Anda di halaman 1dari 26

6

BAB II
Pembahasan

DEMAM TYPHOID
Definisi

Demam typhoid atau yang juga disebut dengan demam enterik adalah demam
yang disebabkan oleh bakteri genus Salmonella.

Etiologi

1. Salmonella typhi, menyebabkan hingga 96% penyakit demam typhoid.
2. Salmonella paratyphi, menyebabkan 4% penyakit demam typhoid.

Epidemiologi

Demam typhoid terjadi pada 16-33 juta penduduk setiap tahunnya di seluruh
dunia dengan angka kematian 216.000 jiwa/tahun. Merupakan penyakit endemis di
Indonesia. Memiliki prevalensi 91% terjadi pada rentang usia 3-19 tahun, angka
kejadian meningkat setelah usia 5 tahun.

7
Bakteri Salmonella

Morfologi berbentuk batang, gram negatif, pendek, dengan flagel peritrik
Antigen : -antigen O (somatik), bagian terluar dari lipopolisakarida
dinding sel bakteri, resisten terhadap panas dan alkohol, antibodi terhadap
antigen O terutama adalah Ig M.
-antigen H (flagel), terdapat di flagel, mudah didenaturasi /
dirusak oleh panas atau alkohol, antibodi terhadap antigen H
terutama adalah Ig G
Dosis infektif 10
5
-10
8
untuk menimbulkan infeksi secara klinis / subklinis.
























8
Patofisiologi

































Sumber makanan
yang terkontaminasi
bakteri Salmonella
Masuk ke dalam
tubuh secara oral
Sampai ke dalam
usus halus
(intestinal)
Masuk ke dalam
aliran limfatik usus
Masuk ke dalam
aliran darah
Jaringan limfoid usus
Multiplikasi
Masuk ke masa inkubasi
bakteri selama 10-14 hari
GEJALA
9
Gejala Klinis

Demam
Terjadi peningkatan suhu tubuh secara bertahap pada minggu pertama,
terutama saat sore-malam hari. Pada minggu kedua demam terjadi secara
terus-menerus.
Malaise
Perasaan tidak enak badan.
Sakit kepala
Diare-konstipasi relatif
Diare biasanya terjadi lebih dulu, kemudian konstipasi pun muncul
setelahnya.
Anoreksia
Terjadi penurunan nafsu makan karena rasa tidak nyaman di perut dan
makanan terasa hambar atau pun pahit di lidah.
Nyeri perut
Akibat proses peradangan yang terjadi di dalam saluran pencernaan.
Mual
Muntah
Lidah kotor
Splenomegali
Gangguan kesadaran
Rose spot










10
Sumber Infeksi

Air
Bila terkontaminasi dengan feses atau urin yang mengandung bakteri Salmonella,
maka dapat menimbulkan epidemik yang luas.
Susu dan produk susu lainnya
Es krim, puding, dan produk lainnya yang terkontaminasi dengan bakteri serta
pasteurisasi yang tidak adekuat atau penanganan produk yang salah.
Kerang
Berasal dari air yang sudah terkontaminasi bakteri.
Telur beku/dikeringkan
Berasal dari unggas yang terinfeksi atau terkontaminasi saat pemerosesan.

Daging dan produk daging
Dari hewan yang terinfeksi atau terkontaminasi oleh hewan lainnya.

Pemeriksaan penunjang

Darah rutin / darah perifer lengkap
Anemia
Akibat terjadi supresi sumsum tulang dan atau perdarahan usus.
leukopenia/leukositosis relatif
trombositopenia
Pemeriksaan serologi
Widal
Titer 1:160 atau 1:200 atau kenaikan titer 4x
Kadar IgM & IgG
Kultur
Darah
Dapat dilakukan pada minggu pertama hingga awal minggu kedua.
Fese/urin
Baru dapat dilakukan pada minggu kedua hingga minggu ketiga.

