Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi
kepada pelayanan pasien, penyediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan
masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik (MENKES, 2016).
Apoteker khususnya yang bekerja di Rumah Sakit dituntut untuk
merealisasikan perluasan paradigma Pelayanan Kefarmasian dari orientasi
produk menjadi orientasi pasien. Apoteker harus dapat memenuhi hak
pasien agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan termasuk tuntutan
hukum (MENKES, 2016).
Pelayanan farmasi klinik adalah pelayanan langsung yang diberikan
Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat. Pelayanan
farmasi klinik yang dimaksud meliputi: pengkajian dan pelayanan resep,
penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, Pelayanan
Informasi Obat (PIO), konseling, visite, Pemantauan Terapi Obat (PTO);
monitoring efek samping obat, evaluasi penggunaan obat, dispensing
sediaan steril; dan pemantauan kadar obat dalam darah (MENKES, 2016).
Anemia didefinisikan sebagai penurunan massa sel darah merah
(RBC). Fungsi RBC adalah mengantarkan oksigen dari paru-paru ke
jaringan dan karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru. Pada anemia,
penurunan jumlah sel darah merah berhubungan dengan oksigen dan karbon
dioksida sehingga mengganggu kemampuan tubuh untuk pertukaran gas.
Pada anemia akibat kehilangan darah akut, penurunan kapasitas pembawa
oksigen terjadi bersamaan dengan penurunan volume intravaskular, dengan
hipoksia dan hipovolemia yang dapat menyebabkan terjadinya syok.
Oleh karena itu perlu dilakukan tata laksana pada anemia dan
pemantauan terapi obat pada pasien anemia dengan riwayat gastritis erossif

1
untuk meningkatkan outcome terapi dan meringankan beban
farmakoekonomi rumah sakit dengan pemilihan obat-obatan yang tepat
sesuai indikasi.
1.2. Tujuan
Tugas khusus ini bertujuan untuk mengkaji profil pengobatan pasien
rawat inap di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih Jakarta untuk mengetahui,
mengidentifikasi, dan mengevaluasi adanya Drug Related problem (DRP)
serta menilai pengobatan rasional yang ditinjau dari Drug Relatred Problem
(DRP) serta mengedukasi kepada pasien dalam pengobatannya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anemia gravis


Anemia gravis adalah berkurangnya kadar Hb di dalam darah
sehingga terjadi gangguan perfusi O2 ke jaringan tubuh. Disebut sebagai
anemia gravis yang artinya berat dan nilai Hb di bawah 7 g/dl sehingga
memerlukan tambahan umumnya melalui transfusi. Anemia secara
fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell
mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying
capacity) (Alwi I, Sudoyo. 2014).
Parameter yang umumnya dipakai untuk menunjukkan penurunan
jumlah massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit
dan hitung eritrosit. Nilai rujukan kadar hemoglobin untuk mendiagnosis
anemia pada orang dewasa menurut WHO dapat dilihat pada tabel 1. (WHO,
2011).

Tabel 1. Kadar hemoglobin untuk mendiagnosis anemia menurut WHO


Anemia
Populasi Normal
Ringan Sedang Berat

Anak (6-59 bulan) ≥ 11,0 g/dl 10,0-10,9 g/dl 7,0-9,9 g/dl < 7,0 g/dl

Anak (5-11 tahun) ≥ 11,5 g/dl 11,0-11,4 g/dl 8,0-10,9 g/dl < 8,0 g/dl

Anak (12-14 tahun) ≥ 12,0 g/dl 11,0-11,9 g/dl 8,0-10,9 g/dl < 8,0 g/dl

Wanita tidak hamil ≥ 12,0 g/dl 11,0-11,9 g/dl 8,0-10,9 g/dl < 8,0 g/dl
(>15 tahun)

Wanita hamil ≥ 11,0 g/dl 10,0-10,9 g/dl 7,0-9,9 g/dl < 7,0 g/dl

Pria (>15 tahun) ≥113,0 g/dl 11,0-12,9 g/dl 8,0-10,9 g/dl < 8,0 g/dl

3
2.2 Patofisiologi Anemia Gravis
a) Sickle cell anemia
Sickle cell anemia adalah gangguan hemolitik darah yang bersifat
resesif autosomal dan kronik dengan tekanan oksigen darah rendah
sehingga mengakibatkan eritrosit berbentuk bulan sabit (Miller, 1984
dalam Amri, 2006). Sickle cell anemia ditandai dengan adanya
hemoglobin abnormal yaitu hemoglobin S. Dalam tereduksi hemoglobin
S mempunyai kelarutan dan bentuk molekul yang khas yang
menyebabkan perubahan bentuk eritrosit seperti bulan sabit. Sel yang
berubah bentuk ini juga dengan cepat dihancurkan oleh sel-sel fagosit
sehingga dalam jangka panjang terjadilah anemia.
b) Thalassemia Mayor
Thalassemia merupakan penyakit herediter yang disebabkan
menurunnya kecepatan sintesis rantai alfa atau beta pada hemoglobin. Hb
penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl tidak melebihi 15
g/dl. Dengan kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang
adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat
mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.
Pada beta thalasemia mayor terdapat defisien parsial atau total sintesis
rantai betha molekul hemoglobin. Sebagai akibatnya terdapat
kompensasi berupa peningkatanan sintesis rantai alpha, sementara
produksi rantai gamma tetap aktif sehingga akan menghasilkan
pembentukan hemoglobin yang tidak sempurna (cacat). Rantai
polipeptida yang tidak seimbang ini sangat tidak stabil dan ketika terurai
akan merusak sel darah merah (hemolisis) sehingga terjadi anemia
gravis. Untuk mengimbangi proses hemolisis, sumsum tulang akan
membentuk eritrosit dengan jumlah yang sangat berlimpah kecuali jika
fungsi sumsum tulang disupresi melalui terapi transfusi.
c) Penderita Kanker
Terjadinya anemia pada penderita kanker (tumor ganas), dapat
disebabkan karena aktivitas sistem imun tubuh dan sistem inflamasi yang

