Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN PADA SISTEM ENDOKRIN

DENGAN DIAGNOSA MEDIS ANEMIA

DI RUANG IRNA II RSUD KOTA MATARAM

PADA TANGGAL 10 OKTOBER 2022

OLEH

NAMA : IRIANINGSIH

NIM : P00620420006

TINGKAT : III / V

KELAS :A

PRODI : SARJANA TERAPAN PROGRAM

PENDIDIKAN PROFESI NERS

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MATARAM

JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN

TAHUN 2022

1
SISTEM ENDOKRIN

A. Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui anemia merupakan penyakit kurang darah yang ditandai
dengan kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit) lebih rendah dibandingkan
normal (Soebroto, 2010) Anemia pada umumnya terjadi di seluruh dunia, terutama di
Negara berkembang (Developing countries) dan pada kelompok sosio-ekonomi rendah
(Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat 2008).
Di Indonesia, anemia gizi masih merupakan salah satu masalah kesehatandi
samping masalah-masalah gizi yang lainnya, yaitu: kurang kalori protein, defisiensi
vitamin A dan gondok endemik (Arisman, 2007) Anemia padawanita masa nifas (pasca
persalinan) juga umum terjadi, sekitar 10% dan 22% terjadi pada wanita post partum dari
keluarga miskin (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2008). Anemia gizi
disebabkan oleh defisiensi zat besi, asam folat, dan/atau vitamin B12, yang kesemuanya
berakar pada asupan yang tidak adekuat, ketersediaan hayati rendah (buruk), dan
kecacingan yang masih tinggi (Arisman, 2007).
Penyebab anemia gizi besi, selain karena adanya pantangan terhadap makanan
hewani faktor ekonomi merupakan penyebab pola konsumsi masyarakat kurang baik,
tidak semua masyarakat dapat mengkonsumsi lauk hewani dalam sekali makan. Padahal
pangan hewani merupakan sumber zat besi yang tinggi absorbsinya (Waryana, 2010)
Data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008 menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada
ibu hamil di Indonesia adalah 70% mengalami anemia sedangkan di Sumatera Barat
jumlah ibu hamil yang mengalami anemia sebesar 69% (Dinkes Sumbar, 2008). Dari
hasil laporan Dinas Kesehatan Pasaman Barat tahun 2008 kejadian anemia pada ibu
hamil adalah 19.7%, tahun 2009 sebanyak 12.5% dan tahun 2010 sebanyak 9.2% Ibu
hamil yang mengalami anemia di wilayah kerja.

2
KONSEP PENYAKIT ANEMIA

A. Definisi Anemia
Aniemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar Hb sampai dibawah
rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat (Behrman E Richard, IKA Nelson; 1680).
Anemia adalah berkurangnya hingga dibawah nilai normal jumlah SDM, kualitas Hb, dan
volume packed red blood cell (hematokrit) per 100 ml darah (Syilvia A. Price. 2006).
Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya hitung sel darah dan kadar
hematokrit dibawah normal. Anemia bukan merupakan penyakit, melainkan merupakan
pencerminan keadaan suatu penyakit (gangguan) fungsi tubuh. Secara fisiologis anemia
terjadi apabila terdapat kekurangan Hb untuk mengangkut oksigen ke jaringan. Anemia
tidak merupakan satu kesatuan tetapi merupakan akibat dari berbagai proses patologik
yang mendasari (Smeltzer C Suzane, Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Brunner
dan Suddarth; 935).
B. Etiologi
Ada beberapa jenis anemia sesuai dengan penyebabnya:
a. Anemia Pasca Pendarahan
Terjadi sebagai akibat perdarahan yang massif seperti kecelakaan, operasi dan
persalinan dengan perdarahan atau yang menahun seperti pada penyakit cacingan.
b. Anemia Defisiensi
Terjadi karena kekurangan bahan baku pembuat sel darah.
c. Anemia Hemolitik
Terjadi penghancuran (hemolisis) eritrosit yang berlebihan karena :
1) Factor Intrasel
Misalnya talasemia, hemoglobinopati (talasemia HbE, sickle cellanemia),
sferositas, defisiensi enzim eritrosit (G6PD, piruvatkinase, alutation reduktase).
2) Factor Ekstrasel
Karena intoksikasi, infeksi (malaria), imunologis (inkompatibilitas golongan
darah, reaksi hemolitik pada transfuse darah).
d. Anemia alpastik

