Anda di halaman 1dari 26

materi IGD (diare+anemia, emergency drug, neonates, tropic infeksi)

a. Diare 
Diare bukan sebuah penyakit namun suatu gejala dari masalah
yang mendasari yang ditandai dengan frekuensi BAB yang meningkat
yaitu lebih dari 3x, likuiditas dan jumlah feses yang meningkat dan
konsistensi feses yang menurun. Berdasarkan PDT Ilmu Kesehatan
Anak (2018) diare diklasifikasikan menjadi 3 yaitu diare akut, diare
berkepanjangan dan diare kronis. Seseorang dikatakan mengalami
diare akut apabila tanda gejala diare berlangsung 3-5 hari, kemudian
diare berkepanjangan apabila tanda gejala berlangsung 7-14 hari
sedangkan diare kronis tanda gejala dapat berlangsung selama lebih
dari 14 hari. 
Diare Berkepanjangan atau yang disebut Prolonged Diarrhea
terjadi karena adanya kerusakan mukosa usus berkepanjangan dengan
akibat terjadi malabsorbsi, peningkatan protein asing, hormone enteric
berkurang serta pertumbuhan kuman berlebih penyebab infeksi atau
penanganan diare yang kurang adekuat. Diare tidak bisa dianggap
remeh, apabila telah menjadi  diare berkepanjangan dapat
menyebabkan dehidrasi. Penatalaksanaan Prolonged Diarrhea untuk
terapi awal pasien diberikan terapi resusitasi cairan dan elektrolit
dikarenakan pasien diare mengalami dehidrasi, pemberian penanganan
pertama diikuti dengan melakukan identifikasi penyebab diare apakah
dikarenakan infeksi atau penyebab lainnya. Kemudian, pasien
diberikan terapi zink selama 10-14 hari. Dosis zink disesuaikan
dengan usia, berdasarkan Pedoman Praktik Klinik SMF Ilmu
Kesehatan Anak (2019) untuk anak usia dibawah 6 bulan dosis zink 10
mg/hari sedangkan untuk anak diatas 6 bulan dapat diberikan 20
mg/hari. Pasien juga diberikan vitamin A, berdasarkan Pedoman
Praktik Klinik SMF Ilmu Kesehatan Anak (2019) untuk anak usia
dibawah 1 tahun dosis dapat diberikan 50.000 IU, sedangkan untuk
anak diatas 1 tahun dapat diberikan 100.000 UI. Selain itu, diberikan
probiotik 1 kapsul/hari dan perlu diedukasi pengelolaan diit yang
rasional. Terapi antidiare tidak dianjurkan diberikan pada diare
berkepanjangan, terapi antidiare diberikan untuk diare akut yang
digunakan 3-5 hari, setelah 5 hari antidiare distop untuk diberikan
terapi seperti probiotik dan lainnya serta memperbaiki lingkungan
saluran cerna. diare berkepanjangan bisa menyebabkan anemia atau
anemia dapat berdiri sendiri.
b. Anemia
Anemia merupakan sindrom klinik yang ditandai dengan
penurunan kadar hemoglobin (Hb), jumlah eritrosit, dan volume
eritrosit per 100 mm darah (Packed Red Cell Volume-PCV) (Pedoman
Tatalaksana Penyakit Dalam, 2018). Penderita dikatakan anemia
apabila ada terjadi tiga tanda gejala berikut:
1. Hb < 11g/dL,
2. Eritrosit < 3.106/mm3,
3. PCV < 33%.
Secara praktis anemia adalah penurunan kadar hemoglobin,
hematokrit, ataupun hitung eritrosit, sedangkan Secara fungsional
anemia diartikan dengan Penurunan jumlah massa eritrosit (red cell
mass) Sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (oxygen
carrying capacity) (Bakta dalam Sudoyo, et al., 2018). 
1. Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis (Bakta dalam
Sudoyo, et al., 2018)
a) Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam
sumsum tulang
Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
1) Anemia defisiensi besi
2) Anemia defisiensi asam folat
3) Anemia defisiensi vitamin B12
b) Gangguan Penggunaan (Utilisasi) Besi
1) Anemia akibat penyakit kronik
2) Anemia sideroblastik
c) Kerusakan sumsum tulang
1) Anemia aplastik
2) Anemia milobtisik
3) Anemia pada keganasan hematologi
4) Anemia diseritropoietik
5) Anemia pada sindrom mielodisplastik
d) Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal
ginjal kronik.
e) Anemia akibat hemoragi
1) Anemia pasca perdarahan akut
2) Anemia akibat perdarahan kronik
f) Anemia Hemolitik
1) Anemia hemolitik intrakorpuskular
 Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
 Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) : anemia
akibat defisiensi G6PD
 Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
 Thalassemia
 Hemoglobinopati structural : HbS, HbE, dll.
g) Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
1) Anemia hemolitik autoimun
2) Anemia hemolitik mikroangiopati
3) Lain-lain
h) Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan
pathogenesis yang kompleks
2. Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi (Bakta dalam
Sudoyo, et al., 2018)
a) Anemia hipokromik mikrositer
1) Anemia defisiensi besi 
2) Thalassemia major
3) Anemia akibat penyakit kronik
4) Anemia sideroblastik
b) Anemia normokromik normositer
1) Anemia pasca perdarahan akut
2) Anemia aplastik 
3) Anemia hemolitik didapat 
4) Anemia akibat penyakit kronik 
5) Anemia pada gagal ginjal kronik 
6) Anemia pada sindrom mielodisplastik
7) Anemia pada keganasan hematologik
c) Anemia makrositer
1) Bentuk megaloblastik
 Anemia defisiensi asam folat
 Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
2) Bentuk non-megaloblastik
 Anemia pada penyakit hati kronik
 Anemia pada hipotiroidisme
 Anemia pada sindrom mielodisplastik
3. Klasifikasi Morfologik anemia berdasarkan hapusan darah tepi
a) Hipokrom mikrositik
Anemia ini ditandai dengan nilai MCV < 80 fl atau
MCH < 27 pg. Pendekatan anemia hipokrom mikrositik
dapat dilihat dari kadar besi dalam serum mengalami
penurunan atau dalam rentang nilai normal. Anemia ini dapat
menyebabkan anemia defisiensi besi, anemia akibat penyakit
kronik, thalasemia dan anemia sideroblastik penegakan
diagnosis tergantung dari penyebab terjadinya anemia.

