Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Arifin (2013), anemia merupakan masalah medik yang sering
dijumpai klinik di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan
utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini
merupakan penyebab debilitas kronik yang mempunyai dampak besar
terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Secara
fungsional anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah masa eritrosit
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis anemia di
tunjukan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitungan
eritrosit. Anemia merupakan istilah yang menunjukan rendahnya hitungan
sel darah merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal.
Anemia bukan merupakan penyakit melainkan merupakan pencerminan
keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh. Secara fisiologis,
anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk
mengangkut oksigen ke jaringan (Smeltzer, 2002 dalam Arifin, 2013).

Anemia merupakan masalah gizi yang paling lazim di dunia dan


menjangkiti lebih dari 600 juta manusia. Perkiraan prevalensi anemia
secara global adalah sekitar 51 %. Bandingkan dengan prevalensi untuk
balita yang sekitar 43 %, anak usia skolah 37%, pria dewasa hanya 18%,
dan wanita tidak hamil 33%, yang menyengsarakan sekitar 44% wanita di
seluruh negara sedang berkembang (kisaran angka 13,4-87,5%). Angka
tersebut terus membengkak hingga 74% yang bergerak dari 13,4%
(Thailand) ke 85,5% (India) (Arisman, 2009).

Ginjal adalah organ penting yang memiliki peran cukup besar dalam
kebutuhan cairan dan elektrolit. Fungsinya membuang sisa-sisa
metabolisme dan racun yang ada di dalam tubuh kedalam bentuk urin
(Faruq, 2017). Banyak manusia mengabaikan perawatan ginjal secara
baik, Sehingga berdampak pada peningkatan kasus penyakit ginjal

1
(Hidayat, Musrifatul, 2015). Penyakit gagal ginjal kronik (GGK)
merupakan salah satu faktor resiko kematian penyakit kardiovaskuler.

Menurut hasil Global Burden of Disease (2010) dalam Infodatin


(2017), GGK merupakan penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia
tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010.
Sedangkan di Indonesia, perawatan penyakit ginjal merupakan ranking
kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit
jantung.

Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan sebanyak 499.800 penduduk


Indonesia menderita penyakit gagal ginjal. Prevalensi meningkat seiring
dengan bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok
umur 35-44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi
pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih
tinggi terjadi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%),
pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks
kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing 0,3%.
Sedangkan provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Sulawesi Tengah
sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing
0,4 %.

Penyakit gagal ginjal kronik juga memiliki tanda dan gejala yang
bermacam-macam yang terdapat pada sistem pernapasan yakni asidosis
metabolik, efusi pleura, edema paru. Sistem kardiovaskular seperti
hipertensi gagal jantung. Sistem neurologi adanya sakit kepala, kesulitan
tidur, tremor ditangan. Sistem hematologi adanya anemia dengan
hemoglobin rendah, kerusakan sel darah putih menyebabkan infeksi.
Sistem gastrointestinal seperti mual dan muntah, diare, konstipasi,
sariawan. Sistem skeletal adanya nyeri sendi dan bengkak. Pada gagal
ginjal kronik terjadi penurunan fungsi renal. Produksi akhir metabolisme
protein tertimbun dalam darah dan terjadilah uremia yang mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Retensi natrium dan cairan mengakibatkan ginjal
tidak mampu dalam mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine

2
secara normal pada penyakit gagal ginjal kronik. Pasien biasanya
menahan natrium dan cairan yang dapat meningkatkan resiko edema,
gagal jantung kongesif dan hipertensi. Untuk menghindari hal-hal tersebut
maka dapat dilakukan pencegahan untuk kelebihan volume cairan dengan
berbagai terapi yang dapat diberikan. (Smetzer & Bare, 2013 dalam Sari,
2016).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rusdi (2018), ada perbedaan


yang signifikan antara kadar hemoglobin dan ferritin serum sebelum dan
sesudah diberikan jus jambu biji merah. Jadi dapat disimpulkan bahwa
ada pengaruh pemberian jus jambu biji merah terhadap kadar hemoglobin
dan ferritin serum penderita anemia. Kandungan vitamin C yang paling
tinggi terdapat didalam buah jambu biji. Dalam bahasa latin jambu ini
dikenal dengan sebutan Psidium Guajava, dan dalam bahasa Inggris
disebut Guava. Kandungan vitamin C dalam jambu biji lebih tinggi dari
buah jeruk, dalam 100 gram buah jambu biji ini mengandung 183,5 mg
vitamin C, sedangkan pada 100 gram buah jeruk terkandung 50-70 mg
vitamin C. Buah jambu biji ini juga mengandung beberapa jenis mineral
yang mampu mencegah berbagai jenis penyakit dan menjaga kebugaran
tubuh. Vitamin C juga terdapat pada bahan makanan lainnya seperti jeruk,
pepaya, brokoli, strawberi, kembang kol, dll. Namun kandungan vitamin C
paling tinggi terdapat didalam jambu biji. (Yusnaini. 2014) bahkan
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Yusnaini (2014) tedapat
pengaruh konsumsi jambu biji (psidium guajava. l) terhadap perubahan
kadar hemoglobin.

Selain itu, dalam melakukan pembatasan cairan biasanya pasien


akan memiliki rasa haus atau keinginan yang disadari akan kebutuhan
cairan. Menurut Waworuntu, Wuisan & Mintjelungan (2015) untuk
mengatasi ketidaknyamanan pembatasan cairan pada pasien dengan
penyakit ginjal dapat diberikan jus jambu merah , yang memiliki
kandungan vitamin C dan memiliki rasa manis. Hal ini dikarenakan, buah
jambu merah memiliki kandungan vitamin C tertinggi. dapat menambah
aliran saliva yang dapat mencegah terjadinya kehausan (Sari, 2016).

3
Selain itu, menurut Priscilla (2012), buah ini memiliki manfaat sebagai
antioksidan untuk mencegah terjadinya stress oksidatif akibat pengaruh
obat yang menyebabkan gagal ginjal.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perencanaan asuhan gizi pada pasien anemia susp gagal
ginjal kronik?
2. Bagaimana intervensi asuhan gizi dan implementasi gizi pada pasien
anemia susp gagal ginjal kronik?

C. Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perencanaan asuhan gizi, intervensi gizi dan
implementasi gizi pada pasien anemia susp gagal ginjal kronik.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mendekripsikan perencanaan asuhan gizi pada pasien
anemia susp gagal ginjal kromik
2. Untuk mendekripsikan intervensi asuhan gizi pada pasien
anemia susp gagal ginjal kronik
3. Untuk mendekripsikan implementasi gizi pada pasien anemia
susp gagal ginjal kronik.

D. Manfaat
1. Untuk mengurangi masa rawat inap pasien
2. Untuk meningkatkan kadar hemoglobin pada pasien
3. Untuk melakukan pembatasan cairan pada pasien

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Gambaran Umum Penyakit


A. Anemia
1. Pengertian anemia
Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya
volume eritrosit atau konsentrasi hemoglobin. Anemia bukan suatu
keadaan spesifik, melainkan dapat disebabkan oleh bermacam-
macam reaksi patologis dan fisiologis.
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb)
dalam darah kurang normal, yang berbeda untuk setiap kelompok
umur dan jenis kelamin. Hal ini menunjukkan makin rendah Hb,
makin berat pula anemia yang diderita.
2. Klasifikasi anemia
Anemia mempunyai tingkatan yang berbeda – beda
tergantung seberapa tinggi nilai kekurangan hemoglobin seseorang
dalam tubuhnya dan seberapa lama ia membiarkan hal tersebut
terjadi. Menurut Wirakusumah (1999:2) Secara morfologis anemia
dapat diklasifikasikan menurut ukuran sel dan hemoglobin yang
dikandung darah, yaitu :
a. Makrositik
Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah bertambah
besar dan jumlah hemoglobin tiap sel juga bertambah. Terdapat
dua jenis anemia makrositik, yaitu anemia megaloblastik dan
anemia non-megaloblastik. Kekurangan vitamin B12, asam folat
atau gangguan sintesis DNA, merupakan penyebab anemia
megaloblastik, sedangkan anemia non-megaloblastik disebabkan
eritropoiesis yang lebih cepat dan peningkatan luas permukaan
membran.

5
b. Mikrositik
Mengecilnya ukuran sel darah merah merupakan ssalah satu
tanda anemia mikrositik. Penyebabnya adalah defisiensi besi,
gangguam sintesis globin, porfirin dan heme serta gangguan
metabolisme besi lainnya.
c. Normositik
Pada anemia normositik, ukuran sel darah merah tidak
berubah. Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah yang
parah, meningkatnya volume plasma secara berlebihan, penyakit –
penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal dan hati. Untuk
mempermudah dalam melakukan dan mendapat gambaran derajat
atau tingkat keseriusan dalam anemia, dapat dilihat kadar
hemoglobin dalam darah yang dibagi dalam beberapa tingkatan.
Penyebab anemia
Anemia pada umumnya disebabkan oleh:
1) Terjadinya kehilangan darah akibat terjadinya pendarahan
akibat suatu penyakit dan dapat pula disebabkan oleh
pengobatan. Anemia juga dapat terjadi karena terjadinya
menstruasi yang dialami oleh wanita setiap bulannya, sehingga
dapat menyebabkan defesiensi zat besi.
2) Asupan dari makanan yang kurang mengandung zat besi.
Seperti kurangnya konsumsi daging, sayuran, dan buah-buahan
yang mengandung zat besi. Kurangnya konsumsi makanan
yang dapat membantu penyerapan besi seperti protein dan juga
vitamin c. Selain itu, asupan zat besi juga terhambat
penyerapannya apabila dikonsumsi makanan yang
menghambat penyerapannya seperti teh dan kopi yang
mengandung tanin, sehingga zat besi menjadi semakin rendah
di dalam tubuh

Sedangkan penyebab anemia gizi pada umumnya adalah


disebakan oleh beberapa hal berikut, yakni:

a. Kurangnya pengadaan zat besi .

6
b. Penyerapan zat besi yang kurang.
Kurangnya penyerapan zat besi di dalam tubuh, disebabkan
asupan makanan yang membantu penyerapan zat besi pada
balita dan anak kurang, misalnya vitamin C. Selain itu diare
menahun, sindrom malabsorbsi dan kelainan saluran
pencernaan juga menyebabkan kurangnya absorbsi
(penyerapan) zat besi. Kandungan tanin pada teh dan kopi
juga menyebabkan penyerapan zat besi menjadi kurang
karena terhambat penyerapannya.
c. Kebutuhan zat gizi besi yang bertambah
Seiring pertumbuhan dan perkembangan sehingga terjadi
pertambahan kebutuhan zat gizi besi, sehingga tidak terjadi
anemia.
d. Terjadinya kehilangan darah
Terjadinya kehilangan darah akibat mengalami pendarahan
akut, misalnya penyakit tertentu dan juga disebabkan adanya
infestasi cacing tambang.
3. Gejala klinis anemia gizi besi
Gejala anemia gizi besi yang timbul bergantung kepada
beratnya kekurangan yang terjadi. Gejala-gejala ini dapat terjadi
akibat dari anemianya maupun akibat aktifitas beberapa enzim
yang mengandung besi yang menurun, sehinga efek yang timbul
dapat bersifat hematologik maupun nonhematologik. Pada
umumnya adalah mudah lelah, sakit kepala dan yang lebih berat
dapat ditemui pucat, glositis, stomatis, kheilitis angularis, palpitasi
dan koilokhia dalam. Gejala anemia menurut Depkes RI adalah :
pucat terutama bagian muka, bibir, lidah, telapak tangan dan kaki,
kuku pucat, penglihatan berkunang – kunang, lemah, cepat
mengantuk dan lesu.

