PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Arifin (2013), anemia merupakan masalah medik yang sering
dijumpai klinik di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan
utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini
merupakan penyebab debilitas kronik yang mempunyai dampak besar
terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Secara
fungsional anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah masa eritrosit
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis anemia di
tunjukan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitungan
eritrosit. Anemia merupakan istilah yang menunjukan rendahnya hitungan
sel darah merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal.
Anemia bukan merupakan penyakit melainkan merupakan pencerminan
keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh. Secara fisiologis,
anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk
mengangkut oksigen ke jaringan (Smeltzer, 2002 dalam Arifin, 2013).
Ginjal adalah organ penting yang memiliki peran cukup besar dalam
kebutuhan cairan dan elektrolit. Fungsinya membuang sisa-sisa
metabolisme dan racun yang ada di dalam tubuh kedalam bentuk urin
(Faruq, 2017). Banyak manusia mengabaikan perawatan ginjal secara
baik, Sehingga berdampak pada peningkatan kasus penyakit ginjal
1
(Hidayat, Musrifatul, 2015). Penyakit gagal ginjal kronik (GGK)
merupakan salah satu faktor resiko kematian penyakit kardiovaskuler.
Penyakit gagal ginjal kronik juga memiliki tanda dan gejala yang
bermacam-macam yang terdapat pada sistem pernapasan yakni asidosis
metabolik, efusi pleura, edema paru. Sistem kardiovaskular seperti
hipertensi gagal jantung. Sistem neurologi adanya sakit kepala, kesulitan
tidur, tremor ditangan. Sistem hematologi adanya anemia dengan
hemoglobin rendah, kerusakan sel darah putih menyebabkan infeksi.
Sistem gastrointestinal seperti mual dan muntah, diare, konstipasi,
sariawan. Sistem skeletal adanya nyeri sendi dan bengkak. Pada gagal
ginjal kronik terjadi penurunan fungsi renal. Produksi akhir metabolisme
protein tertimbun dalam darah dan terjadilah uremia yang mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Retensi natrium dan cairan mengakibatkan ginjal
tidak mampu dalam mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine
2
secara normal pada penyakit gagal ginjal kronik. Pasien biasanya
menahan natrium dan cairan yang dapat meningkatkan resiko edema,
gagal jantung kongesif dan hipertensi. Untuk menghindari hal-hal tersebut
maka dapat dilakukan pencegahan untuk kelebihan volume cairan dengan
berbagai terapi yang dapat diberikan. (Smetzer & Bare, 2013 dalam Sari,
2016).
3
Selain itu, menurut Priscilla (2012), buah ini memiliki manfaat sebagai
antioksidan untuk mencegah terjadinya stress oksidatif akibat pengaruh
obat yang menyebabkan gagal ginjal.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perencanaan asuhan gizi pada pasien anemia susp gagal
ginjal kronik?
2. Bagaimana intervensi asuhan gizi dan implementasi gizi pada pasien
anemia susp gagal ginjal kronik?
C. Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perencanaan asuhan gizi, intervensi gizi dan
implementasi gizi pada pasien anemia susp gagal ginjal kronik.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mendekripsikan perencanaan asuhan gizi pada pasien
anemia susp gagal ginjal kromik
2. Untuk mendekripsikan intervensi asuhan gizi pada pasien
anemia susp gagal ginjal kronik
3. Untuk mendekripsikan implementasi gizi pada pasien anemia
susp gagal ginjal kronik.
D. Manfaat
1. Untuk mengurangi masa rawat inap pasien
2. Untuk meningkatkan kadar hemoglobin pada pasien
3. Untuk melakukan pembatasan cairan pada pasien
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
b. Mikrositik
Mengecilnya ukuran sel darah merah merupakan ssalah satu
tanda anemia mikrositik. Penyebabnya adalah defisiensi besi,
gangguam sintesis globin, porfirin dan heme serta gangguan
metabolisme besi lainnya.
c. Normositik
Pada anemia normositik, ukuran sel darah merah tidak
berubah. Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah yang
parah, meningkatnya volume plasma secara berlebihan, penyakit –
penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal dan hati. Untuk
mempermudah dalam melakukan dan mendapat gambaran derajat
atau tingkat keseriusan dalam anemia, dapat dilihat kadar
hemoglobin dalam darah yang dibagi dalam beberapa tingkatan.