3
Disebabkan terhentinya pembuatan sel darah sum sum tulang (kerusakan sumsum
tulang).
C. Manifestasi Klinik
Karena system organ dapat terkena, maka pada anemia dapat menimbulkan manifestasi
klinis yang luas tergantung pada kecepatan timbulnya anemia, usia, mekanisme
kompensasi, tingakat aktivitasnya, keadaan penyakit yang mendasarinya dan beratnya
anemia. Secara umum gejala anemia adalah:
a. Hb menurun (<10 g/dL), thrombosis/trombositopenia, pansitopenia
b. Penurunan BB, kelemahan
c. Takikardi, TD menurun, penurunan kapiler lambat, ekstremitas dingin, palpitasi, kulit
pucat.
d. Mudah lelah, sering istirahat, nafas pendek, proses menghisap yang buruk (bayi).
e. Sakit kepala, pusing, kunang-kunang, peka rangsang
D. Patofisiologi
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau kehilangan sel darah
merah secara berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum dapat terjadi akibat
kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor atau kebanyakan akibat penyebab yang
tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis
(destruksi), hal ini dapat akibat defek sel darah merah yang tidak sesuai dengan
ketahanan sel darah merah yang menyababkan destruksi sel darah merah..
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam system
retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limfa. Hasil samping proses ini adalah
bilirubin yang akan memasuki aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah
(hemolisis) segera direfleksikan dengan peningkatan bilirubin plasma (konsentrasi
normal, ≤ I mg/dl, kadar diatas 1.5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera). Apabila sel
darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, (pada kelainan hemplitik) maka
hemoglobin akan muncul dalam plasma (hemoglobinemia). Apabila konsentrasi
plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin
bebas) untuk mengikat semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal
kedalam urin (hemoglobinuria).

4
Kesimpulan menganai apakah suatu anemia pada pasien disebabkan oleh penghancuran
sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak mencukupi biasanya dapat
diperoleh dengan dasar hitung retikulosit dalam sirkulasi darah, derajat proliferasi sel
darah merah muda dalam sumsum tulang dan cara pematangannya, seperti yang terlihat
dalam biopsy, dan ada tidaknya hiperbilirubinemia.
Anemia defisiensi zat besi adalah anemia yang paling sering menyerang anak-anak. Bayi
cukup bulan yang lahir dan ibu nonanemik dan bergizi baik, memiliki cukup persediaan
zat besi sampai berat badan lahirnya menjadi dua kali lipat umumnya saat berusia 4-6
bulan. Sesudah itu zat besi harus tersedia dalam makanan untuk memenuhi kebutuhan
anak. Jika asupan zat besi beri makanan tidak mencukupi terjadi anemia defisiensi zat
besi. Hal ini paling sering terjadi pengenalan makanan padat yang terlalu dini (sebelum
usia 4 - 6 bulan) dihentikannya susu formula bayi yang mengandung zat besi atau ASI
sebelum usia 1 tahun dab minum susu sapi berlebihan tanpa tambahan makanan padat
kaya besi. Bayi yang tidak cukup bulan, bayi dengan perdarahan perinatal berlebihan atau
bayi dari ibu yang kurang gizi dan kurang zat besi juga tidak memiliki cadangan zat besi
yang adekuat. Bayi ini berisiko lebih tinggi menderita anemia defisiensi besi sebelum
berusia 6 bulan.
Anemia defisiensi zat besi dapat juga terjadi karena kehilangan banyak darah yang
kronik. Pada bayi hal ini terjadi karena perdarahan usus kronik yang disebabkan oleh
protein dalam susu sapi yang tidak tahan panas. Pada anak sembarang umur kehilangan
darah sebanyak 1 - 7 ml dari saluran cerna setiap hari dapat menyebabkan anemia
defisiensi zat besi. Pada remaja puteri anemia defisiensi zat besi juga dapat terjadi karena
menstruasi.
Anemia aplastik diakibatkan oleh karena rusaknya sumsum tulang. Gangguan berupa
berkurangnya sel darah dalam darah tepi sebagai akibat terhentinya pembentukan sel
hemotopoetik dalam sumsum tulang. Aplasia dapat terjadi hanya pada satu, dua atau
ketiga system hemotopoetik (eritropoetik, granulopoetik, dan trombopoetik).
Aplasia yang hanya mengenai system eritropoetik disebut eritroblastopenia (anemia
hipoplastik) yang mengenai system trombopoetik disebut agranulositosis (penyakit
Schultz), dan yang mengenai system trombopoetik disebut amegakariositik

5
trombositopenik purpura (ATP). Bila mengenai ketiga system disebut panmieloptisis atau
lazimnya disebut anemia aplastik.
Kekurangan asam folat akan mengakibatkan anemia megaloblastik. Asam folat
merupakan bahan esensial untuk sintesis DNA dan RNA, yang paling penting sekali
untuk metabolisme inti sel dan pematangan sel.

