Anda di halaman 1dari 33

1

ANEMIA OF CHRONIC DISEASE

BAB I

I. PENDAHULUAN

Anemia merupakan masalah kesehatan utama yang paling sering dijumpai di


klinik diseluruh dunia terutama di negara-negara berkembang. Anemia bukan lah
penyakit tapi merupakan manifestasi dari berbagai proses patologi. Anemia
merupakan tanda dan bukan suatu diagnosa. Bila ditemukan gejala anemia dapat
digunakan sebagai tanda untuk mencari penyebabnya. Meskipun bukan merupakan
suatu proses utama dari suatu penyakit, anemia dapat menyebabkan morbiditas
yang tinggi bahkan dapat menyebabkan kematian 1,2.

Anemia merupakan kondisi dimana seseorang mempunyai jumlah eritrosit


dibawah normal atau jumlah hemoglobin di eritrosit menurun dibawah normal yang
menyebabkan sel-sel tubuh tidak bisa mendapatkan oksigen. Hemoglobin adalah
zat besi yang kaya protein yang memberi warna merah pada eritrosit dan membantu
eritrosit membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Penurunan jumlah
eritrosit atau penurunan jumlah hemoglobin juga akan menyebabkan penurunan besi
darah3.

Anemia adalah suatu keadaan dimana konsentrasi hemoglobin (Hb) <13,0


g/dL pada laki-laki dan < 12,0g/dL pada wanita, menurut WHO anemia ringan Hb ≥
9,5 g/dL, anemia sedang (moderate) Hb ≥8g/dL tetapi < 9,5 g/dL dan anemia berat
Hb< 8,0g/dL 4

Orang dengan anemia akan merasa capek karena darah mereka tidak bisa
memenuhi kebutuhan oksigen tubuh dan jaringan. Jika anemia menjadi berat dan
berlangsung lama, kekurangan oksigen tubuh dapat menyebakan sesak terutama
bila beraktifitas dan dapat menyebabkan gagal jantung. Anemia yang disebabkan
inflamasi dan penyakit sistemik merupakan penyakit dengan kelainan hematologi
yang paling sering di temukan di laboratorium setelah anemia defisiensi besi 3.
2

Kebanyakan orang yang mengalami penyakit kronik, inflamasi kronik atau


keganasan akan menderita anemi ringan sampai sedang. Anemi penyakit kronis
terjadi pada kira-kira 50% pasien rawat inap yang dapat dilihat dari hasil
laboratorium. Anemi penyakit kronis juga sudah diobservasi pada pasien-pasien
trauma dan pasien-pasien yang berada dalam kondisi krisis. Anemia pada penyakit
kronis ditandai dengan pemendekan masa hidup eritrosit, gangguan metabolisme
besi dan gangguan produksi eritrosit akibat tidak efektifnya rangsangan
eritropoetin5.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi

Anemia inflamasi dan penyakit kronis adalah jenis anemia yang sering
terjadi pada penyakit atau infeksi yang berlangsung lama dan menahun. Kanker dan
gangguan inflamasi, di mana aktivasi abnormal dari sistem kekebalan tubuh yang
terjadi, juga dapat menyebabkan anemi inflamasi atau penyakit kronis. Suatu
keadaan anemia dari penyakit kronik mulai dari ringan, sedang, anemia berat
berkaitan dengan infeksi kronik dan penyakit inflamasi dan penyakit keganasan 1,6,7,8.

Anemi inflamasi atau anemi penyakit kronis agak susah dibedakan dengan
anemia defisiensi besi karena dalam kedua bentuk tingkat anemia zat besi yang
beredar dalam darah rendah. Zat besi dalam tubuh ditemukan pada keduanya
beredar dalam darah dan disimpan dalam jaringan tubuh. Besi yang beredar
diperlukan untuk produksi sel darah merah. Kadar zat besi darah yang rendah
terjadi pada anemia defisiensi besi karena kadar besi yang disimpan dalam jaringan
tubuh habis. Dalam Anemi penyakit kronis, cadangan besi normal atau tinggi. Kadar
zat besi darah rendah terjadi pada anemia penyakit kronis, meskipun cadangan besi
normal, karena penyakit inflamasi menahun mengganggu kemampuan tubuh untuk
menggunakan cadangan besi dan penyerapan zat besi dari makanan 1,8,9.

Pada anemia penyakit kronis inflamatory sitokin menghambat produksi


eritrosit. Diantara sitokin, IL-6 mempunyai peran utama dimana Il-6 meningkatkan
3

produksi hormon hepsidin di hepatosit yang berfungsi untuk mengatur besi.


Hepsidin menghambat pelepasan besi dari makropag dan hepatosit, menyebabkan
hypoferemia sehingga menggangu fungsi besi dalam pembentukan eritrosit.

Anemia inflamasi ditandai dengan produksi eritrosit yang tidak adequat pada
keadaan serum iron yang rendah,iron binding capacity yang rendah, transferin yang
rendah tetapi ferritin yang normal atau meninggi meskipun terjadi peningkatan
cadangan besi makropag di sum-sum tulang. Eritrosit biasanya normokrom
normositer tapi anemia yang berlangsung lama dapat menyebakan gambaran
eritrosit menjadi hipokrom mikrositer1,5,6,8,9,13,.

2.2. Epidemologi

Anemia biasa terjadi pada orang dewasa dan prevalensinya meningkat sesuai
usia. The National Health and Nutritition Ecamination survey (NHANES III),
melaporkan bahwa satu dari setiap 10 orang dewasa ≥ 65 tahun menderita anemia,
pada usia 85 tahun atau lebih rata-rata 25% pada wanita dan 25% pada laki-laki.
Dari semua tipe anemia yang mempengaruhi orang tua, anemia penyakit kronik,
dengan atau tanpa penyakit ginjal kronik adalah yang paling banyak setelah anemi
defisiensi besi. Sayangnya sering tidak terdiagnosa oleh klinisi dan sering tidak
dimengerti dantidak terobati14.