4. Pencegahan anemia

7
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah anemia
yakni
1. Meningkatkan asupan zat besi dengan memilih aneka ragam
makanan dengan asupan zat besi tinggi, seperti daging,
sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan sesuai dengan angka
kecukupan zat besi menurut umur.
2. Meningkatkan kualitas pangan untuk mencegah defesiensi zat
besi melalui fortifikasi zat besi. Kesulitan dalam fortifikasi besi
adalah sifat besi yang reaktif dan berkecenderungan mengubah
warna makanan. Misalnya garam ferro mengubah pangan yang
berwarna merah dan hiaju menjadi lebih cerah warnanya. Selain
itu Fe reaktif dapat mengkatalisai reaksi oksidasi. Ferro sulfat
telah digunakan secara luas untuk memfortifikasi roti serta
produk bakteri lain yang dijual untuk waktu singkat. Jika
disimpan selama beberapa bulan makanan tersebut akan
menjadi tengik (Arisman, 2004:154).
3. Pencegahan anemia dengan pengawasa penyakit infeksi dan
parasit yang mengganggu penyerapan zat besi juga zat gizi
lainnya.
4. Suplementasi zat besi melalui tablet penambah darah yang
diberikan pada remaja, wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil,
sehingga anemia dapat di cegah dalam waktu singkat.
5. Pemberian pendidikan gizi, baik penyuluhan ataupun konseling
maupun program gizi lainnya mengenai anemia untuk
menambah pengetahuan mengenai anemia dan kemudian
menimbulkan perubahan sikap dan perilaku sehingga konumsi
makanan tinggi zat besi dapat dilakukan dengan teratur.

5. Pengobatan anemia

8
Pengobatan diberikan apabila seseorang sudah diindikasikan
terkena anemia. Menurut DeMaeyer (1993) pengobatan pilihan
untuk penderita anemia adalah:
1) Pemberian secara oral ferro fumarat, glukonat dan sulfat;
2) Pengobatan secara parenteral ditujukan hanya kepada
mereka yang mutlak tidak toleran terhadap zat besi;
3) Transfusi darah diperlukan hanya pada kasus berat (kadar
hemoglobin kurang dari 3g/dl).

B. Gagal Ginjal Kronik


1. Defensi
Penyakit gagal ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis
dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal
yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal,
selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat
yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau
transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik
yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik (Dennis, 2005 dalam Sutopo, 2016).
Gagal ginjal kronik / chronic kidney disease (CKD) merupakan
penurunan progresif faal ginjal yang menahun dan perlahan. Biasanya
berlangsung dalam beberapa tahun, yang umumnya tidak reversibel
dan cukup lanjut dari berbagai penyebab. Dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme atau keseimbangan cairan
dan elektrolit, menyebabkan uremia. Jika tidak ada tanda kerusakan
ginjal lebih dari 3 bulan, dan laju filtrasi glomerulus sama atau lebih dari
60 ml/menit/1,73m², tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik
(Suwitra, 2007).
Batasan penyakit ginjal kronik (Suwitra, 2007) :

9
a) Kerusakan ginjal >3 bulan, yaitu kelainan struktur atau
fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus berdasarkan:
a) Kelainan patologik
b) Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria
atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan radiologi
b) Laju filtrasi glomerulus <60 ml/menit/1,73m² selama >3
bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
2. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik
Angka Perjalanan penyakit ginjal kronik hingga tahap terminal dapat
bervariasi dari 2-3 bulan hingga 30-40 tahun. Penyebab penyakit ginjal
kronik yang tersering dapat dibagi menjadi delapan kelas seperti pada
tabel berikut ini (Price&wilson, 2006: 918).
Tabel 2.1 Penyebab Ginjal Kronik

N Klasifikasi Penyakit Penyakt


o
1 Penyakit infeksi Pielonefritis kronik dan refluks nefropati
tubulointerstitial
2 Penyakit peradangan Glomerulonefritis
3 Penyakit vaskuler Nefrosklerosis benign, Nefrosklerosis
hipertensi maligna dan stenosis arteri renalis
4 Gangguan jaringan ikat Lupus erutematosus sistemik dan
Poliarteritis nodosa
5 Gangguan kongenital dan Penyakit ginjal polikistik dan asidosis
herediter tumulus ginjal
6 Penyakit metabolik Diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme
dan amiloidosis
7 Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesik dan nefropati
timah
8 Nefropati obstruktif Batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal,
hipertropi prostat, struktur urethra.

10
Seperti yang dikutip dalam Price & Wilson (2006: 918)
menjelaskan bahwa diabetes dan hipertensi bertanggung jawab
terhadap proporsi penyakit ginjal kronik yang paling besar, terhitung
secara berturut-turut sebesar 34% dan 21% dari total kasus.
Glomerulonefritis adalah penyebab penyakit ginjal kronik tersering
yang ketiga (17%). Infeksi nefritis tubulointerstisial (pielonefritis
kronikatau nefropati refluks) dan Penyakit Ginjal Polikistik atau
Polycystic Kidney Disease (PKD) masing-masing terhitung
sebanyak 3,4% dari penyakit ginjal kronik. 21% penyebab penyakit
ginjal kronik sisanya relatif tidak sering terjadi yaitu uropati
obstruktif, Lupus Eritematosis Sistemik (SLE).

3. Patofisiologi Penyakit Gagal Ginjal Kronik


Secara ringkas patofisiologis penyakit ginjal kronik dimulai pada
fase awal gangguan keseimbangan cairan penanganan garam, serta
penimbunan zat- zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian
ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal,
manifestasi klinis penyakit ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-
nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron
yang tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsobrpsi, dan sekresi,
serta mengalami hipertrofi (Arif mutaqin dkk, 2011). Seiring dengan
makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa
menjalankan fungsi yang semakin berat sehingga nefron-nefron
tersebut ikut rusak. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya
berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk
meningkatkan reabsorbsi protein. Pada saat penyusutan progresif
nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah
ginjal akan berkurang. Pelepasan renin akan meningkat bersama
dengan kelebihan beban cairan sehingga dapat menyebabkan
hipertensi. Hipertensi akan memperburuk kondisi penyakit ginjal,
dengan tujuan agar terjadi peningkatan filtrasi protein-protein plasma.
Kondisi akan bertambah buruk dengan semakin banyak terbentuk

11
jaringan parut sebagai respon dari kerusakan nefron dan secara
progresif fungsi ginjal menurun drastis dengan manifestasi
penumpukan metabolit-metabolit yang seharusnya dikeluarkan dari
sirkulasi sehingga akan terjadi sidrom uremia berat yang memberikan
banyak manifestasi pada setiap organ tubuh (Arif mutaqin dkk, 2011).