Gambar 4. Pendekatan Diagnosis Anemia Hipokrom


Mikrositik

b) Normokrom Normositik 
Anemia ini ditandai dengan nilai MCV 80-95 fl atau MCH
27-34 pg
c) Makrositik
Anemia ini ditandai dengan nilai MCV > 95 fl
Tatalaksana Terapi Anemia
1. Terapi Kausal 
Terhadap penyebab perdarahan misalnya pengobatan cacing
tambang, hemoroid, menorrhagia
2. Pemberian preparat besi oral (iron replacement therapy)
Preparat pilihan pertama adalah ferrous sulphat (sulfas
ferosus) 3x200 mg/hari yang paling murah dan efektif
meningkatkan absorbsi besi serta eritropoiesis. Preparat lain:
ferrous gluconate, ferrous fumarate, ferrous lactate, dan ferrous
succinate yang lebih mahal namun efektivitas dan efek
sampingnya hampir sama dengan ferrous sulphat.
3. Pemberian preparat besi parenteral
Jika terjadi intoleransi terhadap preparat besi oral. Preparat
yang tersedia: iron dextran complex (mengandung zat besi 50
mg/ml), iron sorbitol citric acid complex, serta iron ferric
gluconate yang lebih aman.
4. Diet tinggi protein 
Diet tinggi protein yang utama adalah protein hewani
5. Vitamin C 
Pemberian Vitamin C 3x100 mg/hari untuk meningkatkan
absorpsi zat besi
6. Transfusi PRC
Jika memerlukan peningkatan Hb yang sangat cepat seperti pada
kehamilan trimester akhir ataupun preoperasi
c. Sepsis
Sepsis adalah kondisi Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS) yang biasanya disebabkan oleh infeksi dan ditandai
dengan minimal 2 tanda gejala berikut (Kang-Birken, 2017): 
1. Suhu lebih dari 38⁰C atau dibawah 36⁰C
2. Nadi lebih dari 90x/menit
3. RR lebih dari 20x/menit
4. WBC lebih dari 12.000 atau kurang dari 4.00
Berdasarkan Kang-Birken (2017) patofisiologi sepsis terjadi
karena infeksi bakteri atau jamur akan memicu pelepasan mediator
inflamasi seperti TNF-alfa, IL-1 dan mediator lain dan menyebabkan
pelepasan adrenokortikotropin hormone, terjadi vasodilatasi dan
stimulasi polimorfonuklear/PMN. Hal ini yang menyebabkan
terjadinya kerusakan endotel berakibat pada munculnya reaksi-reaksi
yang terjadi secara simultan (syok hipovolemik), sehingga terjadi
hipoperfusi mempengaruhi MODS (Multiple Organ Dysfunction
System) bahkan Letal. Adapun penatalaksanaan dari sepsis yaitu :
1. Penggunaan antimikroba atau antifungal/antiviral yang tepat, yaitu
sesuai dengan mikroba penyebab sepsis. 
a) Umumnya, lama pengobatan untuk kasus sepsis adalah 10-14
hari. 
b) Bila tidak memungkinkan untuk dilakukan kultur kuman, maka
dapat diberikan antibiotik empiris dengan memperkirakan jenis
kuman penyebab.