Penyebab anemia
Anemia pada umumnya disebabkan oleh:
1) Terjadinya kehilangan darah akibat terjadinya pendarahan
akibat suatu penyakit dan dapat pula disebabkan oleh
pengobatan. Anemia juga dapat terjadi karena terjadinya
menstruasi yang dialami oleh wanita setiap bulannya, sehingga
dapat menyebabkan defesiensi zat besi.
2) Asupan dari makanan yang kurang mengandung zat besi.
Seperti kurangnya konsumsi daging, sayuran, dan buah-buahan
yang mengandung zat besi. Kurangnya konsumsi makanan
yang dapat membantu penyerapan besi seperti protein dan juga
vitamin c. Selain itu, asupan zat besi juga terhambat
penyerapannya apabila dikonsumsi makanan yang
menghambat penyerapannya seperti teh dan kopi yang
mengandung tanin, sehingga zat besi menjadi semakin rendah
di dalam tubuh
6
b. Penyerapan zat besi yang kurang.
Kurangnya penyerapan zat besi di dalam tubuh, disebabkan
asupan makanan yang membantu penyerapan zat besi pada
balita dan anak kurang, misalnya vitamin C. Selain itu diare
menahun, sindrom malabsorbsi dan kelainan saluran
pencernaan juga menyebabkan kurangnya absorbsi
(penyerapan) zat besi. Kandungan tanin pada teh dan kopi
juga menyebabkan penyerapan zat besi menjadi kurang
karena terhambat penyerapannya.
c. Kebutuhan zat gizi besi yang bertambah
Seiring pertumbuhan dan perkembangan sehingga terjadi
pertambahan kebutuhan zat gizi besi, sehingga tidak terjadi
anemia.
d. Terjadinya kehilangan darah
Terjadinya kehilangan darah akibat mengalami pendarahan
akut, misalnya penyakit tertentu dan juga disebabkan adanya
infestasi cacing tambang.
3. Gejala klinis anemia gizi besi
Gejala anemia gizi besi yang timbul bergantung kepada
beratnya kekurangan yang terjadi. Gejala-gejala ini dapat terjadi
akibat dari anemianya maupun akibat aktifitas beberapa enzim
yang mengandung besi yang menurun, sehinga efek yang timbul
dapat bersifat hematologik maupun nonhematologik. Pada
umumnya adalah mudah lelah, sakit kepala dan yang lebih berat
dapat ditemui pucat, glositis, stomatis, kheilitis angularis, palpitasi
dan koilokhia dalam. Gejala anemia menurut Depkes RI adalah :
pucat terutama bagian muka, bibir, lidah, telapak tangan dan kaki,
kuku pucat, penglihatan berkunang – kunang, lemah, cepat
mengantuk dan lesu.
4. Pencegahan anemia
7
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah anemia
yakni
1. Meningkatkan asupan zat besi dengan memilih aneka ragam
makanan dengan asupan zat besi tinggi, seperti daging,
sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan sesuai dengan angka
kecukupan zat besi menurut umur.
2. Meningkatkan kualitas pangan untuk mencegah defesiensi zat
besi melalui fortifikasi zat besi. Kesulitan dalam fortifikasi besi
adalah sifat besi yang reaktif dan berkecenderungan mengubah
warna makanan. Misalnya garam ferro mengubah pangan yang
berwarna merah dan hiaju menjadi lebih cerah warnanya. Selain
itu Fe reaktif dapat mengkatalisai reaksi oksidasi. Ferro sulfat
telah digunakan secara luas untuk memfortifikasi roti serta
produk bakteri lain yang dijual untuk waktu singkat. Jika
disimpan selama beberapa bulan makanan tersebut akan
menjadi tengik (Arisman, 2004:154).
3. Pencegahan anemia dengan pengawasa penyakit infeksi dan
parasit yang mengganggu penyerapan zat besi juga zat gizi
lainnya.
4. Suplementasi zat besi melalui tablet penambah darah yang
diberikan pada remaja, wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil,
sehingga anemia dapat di cegah dalam waktu singkat.