6
E. Pathway

7
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Diagnostic
a. Jumlah darah lengkap Hb dan Ht menurun.
1) Jumlah eritrosit: menurun (AP), menurun berat (Aplastik), MCV dan MCH
menurun dan mikrositik dengan eritrosit hipokromik(DB), peningkatan (AP),
pansatopenia (aplastik).
2) Jumlah retikulosit bervariasi menurun (AP), meningkat (hemolisis).
3) Penurunan SDM: mendeteksi perubahan warna dan bentuk (dapat
mengidentifikasikan tipe khusus anemia).
4) LED: peningkatan menunjukkan adanya reaksi inflamasi
5) Massa hidup SDM: untuk membedakan diagnose anemia.
6) Tes kerapuhan eritrosit : menurun (DB).
7) SDP: jumlish sel total sama dengan SDM (diferensial) mungkin meningkat
(hemolitik) atau menurun (aplastik).
b. Jumlah trombosit: menurun (aplastik), meningkat (DB), normal / tinggi (hemolitik).
c. Hb elektroforesis: mengidentifikasi tipe struktur Hb.
d. Bilirubin serum (tidak terkonjugasi): meningkat (AP, hemolitik)
e. Folat serum dan vit. B12: membantu mendiagnosa anemia,
f. Besi serum: tidak ada (DB), tinggi (hemolitik).
g. TIBC serum: menurun (DB).
h. Masa perdarahan: memejang (aplastik).
i. LDH serum: mungkin meningkat (AP).
j. Tes Schilling: penurunan eksresi vit B12 urin (AP)
k. Guaine: mungkin positif untuk darah pada urin, feses, dan isi gaster, menunjukan
perdarahan akut/kronis (DB)
l. Analisa gaster: penurunan sekresi dengan peningkatan pH dan tak adanya asam
hidroklorotik bebas (AP).
m. Aspirasi sumsum tulang / pemeriksaan biopsy: sel mungkin tampak berubah dalam
jumlah, ukuran, bentuk, membedakan tipe anemia.
n. Pemeriksaan endoskopi dan radiografik: memeriksa sisi perdarahan, perdarahan GI.

8
G. Penatalaksanaan
a. Anemia Karena Perdarahan
Pengobatan terbaik adalah transfuse darah. Pada perdarahan kronik diberikan
transfuse packed cell. Mengatasi rejatan dan penyebab perdarahan. Dalam keadaan
darurat pemberian cairan intravena dengan cairan infuse apa saja yang tersedia
(Keperawatan Medikal Bedah 2)
b. Anemia Defesiensi
Anemia defisiensi besi (DB). Respon regular DB terhadap sejumlah besi cukup
mempunyai arti diagnostic, pemberian oral garam ferro sederhana (sulfat, glukanat,
fumarat). Merupakan terapi yang murah dan memuaskan. Preparat besi parenteral
(dektram besi) adalah bentuk yang efektif dan aman digunakan bila diperhitungkan
dosis tepat, sementara itu keluarga harus diberi edukasi tentang diet penerita, dan
konsumsi susu harus dibatasi lebih baik 500 ml/24 jam. Jumlah makanan ini
mempunyai pengaruh ganda yakni jumlah makanan yang kaya akan besi bertambah
dan kehilangan darah karena intolerasni protein susu sapi tercegah (Behrman E
Richard, IKA Nelson; 1692). Anemia defesiensi asam folat, meliputi pengobatan
terhadap penyebabnya dan dapa dilakukan pula dengan pemberian / suplementasi
asam folat oral 1 mg/hari (Mansjoer Arif, Kapita Selekta Kedokteran : 553).
c. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik autoimun. Terapi inisial dengan menggunakan prednisone 1-2
mg/kg/BB/hari. Jika anemia mengancam hidup, transfuse harus diberikan dengan
hati-hati. Apabila prednisone tidak efektif dalam menanggulangi kelainan itu, atau
penyakit mengalami kekambuhan dalam periode tapperingoff dari prednisone maka
dianjurkan untuk dilakukan splektomi. Apabila keduanya tidak menolong, maka
dilakukan terapi dengan menggunakan berbagai jenis obat imunosupresif.
Immunoglobulin dosis tinggi intravena (500 mg/kg/BB/hari selama 1-4 hari) mungkin
mempunyai efektifitas tinggi daam mengontrol hemolisis. Namun efek pengobatan ini
hanya sebentar (1-3 minggu) dan sangat mahal harganya. Dengan demikian
pengobatan ini hanya digunakan dalam situasi gawat darurat dan bila pengobatan ini
hanya digunakan prednisone merupakan kontra indikasi (Manjoer Arif, kapita Selekta
Kedokteran; 552). Anemia hemolitik karena kekurangan enzim. Pencegahan