11
Penatalaksanaan

Nonmedikamentosa
Tirah baring/ beristirahat.
Memberikan makanan yang lunak sehingga mudah dicerna.
Memberikan kebutuhan cairan harian.
Medikamentosa
Antibiotik
Kloramfenikol (pilihan utama)
o Dosis 50-75 mg/kgBB/hari (dalam dosis terbagi)
Amoxicillin
o Dosis 75-100 mg/kgBB/hari (dalam dosis terbagi)
Sefalosporin generasi III
o Dosis 15-25 mg/kgBB/pemberian
Paracetamol
Dosis 10 mg/kgBB/pemberian
Proton pump inhibitor
Omeprazole 1 x 50mg
Antiemetik
Ondancentron 1 x 8mg
Analgetik / NSAID
Ketorolac 2 x 30mg
Dexamethasone
Hanya bila terjadi infeksi berat dan parah
Dosis 0,15 mg/kgBB

Komplikasi

intraintestinal
perforasi usus
perdarahan saluran cerna
ekstraintestinal
tifoid ensefalopati
12
hepatitis tifosa
meningitis
pneumonia
pankreatitis
pielonefritis
endokarditis
osteomyelitis
syok septik

Prognosis

Prognosis demam typhoid pada umumnya baik bila sudah terdeteksi sejak
awal dan mendapatkan penanganan yang sesuai.





















13

ANEMIA

Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.

Kriteria
Parameter yang paling umum untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Harga normal
hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologis tergantung jenis kelamin, usia,
kehamilan dan ketinggian tempat tinggal.
Kriteria anemia menurut WHO adalah:
NO KELOMPOK KRITERIA ANEMIA
1. Laki-laki dewasa < 13 g/dl
2. Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
3. Wanita hamil < 11 g/dl

Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi
morfologi didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin.

No Morfologi Sel Keterangan Jenis Anemia
1. Anemia makrositik
- normokromik
Bentuk eritrosit yang
besar dengan
konsentrasi hemoglobin
yang normal
- Anemia Pernisiosa
- Anemia defisiensi folat

2. Anemia mikrositik
- hipokromik
Bentuk eritrosit yang
kecil dengan konsentrasi
hemoglobin yang
menurun
- Anemia defisiensi besi
- Anemia sideroblastik
- Thalasemia
3. Anemia normositik Penghancuran atau - Anemia aplastik
14
- normokromik penurunan jumlah
eritrosit tanpa disertai
kelainan bentuk dan
konsentrasi hemoglobin
- Anemia posthemoragik
- Anemia hemolitik
- Anemia Sickle Cell
- Anemia pada penyakit
kronis

Menurut etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu
gangguan produksi sel darah merah pada sumsum tulang (hipoproliferasi), gangguan
pematangan sel darah merah (eritropoiesis yang tidak efektif), dan penurunan waktu
hidup sel darah merah (kehilangan darah atau hemolisis).
1. Hipoproliferatif
Hipoproliferatif merupakan penyebab anemia yang terbanyak. Anemia
hipoproliferatif ini dapat disebabkan karena:
a. Kerusakan sumsum tulang
Keadaan ini dapat disebabkan oleh obat-obatan, penyakit infiltratif
(contohnya: leukemia, limfoma), dan aplasia sumsum tulang.
b. Defisiensi besi
c. Stimulasi eritropoietin (EPO) yang inadekuat
Keadaan ini terjadi pada gangguan fungsi ginjal
d. Supresi produksi EPO yang disebabkan oleh sitokin inflamasi (misalnya:
interleukin 1)
e. Penurunan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (misalnya pada keadaan
hipotiroid)
Pada jenis ini biasanya ditemukan eritrosit yang normokrom normositer, namun
dapat pula ditemukan gambaran eritrosit yang hipokrom mikrositer, yaitu pada
defisiensi besi ringan hingga sedang dan penyakit inflamasi. Kedua keadaan
tersebut dapat dibedakan melalui pemeriksaan persediaan dan penyimpanan zat
besi.