4
ditandai dengan peningkatan beberapa petanda sistem imun seperti
interferon, Tumor Necrosis Factor (TNF) dan interleukin yang semuanya
disebut sitokin, dan dapat juga disebabkan oleh kanker sendiri.
d) Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi terjadi bila jumlah zat besi yang diabsorpsi
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh atau terjadinya
kehilangan zat besi yang berlebihan dari tubuh. Hal ini bisa diakibatkan
oleh kurangnya pemasukan zat besi, berkurangnya sediaan zat dalam
makanan, meningkatnya kebutuhan akan zat besi atau kehilangan darah
yang kronis .
Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau penggunaan
elemen tersebut melampaui kecepatan asimilasinya. Walaupun pada
kebanyakan negara berkembang anemia akibat kurangnya zat besi dalam
diet dapat terjadi, tetapi ditemukan penyebab paling sering kejadian
anemia pada negara berkembang adalah akibat kehilangan besi dari
tubuh seringnya diakibatkan kehilangan darah melalui saluran cerna atau
saluran kemih.
e) Leukemia
Leukemia adalah penyakit akibat terjadinya proliferasi sel leukosit yang
abnormal dan ganas serta sering disertai adanya leukosit jumlah
berlebihan yang dapat menyebabkan terjadinya anemia dan
trombositopenia (Hidayat, 2006). Leukemia adalah keganasan
hematologik akibat proses neoplastik yang disertai gangguan
differensiasi (maturation arrest) pada berbagai tingkatan sel induk
hemopoetik sehingga terjadi ekspansif progresif dari kelompok sel ganas
tersebut dalam sumsum tulang. Pada leukemia terjadi proliferasi dari
salah satu sel yang memproduksi sel darah yang ganas. Sel yang ganas
tersebut menginfiltrasi sumsum tulang dengan menyebabkan kegagalan
fungsi tulang normal dalam proses hematopoetik normal sehingga
menimbulkan gejala anemia gravis.

5
f) Infeksi Cacing
Infeksi cacing tambang khususnya Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale adalah penyebab tersering anemia. Habitat
cacing ini berada dalam usus manusia. Selain mengisap darah, cacing
tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat
isapan. Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan kehilangan darah
secara perlahan-lahan sehingga penderita mengalami anemia.
Kehilangan zat besi secara patologis paling sering terjadi akibat
perdarahan saluran cerna. Prosesnya sering tiba-tiba. Perdarahan akibat
cacing tambang dan Schistosoma merupakan penyebab tertinggi
terjadinya perdarahan saluran cerna dan seterusnya mengakibatkan
anemia defisiensi besi.
g) Sferositosis herediter (SH)
Sferositosis herediter (SH) merupakan salah satu jenis anemia hemolitik
turunan yang disebabkan oleh kerusakan pada membran eritrosit.
Kerusakan terjadi sebagai akibat defek molekular pada satu atau lebih
protein sitoskleletal sel darah merah yang terdiri dari spektrin, ankirin,
band 3 protein, dan protein. Efek pada beberapa protein skeletal
membran yang berbeda dapat menyebabkan sferositosis herediter; semua
ini secara primer atau sekunder akan menimbulkan defisiensi spektrin
yaitu protein struktur (meshwork) yang berkaitan dengan membran
internal sel darah merah. Sel darah merah yang kurang mengandung
spektrin memiliki membran yang tidak stabil dan mudah terfragmentasi
secara spontan. Berkurangnya luas permukaan yang ditimbulkan
menyebabkan sel darah merah tersebut berbentuk sferoid; sferosit
semacam ini memiliki fleksibilitas membran yang berkurang dan
terperangkap serta dihancurkan dalam korda limpa.

h) Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu kegagalan anatomi dan fisiologi dari
sumsum tulang yang mengarah pada suatu penurunan nyata atau tidak

6
adanya unsur pembentuk darah dalam sumsum. Hal ini khas dengan
penurunan produksi eritrosit akibat pergantian dari unsur produksi
eritrosit dalam sumsum oleh jaringan lemak hiposeluler. Penurunan sel
darah merah (hemoglobin) menyebabkan penurunan jumlah oksigen
yang dikirim ke jaringan, seningga menimbulkan gejala-gejala anemia.
Patofisiologi dari anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua hal
yaitu kerusakan pada sel induk pluripoten yaitu sel yang mampu
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel-sel darah yang terletak di
sumsum tulang dan karena kerusakan pada microenvironment. Gangguan
pada sel induk pluripoten ini menjadi penyebab utama terjadinya anemia
aplastik. Sel induk pluripoten yang mengalami gangguan gagal
membentuk atau berkembang menjadi sel-sel darah yang baru.
Umumnya hal ini dikarenakan kurangnya jumlah sel induk pluripoten
ataupun karena fungsinya yang menurun (Warih Tjahyono. 2014).

2.3 Gambaran Klinis


Adaptasi utama terhadap anemia terjadi dalam sistem kardiovaskular
(dengan peningkatan volume sekuncup dan takikardi) dan pada kurva
disosiasi O2 hemoglobin. Pada beberapa penderita anemia gravis, mungkin
tidak terdapat gejala atau tanda, sedangkan pasien lain yang menderita
anemia ringan mungkin mengalami kelemahan berat.
a) Gejala
Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah nafas
pendek, khususnya pada saat olahraga, kelemahan, letargi, palpitasi dan
sakit kepala. Pada pasien berusia tua, mungkin ditemukan gejala gagal
jantung, angina pektoris, kaludikasio intermiten, atau kebingunagan
(konfusi). Gangguan penglihatan akibat pendarahan retina dapat
mempersulit anemia yang sangat berat, khususnya yang awitannya cepat.
b) Tanda
Tanda-tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus.
Tanda umum meliputi kepucatan membran mukosa yang timbul bila