4.Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) tanda dan gejala penyakit ginjal
kronik didapat antara lain :
a. Kardiovaskuler yang ditandai dengan adanya hipertensi, pitting
edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital, friction rub
pericardial, serta pembesaran vena leher
b. Integumen yang ditandai dengan warna kulit abu-abu mengkilat, kulit
kering dan bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh serta
rambut tipis dan kasar
c. Pulmoner yang ditandai dengan krekeis, sputum kental dan liat,
napas dangkal seta pernapasan kussmaul
d. Gastrointestinal yang ditandai dengan napas berbau ammonia,
ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual dan muntah,
konstipasi dan diare, serta perdarahan dari saluran Gastrointestinal
e. Neurologi yang ditandai dengan kelemahan dan keletihan, konfusi,
disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada
telapak kaki, serta perubahan perilaku
f. Muskuloskletal yang ditandai dengan kram otot, kekuatan otot hilang,
fraktur tulang serta foot drop
g. Reproduktif yang ditandai dengan amenore dan atrofi testikuler.

5. Penanganan Medis
a. Penatalaksanaan

12
Diagnosis CRF harus dilakukan berdasarkan klasifikasi etiologi dan
patologi sehingga petugas kesehatan dapat merencanakan terapi yang
tepat untuk mencegah progresi penyakit dan memperbaiki keadaan
umum. Tujuan dari terapi CRF adalah (K/DOQI, 2002 Amanati, 2015):

1. Terapi Spesifik terhadap Penyakit Dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya
adalah sebelum penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi
ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara
ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat
menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal,
terapi terhadap penyakit dasarnya sudah tidak banyak bermanfaat
(Suwitra, 2007).
2. Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi Komorbid
Penting untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan
LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui
kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
Faktor-faktor komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan
cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius,
obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan
aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra, 2007).
3. Memperlambat Pemburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah
terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk
mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah dengan (Suwitra,
2007):
a) Pembatasan asupan protein
Pembatasan mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/menit,
sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein
tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari,
yang 0,35-0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi

13
tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35
kkal/kgBB/hari. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan
protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan
karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang
terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi
protein yang mengandung ion hydrogen, fosfat, sulfat, dan ion
nonorganic lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena
itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal
kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan
ion anorganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan
metabolic yang disebut uremia, dengan demikian pembatasan
protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.
Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih akan
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang
akan meningkatkan progresivitas pemburukan fungsi ginjal.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasa fosfat perlu untuk mencegah
terjadinya hiperfosfatemia (Suwitra, 2007).
b) Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi
intraglomerulus
Pemakaian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan
mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrfi glomerulus.
Selain itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan
derajat proteinuria, karena proteinuria merupakan factor risiko
terjadinya pemburukan fungsi ginjal. Beberapa obat
antihipertensi terutama golongan ACE inhibitor melalui

14
berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses
pemburukan fungsi ginjal (Suwitra, 2007).
4. Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular
40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan
oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam
pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah
pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia,
hperfosfatemia, dan terapi terhadap cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan terapi dan
pencegahan terhadap koplikasi penyakit ginjal kronik secara
keseluruhan (Suwitra, 2007).
5. Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang
terjadi, yaitu sebagai berikut (Suwitra, 2007):
a. Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (LFG 60-89
ml/menit) : tekanan darah mulai meningkat
b. Penurunan LFG sedang (LFG 30-59 ml/menit) : hiperfosfatemia,
hipokalsemia, anemia, hiperparatiroid, hipertensi, dan
hiperhomosisteinemia
c. Penurunan LFG berat (LFG 15-29 ml/menit) : malnutrisi,
asidosis metabolik, kecenderungan hiperkalemia, dan
dislipidemia
d. Gagal ginjal (LFG < 15 ml/menit) : gagal jantung dan uremia
6. Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG ≤ 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut
dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi
ginjal (Suwitra, 2007).

Monitoring balance cairan, tekanan darah, ureum, kreatinin, Hb,


dan Gula darah juga perlu dilakukan untuk mecegah progresivitas

15
penyakit untuk berkembang lebih cepat (K/DOQI, 2002 dalam
Amanati, 2015).

II. Penatalaksanaan Diit


Menurut Kandarini, intervensi diet pada PGK meliputi pengaturan
asupan protein, energi, phosphate, sodium, potassium, kalsium,
pengaturan intake cairan, vitamin dan mineral. Asupan nutrisi tergantung
dari stadium PGK dan pada pasien yang menjalani dialisis tergantung dari
jenis dialisis yang dijalani. Sebelum memberi terapi nutrisi harus dilakukan
penilaian status nutrisi terlebih dahulu. Berikut ini adalah rekomendasi
nutrisi harian pada pasien PGK menurut Kandarini:

Tabel 2.2 Penatalaksanaan Diit

Nutrient Stadium Hemodialisis Peritoneal


1-4 Dialisis
LFG >30 mL/min/1.73 m2: ≥1.2 g/kg/hari
Protein ≥0.8 g/kg/hari LFG 15-29 dengan paling ≥1.2-1.3
mL/min/1.73 m2: 0.6-0.75 sedikit 50% g/kg/hari paling
g/kg/hari HBV sedikit 50%
Sindrom Nefrotik: 0.8-1.0 HBV
g/kg/hari
Energi (jika ≥60 tahun: 30-35 ≥60 tahun : 30-
pasien 35-40 kkal/kg, tergantung kkal/kg 35 kkal/kg
<90% atau status nutrisi dan faktor stres <60 tahun : 35 termasuk kalori
>115% dari kkal/kg dialisat
rata-rata BB <60 tahun: 35
standar, kkal/kg
gunakan termasuk kalori
aBWef) dialisat