9
hemolisis adalah cara terapi yang paling penting. Transfuse tukar mungkin terindikasi
untuk hiperbillirubenemia pada neonates. Transfuse eritrosit terpapar diperlukan
untuk anemia berat atau kritis aplastik. Jika anemia terus menerus berat atau jika
diperlukan transfuse yang sering, splektomi harus dikerjakan setelah umur 5-6 tahun
(Behrman E Richard, IKA Nelson; 1713). Sferositosis herediter. Anemia dan
hiperbilirubenemia yang cukup berat memerlukan fototerapi atau transfuse tukar,
karena sferosit pada SH dihancurkan hampir seluruhnya oleh limfa, maka splektomi
melenyapkan hampir seluruh hemolisis pada kelainan ini. Setelah splenektomi
sferosis mungkin lebih banyak, meningkatkan fragilitas osmotic, tetapi anemia
retikalositosis dan hiperbilirubinemia membaik (Behrman E Richard, IKA Nelson;
1700). Thalasemia. Hingga sekarang tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya.
Transfuse darah diberikan bila kadar Hb telah rendah (kurang dari 6%) atau bila anak
mengeluh tidak mau makan atau lemah. Untuk mengeluarkan besi dari jaringan tubuh
diberikan ion chelating agent, yaitu Desferal secara intramuscular atau intravena.
Splenektomi dilakukan pada anak lebih dari 2 tahun sebelum didapatkan tanda
hiperplenome atau hemosiderosis. Bila kedua tanda itu telah tampak. maka
splenektomi tidak banyak gunanya lagi. Sesudah splenektomi biasanya frekuensi
transfuse darah menjadi jarang. Diberikan pula bermacam-macam vitamin, tetapi
preparat yang mengandung besi merupakan indikasi kontra (Keperawatan Medikal
Bedah 2).

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas klien
Nama, umur, TTL, alamat,pekerjaan,agama,pendidikan.
2. Keluhan utama
Biasanya klien datang ke rumah sakit dengan keluhan pucat, kelelahan,
kelemahan, pusing.
3. Riwayat kesehatan dahulu

10
1) Adanya menderita penyakit anemia sebelumnya, riwayat imunisasi
2) Adanya riwayat trauma, pendarahan
3) Adanya riwayat darah tinggi
4) Adanya riwayat penyakit ISPA
4. Keadaan kesehatan saat ini
Klien pucat,kelemahan, sesak nafas, sampai adanya gejala
gelisah,diaphoresis,takikardi dan penurunan kesadaran
5. Riwayat keluarga
1) Riwayat anemia dalam keluarga
2) Riwayat penyakit – penyakit lainnya
6. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : keadaan tampak lemah
2) Kesadaran : compomentis kooperatif
3) Tanda-tanda vital
TD : 90/70 mmhg
N: 60x/menit
S : 36,4 c
4) Kulit
Teraba dingin, keringat berlebih, pucat
5) Kepala
Biasanya bentuk dalam batas normal
6) Mata
Kelainan bentuk tidak ada, konjungtiva anemis, skelra tidak ikterik, terdapat
perdarahan sub conjugtiva, keadaan pupil, palpebra, reflex cahaya biasanya
tidak ada kelainan.
7) Hidung
Keadaan bentuk. mukosa hidung, cairan yang keluar dari hidung, fungsi
penciuman biasanya tidak ada kelainan.
8) Telinga
Fungsi pendengaran tidak ada kelainan
9) Mulut

11
Bentuk, mukosa kering, perdarahan gusi, lidah kering, bibi pecah - pecah atau
perdarahan.
10) Leher
Terdapat pembedaran kelenjar getah bening, thyroid lebih membesar, tidak
ada distensi vena jugularis.
11) Abdomen
Cekung, pembesaran hati, nyeri, bissing usus normal dan juga biasdibawah
normal bias juga meningkat.
12) Ekstremitas
Terjadi kelemahan umum, nyeri ekstremitas, tonus otot kurang.akral dingin.
B. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses penyakit
b. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponenseluler
yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrisi ke sel.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan mencerna absorbsi nutrient yang diperlukan untuk pembuatan
SDM normal.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan pengirimanoksigen ke
jaringan.
e. Ansietas berhubungan dengan prosedur diagnostic / transfuse.
f. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat
misal penurunan hemoglobin, penurunan granulosit.
C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Intervensi