7
kadar hemoglobin kurang dari 9-10 g/dL. Sebaliknya, warna kulit bukan
tanda yang dapat diandalkan. Sirkulasi yang hiperdinamik dapat
menunjukkan takikardia, nadi kuat, kardiomegali, dan bising jantung
aliran sistolik khususnya pada apeks. Gambaran gagal jantung kongesti
mungkin ditemukan, khususnya pada orang tua. Perdarahan retina jarang
ditemukan. Tanda spesifik dikaitkan dengan jenis anemia tertentu,
misalnya koilonikia dengan defisiensi besi, ikterus dengan anemia
hemolitik atau megaloblastik, ulkus tungkai dengan anemia sel sabit dan
anemia hemolitik lainnya, deformitas tulang dengan talasemia mayor dan
anemia hemolitik kongenital lain yang berat (Sudono, Aru W dkk. 2009)

2.4 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Anemia


Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan bagian yang penting
dalam mendiagnosis anemia. Penurunan jumlah eritrosit pada anemia
menyebabkan gangguan pengiriman oksigen ke jaringan, menimbulkan
hipoksia jaringan sehingga menyebabkan tubuh melakukan mekanisme
kompensasi untuk mengatasi hipoksia tersebut. Keadaan ini memunculkan
gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada anamnesis dan pemeriksaan
fisik pasien anemia. Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis,
yaitu gejala umum anemia, gejala khas masing-masing anemia, dan gejala
penyakit dasar (Supandiman, Fianza P. 2003).
Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul
karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh
terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul dan menjadi jelas
apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dL. Sindrom anemia
terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, palpitasi, tinnitus, mata berkunang-
kunang, kaki terasa dingin, sesak napas, dan dispepsia. Berat ringannya
gejala umum anemia tergantung pada derajat penurunan hemoglobin,
kecepatan penurunan hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung atau paru
sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak pucat, mudah dilihat

8
pada konjungtiva palpebra, mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan di
bawah kuku (Sharma S, dkk. 2011).
Gejala khas masing-masing anemia merupakan gejala yang spesifik
untuk setiap jenis anemia. Pada anemia defisiensi besi dapat ditemukan
adanya keluhan disfagia serta pica (keinginan untuk memakan bahan yang
tidak lazim). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya atrofi papil
lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok (koilonikia). Pada anemia
megaloblastik dapat ditemukan glositis dan gangguan neurologis pada
defisiensi vitamin B12. Pada anemia emolitik didapatkan adanya ikterus,
splenomegali dan hepatomegali. Sedangkan pada anemia aplastik dapat
ditemukan perdarahan dan tanda-tanda infeksi (Alwi I, Sudoyo. 2014).

2.5 Pemeriksaan laboratorium


Pemeriksaan laboratorium yang umumnya dilakukan untuk meunjang
diagnosis anemia terdiri dari:
1. Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari
pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit, dan gambaran darah
tepi. Indeks eritrosit meliputi MCV (Mean Corpuscular Volume), MCH
(Mean Corpuscular Hemoglobin), dan MCHC (Mean Corpuscular
Hemoglobin Concentration). Pemeriksaan gambaran darah tepi dapat
menunjukkan diameter, bentuk, warna, dan inklusi eritrosit.
Pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi
dapat memastikan adanya anemia dan jenis morfologi anemia tersebut.
Pemeriksaan hematologi menggunakan alat automated hematology
analyzer terbaru juga mencakup pemeriksaan red cell distribution width
(RDW). RDW adalah sebuah indeks yang menggambarkan derajat
variasi ukuran sel darah merah.
2. Pemeriksaan Darah Seri Anemia
Pemeriksaan ini meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung
retikulosit, dan laju endap darah. Hitung retikulosit dapat

9
menggambarkan kemampuan sumsum tulang dalam meningkatkan
produksi eritrosit sebagai bentuk respon anemia. Analisis hitung
retikulosit dapat digunakan untuk membedakan penyebab anemia yaitu
karena gangguan produksi eritrosit atau destruksi prematur dan
pemendekan masa hidup eritrosit.
Pada pemendekan masa hidup eritrosit, misal pada anemia
hemolitik, sumsum tulang berusaha mengkompensasi dengan
meningkatkan produksi eritrosit. Peningkatan ini akan menyebabkan
pelepasan lebih banyak retikulosit ke perifer. Jumlah retikulosit yang
meningkat juga dapat ditemui pada kasus perdarahan akut. Pada kasus
perdarahan kronik, akan menyebabkan penurunan ringan dari
retikulosit dan defisiensi besi. Sedangkan jumlah retikulosit yang
sangat menurun dapat terjadi karena insufisiensi atau tidak efektifnya
sistem eritropoesis.
3. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan sumsum tulang meliputi pemeriksaan selularitas,
maturasi, dan komposisi elemen-elemen hematopoesis dalam sumsum
tulang. Pemeriksaan ini memberikan informasi yang sangat berharga
mengenai keadaan sistem hematopoesis dan dibutuhkan untuk
diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum
tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia
megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yang dapat mensupresi
sistem eritroid, seperti sindrom mielodisplastik (MDS).
4. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan ini hanya dilakukan atas indikasi khusus, misalnya pada :
a. Anemia defisiensi besi: besi serum, TIBC (total iron binding
capacity), feritin serum, saturasi transferin, protoporfirin eritrosit,
reseptor transferin, dan pengecatan besi sumsum tulang (Perl’s
stain).
b. Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B12 serum, tes
supresi deoksiuridin, tes Schiling

10
c. Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis
hemoglobin
d. Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang
(Supandiman, Fianza P. 2003)