Fosfat 10-20 mg/g protein atau 600- 900 mg/hari atau 900 mg/hari atau

800 mg/hari or <17 <17

16
mg/kg/hari mg/kg/hari

Tergantung
Bervariasi menurut penyebab 2000-3000
pemeriksaan
Sodium CKD; biasanya “no added mg/hari
fisik CAPD dan
salt” (i.e., 2-4 g/hari) (88-130
APD, 3000-
mmol/hari)
4000 mg/hari
(130-
175 mmol/hari)
Tidak dilarang
40 mg/kg atau pada CAPD and
Biasanya tidak dilarang
Potassium kira-kira 2000- APD: kira-kira
sampai LFG <10 mL/min/1.73
3000 mg/hari 3000- 4000
m2
(50- mg/hari (80-105
80 mmol/hari) mmol/hari)
kecuali serum
level meningkat
atau
menurun
CAPD dan APD,
500-1000 kira-kira 2000-
Cairan Berdasarkan status klinis mL/hari 3000 mL/hari
ditambah berdasarkan
jumlah urin status klinis;
perhari tidak dilarang
jika BB dan TD
terkontrol dan
sisa
fungsi ginjal 2-3
L/hari

800 mg/hari atau bila perlu Sama seperti Sama seperti


untuk menjaga target level CKD stadium 1-

17
Calcium serum 4 CKD stadium 1-4
Vitamin C, 60-
100 mg; vitamin
B6, 5- 10 mg;
Vitamins RDA untuk vitamin B complex
folic acid, 0.8-1 Sama seperti
and dan C; zinc, iron, calcium, and
mg; DRI for hemodialysis
minerals vitamin D
others;
individualize
zinc,
calcium, iron,
and vitamin D

aBWef, Adjusted edema-free body weight; APD, automated peritoneal dialysis;


CAPD, continuous ambulatory peritoneal dialysis; CKD, chronic kidney disease; DRI,
dietary reference intake; LFG : Laju FIltrasi GLomerulus; HBV, high biologic value;
NAS, no added salt; RDA, recommended dietary allowance.

Diit Rendah Protein / Low Protein Diet (LPD) pada PGK

Peningkatan asupan protein telah terbukti dapat mempengaruhi


hemodinamik ginjal dan berperan terhadap kerusakan fungsi dan jaringan
ginjal. Diet rendah protein memiliki peran penting dalam terapi penyakit
ginjal kronik (PGK), terutama gagal ginjal kronik. Terapi LPD telah dikenal
sejak lama. Terapi LPD pada PGK telah diketahui memberi manfaat
menurunkan akumulasi toksin uremik sehingga mengurangi gejala uremia,
menurunkan proteinuria, dan memperlambat inisiasi TPG. Modifikasi diet
protein pada pasien PGK dapat dibagi menjadi :

1) protein sangat rendah, kurang dari 0,3 g/kg BB;

2) diet protein rendah, 0,6-0,8 g/kg BB, dan

3) diet protein normal, 1-1,2 g/kg BB.

18
Pada berbagai studi prospektif diet protein sangat rendah secara nyata
dapat menurunkan progresifitas penyakit ginjal kronik, namun risiko
malnutrisi meningkat pada pasien (Pernefri, 2011).

III. Intervensi Gizi


Menurut Almatsier (2007) intervensi gizi pada pasien penderita gagal
ginjal kronik adalah sebagai berikut :
1) Tujuan diet:
a. Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal dengan
memperhitungkan sisa fungsi ginjal, agar tidak memberatkan
kerja ginjal
b. Mencegah dan menurunkan kadar ureum darah yang tinggi
c. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
d. Mencegah dan mengurangi progresivitas gagal ginjal, dengan
memperlambat turunnya laju filtrasi glomerulus.
2) Syarat diet
a. Energy cukup, yaitu 35 kkal/kg BB.
b. Protein rendah, yaitu 0,6-0,75 g/kg BB. Sesuai dengan kondisi
pasiendan sebagian harus bernilai biologis tinggi.
c. Karbohidrat cukup 55-75% dari kebutuhan energy total.
d. Lemak cukup, yaitu 20-30% dari kebutuhan energy total.
e. Natrium dibatasi apabila ada hipertensi,edema, asites,
oliguria, atau anuria, banyaknya natrium diberikan antara 1-3
gram
f. Kalium dibatasi (40-70 mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium
darah > 5,5 mEq),oliguria, atau anuria.
g. Kalsium tinggi, yaitu 1000 mg/hari. Bila perlu, diberikan
suplemen kalsium.
h. Cairan dibatasi, yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah
pengeluaran cairan melalui keringat dan pernafasan (kurang
lebih 500 ml).
i. Vitamin cukup, bila perlu diberikan suplemen piridoksin, asam
folat, vitamin C dan vitamin D.

19
BAB III

PERENCANAAN DAN INTERVENSI ASUHAN GIZI

A. Perencanaan Asuhan Gizi


Nama : Lim A Tun
No. RM : 092786
Tanggal masuk RS :29 Mei 2019
Umur : 81 tahun
Jenis Kelamin :perempuan
Agama :Buddha
Diagnosa Medis : Anemia Susp Gagal Ginjal Kronik

A. Assesment Gizi

No Assesment Gizi
a Riwayat Riwayat penyakit

20
Riwayat gizi Pola makan tidak teratur, bisa 3
kali dalam sehari, bisa juga 2 kali
sehari. Sangat menyukai
makanan laut, selalu makan
sayuran dan sesekali makan
buah-buahan jika tersedia.
Konsumsi air kurang (kadang
lupa). Pagi hari selalu konsumsi
teh.
Riwayat personal Jarang mendengar infomasi
tentang gizi
b Pemeriksaan Antropometri BB: 58 kg
TB: 160 cm
IMT= 22,6 kg/m2
Biokimia 1. Pemeriksaan Hematologi
-Hb: 9,8 gr/dl,
-leukosit= 13,02 103/µL
-trombosit= 356 103/µL
-eritrosit= 3 103/µL
-hematocrit= 28,5 %
2. Pemeriksaan Diabetic
-KGD = 96 mg/dl,
3. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
-ureum= 53 mg/dl,
-kreatinin= 1, 20 mg/dl
Fisik TD: 90/70 mmHg
T: 38°C
RR= 28 x/menit
Nadi = 80 x/Menit
Klinis Mudah lelah, sesak nafas, mual
dan demam dan sakit kepala

21
c Dietary histroy Energi 1306 kkal

Protein 38,1 gr
Lemak 27 gr
Karbohidrat 221,4 gr
Kesimpulan = asupan oral inadekuat dan terjadi penurunan Hb
serta peningkatan ureum
B. Diagnosa Gizi