2.3. Etiologi

Dalam keadaan kronis, Anemi penyakit kronis terutama disebabkan


ketidakmampuan tubuh untuk meningkatkan produksi eritrosit untuk
mengkompensasi penurunanan umur eritrosit. Anemia inflamasi dan penyakit kronis
disebabkan oleh sel-sel darah merah tidak berfungsi normal, sehingga mereka tidak
dapat menyerap dan menggunakan zat besi secara efisien. Selain itu, secara normal
tubuh tidak dapat merespon erythropoietin (EPO) suatu hormon yang dibuat oleh
ginjal yang merangsang sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.
Keadaan ini menyebakan penurunan sel darah merah dalam tubuh 3,4,9

Tabel dibawah ini menunjukkan beberapa penyakit yang menjadi penyebab


terjadinya anemia pada penyakit kronis4,14,17,
4

Causes of anaemia of chronic disease

Infections:
Tuberculosis
Viral infections including human immunodeficiency viruses infection
Bacterial
Parasitic
Fungal
Cancer
Haematologic
Solid tumours
Autoimmune
Rheumatoid arthritis
Systemic lupus erythematosus
connective tissue disorders
Vasculitis
Sarcoidosis
Inflammatory bowel disease
Chronic renal disease and inflammation
Miscellaneous
Chronic rejection after solid – organ transplantation.

2.4. Patogenesis

Anemia penyakit kronis adalah penyakit yang disebabkan gangguan immun,


sitokin dan sel-sel sistem retikuloendotelial menyebabkan perubahan dalam
homeostasis besi, proliferasi sel progenitor eritroid, produksi erythropoietin, dan
masa hidup sel darah merah, yang semuanya berkontribusi pada patogenesis
anemia. Eritropoiesis dapat dipengaruhi oleh anemia yang mendasari penyakit
penyakit kronis melalui infiltrasi sel tumor ke dalam sumsum tulang atau dari
mikroorganisme, seperti yang terlihat dalam human immunodeficiency virus (HIV),
hepatitis C, dan malaria7,8,9,12,.

Selain itu, sel-sel tumor dapat menghasilkan sitokin proinflamasi dan radikal
bebas yang merusak sel progenitor eritroid. Penyebab Anemi kronis tidak terbatas
pada satu penyebab saja,tetapi disebabkan oleh beberapa mekanisme, yang
semuanya disebabkan oleh proses inflamasi. Kemungkinan penyebabnya termasuk:

1. Penurunan kemampuan hidup dan umur eritrosit


2. Gangguan metabolisme besi karena kegagalan pelepasan besi dari
penyimpanan di sistem RES
3. Penurunan kadar eritropoetin
5

4. Penekanan eritropoiesis oleh sitokin dari makrofag teraktivasi dan limfosit


karena penyakit yang mendasari dan adanya inflamasi

2.4.1. Penurunan kemampuan hidup dan umur eritrosit1,4,6,9,10,16,19


Beberapa penelitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek pada
sekitar 20 – 30% pasien. Defek ini terjadi ekstrakorpuskuler, karena bila eritrosit
pasien ditransfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup normal.

Penurunan umur eritrosit dapat dilihat pada pasien anemi penyakit kronis. Rata-
rata kemampuan hidup eritrosit pada beberapa kasus hanya 90 hari, dibandingkan
pada orang sehat yang berumur 120 hari. Mekanisme terjadinya hal ini masih belum
jelas, tetapi mungkin karena pengaruh dari ekstrakorpuskular dari teraktivasinya
macrophage monocytes dari sistem retikuloendotelial.

Diduga juga mekanisme anemia merupakan bagian dari sindrom stress


hematologik, dimana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan
jaringan akibat infeksi, inflamasi dan kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan
sekuesterasi makrofag sehingga mengikat lebih banyak zat besi, meningkatkan
destruksi eritrosit di limpa dan menekan produksi eritropoetin oleh ginjal, serta
menyebabkan perangsangan yang inadekuat pada eritropoesis disumsum tulang.

Aktifasi macrophage oleh sitokin menyebakan kerusakan eritrosit di sirkulasi


makin cepat. Sel-sel ini menyebabkan peningkatan kemampuan pagositos pada
pasien dengan inflamasi dan mungkin berperan dalam menurunnya kemampuan
hidup eritrosit.

2.4.2 Gangguan metabolisme besi karena kegagalan pelepasan besi dari


penyimpanan di sistem RES1,6,7,8,9,10,11,13,15,16,19.

Terdapatnya kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup,


menunjukkan adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronis. Hal ini
memberikan konsep bahwa anemianya disebabkan karena penurunan kemampuan
Fe dalam sintesa hemoglobin. Penelitian terakhir menunjukkan parameter Fe yang
ada mungkin lebih penting untuk diagnosis daripada untuk patogenesis anemianya
6

Hemostasis besi sepenuhnya diatur oleh absorbsi besi dari diet. Ketika besi
diadalam tubuh menurun maka absorbsi besi akan meningkat dan ketika besi
meningkat akan ada pengurangan absorbsi besi dan besi yang berleihan akan
dikeluarkan bila enterocyt terlepas setiap 2-3 hari. Permukaan sel epitel dari
duodenum bertanggung jawab terhadap perubahan kebutuhan besi.

Besi berasal dari diet akan diabsorbsi di duodenum melalui 2 membrane, yaitu
membrane apikal dan basolateral doudenum. Membrane apikal merupakan tempat
transport besi ke dalam sel epitel, sedangkan membrane basolateral tempat
transport besi dari doudenum ke sirkulasi darah. Makanan mengandung besi dalam
bentuk FE3+ dan Fe2+. Besi dalam bentuk Fe3+ dilambung oleh enzim ferric reductase
dengan bantuan kofaktor doudenal cytochrom b-like (DYTB) akan direduksi menjadi
bentuk Fe2+. Kemudian besi bentuk Fe2+tersebut masuk ke enterosit melalui suatu
transmembrane transporter yaitu divalent metal ion transporter 1 (DMT1). Didalam
enterosit sebagian besi disimpan sebagai feritin, dan sebagian lagi menuju ke
membrane basolateral masuk ke sirkulasi melalui basolateral transporter dalam
bentuk FE2+ yang disebut sebagai ferroportin. Besi yang keluar melalui ferroportin
akan dioksidasi oleh ferroxidase (hephaestin) menjadi bentuk Fe 3+ untuk dibawa ke
sirkulasi. Sebagian besar Fe3+ berada disirkulasi diikat oleh apotransferin dan
sebagian kecil diikat oleh apoferitin. Apotransferin yang mengikat Fe 3+ disebut
sebagai transferin. Selanjutnya transferin membawa besi ke sumsum tulang
digunakan untuk sintesis hemoglobin dan untuk cadangan besi sebagai ferritin dan
hemosiderin di sistim RES.