2.6 Penatalaksanaan Medis


Penatalaksanaan medis anemia gravis ditentukan berdasarkan penyakit
dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Berikut beberapa pengobatan
anemia dengan berbagai indikasi.
1. Farmakologi
a) Erythropoetin-Stimulating Agents (ESAs)
b) Epoetin Alfa
c) Obat untuk Mengatasi Pendarahan
 FRESH FROZEN PLASMA (FFP)
 CRYOPRECIPITATE
d) Garam Besi
 Fereous Sulfate
 Carbonyl Iron
 Iron Dextran Complex
 Ferric Carboxymaltose
2. Transfusi
Transfusi harus dilakukan pada pasien yang secara aktif mengalami
pendarahan dan untuk pasien dengan anemia gravis. Transfusi adalah
paliatif dan tidak boleh digunakan sebagai pengganti untuk terapi
tertentu. Pada penyakit kronis yang berhubungan dengan anemia gravis,
erythropoietin dapat membantu dalam mencegah atau mengurangi
transfusi (Soenarjo, dkk. 2010).
3. Transplantasi Sumsum Tulang dan Stem Sel
Kedua metode ini telah dipakai oleh pasien dengan leukimia,
lymphoma, Hodgkin disease, multiple myeloma, myelofibrosis dan
penyakit aplastik. Harapan hidup pada pasien ini meningkat, dan

11
kelainan hematologi membaik. Alogenik transplantasi sumsum tulang
berhasil memperbaiki ekspresi fenotipik dari penyakit sel sabit dan
talasemia dan meningkatkan harapan hidup pada pasien yang berhasil
transplantasi (Kurniawan J, Tahapary D. 2015).
4. Terapi Nutrisi dan Pertimbangan Pola Makanan
a. Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi
tubuh karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam
tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Asupan
protein yang adekuat sangat penting untuk mengatur integritas, fungsi,
dan kesehatan manusia dengan menyediakan asam amino sebagai
precursor molekul esensial yang merupakan komponen dari semua sel
dalam tubuh. Protein berperan penting dalam transportasi zat besi di
dalam tubuh. Oleh karena itu, kurangnya asupan protein akan
mengakibatkan transportasi zat besi terhambat sehingga akan terjadi
defisiensi besi. Di samping itu makanan yang tinggi protein terutama
yang berasal dari hewani banyak mengandung zat besi.
b. Vitamin A
Suplementasi vitamin A dapat membantu mobilisasi zat besi
dari tempat penyimpanan untuk proses eritropoesis di mana
disebutkan suplementasi vitamin A sebanyak 200.000 UI dan 60 mg
ferrous sulfate selama 12 minggu dapat meningkatkan rata – rata
kadar hemoglobin sebanyak 7 g/L dan menurunkan prevalensi anemia
dari 54% menjadi 38%.
Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang dapat
membantu absorpsi dan mobilisasi zat besi untuk pembentukan
eritrosit. Rendahnya status vitamin A akan membuat simpanan besi
tidak dapat dimanfaatkan untuk proses eritropoesis. Selain itu,
Vitamin A dan β-karoten akan membentuk suatu kompeks dengan
besi untuk membuat besi tetap larut dalam lumen usus sehingga
absorbsi besi dapat terbantu. Apabila asupan vitamin A diberikan

12
dalam jumlah cukup, akan terjadi penurunan derajat infeksi yang
selanjutnya akan membuat sintesis RBP dan transferin kembali
normal. Kondisi seperti ini mengakibatkan besi yang terjebak di
tempat penyimpanan dapat dimobilisasi untuk proses eritropoesis.
Sumber vitamin A dalam makanan sebagian besar dari sumber-
sumber makanan nabati dan hewani, misalnya sumber hewani
diantaranya susu dan produk susu, telur serta ikan dll, sumber
makanan nebati seperti papaya, mangga, serta jeruk dan sayuran
seperti wortel (Warih Tjahyono. 2014).
c. Vitamin C
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada keterkaitan
antara asupan vitamin C dengan kejadian anemia di mana korelasinya
bersifat positif yang menunjukkan semakin tinggi asupan vitamin C
maka kadar hemoglobin akan semakin tinggi pula yang berarti
kejadian anemia semakin rendah. Hal ini membuktikan bahwa vitamin
C dapat meningkatkan absorpsi zat besi di dalam tubuh.
Vitamin C dapat menghambat pembentukan hemosiderin yang
sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi jika diperlukan. Vitamin
C juga memiliki peran dalam pemindahan besi dari transferin di dalam
plasma ke feritin hati. Vitamin C yang dikonsumsi untuk dibutuhkan
untuk membentuk sel darah merah yang dapat mencegah kelelahan
dan anemia misalnya buah sitrus, jeruk, lemon, blackcurrant buah-
buahan lain dan sayuran hijau (Sudono, Aru W dkk. 2009).
d. Zat Besi
Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh,
sebagai faktor utama pembentuk hemoglobin. Jumlah besi yang
disimpan dalam tubuh manusia adalah sekitar 4 g. Terdapat empat bentuk
zat besi dalam tubuh. Sebagian besar zat besi yaitu kira-kira 2/3 dari total
besi tubuh terikat dalam hemoglobin yang berfungsi khusus, yaitu
mengangkut oksigen untuk keperluan metabolisme ke jaringan-jaringan
tubuh.

13
Zat besi (Fe) terdapat dalam bahan makanan hewani, kacang-
kacangan, dan sayuran berwarna hijau tua. Zat besi terdapat dalam
makanan dalam bentuk ferri hidroksida, ferri-protein dan kompleks
heme-protein. Secara umumnya, daging terutamanya hati adalah sumber
zat besi yang lebih baik dibanding sayur-sayuran, telur dan lainnya
(Sharma S, dkk. 2011).
e. Asam Folat
Asam folat merupakan senyawa berwarna kuning, stabil dan
larut dalam air yang terdiri dari bagian-bagian pteridin, asam para-
aminobenzoat dan asam glutamat. Sumber makanan asam folat
banyak terdapat pada hewan, buah-buahan, gandum, dan sayur-
sayuran terutama sayur-sayuran berwarna hijau.
Asam folat bersama vitamin B 12 berfungsi dalam
pembentukan DNA inti sel dan penting dalam pembentukan myelin
yang berperan penting dalam maturasi inti sel dalam sintesis DNA sel-
sel eritroblast. Akibat dari sefisiensi asam folat adalah gangguan
sintesis DNA pada inti eritroblas sehingga maturasi inti menjadi lebih
lambat, akibatnya kromatin lebih longgar dan sel menjadi lebih besar
(megaloblast). Kebutuhan harian asam folat adalah 25-200 mcg
(Sharma S, dkk. 2011).
f. Vitamin B12
Vitamin B12 termasuk vitamin yang larut dalam air, merupakan
bagian terbesar dari vitamin B komplek, dengan berat molekul lebih
dari 1000. Bentuk umum dari vitamin B12 adalah cyanocobalamin
(CN-Cbl), keberadaannya dalam tubuh sangat sedikit dan jumlahnya
tidak tentu. Selain cyanocobalamin di alam ada 2 bentuk lain dari
vitamin B12; yaitu hydroxycobalamin dan aquacobalamin, dimana
hydroxyl dan air masing-masing terikat pada cobal.
Di dalam tubuh vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk
dua reaksi enzim. Pertama, vitamin B12 berperan sebagai kofaktor
untuk enzim L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim L-methilmalonyl-