No Diagnosa Gizi
A Domain Intake NI 1.4 Asupan energi inadekuat ditandai
dengan asupan makan kurang dibuktikan
dengan hasil recall 1306 kkal
B Domain Clinic NC. 2.2 perubahan nilai lab terkait gizi
ditandai dengan penurunan hb dan disfungsi
ginjal dibuktikan dengan hb rendah yakni 9,8
gr/dl dan ureum tinggi yakni 53 mg/dl

C Domain NB 1.7 Kurangnya pengetahuan terkait


Behavior makanan dan zat gizi ditandai dengan
kurang terpapar informasi terkait gizi
dibuktikan dengan pola makan tidak teratur,

C. Intervensi Gizi

No Intervensi
A Tujuan Diet 1. Mencapai dan mempertahankan status gizi
optimal dengan memperhitungkan sisa fungsi
ginjal, agar tidak memberatkan kerja ginjal
2. Mencegah dan menurunkan kadar ureum
darah yang tinggi
3. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
4. Mencegah dan mengurangi progresivitas

22
gagal ginjal, dengan memperlambat turunnya
laju filtrasi glomerulus
b Syarat Diet 1. Energy cukup, yaitu 35 kkal/kg BB.
2. Protein rendah, yaitu 0,6-0,75 g/kg BB.
Sesuai dengan kondisi pasiendan sebagian
harus bernilai biologis tinggi.
3. Karbohidrat cukup 55-75% dari kebutuhan
energy total.
4. Lemak cukup, yaitu 20-30% dari kebutuhan
energy total.
5. Natrium dibatasi apabila ada
hipertensi,edema, asites, oliguria, atau
anuria, banyaknya natrium diberikan antara
1-3 gram
6. Kalium dibatasi (40-70 mEq) apabila ada
hiperkalemia (kalium darah > 5,5
mEq),oliguria, atau anuria.
7. Kalsium tinggi, yaitu 1000 mg/hari. Bila
perlu, diberikan suplemen kalsium.
8. Cairan dibatasi, yaitu sebanyak jumlah urin
sehari ditambah pengeluaran cairan melalui
keringat dan pernafasan (kurang lebih 500
ml).
2. Vitamin cukup, bila perlu diberikan
suplemen piridoksin, asam folat, vitamin C
dan vitamin D.

23
C Perhitungan 1. BBI= (160-100)- 10%(160-100)= 60-6= 54 kg
kebutuhan 2. Energi= 35 kkal x 58 kg = 2030 kkal
3. Protein= 0,75 g x 58 kg= 43,5 gr x 4 kkal=
174 kkal
4. Lemak= (25% x 2030 kkal)= 507,5 kkal /9 =
56,3 gr
5. Karbohidrat= 2030 kkal- 174 kkal- 507,5
kkal= 1348,5 kkal/4 = 337,12 gr

D Jenis diet, Diet = gagal ginjal


bentuk Bentuk makanan = makanan sangat lunak
makanan dan (bubur)
cara pemberian Cara pemberian makanan = oral
makanan
E Terapi yang
dianjurkan

D. Monitoring dan Evaluasi

Parameter Target Pelaksanaan Evaluasi


Asupan Daya terima Setiap hari Mencari tau faktor-
makan makan faktor yang
mempengaruhi daya
terima asupan

Biokimia Hb dan Ureum Setiap Hb dan Ureum


pemeriksaan perlahan menjadi
menjadi normal

24
Fisik/klinis Memantau Setiap hari Suhu tubuh normal,
kondisi fisik & keluhan teratasi
keluhan pasien

Konseling gizi Pasien dan Akhir perawatan Menanyakan ulang


keluarga di RS yang telah
pasien disampaikan

B. Intervensi Asuhan Gizi dan Implementasi Gizi


Tujuan Diet:
1. Untuk meningkatkan kadar hemoglobin pada pasien
2. Untuk membantu pembatasan cairan pada pasien

Syarat Diet

1. Energy cukup, Protein rendah, Karbohidrat cukup. Lemak cukup,


2. Natrium dibatasi apabila ada hipertensi,edema, asites, oliguria, atau
anuria, banyaknya natrium diberikan antara 1-3 gram
3. Kalium dibatasi (40-70 mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium darah
> 5,5 mEq),oliguria, atau anuria.
4. Cairan dibatasi, yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah
pengeluaran cairan melalui keringat dan pernafasan (kurang lebih 500
ml).
5. Vitamin cukup, bila perlu diberikan suplemen piridoksin, asam folat,
vitamin C dan vitamin D.

Intervensi pemberian “ Jus Jambu Merah”

Resep untuk = 1 porsi

Bahan-bahan:

1. Jambu merah = 150 gr


2. Air = 50 ml

Cara membuat

25
1. Ambil jambu merah, bersihkan lalu potong kecil-kecl
2. Haluskan dengan blender dan tambah air secukupnya
3. Setelah diblender kemudian saring
4. Tuang jus ke dalam gelas. Sajikan.

Hasil = 150 ml (tanpa biji).

Tabel 3.1 Kebutuhan Zat Gizi Jus Jambu Merah

Berat Energi Protein Lemak Karbohidrat Vitamin Kalium


C
Jambu 150 73,5 1,35 gr 0,45 gr 18,3 gr 130,5 -
biji gr kkal mg

Tabel 3.2 Rencana Intervensi

Parameter Target Pelaksanaan Evaluasi


Asupan Daya terima Mengamati sisa Mencari tau
makan makan makanan dan faktor-faktor yang
konsumsi makanan mempengaruhi
lainnya dengan daya terima
mendatangi kamar asupan
pasien
Biokimia Hb dan Ureum Setiap pemeriksaan Hb dan Ureum
perlahan menjadi
menjadi normal
Fisik/klinis Memantau Menanyakan keluhan Suhu tubuh

26
kondisi fisik & dan kondisi umum normal, keluhan
keluhan pasien pasien dengan teratasi
mendatangi kamar
pasien
Konseling gizi Pasien dan saat pelaksanaan Menanyakan
keluarga pasien intervensi petama, ulang yang telah
ketika pasien bertanya disampaikan
dan akhir perawatan di
RS

BAB IV

HASIL ASUHAN GIZI (MONITORING DAN EVALUASI)

Intervensi yang diberikan berupa jus jambu merah yang dilakukan


selama 3 hari mulai dari Jumat sore, 31 Mei 2019 sampai dengan Senin
pagi 3 Juni 2019.