Besi didalam plasma yang berikatan dengan apotransferin, Fe 3+-Tf akan


berikatan dengan reseptor transferin pada permukaan sel. Kompleks TRf dan Fe 3+
bersama DMT1 di clathin-coated pit, mengalami invaginasi membentuk endosom.
Pompa proton didalam endosom akan menurunkan pH menjadi asam (5,5)
mengakibatkan ikatan antara Fe 3+ dan apotransferin terlepas. Apotransferin tetap
berikatan dengan TfR di permukaan sel, sedangkan Fe 3+ yang dilepaskan akan
keluar melalui DMT1 menuju mitokondria dan disimpan.Besi dengan protoporpirin
selanjutnya dipergunakan untuk pembentukan heme. Besi yang berlebih akan
disimpan sebagai feritin dan hemosiderin
7

Gambar 1. Absorbsi besi di usus

Anemia karena terhambatnya besi dikeluarkan dari sistim retikuloendotelial


merupakan kemungkinan lain dari anemi karena penyakit kronis.Absorbsi besi usus
terhambat selama inflamasi yang diduga disebabkan oleh IL6 dan hepcidin.
Meskipun ada penurunanan absorbi besi di usus dan gangguan penggunaan
kembali besi oleh hepatosit pada pasien dengan anemia penyakit kronis , terdapat
pengangkutan besi ke penyimpanan disistim retikuloendotelial. Macrophage
merupakan tempat utama dimana besi diperoleh untuk eritropoiesis yang akan
memperlihatkan gambaran peningkatan cadangan besi. Besi macrophage mampu
melakukan eritropoesis melalui dua jalur mobilisasi besi yaitu jalur cepat, yang
berhubungan dengan pengembalian segera dari besi yang didapat dari
penghancuran eritrosit dan jalur lambat , terdiri dari besi yang dimobilisasi dari
tempat penyimpanan. Pada anemia penyakit kronis, jalur lambat yang dominan
terjadi sehingga besi cenderung akan menumpuk.. Pada anemia penyakit kronis
terjadi peningkatan sintesa apoferitin . Kelebihan apoferitin akan berikatan dengan
sejumlah besar zat besi yang memasuki sel. Karena itu cadangan besi akan jelas
menurun.

Selama inflamasi IL-6 merangsang produksi hepcidin yang akan menghambat


besi dilepaskan dari makrophag dan juga hepatosit, sehingga terjadi penumpukan
8

besi yang ditunjukkan dari penurunan besi serum. Besi terperangkap didalam sistim
retikuloendotelial dan tidak bisa memenuhi kebutuhan untuk eritropoesis. Feritin
meningkat kerena peningkatan cadangan besi di sisitim retikuloendotelial. Oleh
karena penurunan ferrum menyebakan penurunan saturasi transferin, yang
membatasi supplai besi ke sumsum tulang dan menyebabkan peningkatan eritrosit
protoporpirin bebas, yaitu suatu cincin porfirin tanpa besi, sehingga terjadi
penurunan produksi heme.

2.4.3 Penurunan kadar eritropoetin 1,5,6,7,9,10,15,17,19

Salah satu kontroversi mengenai anemia penyakit kronis adalah apakah pasien
memiliki tingkat efektif dari erythropoietin atau tidak. Banyak peneliti telah
melaporkan bahwa anemi penyakit kronis ditandai dengan kurangnya respon
eryrthropoietin , yaitu, untuk setiap penurunan hemoglobin atau hematokrit,
peningkatan serum atau plasma eritropoietin lebih sedikit dan akan ditemukan mirip
seperti pada pasien anemia kekurangan zat besi. dari informasi ini tampak bahwa
tubuh mencoba untuk melawan anemia dengan meningkatkan produksi eritropoietin
oleh ginjal, tetapi respone tidak adequat untuk kompensasi anemia. Respon dari
sumsum tulang untuk erytrhopoietin jauh lebih sedikit dari yang diharapkan
dibandingkan untuk jumlah erythropoietin yang dikeluarkan.Ini kemungkinan menjadi
masalah besar dan mungkin salah satu alasan utama untuk terjadinya anemia
penyakit kronis. Sitokin inflamatory, TNF-α, IL-1 secara langsung menghambat
produksi dari eritropoetin.

2.4.4. Penekanan eritropoiesis oleh sitokin dari makrofag teraktivasi dan


limfosit karena penyakit yang mendasari dan adanya
inflamasi1,5,6,7,10,15,17,19

Salah satu penyebab anemia penyakit kronis adalah pengaruh penenekanan


inhibisi eritropoiesis oleh interleukin I (IL-I), tumor necrosis factor-alpa (TNF-α) dan
interferon gamma (IFN-γ). Serum dari orang dengan penyakit inflamasi kronik
(rheumatoid arthritits, systemic lupus erythematosus dan juvenile chronic arthritis)
akan menghambat eritopeiesis invitro. Inhibisi pada awal progenitor eritrosit, burst-
9

forming-erythroid (BFU-E), and coloni-forming-unit-erythroid, sesuai dengan


beratnya anemia,dan merupakan indikator adanya inflamasi seperti acute phase
reactans. Penelitian sekarang menunjukkan bahwa cytokin merupakan kunci dalam
regulasi hematopoiesis pada penyakit inflamasi.

IL-I telah diuji dalam hal pengaruhnya terhadap penekanan hematopoiesis


karena IL-I merupakan perantara terhadap berbagai macam akut pase reaktan. Ada
juga hubungan antara beratnya anemia dengan beratnya inflamasi.

Bukti juga menunjukkan bahea TNF-α, dan berbagai sitokin lainnya dari
teraktivasinya macrophage, juga berperan dalam pathogenesis dari anemia penyakit
kronis. Konsentrasi TNF-α, yang sangat rendah dapat menghambat pertumbuhan
progenitor erytroid pada kultur normal sumsum tulang. Ini sama dengan konsentrasi
TNF-α, yang mempengaruhi penderita. Pengaruh dari monokine dan lymphokine
pada granulocyte, macrophage dan sel-sel progenitor hematopoietic yang lain
kelihatannya berperan dalam anemia penyakit kronis. Namun mekanisme
pertahanan tubuh terhadap infeksi dan kerusakan jaringan akan merugikan tubuh
secara tidak langsung. Secara teoritis, setiap penyakit yang menyebabkan cedera
jaringan dan inflamasi selama periode 1 sampai 2 bulan dapat menyebabkan
anemia.
10

Gambar 2. Mekanisme patofisiologi anemia penyakit kronis


11
12

2.5. Gambaran Klinis dan Laboratorium

Pada anemia derajat ringan dan sedang , sering kali gejalanya tertutupi oleh
penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-11gr/dL umunya asimtomatik.
Meskipun demikian apabila demam atau debilitas fisik meningkat, maka
pengurangan kapasitas transport O 2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya
atau memperberat keluhan sebelumnya. 6,10,

Pada pemeriksaan klinis tidak ada kelainan yang khas dari anemia jenis ini,
diagnosis biasanya tergantung hasi laboratoriumnya.Oleh karena anemi penyakit
kronik terjadi berhubungan dengan banyak penyakit maka manifestasi klinik yang
timbul juga bervariasi. Umunya gejala dan tanda tergantung dari gangguan yang
mendasari terjadinya anemia, terkadang bisa timbul rasa lelah, lemah, kulit pucat,
denyut jantung yang cepat, dan sesak nafas. penurunan Hb merupakan bukti yang
pertama sekali ditemukan pada anemi penyakit kronis 6,10,19.