d. Tupoksi Infeksi (Dengue Shock Syndrome)


Penderita Dengue Shock Syndrome (DSS) 2 kali lebih banyak
dialami oleh perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Anak yang
berumur diantara 3 dan 6 tahun merupakan penderita yang sering
terjadi bahkan dengan kondisi yang berat. Tetapi, pada kalangan
remaja dapat terjadi DSS yang lebih fatal atau buruk.. Berdasarkan
derajat beratnya penyakit, secara klinis Dengue Shock Syndrome
(DSS) dibagi menjadi : 
1. Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan, uji
tourniquet (+), trombositopenia, dan hemakonsentrasi.
2. Derajat II
Derajat I dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat
lain.
3. Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan darah rendah, gelisah, sianosis sekitar mulut, hidung
dan ujung jari (tanda-tanda dini renjatan).
4. Derajat IV
Renjatan berat ( DSS ) dengan nadi tak teraba dan tekanan
darah tak dapat diukur.
Dengue Shock Syndrome (DSS) memiliki tiga gambaran klinis,
sebagai berikut ;
1. Dengue “Klasik” (Classic Dengue Fever)
Gambaran klinis “Triage Dengue” ini lebih sering
berwujud pada orang asing dewasa yang belum mengalami
virus ini dulu. Terkadang disertai perdarahan ringan seperti
petikia dan epistaksis. Pada stadium konvolese (merasa lemah
atau kurang bersemangat berbulan-bulan) erupsi / rash
morbilliform ini bisa sangat gatal sekali sampai pasien ingin
“mandi es” 
a) Hipertermi sampai Hyperpyrexia 4 –7 hari (“saddle
[pelana] back curve” pada 60%)
b) Nyeri pada seluruh tubuh (rasa “patah tulang”) dan kepala
(retro-orbital: dibelakang mata)
c) Erupsi kulit morbilliform yaitu makulopapular yang mulai
timbul pada hari ke 3 –5
2. Dengue Hemorrhagic Fever
Kriteria WHO untuk diagnosis DHF yaitu bila terjadi
demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2 –7 hari.
Manifestasi perdarahan uji torniket (RL) positif, terjadinya
pembesaran hati, renjetan/syok, TD sistol<80 dan tekanan nadi
<20. 
a) Hyperthermia tinggi (sampai 41°) mendadak dan terus-
menerus selama 2 – 7 hari
b) Mual/Muntah/Anorexia/Nyeri perut atas (sering dengan
hepatomegali yang nyeri tekan)
c) Perdarahan (ringan – hebat) pada hari ke 3 – 5
1) Petikia (bintik - bintik perdarahan dibawah kulit)
2) Ekimosis (memar)
3) Epistaksis (dari hidung)
4) Hematemesis/melena (terkadang dari epistaksis
posterior yang ditelan)
5) Perdarahan pada gingiva dan karies
6) Waktu perdarahan (laborat) memanjang
d) Gejala yang lebih jarang berwujud pada anak/bayi
1) Nyeri kepala dan tubuh
2) Adenopati leher
3) Bradikardi relatif
3. Dengue Shock Syndrome (DSS)
Sebagian besar Dengue Shock Syndrome (DSS) sekitar
sepertiga dari penderita DHF mengalami status memburuk
karena renjetan (syok), dengan tingkat mortalitas sebesar 30%.
Tetapi, mortalitas lebih tinggi daripada Derajat IV.  Adapun
tanda-tanda syok pada DSS, antara lain :
a) Lesu, lemah
b) Nadi cepat dan lembut (Tip: nada/pulse dorsalis pedis
“tidak ada”)
c) Pernafasan cepat/Tachypnea
d) Kaki tangan dingin dan lembab
e) Kesadaran menurun, gelisah dan apatis, kejang-kejang
f) Pucat & terkadang sianosis circum oral (sekeliling mulut)
g) Tekanan darah menurun; tekanan nadi menyempit < 20
h) Tanda pleural effusion (terutama makanan) pada 60 - 90%
(Pungsi dan drainase thoraks biasanya tidak berhasil)
Derajat klinis penyakit Dengue dibagi menjadi 4 derajat,
yaitu :
a) Derajat I 
Demam dan tes RL positif
b) Derajat II 
Derajat I + petikia spontan
c) Derajat III 
Derajat II + hipotensi atau tekanan nadi < 20
d) Derajat IV
Syok berat (moribund, pulseless) dengan mortalitas yang
sangat tinggi
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan atau yang perlu
diperhatikan pada penderita Dengue Fever adalah ; 
a) Trombosit (Normal 200.000 –300.000) (DK antara
100.000 –200.000; DHF <100.000; DSS sering <50.000)
b) Hematokrit/ Hemoglobin meningkat 20% karena
konsentrasi hemoglobin. Jika hematokrit naik, tanda-tanda
vital tidak stabil kebocoran plasma aktif dan kebutuhan
untuk bolus sebagai penggantian cairan. Sebaliknya jika
turun, tanda-tanda vital tidak stabil perdarahan besar dan
kebutuhan transfusi mendesak
c) Faal Hepar (SGOT/SGPT dll) meningkat ringan pada DK
dan DHF; moderate tinggi pada DSS
d) Leukopenia pada DK dan DHF namun bisa leukositosis
(>15.000) pada DSS
e) Hipoproteinemia dan Faktor pembekuan darah (II, V, VII,
X) menurun pada DSS
f) Analysis antigen dan antibodi