Defisiensi besi Inflamasi
Fe serum Rendah Rendah
TIBC Tinggi Normal atau rendah
Saturasi transferin Rendah Rendah
15
Feritin serum Rendah Normal atau tinggi

2. Gangguan pematangan
Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang
rendah, gangguan morfologi sel (makrositik atau mikrositik), dan indeks
eritrosit yang abnormal. Gangguan pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2
macam yaitu:
a. Gangguan pematangan inti
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa makrositik.
Penyebab dari gangguan pematangan inti adalah defisiensi asam folat,
defisiensi vitamin B12, obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme DNA
(seperti metotreksat, alkylating agent), dan myelodisplasia. Alkohol juga dapat
menyebabkan gangguan pematangan inti, namun keadaan ini lebih disebabkan
oleh defisiensi asam folat.
b. Gangguan pematangan sitoplasma
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa mikrositik dan
hipokromik. Penyebab dari gangguan pematangan sitoplasma adalah defisiensi
besi yang berat, gangguan sintesa globin (misalnya pada thalasemia), dan
gangguan sintesa heme (misalnya pada anemia sideroblastik)
3. Penurunan waktu hidup sel darah merah
Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau hemolisis. Pada
kedua keadan ini akan didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan
darah dapat terjadi secara akut maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan
peningkatan retikulosit yang bermakna karena diperlukan waktu untuk terjadinya
peningkatan eritropoietin dan proliferasi sel dari sumsum tulang. Sedangkan pada
fase kronis gambarannya akan menyerupai anemia defisiensi besi.
Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam, dapat akut maupun
kronis. Pada anemia hemolisis kronis, seperti pada sferositosis herediter, pasien
datang bukan karena keadaan anemia itu sendiri, melainkan karena komplikasi
yang ditimbulkan oleh pemecahan sel darah merah dalam jangka waktu lama,
seperti splenomegali, krisis aplastik, dan batu empedu. Pada keadaan yang
disebabkan karena autoimun, hemolisis dapat terjadi secara episodik (self
limiting).

16

Gambar 1: klasifikasi anemia berdasarkan indeks eritrosit

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnosis anemia
adalah:
1. Complete Blood Count (CBC)
A. Eritrosit
a. Hemoglobin (N : 12-16 gr/dl ; : 14-18 gr/dl)
b. Hematokrit (N : 37-47% ; : 42-52%)
B. Indeks eritrosit
a. Mean Cell Volume (MCV) = hematokrit x 10
Jumlah eritrosit x 10
6
(N: 90 + 8 fl)

b. Mean Cell Hemoglobin (MCH) = hemoglobin x 10
Jumlah eritrosit x 10
6
(N: 30 + 3 pg)


c. Mean Cell Hemoglobin Concentration (MCHC) = hemoglobin x 10
Hematokrit
17
(N: 33 + 2%)

C. Leukosit (N : 4500 11.000/mm
3
)
D. Trombosit (N : 150.000 450.000/mm
3
)
2. Sediaan Apus Darah Tepi
a. Ukuran sel
b. Anisositosis
c. Poikolisitosis
d. Polikromasia
3. Hitung Retikulosit ( N: 1-2%)
4. Persediaan Zat Besi
a. Kadar Fe serum ( N: 9-27mol/liter )
b. Total Iron Binding Capacity ( N: 54-64 mol/liter)
c. Feritin Serum ( N : 30 mol/liter ; : 100 mol/liter)
5. Pemeriksaan Sumsum Tulang
a. Aspirasi
- E/G ratio
- Morfologi sel
- Pewarnaan Fe
b. Biopsi
- Selularitas
- Morfologi

I. Pemeriksaan Complete Blood Count (CBC)
Kriteria apakah seseorang menderita anemia dapat dilihat dari kadar hemoglobin
dan hematokritnya. Selain itu, indeks eritrosit dapat digunakan untuk menilai
abnormalitas ukuran eritrosit dan defek sintesa hemoglobin.
Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila > 100 dapat disebut sebagai
makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC dapat menilai adanya defek dalam
sintesa hemoglobin (hipokromia)

II. Sediaan Apus Darah Tepi (SADT)
SADT akan memberikan informasi yang penting apakah ada gangguan atau defek
pada produksi sel darah merah. Istilah anisositosis menunjukkan ukuran eritrosit
18
yang bervariasi, sedangkan poikilositosis menunjukkan adanya bentuk dari
eritrosit yang beraneka ragam.