14
CoA mutase membutuhkan adenosylcobalamin untuk mengubah L-
methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA. Succinyl CoA diperlukan
untuk sintesis hemoglobin yang merupakan pigmen pada sel darah
merah sebagai pembawa oksigen keseluruh jaringan tubuh. Bila
terjadi defisiensi vitamin B12, L-methylmalonyl-CoA tidak dapat
dirubah menjadi succinyl-CoA sehingga terakumulasi dan akhirnya
dipecah menjadi methylmalonic acid oleh suatu enzim hydrolase .
Salah satu fungsi utama vitamin B12 adalah dalam
pembentukan sel-sel darah merah. Vitamin B12 penting untuk sistesis
DNA dengan cepat selama pembelahan sel pada jaringan dimana
pembelahan sel berlangsung cepat, terutama jaringan sum-sum tulang
yang bertanggungjawab untuk pembentukan sel darah merah. Terjadi
defisiensi vitamin B12, pembentukan DNA berkurang dan sel-sel
darah merah tidak normal, disebut dengan kejadian megaloblas yang
akhirnya menjadi anemia.
Vitamin B12 dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil.
Kecukupan vitamin B12 pada anak dibawah usia 4 tahun < 1 μg/hari,
pada usia 4 –12 tahun sekitar 1 – 1,8 μg/hari dan bagi usia 13 tahun
sampai dewasa 2,4 μg/hari. Sedangkan ibu hamil dan menyusui
memerlukan tambahan masing-masing 0,2 μg/hari dan 0,4 μg/hari.
Vitamin B12 banyak ditemukan dalam pangan hewani, seperti daging,
susu, telur, ikan, kerang dan lain-lain (Sharma S, dkk. 2011).
5. Pembatasan Aktivitas
Aktivitas pasien dengan anemia berat harus dibatasi sampai
sebagian anemia dapat disembuhkan. Transfusi sering dapat dihindari
dengan bed rest, terapi dapat dilakukan untuk pasien dengan anemia yang
dapat disembuhkan (misalnya anemia pernisiosa). (Sharma S, dkk.
2011).

15
2.7 Uraian Obat
1. Lansoprazole (Pionas, 2017)
Komposisi Lansoprazole 30 mg
Indikasi Tukak duodenum dan tukak lambung ringan,
refluks esofagitis.

Efek samping Alopesia, paraestesia, bruising, purpura,


petechiae, lelah, vertigo, halusinasi, bingung;
jarang terjadi: ginekomastia, impotensi.

Perhatian Kerusakan hati, Perhatian pemberian pada


Kehamilan dan menyusui

Kontraindikasi Bersamaan menggunakan rilpivirine dan


atazanavir.

Mekanisme kerja Menghalangi proses akhir sekresi asam dengan


menghambat sistem enzim H + / K + ATPase
pada sel parietal gastrik.(Medscape, 2017)

Dosis Tukak lambung, 30 mg sehari pada pagi hari


selama 8 minggu. Tukak duodenum, 30 mg
sehari pada pagi hari selama 4 minggu;
pemeliharaan 15 mg sehari. Tukak lambung
atau tukak duodenum karena AINS, 15-30 mg
sekali sehari selama 4 minggu, dilanjutkan lagi
selama 4 minggu jika tidak sepenuhnya
sembuh; profilaksis, 15-30 mg sekali sehari.

Tukak duodenum atau gastritis karena H. pylori


menggunakan regimen eradikasi .

Refluks gastroesofagal, 30 mg sehari pada pagi


hari selama 4 minggu, diikuti 4 minggu
berikutnya bila tidak sepenuhnya sembuh;
pemeliharaan 15-30 mg sehari.

Dispepsia karena asam lambung, 15-30 mg


sehari pada pagi hari selama 2-4 minggu.
Anak. Belum ada data yang cukup mengenai
penggunaan lansoprazol pada anak.

16
2. Inpepsa (Pionas, 2017)
Komposisi Sucralfate
Indikasi Tukak lambung dan tukak duodenum
Efek samping Konstipasi, diare, mual, gangguan pencernaan,
gangguan lambung, mulut kering, ruam, reaksi
hipersensitifitas, nyeri punggung, pusing, sakit
kepala, vertigo, dan mengantuk, pembentukan
bezoar
Perhatian gangguan ginjal (hindari bila berat); kehamilan
dan menyusui; pemberian sukralfat dan nutrisi
enteral harus berjarak 1 jam

Kontraindikasi Hipersensitivitas pada Sucralfate

Mekanisme kerja Membentuk kompleks ulkus-taat; melindungi


ulcer dari asam, pepsin, dan garam empedu,
sehingga memungkinkan untuk
menyembuhkan
.(Medscape, 2017)

Dosis Tukak lambung dan duodenum serta gastritis


kronis, 2 g 2 kali sehari (pagi dan sebelum tidur
malam) atau 1 g 4 kali sehari 1 jam sebelum
makan dan sebelum tidur malam, diberikan
selama 4-6 minggu atau pada kasus yang
resisten, bisa hingga 12 minggu; maksimal 8 g
sehari; Profilaksis tukak akibat stres (suspensi),
1 g 6 kali sehari (maksimal 8 g sehari)