1 Perubahan Perfusi Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji TTV


jaringan keperawatan selama 3x24jam 2. Tinggikan kepala
berhubungan dengan diharapkan perfusi jaringan tempat tidur
penurunan adekuat. Criteria hasil : seuai toleransi
komponen seluler 1. Tidak ada sesak 3. Catat adanya

12
yang diperlukan 2. Akral hangat keluhan rasa
untuk pengiriman dingin
02/nutrisi ke sel. 4. Berkolaborasi
dalam pemberian
tranfusi,
pemerikaan
HB/Ht

2 Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji manajemen


nyaman nyeri keperawatan selama 3x24jam nyeri
berhubungan dengan diharapkan nyeri berkurang. 2. Ukur TTV
proses penyakit. Criteria hasil : 3. Berikan posisi
1. Skala nyeri berkurang nyaman
2. TTV dalam batas 4. Ajarkan tentang
normal farmakologi
3. Klien tampak rileks 5. Berikan obat
sesuai indikasi

3 Ansietas Setelah dilakukan tindakan 1. Catat penurunan


berhubungan dengan keperawatan selama 3x24jam perilaku
prosedur diagnostic diharapkan cemas dapat 2. Tingkatkan
tranfuse teratasi: perhatian dengan
1. Klien tidak takut pasien
2. Klien tampak nyaman 3. Anjurkan
keluarga tetap
bersama klien
4. Jelaskan tentang
pemberian
tindakan
5. Berikan
lingkungan yang

13
tenang

4 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kemampuan


berhubungan dengan keperawatan selama 3x24jam ADL pasien
ketidakseimbangan dapat mempertahankan 2. Kaji kehilangan
antara suplai ambulasi aktivitas .dengan gangguan
oksigen(pengiriman) criteria hasil : keseimbangan
dan kebutuhan. 1. Melaporkan 3. Observasi TTV
peningkatan toleransi sebelum dan
aktivitas sesudah
2. Penunjukan 4. Berikan
penurunan tanda lingkungan aman
intoleransi fisiologis dan nyaman
5. Anjurkan pasien
beristirahat.

5 Perubahan nutrisi Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji riwayat


kurang dari keperawatan selama 3x24jm nutrisi
kebutuhan tubuh kebutuhan nutrisi terpenuhi 2. Observasi
berhubungan dengan 1. Menunjukan makanan pasien
kegagalan untuk peningkatan berat 3. Timbang BB
men cerna atau badan setiap hari
ketidakmampuan 2. Tidak mengalami 4. Berikan makanan
mencerna tanda mal nutrisi sedikit dan
makanan/absorpsi prekuensi serin
nutrient yang 5. Observasi dan
diperlukan untuk catat
pembentukan sel mual,muntah,dan
darah merah. gejala yg
berhubungan

6 Resiko tinggi Setelah dilakukan tindakan 1. Tingkatkan cuci

14
terhadap infeksi keperawatan selama 3x24jam tangan yang baik
berhubungan tidak infeksi tidak terjadi. oleh pemberian
dengan adekuatnya 1. Mengidentitifikasi perawatan dan
pertahanan sekunder mencegah resiko pasien
infeksi 2. Pertahankan
(penurunan
2. Meningkatkan teknik aseptic
hemoglobin
penyembuhan luka 3. Berikan
leucopenia atau
perawatan kulit
penurunan granulosit
4. Berikan latihan
(respons inflamasi
nafa dalam
tertekan).
5. Pantau suhu
tubuh

D. Impelementasi Keperawatan

Implementasi disesuaikan dengan intervensi yang telah dibuat melibatkan kerjasama


pasien, keluarga dan tim kesehatan lain.
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keadaan pasien dan tindakan keperawatan selanjutnya setelah dilakukan
implementasi. Evaluasi terdiri dari subjektif, berdasarkan apa yang dikatakan oleh
pasien, objektif, berdasarkan pengamatan terhadap keadaan pasien.

15
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif (2001) Kapita selekta kedokteran Jilid 1, Jakarta, Media Aesculapius,
FKUI

Price, Sylvia A (1994) Patofisiologi: konsep klinis proses - proses penyakit, Jakarta,
EGC.

Perry, A.G dan Potter, P.A. (1993) fundamental of nursing: consept, process. and
practice.

Mansjoer. 2003. Kapita Selekta Kedokteran, edisi III jilid 2. Jakarta: FKUI Smeltzer.
2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Alih bahasa Agung

Waluyo, dkk. Editor Monika Ester, dkk edisi 8. Jakarta: EGC

Andrea Saferi Wijaya, dkk. 2013. KMB 2. Yogyakarta: Nuha Medika

Nurarif, Huda Amin. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa

16

Anda mungkin juga menyukai