III. Hitung Retikulosit
Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi anemia.
Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas dari sumsum
tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan dimetabolisme dalam
waktu 24-36 jam (waktu hidup retikulosit dalam sirkulasi). Kadar normal
retikulosit 1-2% yang menunjukkan penggantian harian sekitar 0,8-1% dari
jumlah sel darah merah di sirkulasi.
Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah. Nilai
retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan hematokrit pasien
berdasarkan usia, gender, sarta koreksi lain bila ditemukan pelepasan retikulosit
prematur (polikromasia). Hal ini disebabkan karena waktu hidup dari retikulosit
prematur lebih panjang sehingga dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolah-
olah tinggi.
RI = (% retikulosit x kadar hematokrit/45%) x (1/ faktor koreksi)

Faktor koreksi untuk:
Ht 35% : 1,5
Ht 25% : 2,0
Ht 15% : 2,5
Keterangan: RI < 2-2,5% : produksi atau pematangan eritrosit yang tidak adekuat
RI > 2,5% : penghancuran eritrosit yang berlebihan

IV. Persediaan dan Penyimpanan Zat Besi
Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan TIBC
dikali 100 (N: 25-50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan persen saturasi
transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan puncaknya pada pk 09.00 dan pk.
10.00.
Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun,
feritin juga merupakan suatu reaktan fase akut, dan pada keadaan inflamasi baik
akut maupun kronis, kadarnya dapat meningkat.
19

V. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan pada
sumsum tulang misalnya myelofibrosis, gangguan pematangan, atau penyakit
infiltratif. Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu kelompok sel
(myeloid atau eritroid) dapat ditemukan dari hitung jenis sel-sel berinti pada
suumsum tulang (ratio eritroid dan granuloid).


Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering ditemukan
terutama di negara berkembang. Penyebabnya antara lain:
o Faktor nutrisi: rendahnya asupan besi total dalam makanan atau
bioavailabilitas besi yang dikonsumsi kurang baik (makanan banyak serat,
rendah daging, dan rendah vitamin C).
o Kebutuhan yang meningkat, seperti pada bayi prematur, anak dalam
pertumbuhan, ibu hamil dan menyusui.
o Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, colitis kronik, atau achlorhydria.
o Kehilangan besi akibat perdarahan kronis, misalnya: perdarahan tukak peptik,
keganasan lambung/kolon, hemoroid, infeksi cacing tambang,
menometrorraghia, hematuria, atau hemaptoe.

A. Metabolisme Besi
Total besi dalam tubuh manusia dewasa sehat berkisar antara 2 gram (pada
wanita) hingga 6 gram (pada pria) yang tersebar pada 3 kompartemen, yakni 1). Besi
fungsional, seperti hemoglobin, mioglobin, enzim sitokrom, dan katalase, merupakan
80 % dari total besi yang terkandung jaringan tubuh. 2). Besi cadangan, merupakan
15-20% dari total besi dalam tubuh, seperti feritin dan hemosiderin. 3). Besi transport,
yakni besi yang berikatan pada transferin.
Sumber besi dalam makanan terbagi ke dalam 2 bentuk:
20
1. Besi heme, terdapat dalam daging dan ikan. Tingkat absorpsinya tinggi (25% dari
kandungan besinya dapat diserap) karena tidak terpengaruh oleh faktor
penghambat.
2. Besi non-heme, berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tingkat absorpsi rendah (hanya 1-
2% dari kandungan besinya yang dapat diserap). Mekanisme absorpsinya sangat
rumit dan belum sepenuhnya dimengerti. Absorpsi sangat dipengaruhi oleh adanya
faktor pemacu absorpsi (meat factors, vitamin C) dan faktor penghambat (serat,
phytat, tanat).


Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase:
o Fase Luminal: besi dalam makanan diolah oleh lambung (asam lambung
menyebabkan heme terlepas dari apoproteinnya) hingga siap untuk diserap.
o Fase Mukosal: proses penyerapan besi di mukosa usus. Bagian usus yang
berperan penting pada absorpsi besi ialah duodenum dan jejunum proksimal.
Namun sebagian kecil juga terjadi di gaster, ileum dan kolon. Penyerapan besi
dilakukan oleh sel absorptive yang terdapat pada puncak vili usus. Besi heme
yang telah dicerna oleh asam lambung langsung diserap oleh sel absorptive,
sedangkan untuk besi nonheme mekanisme yang terjadi sangat kompleks.
Setidaknya terdapat 3 protein yang terlibat dalam transport besi non heme dari
lumen usus ke sitoplasma sel absorptif. Luminal mucin berperan untuk
mengikat besi nonheme agar tetap larut dan dapat diserap meskipun dalam
suasana alkalis duodenum. Agar dapat memasuki sel, pada brush border sel
terjadi perubahan besi feri menjadi fero oleh enzim feri reduktase yang
diperantarai oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor
melalui membrane difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT-1 atau
Nramp-2). Sesampainya di sitoplasma sel usus, protein sitosol (mobilferrin)
menangkap besi feri. Sebagian besar besi akan disimpan dalam bentuk feritin
dalam mukosa sel usus, sebagian kecil diloloskan ke dalam kapiler usus
melalui basolateral transporter (ferroportin atau IREG 1). Besi yang diloloskan
akan mengalami reduksi dari molekul fero menjadi feri oleh enzim
ferooksidase, kemudian berikatan dengan apotransferin dalam kapiler usus.
21

Gambar 4: proses absorbsi besi
o Fase corporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi
oleh sel yang membutuhkan, dan penyimpanan besi di dalam tubuh.
Dalam sirkulasi, besi tidak pernah berada dalam bentuk logam bebas,
melainkan berikatan dengan suatu glikoprotein (-globulin) pengikat besi yang
diproduksi oleh hepar (transferin). Besi bebas memiliki sifat seperti radikal bebas dan
dapat merusak jaringan. Transferin berperan mengangkut besi kepada sel yang
membutuhkan terutama sel progenitor eritrosit (normoblas) pada sumsum tulang.
Permukaan normoblas memiliki reseptor transferin yang afinitasnya sangat tinggi
terhadap besi pada transferin. Kemudian besi akan masuk ke dalam sel melalui proses
endositosis menuju mitokondria. Disini besi digunakan sebagai bahan baku
pembentukan hemoglobin.
Kelebihan besi di dalam darah disimpan dalam bentuk feritin (kompleks besi-
apoferitin) dan hemosiderin pada semua sel tubuh terutama hepar, lien, sumsum
tulang, dan otot skelet. Pada hepar feritin terutama berasal dari transferin dan
tersimpan pada sel parenkimnya, sedangkan pada organ yang lain, feritin terutama
terdapat pada sel fagosit mononuklear (makrofag monosit) dan berasal dari
pembongkaran eritrosit. Bila jumlah total besi melebihi kemampuan apoferitin untuk
menampungnya maka besi disimpan dalam bentuk yang tidak larut (hemosiderin).
Bila jumlah besi plasma sangat rendah, besi sangat mudah dilepaskan dari feritin,
tidak demikian pada hemosiderin. Feritin dalam jumlah yang sangat kecil terdapat
dalam plasma, bila kadar ini dapat terdeteksi menunjukkan cukupnya cadangan besi
dalam tubuh.
22

Gambar 5: distribusi besi dalam tubuh

B. Sintesis Hemoglobin
Sintesis hemoglobin dimulai sejak stadium pronormoblas, namun hanya
sedikit sekali rantai hemoglobin yang terbentuk. Begitu pula pada stadium normoblas
basofil. Baru pada stadium normoblas polikromatofil sitoplasma sel mulai dipenuhi
dengan hemoglobin ( 34%). Sintesa ini terus berlangsung hingga retikulosit
dilepaskan ke peredaran darah.
Pada tahap pertama pembentukan hemoglobin, 2 suksinil Ko-A yang berasal
dari siklus krebs berikatan dengan 2 molekul glisin membentuk molekul pirol. Empat
pirol bergabung membentuk protoporfin IX, yang selanjutnya akan bergabung dengan
besi membentuk senyawa heme. Akhirnya setiap senyawa heme akan bergabung
dengan rantai polipeptida panjang (globin) sehingga terbentuk rantai hemoglobin.
Rantai hemoglobin memiliki beberapa sub unit tergantung susunan asam amino pada
polipeptidanya. Bentuk hemoglobin yang paling banyak terdapat pada orang dewasa
adalah hemoglobin A (kombinasi 2 rantai dan 2 rantai ). Tiap sub unit mempunyai
molekul heme, oleh karena itu dalam 1 rantai hemoglobin memerlukan 4 atom besi.
Setiap atom besi akan berikatan dengan 1 molekul oksigen (2 atom O
2
).
23