3. Rebamipide (Pionas, 2017)


Komposisi Rebamipide 100 mg
Indikasi Tukak lambung dalam kombinasi dengan
faktor inhibitor ofensif (penghambat pompa
proton, antikolinergik dan antagonis H2),
gastritis
Efek samping Sangat jarang: leukopenia, granulositopenia,
gangguan fungsi hati, peningkatan AST
(SGOT), ALT (SGPT), γ-GTP dan alkalin
fosfatase, ruam, pruritus, eksem, konstipasi,
rasa tidak nyaman pada abdomen, diare, mual,
muntah, mulas, nyeri ulu hati, nyeri abdomen,
sendawa, gangguan pengecapan, gangguan
menstruasi, peningkatan BUN, udem, merasa

17
benda asing pada faring. Frekuensi tidak
diketahui: syok, reaksi anafilaksis,
trombositopenia, ikterus, urtikaria, kebas,
pusing, mengantuk, mulut kering,
pembengkakan dan nyeri payudara,
ginekomastia, induksi laktasi, palpitasi,
demam, muka memerah, lidah kebas, batuk,
kesulitan bernapas, alopesia.
Perhatian Lansia, kehamilan, menyusui, anak.
Kontraindikasi Hipersensitivitas
Mekanisme kerja Rebamipide adalah agen pelindung mukosa dan
dipostulasikan untuk meningkatkan aliran
darah lambung, biosintesis prostaglandin dan
menurunkan radikal bebas
.(Medscape, 2017)

Dosis Oral: Tukak lambung. Kombinasi dengan faktor


inhibitor ofensif. Dewasa, 100 mg 3 kali sehari.
Gastritis. Dewasa, 100 mg 3 kali sehari.

4. Dexametasone (Pionas, 2017)


Komposisi Dexametasone
Indikasi Supresi inflamasi dan gangguan alergi;
Cushing's disease, hiperplasia adrenal
kongenital; udema serebral yang berhubungan
dengan kehamilan; batuk yang disertai sesak
napas
Efek samping hipertensi, retensi natrium dan air serta
kehilangan kalium, diabetes dan osteoporosis,
yang berbahaya, terutama pada lanjut usia,
dapat terjadi fraktur osteoporotik pada tulang
pinggul dan tulang belakang. Selain itu,
pemberian dosis tinggi dapat mengakibatkan
nekrosis avaskular pada kepala femur. osis
tinggi dapat menyebabkan sindrom Cushing
dengan gejala-gejala moon face, striae dan acne
yang dapat pulih (reversibel) bila terapi
dihentikan, tetapi cara menghentikan terapi
harus dengan menurunkan dosis secara
bertahap (tappering-off) untuk menghindari
terjadinya insufisiensi adrenal akut. Pada anak,
penggunaan kortikosteroid dapat menghambat

18
pertumbuhan dan dapat mempengaruhi
perkembangan pubertas.
Perhatian Gunakan dengan hati-hati pada pasien sirosis,
divertikulitis, myasthenia gravis, penyakit
ulkus peptikum, kolitis ulserativa, insufisiensi
ginjal, kehamilan.

Kontraindikasi Infeksi jamur sistemik, Hipersensitivitas


terdokumentasi Malaria serebral, Administrasi
vaksin hidup atau hidup, dilemahkan
dikontraindikasikan pada pasien yang
menerima dosis kortikosteroid imunosupresif.

Mekanisme kerja Mengurangi peradangan dengan menekan


migrasi leukosit polimorfonuklear (PMN) dan
mengurangi permeabilitas kapiler;
menstabilkan sel dan membran lisosom,
meningkatkan sintesis surfaktan, meningkatkan
konsentrasi serum vitamin A, dan menghambat
sitokin prostaglandin dan proinflamasi;
menekan proliferasi limfosit melalui sitolisis
langsung, menghambat mitosis, memecah
agregat granulosit, dan memperbaiki
mikrosirkulasi par
.(Medscape, 2017)

Dosis Injeksi intramuskular atau injeksi intravena


lambat atau infus (sebagai deksametason
fosfat), awal 0,5 - 24 mg; anak 200 - 400
mcg/kg bb/hari. Udema serebral yang
berhubungan dengan kehamilan (sebagai
deksametason fosfat), melalui injeksi intravena,
awal 10 mg, kemudian 4 mg melalui injeksi
intramuskular tiap 6 jam selama 2-4 hari
kemudian secara bertahap dikurangi dan
dihentikan setelah 5-7 hari. Pengobatan
pendukung bakteri meningitis, (dimulai
sebelum atau dengan dosis pertama pengobatan
antibakteri, sebagai deksametason fosfat)
(tanpa indikasi), dengan injeksi intravena 10
mg tiap 6 jam selama 4 hari; anak 150 mcg/kg
bb tiap 6 jam selama 4 hari. Catatan:
Deksametason 1 mg sebanding dengan
deksametason fosfat 1,2 mg sebanding dengan
deksametason natrium fosfat 1,3 mg.

19
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Tabel 2. Identitas Pasien
Nama Tn. Hs

Nama dokter dr. I

Jenis kelamin Laki-laki

Penjamin BPJS Non PBI

No. RM 0018xxxxx

Keluhan Lemas 1 bulan, Nafas tidak lega, cepat lelah

Diagnosis utama Anemia Gravis

Diagnosis sekunder -

Riwayat penyakit Gastritis Erosive Berat, Hipertensi

Riwayat alergi -

Umur 81 tahun

BB/TB 71 kg/169 cm

Tanggal masuk 09 Desember 2017

ruangan Arafah Atas

3.2 Data Subjektif Pasien


Tabel 3. Data Subjektif Pasien
Tanggal Data Subjektif Pasien
9 Desember 2017 Lemas, nafas tidak lega, nyeri ulu hati,
mual , cepat lelah saat aktivitas
10 Desember 2017 Nafas terasa lebih lega, masih lemas, nyeri
ulu hari berkurang
11 Desember 2017 Lemas berkurang, mual dan nyeri ulu hati
berkurang

