemberian antipiretik seperti parasetamol
- Infeksi ditangani dengan pemberian antibiotik/antivirus
- Gangguan pernapasan/sesak ditangani dengan pemberian oksigen atau
pemberian obat golongan opioid (morphine)
- Keracunan atau kelebihan zat besi/Fe yang ditandai dengan feses/urin berwarna
gelap ditangani dengan pemberian loop diuretic/furosemid 1 mg/kgBB (4 mg/ml
sebanyak 3 ml secara intrajejunal melalui feeding tube). Apabila tidak ada
perubahan (fese/urine gelap) maka diberikan pengkhelat defirasirox secara oral
atau deferoxamine secara intravena
- Peningkatan hemolisis ditandai dengan penurunan kadar Hb yang ditangani
dengan cara penghentian tranfusi secara perlahan dan diganti dengan pemberian
natrium klorida 0,9%
- Transfusion-associated Circulatory Overload (kelebihan tranfusi) dapat ditangani
dengan membatasi tranfusi serendah mungkin yang diperlukan, melakukan
tranfusi dengan kecepatan tranfusi yang lambat, dan pemberian diuretik sebelum
atau selama tranfusi.
DAFTAR PUSTAKA

Ainiyati, S.O., Nurdiana, and Retno, N.A.H. 2022. Literatur Review : Pengaruh Pemberian Bit
(Beta Vulgaris L.,) terhadap Kadar Hemoglobin. Journal of Issues in Midwifery. 6(1) :
10-25.
Arnold, D. M., Patriquin, C. J., & Nazy, I. (2017). Thrombotic microangiopathies: a general
approach to diagnosis and management. CMAJ : Canadian Medical Association journal
=journal de l'Association medicale canadienne, 189(4), E153–E159.
https://doi.org/10.1503/cmaj.160142
Al Kasiron, R., Firdausy, D. A. M., & Lestarini, I. A. (2022). Anemia Hemolitik Autoimun:
Patofisiologi, Diagnosis, Tatalaksana, dan Prognosis. PrimA: Jurnal Ilmiah Ilmu
Kesehatan, 8(2).
Bakta, I. M. (2017). Pendekatan diagnosis dan terapi pada penderita anemia. Bali Health Journal,
1(1), 36-48.
Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., & Posey, L. M. (2016).
Pharmacotherapy: a pathophysiologic approach, ed. Connecticut: Appleton and Lange.
Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., & Posey, L. M. (2020).
Pharmacotherapy: a pathophysiologic approach, ed. Connecticut: Appleton and Lange.
Chaparro CM, Suchdev PS. Anemia epidemiology, pathophysiology, and etiology in low- and
middle-income countries. Ann N Y Acad Sci. 2019 Aug;1450(1):15-31. doi:
10.1111/nyas.14092. Epub 2019 Apr 22. PMID: 31008520; PMCID: PMC6697587.
King, K. E., & Ness, P. M. (2005). Treatment of autoimmune hemolytic anemia. Seminars in
Hematology, 42(3), 131–136.
Koda-Kimble & Young’s. 2013. Applied Terapeutics : The Clinical Use of Drugs. Wolters
Kluwer: Philadelphia
Kurnia B dan Yonathan T. (2019). Anemia Hemolitik Autoimun pada Anak. Cermin Dunia
Kedokteran
Laurenson, S. H. 2020. Autoimmune Haemolytic Anemia Information For Patients. Oxford
University Hospital. P 1-11
Lotterman, Seth and Sharma, 2023. Blood Transfusion. StatPearls.
Madden, A. (2007). Handbook of drug administration via enteral feeding tubes. Journal of
Human Nutrition and Dietetics, 20(2), 136–136.
New York State Council On Human Blood And Transfusion Services and New York State Board
for Nursing. (2012). Guidelines For Monitoring Transfusion Recipients. 4th edition. New
York
Niss, O. dan Quinn, C.T. (2021). Lanzkowsky’s Manual of Pediatric Hematology and Oncology
7th Edition. Academic Press.
Permenkes RI. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 91 Tahun 2015
Tentang Standar Pelayanan Transfusi Darah. Jakarta : Permenkes RI.
Volberding PA. Levine AM. Dieterich D. Mildvan D. Mitsuyasu R. Saag M et al. Anemia in HIV
Infection: Clinical Impact and Evidence-Based Management Strategies. Clinical
Infectious Diseases. 2010.
Zanella, A., & Barcellini, W. (2014). Treatment of autoimmune hemolytic anemias.
Haematologica, 99(10), 1547.

Anda mungkin juga menyukai