5. Pemberian pendidikan gizi, baik penyuluhan ataupun konseling
maupun program gizi lainnya mengenai anemia untuk
menambah pengetahuan mengenai anemia dan kemudian
menimbulkan perubahan sikap dan perilaku sehingga konumsi
makanan tinggi zat besi dapat dilakukan dengan teratur.
5. Pengobatan anemia
8
Pengobatan diberikan apabila seseorang sudah diindikasikan
terkena anemia. Menurut DeMaeyer (1993) pengobatan pilihan
untuk penderita anemia adalah:
1) Pemberian secara oral ferro fumarat, glukonat dan sulfat;
2) Pengobatan secara parenteral ditujukan hanya kepada
mereka yang mutlak tidak toleran terhadap zat besi;
3) Transfusi darah diperlukan hanya pada kasus berat (kadar
hemoglobin kurang dari 3g/dl).
9
a) Kerusakan ginjal >3 bulan, yaitu kelainan struktur atau
fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus berdasarkan:
a) Kelainan patologik
b) Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria
atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan radiologi
b) Laju filtrasi glomerulus <60 ml/menit/1,73m² selama >3
bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
2. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik
Angka Perjalanan penyakit ginjal kronik hingga tahap terminal dapat
bervariasi dari 2-3 bulan hingga 30-40 tahun. Penyebab penyakit ginjal
kronik yang tersering dapat dibagi menjadi delapan kelas seperti pada
tabel berikut ini (Price&wilson, 2006: 918).
Tabel 2.1 Penyebab Ginjal Kronik
10
Seperti yang dikutip dalam Price & Wilson (2006: 918)
menjelaskan bahwa diabetes dan hipertensi bertanggung jawab
terhadap proporsi penyakit ginjal kronik yang paling besar, terhitung
secara berturut-turut sebesar 34% dan 21% dari total kasus.
Glomerulonefritis adalah penyebab penyakit ginjal kronik tersering
yang ketiga (17%). Infeksi nefritis tubulointerstisial (pielonefritis
kronikatau nefropati refluks) dan Penyakit Ginjal Polikistik atau
Polycystic Kidney Disease (PKD) masing-masing terhitung
sebanyak 3,4% dari penyakit ginjal kronik. 21% penyebab penyakit
ginjal kronik sisanya relatif tidak sering terjadi yaitu uropati
obstruktif, Lupus Eritematosis Sistemik (SLE).
11
jaringan parut sebagai respon dari kerusakan nefron dan secara
progresif fungsi ginjal menurun drastis dengan manifestasi
penumpukan metabolit-metabolit yang seharusnya dikeluarkan dari
sirkulasi sehingga akan terjadi sidrom uremia berat yang memberikan
banyak manifestasi pada setiap organ tubuh (Arif mutaqin dkk, 2011).
4.Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) tanda dan gejala penyakit ginjal
kronik didapat antara lain :
a. Kardiovaskuler yang ditandai dengan adanya hipertensi, pitting
edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital, friction rub
pericardial, serta pembesaran vena leher
b. Integumen yang ditandai dengan warna kulit abu-abu mengkilat, kulit
kering dan bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh serta
rambut tipis dan kasar
c. Pulmoner yang ditandai dengan krekeis, sputum kental dan liat,
napas dangkal seta pernapasan kussmaul
d. Gastrointestinal yang ditandai dengan napas berbau ammonia,
ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual dan muntah,
konstipasi dan diare, serta perdarahan dari saluran Gastrointestinal
e. Neurologi yang ditandai dengan kelemahan dan keletihan, konfusi,
disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada
telapak kaki, serta perubahan perilaku
f. Muskuloskletal yang ditandai dengan kram otot, kekuatan otot hilang,
fraktur tulang serta foot drop
g. Reproduktif yang ditandai dengan amenore dan atrofi testikuler.
5. Penanganan Medis
a. Penatalaksanaan
12
Diagnosis CRF harus dilakukan berdasarkan klasifikasi etiologi dan
patologi sehingga petugas kesehatan dapat merencanakan terapi yang
tepat untuk mencegah progresi penyakit dan memperbaiki keadaan
umum. Tujuan dari terapi CRF adalah (K/DOQI, 2002 Amanati, 2015):
13
tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35
kkal/kgBB/hari. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan
protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan
karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang
terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi
protein yang mengandung ion hydrogen, fosfat, sulfat, dan ion
nonorganic lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena
itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal
kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan
ion anorganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan
metabolic yang disebut uremia, dengan demikian pembatasan
protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.
Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih akan
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang
akan meningkatkan progresivitas pemburukan fungsi ginjal.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasa fosfat perlu untuk mencegah
terjadinya hiperfosfatemia (Suwitra, 2007).
b) Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi
intraglomerulus
Pemakaian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan
mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrfi glomerulus.
Selain itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan
derajat proteinuria, karena proteinuria merupakan factor risiko
terjadinya pemburukan fungsi ginjal. Beberapa obat
antihipertensi terutama golongan ACE inhibitor melalui
14
berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses
pemburukan fungsi ginjal (Suwitra, 2007).
4. Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular
40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan
oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam
pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah
pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia,
hperfosfatemia, dan terapi terhadap cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan terapi dan
pencegahan terhadap koplikasi penyakit ginjal kronik secara
keseluruhan (Suwitra, 2007).
5. Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang
terjadi, yaitu sebagai berikut (Suwitra, 2007):
a. Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (LFG 60-89
ml/menit) : tekanan darah mulai meningkat
b. Penurunan LFG sedang (LFG 30-59 ml/menit) : hiperfosfatemia,
hipokalsemia, anemia, hiperparatiroid, hipertensi, dan
hiperhomosisteinemia
c. Penurunan LFG berat (LFG 15-29 ml/menit) : malnutrisi,
asidosis metabolik, kecenderungan hiperkalemia, dan
dislipidemia
d. Gagal ginjal (LFG < 15 ml/menit) : gagal jantung dan uremia
6. Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG ≤ 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut
dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi
ginjal (Suwitra, 2007).
15
penyakit untuk berkembang lebih cepat (K/DOQI, 2002 dalam
Amanati, 2015).
Fosfat 10-20 mg/g protein atau 600- 900 mg/hari atau 900 mg/hari atau
16
mg/kg/hari mg/kg/hari
Tergantung
Bervariasi menurut penyebab 2000-3000
pemeriksaan
Sodium CKD; biasanya “no added mg/hari
fisik CAPD dan
salt” (i.e., 2-4 g/hari) (88-130
APD, 3000-
mmol/hari)
4000 mg/hari
(130-
175 mmol/hari)
Tidak dilarang
40 mg/kg atau pada CAPD and
Biasanya tidak dilarang
Potassium kira-kira 2000- APD: kira-kira
sampai LFG <10 mL/min/1.73
3000 mg/hari 3000- 4000
m2
(50- mg/hari (80-105
80 mmol/hari) mmol/hari)
kecuali serum
level meningkat
atau
menurun
CAPD dan APD,
500-1000 kira-kira 2000-
Cairan Berdasarkan status klinis mL/hari 3000 mL/hari
ditambah berdasarkan
jumlah urin status klinis;
perhari tidak dilarang
jika BB dan TD
terkontrol dan
sisa
fungsi ginjal 2-3
L/hari
17
Calcium serum 4 CKD stadium 1-4
Vitamin C, 60-
100 mg; vitamin
B6, 5- 10 mg;
Vitamins RDA untuk vitamin B complex
folic acid, 0.8-1 Sama seperti
and dan C; zinc, iron, calcium, and
mg; DRI for hemodialysis
minerals vitamin D
others;
individualize
zinc,
calcium, iron,
and vitamin D
18
Pada berbagai studi prospektif diet protein sangat rendah secara nyata
dapat menurunkan progresifitas penyakit ginjal kronik, namun risiko
malnutrisi meningkat pada pasien (Pernefri, 2011).
19
BAB III
A. Assesment Gizi
No Assesment Gizi
a Riwayat Riwayat penyakit
20
Riwayat gizi Pola makan tidak teratur, bisa 3
kali dalam sehari, bisa juga 2 kali
sehari. Sangat menyukai
makanan laut, selalu makan
sayuran dan sesekali makan
buah-buahan jika tersedia.
Konsumsi air kurang (kadang
lupa). Pagi hari selalu konsumsi
teh.