Penatalaksanaan utama dari Dengue Shock Syndrome


(DSS), yaitu istirahat dan rehidrasi. Selain itu, tatalaksana terapi
yang lain adalah sebagai berikut :
a) Diit TKTP
b) Koreksi hipotensi/syok dengan menggunakan antipiretik
Paracetamol(10 mg/kg setiap 4 jam bila demam) (Jangan:
Aspirin & Pyramidon/ Xylomidon)
c) Diazepam IV bila terjadi kejang-kejang. Hati-hati dengan
pemberian      Phenobarbital. Penyebab gelisah mungkin
dari hypoxia dan/atau syok
d) Kortikosteroid masih kontroversi, pemberiaan dapat
dipertimbangkan bila diperkirakan ada pelonjakan jumlah
mediator kimiawi, sitokin proinflamatori, seyurta potensi
menghebatnya apoptosis sehingga terjadi disfungsi endotel
Penatalaksanaan jika terjadi syok kompensasi adalah : 
a) Cairan kristaloid isotonik
b) RL / D5 / NS 5-10 ml /kg/jam selama 1 jam
c) Nilai kembali kondisi klinis pasien, hematokrit, urin
output
d) Jika membaik 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-
5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, selanjutnya 2-3 ml/kg/jam,
pertahankan sampai 24-48 jam
e) Shock berlanjut ulangi cairan 10-20 ml/kg/jam selama 1
jam. Waspada edema paru dan gagal jantung
f) Pertimbangkan transfusi darah (bila hematokrit <40%
pada wanita dewasa dan anak-anak; <45% pada laki-laki)
Penatalaksanaan jika terjadi syok hipotensi adalah : 
a) Resusitasi dengan cairan kristaloid atau koloid 20
ml/kg/jam >15 menit. Jika membaik pemberian kristaloid
atau koloid 10 ml/kg/jam selama 1 jam. Kemudian, larutan
kristaloid 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam. Selanjutnya, 3-5
ml/kg/jam selama 2-4 jam, lalu 2-3 ml/kg/jam,
pertahankan sampai 24-48 jam
b) Jika tidak membaik yang ditandai dengan hematokrit yang
tinggi koloid 10-20 ml/kg 30-60 menit. Kemudian
mengalami perbaikan seperti penatalaksanaan respon
membaik, apabila terjadi penurunan hematokrit perlu
diberikan transfusi
e. Tupoksi Infeksi (Appendicitis)
Appendix disebut juga umbai cacing dimana organ berbentuk
tabung ±10cm dan berpangkal di sekum, Lumennya sempit di bagian
proksimal,melebar di bagian distal, Bagian luar memproduksi
sejumlah kecil mukus yang mengalir melalui lubang tengah antara
appendix dan masuk ke dalam cecum. Dinding appendix terdapat
jaringan lymphatic yg merupakan bagian dari sistem imun utk
memproduksi antibodi.
Appendicitis merupakan inflamasi pada appendix. Biasa terjadi
pada umur 20-30 tahun, jarang bayi dan orang tua dan populasi
modern>pribumi. Patofisiologi apendisitis dapat terjadi karena
Kotoran terperangkap, pembesaran kelenjar (inf virus), tumor,
obstruksi apendikular  dan Erosi Mukosa apendiks karena parasit
seperti e.hystolica.
Gejala klinis apendisitis :
1. Nyeri epigastrium
2. Disusul anoreksia,mual,muntah
3. Suhu badan subfebris
4. Bising usus menurun
5. Peritonitis lokal pusat Mc Burney (batuk,nyeri tekan dan defans
musculer)
6. Lekositosis ringan
Appendicitis Pada Orang Tua, Mortalitas tinggi, 30%
appendix sudah perforasi Sebagian supply darah struktur sudah jelek
dan Adanya penyakit penyerta.
Appendicitis Pada Wanita Hamil :
1. Nyeri sukar dibedakan tanda nyeri dari kehamilan
2. Letak appendix pindah keatas dan keluar
3. Nausea vomiting sukar dibedakan karena hamil
4. Lekositosis hamil fisiologis.
Terapi Appendicitis Pada Wanita Hamil :
1. Trimester I : jika ada perforasi dilakukan Tindakan
appendectomi +abortus.
2. Trimester akhir : jika ada perforasi dilakukan
appendictomi+terminasi kehamilan.
Penatalaksanaan Appendisektomi
Prabedah :
1. Infus NaCl atau Ringer laktat
2. Bersih terkontaminasi : Ampicillin/sefalosporinn (cefazolin 1g
iv/cefuroxim 1g iv ) + metronidazol drip 1 jam preop
3. Ada perforasi à kultur +sensitivity test.
Profilaksis : cefuroxim 1g iv / Gentamisin 1,5mg/kgBB +
metronidazol 500 mg drip 1 jam preop
Pasca bedah :
1. Infus terus
2. Bs usus +  mss
3. Flatus+ makan cair
4. Segera fisioterapi
5. Ada penyulit pertimbangkan antibiotika triple
Prognosis
1. recover easily with surgical treatment KOMPLIKASI
2. Bila terapi terlambat atau terjadi peritonitis
3. Bila appendix tidak pecah, terjadinya komplikasi 3%, bila pecah
terjadinya komplikasi 59%.
4. Komplikasi yang sering terjadi pneumonia, hernia pada daerah
insisi, thromboplebitis, perdarahan atau adhesi.
5. Waktu recovery ∞ umur, kondisi umum, faktor penyulit dan
kondisi lainnya ( konsumsi alkohol) namun pada umumnya 10-
28 hari. Untuk anak waktu recovery sekitar 3 minggu
6. Kematian dan komplikasi parah jarang terjadi, kecuali jika
terdapat peritonitis perforasi luas.