2.5.1. Anemia

Anemia yang terjadi umumnya berkembang selama bulan pertama sampai bulan
kedua dari penyakit yang mendasari anemia penyakit kronisnya dan perkembangan
anemianya tidak progresif. Pasien-pasien dengan anemia penyakit kronis
mempunyai hitung retikulosit yang rendah dan dapat juga normal, dimana hal ini
merupakan akibat produksi eritrosit yang menurun. Nilai hemoglobin pada anemia
penyakit kronis ditandai dengan penurunan nilai Hb ringan (Hb 9,5g/dL) sampai
sedang (Hb 8 g/dL)6,7,19,

2.5.2. Gambaran morfologi

Gambaran darah tepi pada anemia penyakit kronis umumnya memperlihatkan


normokrom normositer. Nilai MCV berkisar antara 83 97fl, namun sekitar 2 – 8% dari
penderita anemia penyakit kronis yang diobservasi mempunyai gambaran mikrositer
dengan nilai MCV < 80. Gambaran hipokrom(MCHC 26 – 32 g/dL) lebih sering
dibanding mikrositr yang diamati pada sekitar 23 – 50% pada pasien dengan infeksi
kronis, 50 – 100% pada pasien dengan rhematoid arthritis dan 44, 64% pada pasien
dengan keganasan. Gambaran anisositosis dan poikilositosis ringan mungkin dapat
ditemukan, namun gambaran seperti ini tidaklah dominan bila dibandingkan dengan
anemia defisiensi besi19.
13

2.5.3. Metabolisme besi

Pada anemia penyakit kronis ditandai dengan konsentrasi besi serum dan
serum transferin yang menurun, sementara pada anemia defisiensi besi terjadi
peningkatan nilai serum transferin. Pada anemia penyakti kronis hipoferremia terjadi
oleh karena akuisisi besi oleh sistem retikuloendotelial dan penurunan saturasi
transferin terutama oleh karena penurunan nilai besi serum . Pada anemia defisiensi
besi, saturasi tansferin mungkin dijumpai sedikit lebih rendah bila dibandingkan
dengan anemi penyakit kronis.

Nilai feritin digunakan sebagai indikator dari cadangan besi, nilai feritin
15ng/ml umunya diambil sebagai indikasi tidak adanya cadangan besi. Pada pasien
dengan anemia penyakit kronis, nilai feritin dapat dijumpai meningkat atau normal,
hal ini menujukkan bahwa terjadi peningkatan cadangan besi dan resistensi besi di
dalam sistem retikuloendotelial, dimana hal ini karena aktivasi dari sistim immun.

Solubel transferin receptor adalah fragmen terpotong dari membrane reseptor


yang meningkat pada defisiensi besi, dimana peningkatan ini terjadi oleh karena
kemapuan besi untuk eritropoesis sangat menurun. Sementara nilai solubel
transferin receptors pada anemia penyakit kronis tdak berbeda signifikan dari
keadaan normal, hal ini karena ekspresi reseptor transferin oleh sitokain inflamasi
mempunyai pengaruh negatif. Penentuan nilai solubel transferin receptors dapat
membantu untuk membedakan antara pasien dengan anemia penyakit kronis
dengan nilai feritin yang tinggi atau normal dan nilai solubel transferin receptors yang
sedikti rendah dan pasien dengan anemia defisiensi besi ( nilai feritin yang rendah
dan nilai solubel transferin receptor yang tinggi) 6,7,8,19

Tabel 1. Status besi pada ACD dan IDA17

ACD IDA Nilai Normal


Serum Iron (µg/dL) 5 - 60 4 – 40 50 - 100
TIBC (µg/dL) 100 - 250 350 - 500 250 – 425
Serum transferin (mg/dL) 80 -250 250 - 410 200 – 340
Saturasi transferin (%) 5 - 15 1 – 15 15 – 45
Serum ferritin (µg/dL) 75 - 2000 1 – 20 20 – 300
Serum transferin receptor (mg/L) 0,8 – 3,1 2,0 – 20,0 0,8 – 3,1
14

2.5.4. Temuan Biokimia yang lain

Terdapat sejumlah perubahan biokimia yang ditemukan pada penderita


dengan penyakit kronik. Konsentrasi dari berbagai jenis protein plasma yang disebut
acute phase reactan akan meningkat seperti fibrinogen, C-reaaktif protein,
Complement-3 (C3) dan seruloplasmin, haptoglobulin, sementara albumin dan
9,19
transferin akan menurun

2.5.5. Gambaran sum-sum Tulang

Sum-sum tulang normoseluler, sedikit hiposeluler atau hiperseluler dan


distribusi sel tidak terganggu. Dengan pengecatan Prussian blue caadangan besi
normal atau meningkat tetapi sideroblast dan siderocyte tidak dijumpai. 5,20

2.6. Pengobatan

Pengobatan pada anemia penyakit kronis dilakukan berdasarkan pada 2 hal.


Pertama, anemia secara umum dapat mengganggu kondisi sipenderita, dimana
akan terjadi peningkatan kompensasi kardiak output untuk memelihara pengiriman
oksigen keseluruh tubuh. Kedua, anemia dihubungkan dengan prognosis yang buruk
pada berbagai keadaan. Selanjutnya, anemia moderat perlu diperhatikan terutama
pada pasien diatas 65 tahun, dimana mereka mempunyai faktor-faktor resiko
( seperti penyakit arteri koroner, gangguan paru-paru, atau penyakit ginjal kronik)
atau kombinasi dari fakto-faktor tersebut. Pada pasien dengan gagal ginjal yang
mendapat dialisis dan pasien dengan kanker yang mendapatkan kemoterapi,
perbailkan anemia dimana nilai hemoglobin menjadi 12g/dL akan meningkatkan
kualitas hidup.7,17,20

Pengobatan anemia penyakti kronis dibagi menjadi 2, yaitu:

2.6.1. Terapi causal:

Pengobatan yang ditujukan pada gangguan atau penyakit yang mendasari


terjadinya anemia. Keadaan-keadaan seperti infeksi kronik, inflamasi kronik oleh
karena gangguan autoimmun ataupun keganasan perlu mendapat penanganan yang
15

bertujuan untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh penyakit dasar


tersebut.