Gambar 6: pembentukan hemoglobin
C. Klasifikasi Derajat Defisiensi Besi dan Patogenesis
Berdasarkan beratnya kekurangan besi dalam tubuh, defisiensi besi dapat dibagi
menjadi 3 tingkatan:
1. Deplesi besi (iron depleted state)
Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk eritropoiesis
belum terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum feritin, peningkatan
absorpsi besi dari usus, dan pengecatan besi pada apus sumsum tulang berkurang.
2. Iron deficient Erythropoiesis
Cadangan besi dalam tubuh kosong, tetapi belum menyebabkan anemia secara
laboratorik karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi, sumsum tulang
melakukan mekanisme mengurangi sitoplasmanya sehingga normoblas yang
terbentuk menjadi tercabik-cabik, bahkan ditemukan normoblas yang tidak
memiliki sitoplasma (naked nuclei). Selain itu kelainan pertama yang dapat
dijumpai adalah penigkatan kadar free protoporfirin dalam eritrosit, saturasi
transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Parameter lain
yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.

24

Gambar 7: Gambaran apus sumsum tulang penderita anemia defisiensi besi
3. Anemia defisiensi besi
Bila besi terus berkurang eritropoiesis akan semakin terganggu, sehingga kadar
hemoglobin menurun diikuti penurunan jumlah eritrosit. Akibatnya terjadi anemia
hipokrom mikrositer. Pada saat ini terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku, dan
beberapa enzim sehingga menimbulkan berbagai gejala.
Beberapa dampak negatif defisiensi besi, disamping terjadi anemia, antara lain:
1. Sistem neuromuskuler
Terjadi penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom, dan gliserofosfat oksidase
yang menyebabkan gangguan glikolisis sehingga terjadi penumpukan asam laktat
yang mempercepat kelelahan otot.
2. Gangguan perkembangan kognitif dan non kognitif pada anak
Terjadi karena gangguan enzim aldehid oksidase dan monoamin oksidase,
sehingga mengakibatkan penumpukan serotonin dan katekolamin dalam otak.
3. Defisiensi besi menyebabkan aktivitas enzim mieloperoksidase netrofil berkurang
sehingga menurunkan imunitas seluler. Terutama bila mengenai ibu hamil, akan
meningkatkan risiko prematuritas dan gangguan partus.

D. Gejala Anemia defisiensi besi
Digolongkan menjadi 3 golongan besar:
1. Gejala Umum anemia (anemic syndrome)
Dijumpai bila kadar hemoglobin turun dibawah 7 gr/dl. Berupa badan lemah,
lesu, cepat lelah, dan mata berkunang-berkunang. Pada anemia defisiensi besi
penurunan Hb terjadi secara bertahap sehingga sindrom ini tidak terlalu
mencolok.
2. Gejala khas defisiensi besi, antaralain:
25
Koilonychia (kuku seperti sendok, rapuh, bergaris-garis vertikal)
Atrofi papil lidah
Cheilosis (stomatitis angularis)
Disfagia, terjadi akibat kerusakan epitel hipofaring sehingga terjadi
pembentukan web
Atrofi mukosa gaster, sehingga menyebabkan aklorhidria
Kumpulan gejala anemia hipokrom-mikrositer, disfagia, dan atrofi papil lidah,
disebut Sindroma Plummer Vinson atau Paterson Kelly.
3. Gejala akibat penyakit dasar
Misalnya gangguan BAB pada anemia karena Ca-colon

E. Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium yang dapat dijumpai adalah:
1. Kadar hemoglobin dan indek eritrosit:
Anemia hipokrom mikrositer (penurunan MCV dan MCH)
MCHC menurun pada anemia defisiensi besi yang lebih berat dan
berlangsung lama
Bila pada SADT terdapat anisositosis, merupakan tanda awal
terjadinya defisiensi besi
Pada anemia hipokrom mikrositer yang ekstrim terdapat poikilositosis
(sel cincin, sel pensil, sel target)
2. Konsentrasi besi serum menurun dan TIBC meningkat
TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan
saturasi transferin dihitung dari:


Konsentrasi besi serum memiliki siklus diurnal, yakni mencapai kadar puncak
pada pukul 8-10 pagi.
3. Penurunan kadar feritin serum
Feritin serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis anemia
defisiensi besi yang paling kuat, cukup reliabel dan praktis. Angka serum
feritin yang normal belum dapat menyingkirkan diagnosa defisiensi besi,
namun feritin serum >100 mg/dl sudah dapat memastikan tidak ada defisiensi.
4. Peningkatan protoporfirin eritrosit
26
Angka normalnya <30 mg/dl. Peningkatan protoporfirin bebas >100 mg/dl
menunjukkan adanya defisiensi besi.
5. Peningkatan reseptor transferin dalam serum (normal 4-9 g/dl), dipakai untuk
membedakan anemia defisiensi besi dengan anemia pada penyakit kronis.
6. Gambaran apus sumsum tulang menunjukkan jumlah normoblas basofil yang
meningkat, disertai penurunan stadium berikutnya. Terdapat pula
mikronormoblas (sitoplasma sedikit dan bentuk tidak teratur. Pengecatan
sumsum tulang dengan Prussian blue merupakan gold standar diagnosis
defisiensi besi yang akan memberikan hasil sideroblas negatif (normoblas yang
mengandung granula feritin pada sitoplasmanya, normal 40-60%).
7. Pemeriksaan mencari penyebab defisiensi, misalnya pemeriksaan feses, barium
enema, colon in loop, dll.

F. Diagnosis
Tiga tahap mendiagnosa suatu anemia defisiensi besi: 1). Menentukan adanya
anemia 2). Memastikan adanya defisiensi besi 3). Menentukan penyebab defisiensi.
Secara laboratoris dipakai kriteria modifikasi Kerlin untuk menegakkan diagnosa:
anemia hipokrom mikrositer pada SADT ATAU MCV <80 fl dan MCH < 31%
dengan satu atau lebih kriteria berikut:
1. Terdapat 2 dari parameter di bawah ini:
Besi serum <50 mg/dl
TIBC >350 mg/dl
Saturasi ttransferin <15%
2. Feritin serum <20 mg/dl
3. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prussia menunjukkan sideroblas
negatif
4. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200mg/hari selama 4 minggu terdapat
kenaikan Hb >2 gr/dl

G. Terapi
1. Terapi kausal, untuk mencari penyebab kekurangan besi yang diderita. Bila
tidak dapat menyebabkan kekambuhan.
2. Pemberian preparat besi:
27
Oral: merupakan pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman,
terutama sulfas ferosus. Dosis anjuran 3x200mg/hari yang dapat
meningkatkan eritropoiesis hingga 2-3 kali dari normal. Pemberian
dilakukan sebaiknya saat lambung kosong (lebih sering menimbulkan
efek samping) paling sedikit selama 3-12 bulan. Bila terdapat efek
samping gastrointestinal (mual, muntah, konstipasi) pemberian
dilakukan setelah makan atau osis dikurangi menjadi 3x100mg. Untuk
meningkatkan penyerapan dapat diberikan bersama vitamin C 3x100
mg/hari.
Parenteral,misal preparat ferric gluconate atau iron sucrose (IV pelan
atau IM). Pemberian secara IM menimbulkan nyeri dan warna hitam
pada lokasi suntikan. Indikasi pemberian parenteral:
a. Intoleransi terhadap preparat oral
b. Kepatuhan berobat rendah
c. Gangguan pencernaan, seperti kolitis ulseratif (dapat kambuh
dengan pemberian besi)
d. Penyerapan besi terganggu, seperti gastrektomi
e. Kehilangan darah banyak
f. Kebutuhan besi besar yang harus dipenuhi dalam jangka waktu
yang pendek, misalnya ibu hamil trimester 3 atau pre operasi.
Dosis yang diberikan dihitung menurut formula:
Kebutuhan besi (mg) = {(15 Hb
sekarang
) x BB x 2,4} + (500 atau
1000)
3. Diet, terutama yang tinggi protein hewani dan kaya vitamin C.
4. Transfusi diberikan bila terdapat indikasi yaitu:
Terdapat penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung
Gejala sangat berat, misalnya pusing sangat menyolok
Pasien memerlukan peningkatan kadar Hb yang cepat, misalnya
kehamilan trimester akhir atau pre operasi