f. Neonatus (NICU)
1. Pengantar Neonatus
Semua penyakit yang dialami pasien neonatus merupakan
kondisi emergensi dan harus segera ditangani. Neonatus
merupakan masa sejak lahir sampai 4 minggu sesudah lahir.
Klasifikasi bayi menurut berat lahir :
a) Bayi Berat Lahir Lelah : >4000g
b) Bayi Berat Lahir Cukup : 2500-4000gr
c) Bayi Berat Lahir Sangat Rendah : 1000-1500gr
d) Bayi Berat Lahir Amat Sangat Rendah : <1000gr
Klasifikasi berdasarkan usia lahir :
a) Neonatus preterm :  bayi lahir 20-37 minggu
b) Neonatus aterm : bayi lahir 38-42 minggu
Klasifikasi berdasarkan berat lahir dan usia lahir :
a) SMK: sesuai masa kehamilan
b) KMK : kecil masa kehamilan
c) BMK : besar masa kehamilan
Ketika bayi baru lahir dilakukan penilaian APGAR
SCORE (Appearance, Pulse, Grimance, Activity dan
Respiration). Nilai APGAR berguna untuk menilai keberhasilan
resusitasi bayi yang baru lahir dan menentukan prognosis, bukan
untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik
setelah lahir bila bayi tidak menangis.
Penilaian kondisi umum bayi berdasarkan nilai APGAR :

Tabel 4. Penilaian kondisi umum bayi berdasarkan nilai


APGAR
0 1 2

Appearance Pucat Badan merah Seluruh tubuh


(Warna kulit) ekstremitas biru kemerahan-
merahan

Pulse rate Tidak ada <100 >100


(Frekuensi nadi)