2.6.2. .Terapi terhadap anemia

2.6.2.1.Human Recombinant Eritropoetin

Produksi eritropetin endogenous diatur berdasarkan oksigenasi jaringan.


Anemia dan hipoksia akan meningkatkan produksi eritropoetin untuk menghasilkan
eritropoesis. Nilai rujukan untuk kadar eritropoetin plasma adalah 4,1 – 22 IU/L.
Pada keadaan hipoksia dan anemia, nilai eritropoetin dapat meningkat menjadi 100
– 1000 kali lipat. Namum kenyataanya pasien yang menderita anemia penyakit
krinis, produksi eritropoetin terganggu dan nilai EPO relatif lebih rendah (<200IU/L)
6,7,17,19,20

Terapi eritropoetin untuk pasien dengan anemia penyakit kronis sekarang ini
lebih ditujukan untuk penggunaan pada pasien yang menderita kanker yang sedang
menjalani kemotherapi, pasien dengan penyakti ginjal kronis, pasien dengan infeksi
HIV dan psien-pasien yang sedang menjalani myelosupresive therapy 7.

Persentase dari penderita anemia penyakit kronis yang mempunyai respon


terhadap pengobatan dengan eritropoetin adalah 25% pada penderita dengan MDS,
80% pada penderita dengan multiple myeloma dan 95% pada penderita dengan
rheumatoid arthritis dan gagal ginjal kronik 7.

Dari penelitian yang dilakukan pada penderita gagal ginjal kronik dengan
pemberian eritropoetin telah dilaporkan bahwa pada pasien yang mempunyai respon
baik terhadap eritropoetin terjadi penurunan nilai interleukin 6, interleukin 10,
interleukin 12,interferon γ, dan TNF α. 7
16

Penggunaan Klinik Epo pada ACD

Penyakit Pengobatan dengan EPO


1.Infeksi HIV Awal: 100IU/kgBB SC atau IV 3 x seminggu selama 8
minggu
Maintenance: 50-100 IU/kgBB tiap 4 minggu

2.Rheumatoid Arthritis Awal: 150 IU/kgBB 2 x seminggu


Maintenance: 240 IU/kgbb tiap minggu
3.Inflamatory bowel disease Awal: 150 IU/kgBB 2-3 x seminggu + besi oral atau IV
Maintenance: 150 IU/kgBB tiap minggu
4.Keganasan dengan Hb ≤ 10g/dL & serum Epo < 200 IU/L
kemoterapi Awal: 150 IU/kgBB 3 x seminggu selama 4 minggu
Dosis dipertahankan jika Hb ≥ 4 g/dL dalam 2 minggu
Maintenance: dosisi dipertahankan untuk menjaga Hb
sekitar 12g/dL

2.6.2.2 Transfusi darah

Transfusi darah digunakan secara luas untuk intervensi penanganan yang


cepat dan efektif. Transfusi sangat membantu penderita dalam hubungan dengan
anemia yang berat ( dimana kadar Hb kurang dari 8g/dL) atau anemia yang
mengancam kehidupan ( dimana kadar Hb kurang dari 6,5g/dL) terutama pada
keadaan yang lebih buruk dimana terjadi komplikasi perdarahan.

Transfusi hanya untuk perbaikan jangka pendek pada anemia berat yang
mengancam nyawa dan perlu dilakukan evaluasi cadangan besi. Potensi efek
immunomudulators yang merugikan dari transfusi darah masih diperdebatkan 7

2.6.2.3. Pemberian preparat besi

Pada anemia penyakit kronis absorbsi besi diusus halus sangat sedikit hal ini
terjadi karena penurunana regulasi penyerapan besi diduodenum oleh pengaruh
peningkatan hepcidin. Namun, pemberian preparat besi untuk penderita dengan
17

anemia penyakit kronis masih menjadi kontroversi. Suatu studi yang dilakukan
untuk memprediksi resiko bakteriemia pada pasien dengan hemodialisis yang
mendapat terapi besi parenteral menunjukkan bahwa pasien dengan saturasi
transferin diatas 20% dan nilai feritin lebih dari 100ng/ml mempunyai resiko yang
signifikan lebh tinggi untuk bakteriemia, hal ini terjadi karena bukti menunjukkan
bahwa besi mempunyai efek inhibisi pada fungsi imun seluler yang dapat
menurunkan down-regulation yang dimediasi oleh sitokin inflamasi. Namun
demikian, pemberian terapi besi (jangka panjang) dapat memicu terbentuknya toxic
hydroxyl radical yang dapat merusak jaringan dan meningkatkan resiko terjadinya
gangguan kardiovaskuler.Terlepas dari adanya pro dan kontra, sampai saat ini
pemberian preparat besi masih belum direkomendasikan diberikan pada anemia
penyakit kronis.7,10

2.6.2.4. Pemberian anti hepcidin antibodi


Cooke et al mengembangkan efektifitas antihepcidin antibodi manusia pada
binatang percobaan . suntikan tunggal anti hepcidin antibodi menaikkan Hb 1,5
mg/dL dalam 1 minggu. Metode yang paling efektif adalah kombinasi eritrhopoiesis
stimulating agents (ESA) dan anti hepcidin antibody yang menaikkan Hb 3g/dL
setelah 1 minggu. Pengobatan pasien anemia dengan anti-hHepc Ab 12B9m
manusia lebih praktis dan menggambarkan perawatan yang tepat pada anemia
penyakit kronis18.