Pemberian Terapi = Jus Jambu Merah

Indikator Terapi= Untuk meningkatkan kadar hemoglobin dan


membantu pembatasan cairan pasien

Parameter Target Hasil Evaluasi


31 Mei 2019 (hari 1)

27
Sore
Asupan Daya terima Energi = 1015,7 kkal Memberikan edukasi
makan makan Protein= 34,4 gr mengenai asupan
Lemak= 42,5 kkal makan dengan gizi
Karbohidrat= 131,8 gr seimbang sekaligus
diit rendah protein

Biokimia Hb dan Ureum Hb= 9,8 gr/dl Pemberian jus jambu


Ureum = 53 mg/dl merah dan transfusi
darah dari dokter
sebanyak 600 cc
Fisik/klinis kondisi fisik & Lemas, demam, sesak Konsultasi mengenai
keluhan pasien nafas, merasa haus, keluhan pasien
TD 90/70 mmHg
Konseling Tujuan dan Pasien mengerti Menanyakan ulang
gizi manfaat tentang diet rendah yang telah
intervensi serta protein, anemia dan disampaikan
Pengetahuan intervensi yang sedang
tentang diit dilaksanakan
rendah protein
dan anemia
1 Juni 2019 (Hari 2)
Pagi dan Sore
Asupan Daya terima Makan pagi, bubur Memberikan edukasi
makan makan habis 60%, sedangkan mengenai asupan
siang, bubur habis 75% makan
tetapi lauk dan sayur
habis.
a. Energi = 1583,7
kkal
b. Protein= 41,6 gr
c. Lemak= 49,7 kkal

28
d. Karbohidrat= 242,1
gr
Biokimia Pemberian jus jambu
merah

Fisik/klinis kondisi fisik & Lemas, merasa haus, Konsultasi mengenai


keluhan pasien TD pagi = 110/80 dan keluhan pasien, TD
TD siang= 120/80 mulai normal, dan
mmHg suhu tubuh juga
T= 37°c normal, demam
berkurang
Konseling Pengetahuan Pasien bertanya Menanyakan ulang
gizi tentang diet kembali mengenai diet yang telah
ginjal pasien ginjal disampaikan
2 Juni 2019 (Hari 3)
Pagi dan Sore
Asupan Daya terima Makan pagi bersisa Memberikan edukasi
makan makan 50%, pasien minum mengenai asupan
teh, makan siang makan dan
habis kebiasaan kurang
a. Energi = 1743,8 baik ketika minum teh
kkal dibarengi saat makan
b. Protein= 46,9 gr
c. Lemak= 274,1kkal
d. Karbohidrat= 274,1
gr
Biokimia Pemberian jus jambu
merah

Fisik/klinis kondisi fisik & Keluhan nyeri perut Konsultasi mengenai


keluhan pasien dan nafsu makan keluhan pasien, TD
berkurang, TD = normal

29
120/80 mmHg
3 Juni 2019 (Hari 4)
Pagi
Asupan Daya terima Makan pagi tidak Asupan makan mulai
makan makan bersisa atau habis. membaik
Energi = 1902,3 kkal
Protein= 49,2 gr
Lemak= 57,7 kkal
Karbohidrat= 303,2 gr
Biokimia Hb dan Ureum Hb= 12,5 gr/dl Hb dan ureum mulai
Ureum = 30 mg/dl normal

Fisik/klinis kondisi fisik & Lemas, rasa haus Konsultasi mengenai


keluhan pasien, berkurang, TD =120/80 keluhan pasien, TD
BB mmHg. BB= 58,5 kg normal, keluhan
demam, haus dan
sesak berkurang, BB
naik sedikit.
Konseling Pasien dan Mengenai diet rendah Menanyakan ulang
gizi keluarga pasien protein dan mengenai yang telah
anemia disampaikan

30
BAB V
PEMBAHASAN

Berdasarkan intervensi yang telah dilaksanakan bahwa terdapat


pengaruh pemberian jus jambu merah terhadap kadar hemoglobin (hb)
pasien dan adanya pembatasan cairan pada pasien. Hal ini dibuktikan
dengan bahwa sebelumnya kadar hb pasien adalah 9,8 gr/dl dan adanya
keluhan sering merasa haus, namun setelah dilakukan intervensi dengan
pemberian jus jambu merah selama 3 hari dan diitambah dengan
tindakan dokter penanggung jawab dengan adanya transfusi darah
sebanyak 600 cc pada hari pertama, didapati hasil lab untuk hb, naik
menjadi 12,5 gr/dl dan keluhan akan haus teratasi. hal ini serupa dengan
peneltian yang dilakukan oleh Rusdi (2018), bahwa ada perbedaan yang
signifikan antara kadar hemoglobin dan ferritin serum sebelum dan
sesudah diberikan jus jambu biji merah. Sedangkan, menurut Waworuntu,
Wuisan & Mintjelungan (2015) untuk mengatasi ketidaknyamanan

31
pembatasan cairan pada pasien dengan penyakit ginjal dapat diberikan
jus jambu merah , yang memiliki kandungan vitamin C tertinggi.

Sedangkan pengamatan pada daya terima makan pasien melalui


wawancara recall 24 jam, didapati bahwa ada peningkatan asupan makan
setiap harinya, sehingga kebutuhan energi dan zat gizi pasien mendekati
angka kebutuhan gizi yang diperlukan. Hal ini dibuktikan bahwa ada
peningkatan konsumsi energi dari hari ke hari secara berturut-turut yakni
pada hari pertama 1015,7 kkal, hari kedua 1583,7 kkal, hari ketiga 1743,8
kkal, dan hari terakhir 1902,3 kkal. Perubahan perilaku daya terima dan
asupan makan di evaluasi melalui pemberian edukasi dan konseling
kepada pasien mengenai pola makan seimbang dan teratur, sehingga
setiap harinya dapat diketahui penyebab kurangnya asupan makan dan
daya terima makan pasien dan pasien memperbaiki pola makan dan
pengetahuan gizinya meningkat.