20
3.3 Data Objektif Pasien
Tabel 4. Data Objektif Pasien
Pemeriksaan Tanggal : Tanggal: Tanggal:
Penunjang Normal
09/12/2017 10/12/2017 11/12/2017
Suhu 36-37,5 ºC 36,5 36,5 37

TD 120/90 110/80 130/90 110/80


mmHg
Nadi 60-100 72 73 80
(x/mnt)
Skala nyeri 0-10 5 5 3
kesadaran (+/-) GCS 15 GCS 15 Gcs 15
Mual dan
muntah (+/-) + - -

3.4 Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Tabel 5. Pemeriksaan laboratorium tanggal 9 Desember 2017

Pemeriksaan hasil Satuan Nilai rujukan

Hematologi
Hemoglobin L 6,5 g/dL 13,2-17,3

Tabel 6. Pemeriksaan laboratorium tanggal 10 Desember 2017

pemeriksaan hasil satuan Nilai rujukan


Hematologi L 10,3 g/dL 13,2-17,3
Jumlah leukosit L 3,63 103 µL 3,8-10,60
Hematokrit L 29 % 40-52
Jumlah trombosit 218 103 µL 150-440
eritrosit H 93 fl 4,40-5,90
MCV/VER L 33 pg 80-100
MCH/HER 35 mg/dL 26-34
MCHC L 10,3 g/dL 32-36

21
3.5 Elektrokardiografi (EKG)
Nadi: 73 kali/menit
Irama reguler
Gelombang p : ada pada
setiap QRS, bentuk sama
PR interval 0,12-0,20 detik
QRS interval : < 0,12 detik

Kesimpulan :
- Sinus Aritmia /
Gelombang kelistrikan
jantung berbentuk
Normal

Gambar 1. Hasil Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG)

3.6 Endoskopi
Kesimpulan :
Gastritis erosive berat

Gambar 2. Hasil Pemeriksaan Endoskopi

3.7 Terapi Tranfusi Darah


Pasien memeliki Hb 6,5 g/dL dan memiliki gejala anemia yaitu pucat,
lemas,nafas tidak lega, cepat lelah. Sesuai dengan guidline pasien anemia
gravis dengan anemia simptomatis (memiliki gejala anemia) sudah
merupakan indikasi untuk ditransfusi. Pilihan komponen darah adalah PRC.
Kebuthan darah pasien : 3 x (10-6,5) x 71 kg = 745,5 ml PRC
Dengan target Hb 10 ml/dL, akan diberikan dahulu 500 ml, dilakukan
pengecekan ulang HB, apabila Hb 10 di stop

22
Tabel 7. Terapi cairan dan transfusi
Tanggal Jam jenis cairan Jumlah cairan/transfusi

9/12/2017 19.00 NaCl 0,9%

20.30 PRC 210 ml

23.00 PRC 203 ml

10/12/2017 00.30 PRC 182 ml

01.15 NaCl Spool NaCl 0,9% 20 ml

03.00 Aserin 20 tpm

- Pada tanggal 10 Desember 2017, Hb passion 10,3  transfuse di stop

3.8 Pemantauan Terapi Obat


Tabel 8. Pemantauan Terapi Obat
09/12/2017 10/12/2017 11/12/2017
Nama obat Regimen rute
P S So M P S So M P S So M

dexametason 1 ekstra IV 21 6 12 18 6 12

Lansoprazole
2x1 PO 21 6 12 18 6 12
30 mg

Inpepsa 3x1 PO 21 6 12 18 6 12

Rebamipid
3x1 PO 20 6 12 18 6 12
100mg

3.9 Assesment
3.9.1 Telaah Resep
Tabel 9. Telaah Resep

Aspek Telaah Ya Tidak Keterangan

Tepat Pasien  - -

Tepat Obat  - -

Tepat Dosis  - -

23
Tepat Frekuensi  - -

Tepat Pemberian  - -

Duplikasi -  -

Interaksi Obat  - Terlampir

Kontra Indikasi -  -

3.9.2 Identifikasi Drug Related Problem (DRP)


Tabel 10. Identifikassi Drug Related Problem (DRP)

Kategori DRP Ada/tidak ada Penilaian


Indikasi yang tidak ditangani Tidak Ada -
Pilihan obat yang kurang tepat Tidak Ada -
Penggunaan obat tanpa indikasi Tidak Ada -
Penggunaan obat tanpa indikasi Tidak Ada -
Dosis terlalu besar Tidak Ada -
Reaksi obat yang tidak dikehendaki
Tidak Ada -

Interaksi obat Ada Terlampir


Gagal menerima obat Tidak Ada -

3.9.3 Waktu Paruh Obat


Tabel 11. Waktu Paruh Obat

Nama Obat Waktu Paruh

dexametason 1.8-3.5 jam

lansoprazole 0.9-1.5 jam

inpepsa -

rebamipid 1.5 jam

(Medscape, 2017)

24
3.9.4 Kesesuaian Dosis Laszim dan Dosis Terapi
Tablel 12. Kesesuaian Dosis Lazim dan Dosis Terapi

Nama Obat Rute Indikasi Dosis Literatur Dosis Resep Ket

Premedikasi 1 x 5 mg = 5 Sesuai
Dexametason IV 0,75-9 mg/hari
transfusi mg
3 x 3 C (500
Inpepsa PO Gastritis erosif 1-8 gr /hari mg) = 4500 Sesuai
mg/hari
3 x 100 mg = Sesuai
lansoprazole PO Gastritis erosif 1x = 5mg
300 mg/hari
3 x 100 mg= Sesuai
rebamipid PO Gastritis erosif 300 mg/hari
300mg

(Medscape, 2017)
3.7.5 Interaksi Obat
Tabel 12. Interaksi Obat
Interaksi Obat Level Efek Interaksi Rekomendasi

Inpepsa Lansoprazole Minor Sucralfate Jarak pemberian


menurunkan efek lansoprazole
lansoprazole oleh adalah 30 menit
karena setelah sucralfat
menghambat
absorbsi GI