Riwayat personal Jarang mendengar infomasi
tentang gizi
b Pemeriksaan Antropometri BB: 58 kg
TB: 160 cm
IMT= 22,6 kg/m2
Biokimia 1. Pemeriksaan Hematologi
-Hb: 9,8 gr/dl,
-leukosit= 13,02 103/µL
-trombosit= 356 103/µL
-eritrosit= 3 103/µL
-hematocrit= 28,5 %
2. Pemeriksaan Diabetic
-KGD = 96 mg/dl,
3. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
-ureum= 53 mg/dl,
-kreatinin= 1, 20 mg/dl
Fisik TD: 90/70 mmHg
T: 38°C
RR= 28 x/menit
Nadi = 80 x/Menit
Klinis Mudah lelah, sesak nafas, mual
dan demam dan sakit kepala
21
c Dietary histroy Energi 1306 kkal
Protein 38,1 gr
Lemak 27 gr
Karbohidrat 221,4 gr
Kesimpulan = asupan oral inadekuat dan terjadi penurunan Hb
serta peningkatan ureum
B. Diagnosa Gizi
No Diagnosa Gizi
A Domain Intake NI 1.4 Asupan energi inadekuat ditandai
dengan asupan makan kurang dibuktikan
dengan hasil recall 1306 kkal
B Domain Clinic NC. 2.2 perubahan nilai lab terkait gizi
ditandai dengan penurunan hb dan disfungsi
ginjal dibuktikan dengan hb rendah yakni 9,8
gr/dl dan ureum tinggi yakni 53 mg/dl
C. Intervensi Gizi
No Intervensi
A Tujuan Diet 1. Mencapai dan mempertahankan status gizi
optimal dengan memperhitungkan sisa fungsi
ginjal, agar tidak memberatkan kerja ginjal
2. Mencegah dan menurunkan kadar ureum
darah yang tinggi
3. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
4. Mencegah dan mengurangi progresivitas
22
gagal ginjal, dengan memperlambat turunnya
laju filtrasi glomerulus
b Syarat Diet 1. Energy cukup, yaitu 35 kkal/kg BB.
2. Protein rendah, yaitu 0,6-0,75 g/kg BB.
Sesuai dengan kondisi pasiendan sebagian
harus bernilai biologis tinggi.
3. Karbohidrat cukup 55-75% dari kebutuhan
energy total.
4. Lemak cukup, yaitu 20-30% dari kebutuhan
energy total.
5. Natrium dibatasi apabila ada
hipertensi,edema, asites, oliguria, atau
anuria, banyaknya natrium diberikan antara
1-3 gram
6. Kalium dibatasi (40-70 mEq) apabila ada
hiperkalemia (kalium darah > 5,5
mEq),oliguria, atau anuria.
7. Kalsium tinggi, yaitu 1000 mg/hari. Bila
perlu, diberikan suplemen kalsium.
8. Cairan dibatasi, yaitu sebanyak jumlah urin
sehari ditambah pengeluaran cairan melalui
keringat dan pernafasan (kurang lebih 500
ml).
2. Vitamin cukup, bila perlu diberikan
suplemen piridoksin, asam folat, vitamin C
dan vitamin D.
23
C Perhitungan 1. BBI= (160-100)- 10%(160-100)= 60-6= 54 kg
kebutuhan 2. Energi= 35 kkal x 58 kg = 2030 kkal
3. Protein= 0,75 g x 58 kg= 43,5 gr x 4 kkal=
174 kkal
4. Lemak= (25% x 2030 kkal)= 507,5 kkal /9 =
56,3 gr
5. Karbohidrat= 2030 kkal- 174 kkal- 507,5
kkal= 1348,5 kkal/4 = 337,12 gr
24
Fisik/klinis Memantau Setiap hari Suhu tubuh normal,
kondisi fisik & keluhan teratasi
keluhan pasien
Syarat Diet
Bahan-bahan:
Cara membuat
25
1. Ambil jambu merah, bersihkan lalu potong kecil-kecl
2. Haluskan dengan blender dan tambah air secukupnya
3. Setelah diblender kemudian saring
4. Tuang jus ke dalam gelas. Sajikan.
26
kondisi fisik & dan kondisi umum normal, keluhan
keluhan pasien pasien dengan teratasi
mendatangi kamar
pasien
Konseling gizi Pasien dan saat pelaksanaan Menanyakan
keluarga pasien intervensi petama, ulang yang telah
ketika pasien bertanya disampaikan
dan akhir perawatan di
RS
BAB IV
27
Sore
Asupan Daya terima Energi = 1015,7 kkal Memberikan edukasi
makan makan Protein= 34,4 gr mengenai asupan
Lemak= 42,5 kkal makan dengan gizi
Karbohidrat= 131,8 gr seimbang sekaligus
diit rendah protein
28
d. Karbohidrat= 242,1
gr
Biokimia Pemberian jus jambu
merah
29
120/80 mmHg
3 Juni 2019 (Hari 4)
Pagi
Asupan Daya terima Makan pagi tidak Asupan makan mulai
makan makan bersisa atau habis. membaik
Energi = 1902,3 kkal
Protein= 49,2 gr
Lemak= 57,7 kkal
Karbohidrat= 303,2 gr
Biokimia Hb dan Ureum Hb= 12,5 gr/dl Hb dan ureum mulai
Ureum = 30 mg/dl normal
30
BAB V
PEMBAHASAN
31
pembatasan cairan pada pasien dengan penyakit ginjal dapat diberikan
jus jambu merah , yang memiliki kandungan vitamin C tertinggi.
32
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Diagnosa gizi pasien yakni adanya Asupan energi inadekuat ditandai
dengan asupan makan kurang dibuktikan dengan hasil recall 1306
kkal, perubahan nilai lab terkait gizi ditandai dengan penurunan hb
dan disfungsi ginjal dibuktikan dengan hb rendah yakni 9,8 gr/dl dan
ureum tinggi yakni 53 mg/dl, Kurangnya pengetahuan terkait makanan
dan zat gizi ditandai dengan kurang terpapar informasi terkait gizi
dibuktikan dengan pola makan tidak teratur.
2. Intervensi yang diberikan kepada pasien adalah jus jambu merah dan
pemberian konseling gizi mengenai diet rendah protein dan anemia.
3. Intervensi pemberian Jus Jambu Merah pada pasien anemia susp
gagal ginjal kronik dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan
membantu pembatasan cairan pada pasien gagal ginjal kronik.
33
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Sri Utami. 2013. Hubungan Asupan Zat Gizi Dengan Kejadian Anemia
Pada Anak Sekolah Dasar Di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.
Jurnal
Arisman MB, 2004, Gizi Dalam Daur Kehidupan, Jakarta: EGC. (dalam
Wijayanti, Yunita. 2011. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Anemia Pada Remaja Putri Siswa SMK AN Nuroniyah Kemadu Kec.
Sulang Kab. Rembang Tahun 2011. Skripsi. UNS. Semarang).
34
Anemia Pada Ibu – Ibu Usia Produktif Di Desa Mangli Kecamatan
Kaliangkrik Kabupaten Magelang. Skripsi. UNS. Semarang).
Faruq, Muhammad Hanif. 2017. Upaya Penurunan Volume Cairan Pada Pasien
Gagal Ginjal Kronis. Jurnal. Universitas Muhammadiyah. Surakarta
Hidayat, A.A. A., & Musrifatul, U(2015). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia
Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika
Infodatin. 2017. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Kementrian Kesehatan RI. Pusat
Data dan Informasi
Rusdi, Pagdya Haninda Nusantri. 2018. Pengaruh Pemberian Jus Jambu Biji
Merah (Psidium Guajava.L) Terhadap Kadar Hemoglobin dan Ferritin
Serum Penderita Anemia Remaja Putri. Artikel Penelitian.
Sari, Luzy Ratna. 2016. Upaya Mencegah Kelebihan Volume Cairan Pada
Pasien Chronic Kidney Disease Dirsud Dr.Soehadi Prijonegoro. Jurnal.
Universitas Muhammadiyah. Surakarta
Priscilla. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Jambu biji merah (psidium
guajava linn) terhadap Kerusakan struktur histologis ginjal mencit yang
diinduksi parasetamol. Jurnal. UNS.
35
Xerostomia yang Mengonsumsi Telmisartan. Jurnal e-GIGI(Eg), Volume
3, Nomor 2, Juli-Desember 2015
36