Kondisi fisik maupun klinis pasien yang diamati (dimonitoring) setiap


harinya juga mengalami perubahan. Hal ini dapat dibuktikan dari tekanan
darah awal pasien yakni 90/70 mmHg, adanya keluhan lemas, demam,
sesak dan rasa haus, namun setelah pemberian obat-obatan dari dokter
dan intervensi jus jambu merah yang dilakukan terdapat perubahan pada
kondisi fisik dan klinis pasien yakni keluhan lemas, demam, sesak rasa
haus teratasi, dan tekanan darah menjadi normal yakni 120/80 mmHg.
Sehinggga pada hari terakhir sebelum pulang, pasien terlihat lebih bugar
dan segar. Pasien juga mengalami peningkatan berat badan. Hal ini
dibuktikan dengan adanya perubahan BB pada hari terakhir yakni dari 58
kg menjadi 58,5 kg.

Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, pasien juga diberi


konseling gizi mengenai diet rendah protein untuk ginjal dan pengetahuan
mengenai anemia. selama diberikan konseling dan edukasi, pasien
dengan antusias mendengar dan bertanya. Sehingga pada hari terakhir
diberikan intervensi, pengetahuan gizi pasien meningkat dan ketika
ditanya ulang, pasien dapat menjawab dengan benar.

32
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Diagnosa gizi pasien yakni adanya Asupan energi inadekuat ditandai
dengan asupan makan kurang dibuktikan dengan hasil recall 1306
kkal, perubahan nilai lab terkait gizi ditandai dengan penurunan hb
dan disfungsi ginjal dibuktikan dengan hb rendah yakni 9,8 gr/dl dan
ureum tinggi yakni 53 mg/dl, Kurangnya pengetahuan terkait makanan
dan zat gizi ditandai dengan kurang terpapar informasi terkait gizi
dibuktikan dengan pola makan tidak teratur.
2. Intervensi yang diberikan kepada pasien adalah jus jambu merah dan
pemberian konseling gizi mengenai diet rendah protein dan anemia.
3. Intervensi pemberian Jus Jambu Merah pada pasien anemia susp
gagal ginjal kronik dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan
membantu pembatasan cairan pada pasien gagal ginjal kronik.

33
Saran

1. Pemberian intervensi dapat dilaksanakan dengan jangka waktu yang


lebih panjang untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan valid.
2. Pemberian intervensi dapat dilakukan modifikasi agar lebih bervariasi
dan daya terima pasien meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Sri Utami. 2013. Hubungan Asupan Zat Gizi Dengan Kejadian Anemia
Pada Anak Sekolah Dasar Di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.
Jurnal

Amanati, Danny. 2015. Chronic Kidney Disease (Ckd). Universitas Jenderal


Soedirman Purwokerto.

Arif muttaqin, Kumala Sari, 2011, Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem


Perkemihan, Banjarmasin : Salemba Medika

Arisman MB, 2004, Gizi Dalam Daur Kehidupan, Jakarta: EGC. (dalam
Wijayanti, Yunita. 2011. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Anemia Pada Remaja Putri Siswa SMK AN Nuroniyah Kemadu Kec.
Sulang Kab. Rembang Tahun 2011. Skripsi. UNS. Semarang).

DeMaeyer, E.M. 1993. Pencegahan dan Pengawasan Anemia Defisiensi Besi.


Teremahan oleh Arisman. Jakarta : Widya Medika. (dalam Mauliza, Indra.
2011. Hubungan Antara Pengetahuan Gizi Dan Status Gizi Dengan

34
Anemia Pada Ibu – Ibu Usia Produktif Di Desa Mangli Kecamatan
Kaliangkrik Kabupaten Magelang. Skripsi. UNS. Semarang).

Faruq, Muhammad Hanif. 2017. Upaya Penurunan Volume Cairan Pada Pasien
Gagal Ginjal Kronis. Jurnal. Universitas Muhammadiyah. Surakarta

Hidayat, A.A. A., & Musrifatul, U(2015). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia
Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika

Infodatin. 2017. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Kementrian Kesehatan RI. Pusat
Data dan Informasi

Kandarini, Yenny. Penatalaksanaan Nutrisi pada Penyakit Ginjal Kronik Fokus


Pada Diet Rendah Protein. FK Unud.

Rusdi, Pagdya Haninda Nusantri. 2018. Pengaruh Pemberian Jus Jambu Biji
Merah (Psidium Guajava.L) Terhadap Kadar Hemoglobin dan Ferritin
Serum Penderita Anemia Remaja Putri. Artikel Penelitian.

Sari, Luzy Ratna. 2016. Upaya Mencegah Kelebihan Volume Cairan Pada
Pasien Chronic Kidney Disease Dirsud Dr.Soehadi Prijonegoro. Jurnal.
Universitas Muhammadiyah. Surakarta

Sutopo, 2016. Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Penyakit Ginjal Kronik. Skripsi. UNNES

Suwitra, K. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A,


Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hlm 570-3

PERNEFRI 2011. Konsensus Nutrisi Pada Penyakit Ginjal Kronik.


Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Jakarta

Priscilla. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Jambu biji merah (psidium
guajava linn) terhadap Kerusakan struktur histologis ginjal mencit yang
diinduksi parasetamol. Jurnal. UNS.

Waworuntu, J. L., Wuisan, J.,& Mintjelungan, C. N. Uji Efektivitas Jambu Biji


Merah (Psidium Guajava) Terhadap Laju Aliran Saliva Pada Penderita

35
Xerostomia yang Mengonsumsi Telmisartan. Jurnal e-GIGI(Eg), Volume
3, Nomor 2, Juli-Desember 2015

Wirakusumah, E.S. 1999. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. Jakarta : PT


Trubus Agriwidya. (dalam Mauliza, Indra. 2011. Hubungan Antara
Pengetahuan Gizi Dan Status Gizi Dengan Anemia Pada Ibu – Ibu Usia
Produktif Di Desa Mangli Kecamatan Kaliangkrik Kabupaten Magelang.
Skripsi. UNS. Semarang.)

36

Anda mungkin juga menyukai