Dexametason lansoprazole Minor Dexametason akan Berikan jarak


menurunkan efek pemberian 30
lansoprazole yang menit setelah
disebabkan pemberian
gangguan pada lansoprazole dan
metabolisme Monitoring
enzim CYP3A4 gangguan fungsi
hati

(Medscape, 2017)

25
3.9.6 Daftar Obat Pulang
Tabel 13. Daftar Obat Pulang
Obat Keterangan

Inpepsa 3x1C

Lansoprazole 2 x 1 caps

Rebamipid 3x1

Strocain 2x1 Capsul, sebelum makan

26
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan
Pasien Tn. Hs usia 81 tahun datang ke IGD tanggal 09 Desember 2017
dengan keluhan lemas sudah 1 bulan ini, nafas terasa tidak lega, pasien
didiagnosis dengan gastritis erosive berat, 1 bulan yang lalu dari hasil
endoskopi, pasien memiliki riwayat Hipertensi, riwayat dirawat dengan melena
bulan Oktober 2017. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan HB 6,5
g/dL. Pasien didiagnosis dengan anemia gravis dan gastritis erosive berat. Dari
DPJP pasien mendapatkan terapi yaitu transfuse PRC 500 CC untuk mencapai
Hb ≥10 g/dL, injeksi dexametason 1 ampul untuk premed sebelum dilakukan
transfuse. Selain itu pasien mendapatkan obat-obatan gastritis erosive untuk
mencegah terjadi perdarahan yaitu inpepsa 3x1C, rebamipide 3x1,
lansoprazole 2x1. Pada penatalaksanaan gastritis erosive pasein mendapatkan
lansoprazole bersamaan dengan inpepsa, karena inpepsa bersifat menghambat
absorbs Gastro intestinal sehingga direkomendasikan pemberian lansoprazole
30 menit setelah sucralfat.
Pasien pada tanggal 10 Desember 2017 masih mengeluh lemas, sudah
dilakukan pengecekan ulang Hb, Hb pasien 10,3 g/dL, pasien ini memiliki
resiko syok hipovolemik karena curiga anemia gravis yang disebabkan
perdarahan dari gastritis erosive sehingga dilakukan pengawasan tanda vital
pasien untuk mencegah syok hipovolemik. TD:130/90, Nadi 78 kali/menit,
terapi pasien meneruskan terapi sebelumnya.
Pada tanggal 11 Desember pasien menunjukkan tanda-tanda perbaikan
kondisi umum, sudah bisa beraktivitas normal, TD 110/80, Nadi 80 kali/menit,
tidak ada tanda perdaarahan gastrointestinal (melena). Pasien mendapat obat
pulang lansoprazole 2x1 caps, inpepsa 3 x 1C, rebamipide 3 x 1, strocain 3 x
1. Hb pasien terakhir adalah 10,3 g/dL.

27
4.2 Asuhan Kefarmasian
 Pasien disarankan untuk menjaga asupan gizi seimbang dan
menghindarkan makanan-makanan yang dapat memperburuk gastritis
erosif
 Pasien diedukasi terkait dengan obat pulang dalam mengkonsumsi obat
lansoprazole adalah 30 menit setelah mengkonsumsi inpepsa
 Pasien diedukasi terkait dengan kepatuhan untuk minum obat secara
teratur dalam hal mencegah terjadinya perdarahan berulang
 Pasien disarankan untuk kontrol ke dokter sesuai jadwal yang telah
ditetapkan, untuk menentukan terapi lanjutan yang akan diberikan.

28
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
- Diagnosis utama Tn. Hs adalah Anemia gravis dengan riwayat
Gastritis erosive berat dan Hipertensi.
- Obat-oabat yang digunakan selama perawatan adalah Dexametasone
(iv) extra, Inpepsa syrup 3x 15 ml, Lansoprazole 30 mg 2x1,
Rebamipid 100mg 3x1.
- Terdapat Drug Related Problem (DRP) obat yaitu Interaksi Obat
dengan Obat
5.2 Saran
1. Perlunya kerjasama antara semua tenaga medis kesehatan untuk
melaksanakan Pemantaun Terapi Obat, sehingga dapat meminimalkan
terjadinya Drug Related Problem (DRP).
2. Pasien diharapkan untuk membatasi Aktivitas sampai sebagian
anemia dapat disembuhkan dan Terapi Nutrisi dengan Pertimbangan
Pola Makanan.
3. Memberi Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada pasien,
keluarga pasien dan perawat tentang cara penggunaan obat yang tepat.

29
DAFTAR PUSTAKA

Alwi I, Sudoyo. 2014. Pendekatan terhadap Pasien Anemia . Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Hematologi. Jakarta

WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and


assessment of severity: Vitamin and Mineral Nutrition Information
System. 2011.

Supandiman, Fianza P. 2003. Pedoman diagnosis dan terapi hematologi


onkologi medik. Bandung.

Kurniawan J, Tahapary D. 2015. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit


Dalam Panduan Praktik Klinis. Jakarta.

Sharma S, Poonam S, Lisa N T. 2011. Transfusion of Blood and Blood


Products: Indications and Complications. American Family Physician.

Sudono, Aru W dkk. 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam, edisi V. Jakarta

Warih Tjahyono. 2014. Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Panembahan


Senopati Bantul. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.

Soenarjo,dkk. 2010. Bagian Anestisiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP/


RSUD dr. Kariadi Semarang (Ed.1). IDSAI Cabang Jawa Tengah.
Semarang.

Menkes, RI. 2016. Peraturan Mentri Kesehatan RI Nomor 72 Tahun 2016


Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.

Menkes, RI. 2014. Peraturan Mentri Kesehatan RI Mengenai Panduan


Praktek Klinis Nomor 5 Tahun 2014 Mengenai Syok dan Anemia.

30
Medscape.com. 2017. Drug Interaction Checker. http://www.madscape.com
/Pharmacys drugs_interaction.html.

PIO Nas. 2017. Pusat Informasi Obat Nasional Badan Pengawasan Obat dan
Makanan .http://www.pionas.pom.go.id

31

Anda mungkin juga menyukai