BAB III
Kesimpulan

Anemia penyakit kronis adalah suatu keadaan aenmia yang terjadi pada
pasien yang menderita infeksi kronis, inflamasi kronik atau yang menderita suatu
keganasan, dimana keadaan ini terjadi berhubungan dengan aktivasi dari sitokin
inflamasi

Gambaran karakteristik dari anemia penyakit kronis meliputi penurunan


konsentrasi serum iron, total iron binding capacity dan saturasi transferin serta
konsentrasi serum transferin receptor yang normal

Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang memperlihatkan gambaran yang normal


18

Penurunan konsentrasi besi serum dan saturasi transferin menggambarkan


rangsangan inflamasi untuk menurunkan absorbsi besi oleh enterosit dan penurunan
pelepasan besi kedalam pasma oleh makrofag sehingga nantinya akan terjadi
penimbunan besi di dalam makrofag

Pada pasien dengan anemia penyakit kronis, nilai feritin dapat dijumpai
meningkat atau normal, hal ini menujukkan bahwa terjadi peningkatan cadangan
besi dan resistensi besi di dalam sistem retikuloendotelial, dimana hal ini karena
aktivasi dari sistim immun

Pengobatan penderita dengan anemia penyakit kronis ditujukan pada


penyebab yang mendasari anemianya dan terapi terhadap anemianya sendiri.

Terapi untuk anemia penyakit kronis terdiri dari :

1. Pemberian Human Recombinat Erytropetin


2. Pemberian komponen darah melalui transfusi
3. Pemberian preparat besi (masih kontroversial)
4. Pemberian anti hepcidin antibodi
19

Daftar Pustaka:

1. Bridges R. Kenneth, Pearson A. Howard, Anemias and other Red Cell


Disorders, Mc Graw Hill Medical, USA. 2005, P 64 – 66
2. M A. Rachmawati, Arief Mansyur Hardjono, Tes Anemia in Interpretasi hasil
tes laboratorium diagnostik, hal 29 – 68
3. Lawrence Tim Goodnough, M.D, Anemia of inflammation and chronic disease,
Publications produced by the NIDDK, Stanford University
4. Wians H Frank, Jr, PhD,E Jill . Urban, MD, Keffer H Joseph., MD, Kroft H
Steven, MD.Discriminating between iron deficiency anemia and anemia of
chronic disease using traditional indices of iron status vs transferin receptor
concentration
5. McPherson A. Richard, Pincus R. Matthews , Henry’s Clinical Diagnosis and
Management by Laboratory Medicine 21stEdition, P 511 – 512
6. Lichtman A. Marshall, Beutler Ernest, J.Kipps Thomas, Seligshon Uri,
Kaushansky Kenneth, Prchal T. Josef, Williams Hematology, 7 thEdition, P 565
– 569
7. Anemia of Chronic Disease, New England Journal of medicine, copyright
2005, Massahusetts medical society
8. Riadi Wirawan, kelainan metabolisme besi dan heme pada anemia in
pendidikan berkesinambungan patologi klinik 2012, hal 26 - 38
9. Harmening M. Denise in Clinical Hematology and Fundamentals of
Hemostasis, 4th Edition P 232 – 236
10. Sudoyo W Aru, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata K Marcellus, Siti
Setiati in Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 4, hal 641 642
11. Henrika Fify, peran transferin dalam diagnostik laboratorium in pendidikan
berkesinambungan patologi klinik 2012, hal 1 – 8
12. Bergamaschi Gaetano, Markopoulos Konstantinos, Riccardo Albertini, Di
Sabatino Antonio, Biagi Federico, Ciccocioppo Rachele, Arbustini Eloisa, Corazza
Roberto Gino in Anemia of chronic disease and defective erythropoietin
production in patients with celiac disease,journal hematologica, 2008
13. Sacher A. Ronald, McPherson A. Richard Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium, Edisi 11,Penerbit buku kedokteran EGC,2004 hal 70 -71
20

14. Barry D. Weiss, MD, Anemia of Chronic Disease,Elder care, A Resource for
Interprofessional Providers, College of Medicine, University of Arizona. 2010
15. Balducci Lodovico, Ershler William, Gaetano de Giovanni, Blood Disorders in
the Elderly, Cambridge university press. 2008. P 209 – 210
16. Agustriady Ommy, Suega Ketut, Hepcidin Pada Anemia Of Chronic Disease
17. Weiss Guenter, Gordeuk R. Victor, Hershko Chaim, Anemia of Chronic
Disease, P 127 – 137
18. Elizabeth Nemeth,annti hepcidin therapy for iron restricted anemias, blood
journal, volume 122, number 17, P 2929 – 2931
19. Greer P John, Foerster John, Lukens N John, Wintrobe’s clinical
hematology.Publisher : Lippincott Williams and Wilkins, 11 th Editon . 2003
20. Dr. ikram Nadeem, Prof. Hassan Khalid. Anemia of Chronic Disease.
Department of Pathology, Rawalpindi Medical College, Rawalpindi.
Department of Pathology, Islamabad Medical and dental College, Islamabad.
Hematology updates 2011
21

LAPORAN KASUS

Nama pasien : Darmaria Purba

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 27 tahun

Status perkawinan : Belum kawin

Suku / Bangsa : Batak / Indonesia

Pekerjaan : Penjahit

Alamat : Desa Pangkalan Tongah Pematang Raya

Anamnesa
Keluhan Utama : Mudah Lelah

Telaah : Hal ini sudah dialami os sejak 7 bulan yang lalu, os juga sering
mengalami demam, nyeri ulu hati, mual, nyeri tulang, Sesak
nafas (+)bila os berbaring dan sesak berkurang bila os duduk,
BAK (N), Rambut Rontok, Riwayat BAB berdarah (-), Riwayat
Gusi Berdarah (-), Lebam-lebam (-), Riwayat haid memanjang
(-),Riwayat kontak dengan bahan kimia (+), dimana os pernah
bekerja di Pabrik Triplek. Sebelumnya os juga pernah dirawat
di RSUD Djasarmen Saragih di P.Siantar, RS Tentara P.
Siantar oleh karena demam berdarah dan karena tidak ada
perbaikan kemudian dirujuk ke RS. Santa Elisabeth Medan dan
mendapat transfusi thrombosit sebanyak 2 bag, Namun karena
tidak ada perbaikan Juga kemudian os dirujuk di RSUP
H,Adam Malik Medan dan kemudian os mendapat transfusi
PRC sebanyak 1 bag.

RPT : Penyakit paru-paru


RPO : Tidak Jelas

Status Present :

Sensorium : CM

Tek. Darah : 120/ 80 mmHg Panc. Wajah : biasa Sikap Paksa :()

Nadi : 90 x / menit Anemis : (+ ) Refl. Fisiologis : (N)


22

T/ V cukup Icterus :(-) Refl. Patologis : (  )

Pernafasan : 32 x / menit Oedema :(-)

Temp.Tubuh : 37,2 OC Dyspnoe :(+)

Cyanosis :(+)

Pemeriksaan fisik

Kepala
Mata : Oedema ( - ) Konjunctiva palpebra pucat (+),Sklera Icterus (-).