Dalam pengobatan, pasien dinyatakan memberikan respon baik apabila
retikulosit naik pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke 10, dan kembali
28
normal pada hari ke 14 pengobatan. Diikuti dengan kenaikan Hb 0,15 gr/dl/hari atau 2
gr/dl setelah 3-4 minggu pengobatan.
































29
BAB III
Penutup


III.1 Kesimpulan

Demam typhoid atau demam enterik adalah demam yang disebabkan oleh
bakteri dari genus Salmonella. Penyakit ini termasuk penyakit yang endemik di
Indonesia. Angka kejadiannya banyak terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa
muda.
Spesies tersering yang menyebabkan demam typhoid tersebut di Indonesia
adalah Salmonella typhi. Bakteri ini mempunyai kemampuan untuk bertahan pada
lingkungan yang panas hingga dingin atau beku sekali pun. Dalam keadaan sehat,
pemeriksaan serologi, yaitu tes widal dapat memberikan hasil yang positif.


III.2 Saran

Kenali tanda dan gejala demam typhoid pada anak-anak sedini mungkin,
berikan penanganan dan terapi yang tepat sehingga morbiditas dan mortilitas yang
mungkin terjadi dapat dicegah dan diminimalkan. Jangan remehkan gejala demam
yang berkepanjangan karena semakin lama bakteri penyebab demam tidak diatasi,
maka akan semakin luas kerusakan yang akan ditimbulkannya, sehingga
pengobatannya pun juga semakin lama serta tidak ada jaminan dapat sembuh total
dari penyakit.









30
DAFTAR PUSTAKA

Brooks, Geo F., dkk. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Ed.23. Jakarta :
EGC
Guyton, Arthur C., dan John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
Ed. 11. Jakarta: EGC
Longo, Dan L., dkk. 2012. Harrisons Principles of Internal Medicine Ed.18
Vol.1. USA: McGraw- Hill
McPhee, Stephen J., dan Maxime A. Papadokis. 2013.Current Medical
Diagnosis and Treatment Ed.52. USA: McGraw Hill
www.wikipedia.org
www.who.org
Adamson WJ et al, 2005, Anemia and Polycythemia in Harrisons Principles
of Internal Medicine 16
th
edition ; NewYork : McGraw Hill.
Adamson, John W, 2005, Iron Deficiency and Other Hypoproliferative
Anemias in Harrisons Principles of Internal Medicine 16
th
edition ; NewYork
: McGraw Hill.
Bakta I Made, dkk, 2006, Anemia Defisiensi Besi dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II edisi IV ; Jakarta : FKUI.
Cotran et al, 1999, Red Cell and Bleeding Disorders in Robbins Pathologic
Basis Of Disease 6th edition ; USA : Saunders.
Guyton and Hall, 1997, Sel-Sel Darah Merah, Anemia dan Polisitemia dalam
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi IX, Jakarta : EGC.
Mansen T J et al, 2006, Alteration of Erythrocyte function in Pathophysiology
: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children 5th edition ; USA :
Mosby.
Marks, Dawn B. Biokomia Kedokteran Dasar, Sebuah Pendekatan Klinis.
Jakarta: EGC; 2000.
Murray, Robert K. Biokimia harper, 24ed. Jakarta: EGC; 1999.
Supandiman I dan Fadjari H, 2006, Anemia Pada Penyakit Kronis dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV ; Jakarta : FKUI.
Supandiman I dkk, 2003, Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi
Onkologi medik ; Bandung : Q Communication.
31

Anda mungkin juga menyukai