Grimace (Reaksi Tidak ada Sedikit gerakan Batu/bersin


Rangsang) mimiki

Activity (Tonus Tidak ada Ekstremitas Gerakan aktif


otot) dalam sedikit
fleksi

Respiration Tidak ada Lemah/tidak Baik/menangis


(Pernafasan) teratur
Interpretasi skor : 7-10  normal, 4-6 agak rendah; 0-3 sangat
rendah.
2. Kondisi Patologis Neonatus
a) Sepsis Neonatus
Terdapat dua jenis sepsis neonatus, yaitu :
1) Early Onset Sepsis (< 48 jam)
Infeksi didapatkan di jalan lahir atau dari ibu,
infeksi transplasental dari cervix, gut. Bakteri yang
menginfeksi : Group B Streptococcus (GBS), Escherichia
coli, Coagulase-negative, Staphylococcus, Haemophilus
influenzae, Listeria monocytogenes.
Faktor Resiko Early Onset Sepsis diantaranya
yaitu olonisasi GBS ibu (terutama jika tidak diobati
selama persalinan), Ketuban pecah dini (KPD), Ketuban
pecah dini, Ketuban pecah berkepanjangan, Prematuritas,
Infeksi saluran kemih ibu, Korioamnionitis
2) Late Onset Sepsis (4-90 hari) 
Infeksi didapatkan dari lingkungan
(environment). Bakteri yang menginfeksi:Coagulase-
negative, Staphylococcus,, Staphylococcus aureus, E
coli, Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacter, Candida,
GBS, Serratia, Acinetobacter, Anaerobes. 
Faktor Resiko Late Onset Sepsis diantaranya
yaitu prematuritas, kateterisasi vena sentral (durasi> 10
hari), penggunaan kanula hidung atau tekanan saluran
napas positif berkelanjutan (CPAP), penggunaan
penghambat reseptor H2 atau penghambat pompa
proton (PPI), patologi saluran GI.
Bayi-bayi yang mengalami sepsis hampir selalu
mengalami hipoalbumin, angka kejadian lebih dari 85%.
Kondisi hipoalbumin pada sepsis neonatus disebabkan ketika
bayi mengalami sepsis terjadi pelepasan sitokin pro inflamasi
yang menyebabkan inflamasi sel-sel endotel dan  vasodilatasi
otot polos pembuluh darah mengalami peningkatan
permeabilitas sehingga terjadi difusi albumin ke
extravaskuler.
Faktor penyebab sepsis pada neonatus diantaranya:
1) Faktor imunitas seluler
PMNs untuk membunuh bakteri. Pada neonatus,
kemampuan PMNs untuk kemotaksis dan membunuh
bakteri turun.
2) Faktor imunitas humoral
Imunoglobulin didapatkan transplasental dari ibu
pada akhir masa kehamilan. Sehingga pada pasien
prematur kadar imunoglobulin rendah dan rentan infeksi.
3) Faktor barier (mukus & kulit)
Penegakan diagnosa sepsis menggunakan kriteria
SIRS. Diagnosa ditegakkan apabila ditemukan 2 dari 4
kriteria sebagai berikut :
Tabel 4. Kriteria SIRS Neonatus
Usia Suhu Laju Nadi Laju Nafas Jumlah
Neonatus Per Menit Permenit Leukosit
X 103/mm
Usia 0-7 > 38,5º >180/<100 >50 >34
hari atau <
36ºC
Usia 7-30 > 38,5º >180/<100 >40 >19,5
hari atau <
36ºC atau <5

Kriteria Infeksi, Sepsis, Sepsis Berat, Syok Sepsis :


1) Infeksi
 Terbukti infeksi (proven infection) bila ditemukan
kuman penyebab
 Tersangka infeksi (suspected infection bila terdapat
sindrom klinis (gejala klinis dan penunjang lain).
2) Sepsis
SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka
3) Sepsis Berat
Sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskuler
atau disertai gangguan nafas akut atau adanya gangguan 2
organ lain seperti gangguan neurologi, hematologi,
urogenital, dan hepatologi.
4) Syok Sepsis
Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik < 65
mmHg pada bayi usia < 7 hari dan < 75 mmHg pada bayi
7-30 hari.
Dalam penegakan diagnosis sepsis dapat dilihat dari
gejala klinis sebagai berikut :
1) Susunan saraf pusat : letargi, refleks hisap buruk,
kejang, iritabel.
2) Kardiovaskuler : pucat, sianosis, dingin.
3) Respiratorik : takipneu, apnu, merintih, retraksi.
4) Saluran pencernaan : muntah, diare, distensi abdomen.
5) Hematologik : pendarahan, jaundice
6) Kulit : ruam, purpura
Penegakan diagnosis:
1) Possible atau suspect sepsis 3 dari 6 gejala klinik.
2) Probable sepsis 3 gejala klinik dan kelainan hasil
laboratorium.
Penatalaksanaan sepsis neonatus :
1) Kematian akibat sepsis yang tidak diobati 50
2)  Mulailah pengobatan sambil menunggu hasil kultur.
3)  Terapi dengan : Kombinasi ampisilin + aminoglikosida
4)  Penggunaan Sefalosporin generasi ketiga yang
berkepanjangan pada neonatus dapat menyebabkan
kandidiasis invasif. Selain itu, Ceftriaxone
dikontraindikasikan terhadap neonatus karena
ceftriaxone ikatan dengan protein sangat tinggi dan
dapat menggantikan bilirubin, yang menyebabkan risiko
kernikterus
5) Bakteremia tanpa fokus infeksi yang dapat diidentifikasi
dirawat selama 10 hari. 
b) Sklerema Neonatorum
Pada bayi-bayi sepsis seringkali disertai kondisi
sklerema neonatorum. Pada neonatus, lemak dibawah  kulit
yang saturasi dibandingkan dengan unsaturasi sangat tinggi.
Pada kondisi khusus rasio tersebut semakin tinggi, lemak
tersaturasi sangat tinggi sehingga akan menyebabkan asam
lemak mengkristal (melalui peningkatan proses enzymatic)
dan terjadi pengerasan jaringan lemak di bawah kulit. Ketika
dipegang elastisitas kulit tidak baik/keras.
1) Underlying disease : prematuritas, dehidrasi,
bronkopneumonia, sepsis, hipotermia, metabolik asidosis,
RDS, CHD
2) Mortality rate : 67-88%
c) Asfiksia Neonatorum
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernafas secara
spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah
lahir yang ditandai dengan keadaan hipoksia (kadar PaO2 di
dalam darah rendah), hiperkarbia (kadar PaCO2 meningkat),
dan asidosis. Gejala klinis asfiksia neonatorum yaitu bayi
tidak bernafas atau nafas megap-megap, denyut jantung <
100x/menit, kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak
ada respons terhadap reflex rangsangan. Gangguan/ kesulitan
waktu lahir, lahir tidak bernafas/menangis
Asfiksia disebabkan dari faktor ibu, janin,dan
plasenta.Terjadinya hipoksia dan iskemia pada jaringan
menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin.
Faktor inilah yang berperan pada kejadian asfiksia. Beberapa
faktor penyebab asfiksia:
1)  Kehamilan terlalu tua atau terlalu muda
2) Penyakit saat hamil (diabetes,hipertensi)
3)  Letak bayi abnormal
4) Kelahiran prematur
5) Penggunaan alkohol dan rokok
 Pemeriksaan Fisik : Perlu dilakukan pemeriksaan fisik
dengan APGAR Score / Nilai APGAR
Tabel 4. Nilai APGAR