Hidung : epistaksis ( - )

Mulut : Gusi bengkak ( - ) mudah berdarah ( - )

Wajah : Oedema (-) Hematoma (-) Purpura (-) Pucat (+),

butterfly phenomenon (-)

Leher : Perbesaran kel Lymph (-)

Thorax
Inspeksi : Simetris Kanan / Kiri ( + ) respiratory rate : 32 x / menit, reguler ( + )

petechie ( - ) Purpura ( - ) Ekimosis ( - ) Hematoma ( - )

Palpasi : Massa ( - ) Nyeri tekan ( - ) Pembesaran Kel. Limph ( - ) Ictus

jantung melebar (+)

Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru, Nyeri ketok ( - ), batas paru hati :

ICR V/VI

Paru-paru : Vesiculer menghilang di lapangan paru kiri bawah

Jantung : Heart Rate 90 x /menit, reguler, desah sistole ( - ) desah diastole (-)

Abdomen
Inspeksi : Ascites ( - ), pelebaran pembuluh vena ( - ) Spider nevi ( - )
ptechie (- ) purpura ( - ) Hematoma ( - )

Pembesaran kelenjar limph ( - )

Palpasi : Soepel (- ) Undulasi ( - ) .

Hepar : Tidak teraba


23

Limfa : Tidak teraba

Ginjal : Tidak teraba

Ekstremitas
Ekstremitas atas :
Inspeksi : Petechie ( - ) Purpura ( - ) Ekimosis ( - ) Hematoma ( - ) hyperemis ( - )

kulit pucat ( +), icterus ( - ) .

Palpasi : Pembesaran kelenjar limph axilla ( - ),massa bawah kulit (-)

Ekstremitas Bawah :

Inspeksi : Petechie ( - ), hematoma (-),purpura ( - ), ekimosis ( - ),

bengkak sendi ( - ) hyperemis ( - ),icterus ( - ).

Deformitas (-).

Palpasi : Pembesaran kelenjar limph Inguinal ( - ),


kelenjar limph bawah kulit ( - )

Ano genital : Tidak dijumpai kelainan

Diagnosa sementara: Pansitopenia ec: - Anemia aplastic

- Viral infection

+ Effusi Pleura Kiri

Anjuran : Darah Lengkap

Fungsi hati

Fungsi Ginjal

Asam urat

Dengue haemhoragic test (IgG/IgM)

Ferritin

Besi (Fe/Iron)

TIBC

CRP
24

Pemeriksaan laboratorium 16 Juli 2013


Hematologi

Hb : 6,20 g/dl ( 11,7 – 15,5 gr% )

Eritrosit : 2,41 x106/mm3 ( 4,20- 4,87 )

Leukosit : 1,86 x 103/mm3 ( 4,5 – 11x103/mm3)

Hematokrit : 18,70 % ( 38 – 44 %)

Trombosit : 60 x 103/mm3 ( 150 – 450x103/mm3)

MCV : 77,60 fl ( 85 – 95 fl )

MCH : 25,70 pg ( 28 – 32 pg )

MCHC : 33,20 g/dl ( 33 – 35 g/dl )


RDW : 16,66 % ( 11,6-14,8 )
Hitung Jenis:

- Netrofil : 77,9 % ( 37 – 80 )

- Lymphosit : 14,50 % ( 20 – 40 )

- Monosit : 6,50 % (2–8)

- Eosinofil : 1,10 % (1–6)

- Basofil : 0,00 % (0–1)

Morfologi

- Eritrosit : Normokrom normositer .

- Lekosit : bentuk normal, jumlah kurang

- Trombosit : bentuk normal, jumlah kurang

Kesan : Pansitopeni

Kimia Klinik
Glukosa Darah sewaktu : 85 mg/dL ( < 200 )

Ureum : 18,9 mg/dL ( <50 )


25

Kreatinin : 1,02 mg/dL ( 0,50 – 0,90 )

Natrium : 134 mEq/ ( 130 – 145 )

Kalium : 2,7 mEq (3,5 – 5,2 )

Klorida : 109 mEq ( 90 – 105 )

Pemeriksaan Radiologi

Thorax Dewasa PA : Kardiomegali + Effusi pleura Kiri

Pemeriksaan laboratorium 17 Juli 2013


Hematologi

Hb : 6,20 g/dl ( 11,7 – 15,5 gr% )

Eritrosit : 2,36 x106/mm3 ( 4,20- 4,87 )

Leukosit : 1,58 x 103/mm3 ( 4,5 – 11x103/mm3)

Hematokrit : 18,40 % ( 38 – 44 %)

Trombosit : 70 x 103/mm3 ( 150 – 450x103/mm3)

MCV : 78,00 fl ( 85 – 95 fl )

MCH : 26,30 pg ( 28 – 32 pg )

MCHC : 33,70 g/dl ( 33 – 35 g/dl )


RDW : 16,90 % ( 11,6-14,8 )
Hitung Jenis:

- Netrofil : 72,0 % ( 37 – 80 )

- Lymphosit : 22,0 % ( 20 – 40 )

- Monosit : 4,0 % (2–8)

- Eosinofil : 0,00 % (1–6)

- Basofil : 0,000 % (0–1)


26

Morfologi

- Eritrosit : Normokrom normositer .

- Lekosit : jumlah kurang, Band 2%

- Trombosit : bentuk normal, jumlah kurang

Kesan : Pansitopeni

Hemostasis :

Waktu Perdarahan : 3’ (<5)

Protrombin Time

- Kontrol : 12,90 detik


- Pasien : 13,1 detik
- INR : 1,02

APTT

- Kontrol : 31,9 detik


- Pasien : 63,2 detik
Trombin Time

- Kontrol : 16,5 detik


- Pasien : 23,4 detik

Fibrinogen : 189,0 ( 150 – 400 )

D-Dimer : 2911 ng/mL ( < 500 )

Feritin : > 1406,00 ng/mL ( Adult : 15 – 300 )

( Child : 15 – 240 )

Besi ( Fe/Iron ) : 25mg/dL ( 61 – 157 )

TIBC : 98 µg/dL ( 112 – 346 )

Kimia Klinik

Hati
27

Bilirubin Total : 0,24 mg/dL ( <1 )

Bilirubin Direk : 0,07 mg/dL ( 0 – 0,2 )

Fosfatase Alkali : 59 U/L ( 35 – 104 )

AST/SGOT : 47 U/L ( < 32 )

ALT/ SGPT : 18U/L ( < 31 )

Protein Total : 4,5 g/dL ( 6,4 – 8,3 )

Albumin : 1,7 g/dL ( 3,5 – 5,0 )

Globulin : 2,8 g/dL ( 2,6 – 3,6 )

Immunoserologi

Hepatitis B

HbsAg : Negatif ( Negatif )

Hepatitis C

Anti HCV : Negatif ( Negatif )

Virus

Anti DHF IgM : Negatif ( Negatif )

Anti DHF IgG : Positif ( Negatif )

Auto Immune

ANA test : 65 ( <20 )

Anti ds-DNA : 56 ( 0 – 200 )

Pemeriksaan laboratorium 22 Juli 2013


Hematologi

Hb : 7,80 g/dl ( 11,7 – 15,5 gr% )

Eritrosit : 2,96 x106/mm3 ( 4,20- 4,87 )

Leukosit : 4,85x 103/mm3 ( 4,5 – 11x103/mm3)


28

Hematokrit : 24,00 % ( 38 – 44 %)

Trombosit : 157 x 103/mm3 ( 150 – 450x103/mm3)

MCV : 81,00 fl ( 85 – 95 fl )

MCH : 26,40 pg ( 28 – 32 pg )

MCHC : 32,50 g/dl ( 33 – 35 g/dl )


RDW : 18,60 % ( 11,6-14,8 )
Hitung Jenis:

- Netrofil : 80,20 % ( 37 – 80 )

- Lymphosit : 13,40 % ( 20 – 40 )

- Monosit : 6,0 % (2–8)

- Eosinofil : 0,00 % (1–6)

- Basofil : 0,400 % (0–1)

Morfologi

- Eritrosit : Normokrom normositer .

- Lekosit : bentuk normal, jumlah cukup

- Trombosit : bentuk normal, jumlah cukup

Kesan : Anemi Normokrom Normositer

Hemostasis :

Waktu Perdarahan : 4’ (<5)

Kimia Klinik

Albumin : 1,7 g/dL ( 3,5 – 5,0 )

Pemeriksaan laboratorium 23 Juli 2013


Hematologi

Hb : 7,70 g/dl ( 11,7 – 15,5 gr% )

Eritrosit : 2,96 x106/mm3 ( 4,20- 4,87 )


29

Leukosit : 3,59 x 103/mm3 ( 4,5 – 11x103/mm3)

Hematokrit : 23,30 % ( 38 – 44 %)

Trombosit : 156 x 103/mm3 ( 150 – 450x103/mm3)

MCV : 78,70 fl ( 85 – 95 fl )

MCH : 26,00 pg ( 28 – 32 pg )

MCHC : 33,00 g/dl ( 33 – 35 g/dl )


RDW : 18,00 % ( 11,6-14,8 )
MPV : 12,40 fL ( 7,0 – 10,2 )

PCT : 0,19 %

PDW : 23,1 fL

LED : 45 mm/jam ( < 20 )

Hitung Jenis:

- Netrofil : 74,60 % ( 37 – 80 )

- Lymphosit : 15,60 % ( 20 – 40 )

- Monosit : 8,40 % (2–8)

- Eosinofil : 1,10 % (1–6)

- Basofil : 0,300 % (0–1)

Retikulosit : 1,38 % ( 0,2 – 2,5 )

Coombs test : Negatif ( Negatif )

Morfologi

- Eritrosit : Normokrom normositer .

- Lekosit : Bentuk Normal, jumlah kurang

- Trombosit : Big thrombosit (+), jumlah cukup

Kesan : Bisitopenia

Hemostasis :

Waktu Perdarahan : 3’ (<5)


30

Kimia Klinik

LDH : 1100 U/L ( 240 – 480 )

Asam Urat : 3,9 ( < 5,7 )

Immuno-serologi

RF : Negatif ( Negatif )

CRP : Positif

Hasil BMP

Sifat tulang pada punksi : Biasa


Gumpalan Sumsum Tlg : Cukup

Kepadatan Sumsum Tlg : Normoseluler

Megakariosit : Dijumpai, fragmen megakariosit (+)

Trombosit : Dijumpai,

Histiosit : Tidak dijumpai

Plasmosit : dijumpai

Seri Granulosi : Myeloblast 0,25 %, promyelosit 2,25 %, myelosit 9,75%,

Metamielosit 11,75 %, Netrofil stab 7,5 %,

segmen 28,25 %, Eosinofil 0,75 %, Basofil 0%,

Seri Eritroid : Rubriblast 1 %, Prorubrisit 1,25 %, Rubrisit 16,25 %

Metarubrisit 17 %

Seri Limfoid : Limfoblast 0,25 %, Prolimfosit 0 %, Limfosit 1,75 %

Plasmosit 0,25 %

Seri monosit : Monosit 1,75 %


31

HITUNG JENIS 400 SEL BERINTI

0–3 Stem Cell : 0 % 0–1 Limfoblast : 0,25 %

0–1 Myeloblast : 0,25 % 5 – 15 Limfosit : 1,75 %

1–5 Promyelosit : 2,25 % 0–1 Monoblast :0 %

2 – 10 Myelosit : 9,75 % 0 – 6 Monosit : 1,75 %

5 – 15 Metamyelosit : 11,75 % 0 – 1 Rubriblast :1 %

10 – 40 Netrofil Stab : 7,5 % 1 – 4 Prorubrisit : 1,25 %

10 – 30 Netrofil Segmen : 28,25 % 5 – 10 Rubrisit : 16,25%

0–3 Eosinofil : 0,75 % 10 – 20 Metarubrisit : 17 %

0–5 Basofil : 0 %

0–1 Plasmosit : 0,25 %

M : E ratio 2 : 1

Kesimpulan : Dari pemeriksaan darah tepi dijumpai Hb 7,70 g/dl, Lekosit 3,59 x10m 3,
Trombosit 156 x 103mm3. Feritin 1406 ng/mL, Besi 25 mg/dL,
98µg/dL LDH 1100 U/L, CRP kualitatif (+),

Kesan: Bisitopenia

Pada pemeriksaan BMP gumpalan sumsum tulang cukup,


kepadatan sumsum tulang normoseluler, megakaryocite dijumpai,

Hitung jenis sel pada BMP dalam batas normal

ME Ratio 2:1

Kesan : Anemi of Chronic Disease dengan gambaran sumsum tulang normal


32

Gambaran darah tepi

BMP: menunjukkan suatu gambaran normal marrow


33

BMP: menunjukkan suatu gambaran normal marrow

Anda mungkin juga menyukai