Klinis 0 1 2

Detak jantung  Tidak ada <100x/menit >100x/menit

Pernafasan Tidak ada Tidak teratur Tangis kuat

Refleks saat Tidak ada Menyeringai Batuk/bersin


jalan nafas
dibersihkan

Tonus otot Lunglai Flexi Extrimitas Fleksi kuat


(lemah) gerak aktif

Warna kulit Biru pucat Tubuh lemah Merah seluruh


ektrimitas biru badan

Dilakukan penilaian APGAR pada menit ke-1 dan


menit ke-5, bila nilai APGAR 5 menit masih kurang dari 7,
maka penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor
mencapai 7. Nilai APGAR berguna untuk menilai
keberhasilan resusitasi bayi yang baru lahir dan menentukan
prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi
dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis.
d) Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia pada neonatus dapat disebabkan oleh
penurunan sintesis, peningkatan katabolisme, kehilangan,
terganggunya distribusi antara kompartemen intravaskular
dan ekstravaskular. Kondisi hipoalbuminemia terjadi pada
prematuritas bayi dengan sakit akut, sindrom distres
respirasi, enterokolitis nekrotikan, perdarahan intrakranial,
hidropsfetalis, edema, kehilangan protein melalui ginjal,
saluran cerna atau perdarahan masif.
Penatalaksanaan terapi hipoalbumin menggunakan
albumin intravena.  Perhitungan dosis atau jumlah albumin
intravena yang diperlukan :
Dosis albumin (g) = 3 g/dL – kadar albumin terukur) x
Berat badan (kg) x 0,8.
e) Neonatal Respiratory Distress Syndrome (RDS)
Alveoli merupakan bagian paru-paru tempat pertukaran
O2 dan CO2. Di Dalam alveoli terdapat surfaktan yang
berperan menurunkan tegangan permukaan pada paru
sehingga pertukaran gas. RDS terjadi pada neonatus preterm
(< 37-39 minggu) dimana pematangan paru belum sempurna
sehingga belum terbentuk surfaktan dan terjadi kolaps
alveoli. Pematangan paru-paru (terbentuknya surfaktan) baru
terjadi saat umur kehamilan lebih dari 36 minggu. Pada
kondisi bayi yang baik surfaktan dapat terbentuk sendiri 36-
72 jam setelah lahir. Namun pada kondisi yang tidak baik,
maka bayi terus menerus dalam kondisi paru tanpa surfaktan
dan menyebabkan terjadinya bronchopulmonal displasia
(BPD).
Faktor Resiko terjadinya RDS :
1) Saudara kandung mengalami RDS
2) Ibu dengan DM,
3) SC-NP
4) Masalah persalinan yang menyebabkan aliran darah ke
janin berkurang
5) Gemeli
Gejala bayi mengalami RDS :
1) Cyanosis,
2) Apnea,
3) RR > 60x
Penatalaksanaan RDS :
1) Hindari hypoxemia & asidosis
2) Optimalkan terapi cairan, hindari overload cairan
3) Optimalkan pemberian nutrisi
4) Terapi RDS menggunakan:
 CPAP
 Surfaktan injeksi : 90% fosfolipid, 10% protein
(menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar
alveoli tetap mengembang. Jenis Surfaktan Injeksi  :
 Exosurf : sintetik
  Survanta : dari paru anak  sapi, kelebihannya
tinggi protein dan dapat menurunkan tegangan
permukaan lebih besar. Pemberian secara bolus
intratrakeal.
 Dosis : 100mg/kg BB setiap 12 jam selama 48
jam. Golden period : 24-48 jam (Dunn dkk,
2012); 8 jam (US FDA, 2013)
 Oksigen
 Antibiotik terapi, pasien premature RDS disertai
Sepsis
 Thermoregulasi
f) Sindrom Aspirasi Mekonium
Mekonium adalah kotoran atau feses yang dihasilkan
bayi selama dalam rahim. Mekonium juga tanda maturasi
yang normal dari GIT (saluran GI).Mekonium disimpan
dalam intestin bayi sampai bayi lahir. Pada kondisi stress di
dalam kandungan, misalnya akibat kekurangan kadar
oksigen, bayi akan mengeluarkan mekonium sehingga
tercampur dengan cairan ketuban (amnion). Komponen
mekonium yaitu garam empedu dan enzim-enzim
menyebabkan komplikasi serius bila terinhalasi atau
teraspirasi oleh janin dan menyebabkan sindrom aspirasi
mekonium (obstruksi jalan nafas, kehilangan surfaktan,
pneumonitis kimia).
Air ketuban keruh bercampur mekonium dapat
berkembang menjadi sindrom aspirasi mekonium (SAM)
kemudian terjadi kondisi asfiksia neonatorum dan
menyebabkan infeksi neonatal. Insidens air ketuban keruh
terjadi 6%-25% kelahiran hidup, namun tidak semua
berkembang menjadi SAM. Neonatus dengan AKK 2%-
36% menghirup mekonium sewaktu di dalam rahim atau
saat napas pertama sebesar 11% berkembang menjadi SAM
dengan berbagai derajat.
Bayi yang menghirup mekonium dapat mengalami
Obstruksi :
1) Obstruksi Mekanik Total : Partikel mekonium yang
terhirup menyebabkan obstruksi dan atelectasis
sehingga area yang tidak terjadi ventilasi dan perfusi
menyebabkan hipoksemia.
2) Obstruksi Mekanik Parsial : Katup–bola / ball-valve
effect. Udara yang terhirup memasuki alveoli tetapi
tidak dapat keluar dari alveoli sehingga terjadi air
trapping di alveoli, gangguan ventilasi dan perfusi
menyebabkan sindrom kebocoran udara dan
hiperekspansi. Risiko terjadinya pneumotoraks sekitar
15%-33%.
Sindrom Aspirasi Mekonium
1) Pneumonitis Mekonium
Dalam beberapa jam neutrofil dan makrofag
berada di dalam alveoli, saluran napas besar dan
parenkim paru kemudisn makrofag mengeluarkan
sitokin seperti TNF α, TNF-1b, dan interleukin-8 dan
menyebabkan gangguan pada parenkim paru atau
menyebabkan kebocoran vaskular pneumonitis toksik
dengan perdarahan paru dan edema.
2) Vasokonstruksi Pulmonal Hipertensi Pulmonal
Persisten (PPHN)
Mekonium dalam air ketuban menyebabkan
pelepasan mediator vasoaktif seperti eikosanoids,
endotelin-1, dan prostaglandin E2 (PGE2) sehingga
terjadi vasokontriksi pulmonal. Gejala vasokonstruksi
pulmonal diantaranya yaitu cairan ketuban berwarna
kehijauan atau ada mekonium dalam cairan ketuban,
kulit bayi kehijauan, bayi tampak lemas/lelah, kulit
bayi sianosis, dan apneu/takipneu. Komplikasi yang
dapat terjadi diantaranya pneumonia aspirasi,
pneumotoraks, kerusakan otak akibat kekurangan
oksigen, gangguan pernafasan yang menetap selama
beberapa hari.
Penatalaksanaan sindrom aspirasi mekonium
dilakukan dengan :
1) Penghisapan lendir pada mulut bayi, berulang
sampai lendir tidak lagi terdapat mekonium
2) Pemberian antibiotik. Potensi bakteriostatik pada
cairan mekonium normal
3) Stabilisasi suhu
4) Ventilasi mekanik untuk menjaga paru bayi tetap
mengembang, bila PaCO2 > 60 mmHg atau PaO2 <
50 mmHg
5)  Gangguan pernafasan biasanya akan membaik
dalam waktu 2-4 hari
6) Aspirasi mekonium jarang menyebabkan kerusakan
paru-paru yang permanen
7) Antibiotik spektrum luas
8) Surfaktan
9)  NO inhalasi untuk menurunkan resistensi vaskular
paru (vasodilator)
10) Dopamin, Dobutamin, Epinephrine sebagai
vasokonstriktor
g. Emergency Drugs

Anda mungkin juga menyukai