Anda di halaman 1dari 23

Gangguan Hematologi pada Lupus Eritematosus Sistemik

Nur Eviriani Pahisa, Endy Adnan*, Tutik Harjianti**


Divisi Reumatologi, Hematologi Onkologi Medik**
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

I. Pendahuluan

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun kompleks yang

banyak menyerang wanita muda dengan berbagai manifestasi pada tubuh manusia antara

lain pada kulit, ginjal, sistem saraf dan membran serosa.1

Umumnya LES lebih banyak menyerang wanita dibandingkan laki-laki dengan

rasio wanita banding pria adalah 12:1. Pasien dengan LES dapat mengenai segala umur

dengan insiden puncak umur 15-45 tahun, di Amerika serikat ras non kakusia lebih banyak

dibandingkan ras kulit putih juga pada wanita keturunan kulit hitam bila dibandingkan ras

kulit putih wanita kulit hitam 3-4 kali lebih banyak.2 Lupus eritematosus sistemik

merupakan prototipe dari gangguan autoimun yang dapat bermanifestasi dengan

melibatkan satu atau lebih banyak sistem organ dan manifestasinya bertambah dari waktu

ke waktu. Setiap jaringan dalam tubuh dapat terlibat dalam LES seperti muskuloskeletal,

kulit, ginjal, neurologis, vaskular, okular, paru, gastrointestinal, dan hematologi.3

Pada sebagian besar pasien LES, kelainan hematologi dapat berupa anemia,

trombositopenia dan leukopenia dapat terjadi selama perjalanan penyakit dengan tingkat

kejadian yang bervariasi. Keterlibatan hematologi sudah ada pada saat terdiagnosis atau

dapat terjadi setelahnya, disebabkan oleh penyakit atau dari pengobatan. 1 Banyak kasus

LES hadir dengan kelainan hematologi saja, tanpa terlibatnya organ lain. Dalam beberapa

kasus adanya anemia, trombositopenia, pansitopenia atau episode trombotik, terutama pada

1
wanita muda diagnosis bisa tertunda atau awalnya tidak terdiagnosis jika indeks kecurigaan

awal rendah atau tindak lanjut yang tidak memadai dan tidak tepat.3

Kriteria diagnosis LES dari ACR pada 1971 menyatakan bahwa leukopenia,

trombositopenia, dan anemia hemolitik merupakan kriteria individual untuk LES.

Sementara pada revisi tahun 1982 dinyatakan bahwa kelainan hematologi dikelompokkan

menjadi satu kelompok yang terdiri dari anemia hemolotik autoimun, leukopenia <4000/µl

pada dua kali atau lebih pemeriksaan, limfopenia <1500/µl tanpa pemberian obat. Pada

Carolina Lupus Study, dari 265 pasien LES yang didiagnosis antara 1995 sampai 1999,

frekuensi kelainan hematologi pada diagnosis awal adalah 11% anemia hemolitik, 18%

leukopenia, 21% limfopenia, dan 11% trombositopenia.4 Pada kriteria klasifikasi

EULAR/ACR 2019 masing-masing untuk leukopenia bernilai poin 3, trombositopenia 4

dan hemolisis autoimun bernilai 4. Manifestasi kelainan hematologik pada LES sering

ditemukan, manifestasi klinis kelainan hematologi pada lupus meliputi anemia,

trombositopenia, leukopenia, bisitopenia dan pansitopenia dari ringan sampai berat.

Kelainan hematologi ditemukan di antara 83-85% pasien pada saat didiagnosis LES dan

sebagian besarnya adalah anemia (63-77.5%).5

Manifestasi hematologi LES adalah anemia normositik normokromik, menandakan

anemia of chronic disease dan hemolisis.3,6 Hemolisis dapat terjadi dengan cepat dan berat

serta memerlukan terapi glukokortikoid dosis tinggi, yang mana efektif pada banyak

pasien. Leukopenia sebagian besar terdiri dari limfopenia bukan granulositopenia namun

jarang menjadi predisposisi infeksi dan biasanya tidak memerlukan terapi.

Trombositopenia menjadi masalah yang berulang. Jika jumlah trombosit >40.000/πL dan

perdarahan abnormal tidak ada, terapi mungkin dapat tidak diberikan. Terapi

2
glukokortikoid dosis tinggi (misalnya 1mg/kg perhari dari prednisone atau setara) biasanya

efektif untuk beberapa orang pada episode pertama trombositopenia berat. Anemia

hemolitik berulang atau kronik atau trombositopenia, atau penyakit yang membutuhkan

dosis tinggi glukokortikoid harian, dibutuhkan strategi tambahan dalam penangannya. 6

II. Anemia pada Sistemik Lupus Eritematosus

Anemia ditemukan sekitar 50% pada pasien LES, banyak mekanisme yang

berperan terhadap terjadinya anemia, termasuk peradangan, insufisiensi ginjal, blood loss,

insufisiensi diet, obat-obatan, hemolisis, infeksi, hipersplenisme, mielofibrosis,

mielodisplasia, dan anemia aplastik yang diduga patogenesisnya autoimun.7 Anemia

didefinisikan sebagai salah satu kelainan hematologik pada LES dengan kadar hemoglobin

(hb) <12 g/dL pada wanita dan < 13.5 g/dL pada laki-laki.5,8 Anemia dapat meningkatkan

morbiditas dan mortalitas pasien LES, hal ini akan menurunkan kualitas hidup pasien, jika

tidak diterapi dengan baik. Gagal ginjal, seroritis dan kejang, adalah beberapa komplikasi

pada keadaan anemia. Pengobatan yang tepat akan diberikan sesuai dengan etiologi dari

anemia.9

Causes of anemia in LES infection


Anemia of chronic disease
Hypersplenism
Uremia
Myelofibrosis Treatment induced
Blood loss:
Gastrointestinal loss
menorrhagia Nutritional Microangiopathic hemolysis:
deficiencies (iron, Immune mediated: hemolysis
(AIHA), red cell aplasia, aplastic disseminated intravascular
folate, vit. B12) coagulation, thrombotic
anemia, pernicious anemia
thrombocytopenic purpura

Gambar 1. Penyebab anemia pada LES7,8

3
II.1 Anemia yang Tidak Diperantarai Imun

II.1.1 Anemia Penyakit Kronik

Anemia penyakit kronik adalah gangguan hematologi yang banyak terjadi pada

LES dengan prevalensi 60% hingga 80%. Penyebab anemia pada LES adalah penekanan

eritropoiesis karena peradangan (anemia penyakit kronis atau anemia inflamasi kronis).

Jenis anemia ini adalah normositik normokrom dengan jumlah retikulosit yang relatif

rendah. Meskipun kadar serum besi dapat berkurang, namun penyimpanan besi di sum-

sum tulang adekuat dan konsentrasi serum feritin meningkat. Bila tidak ada gejala yang

berhubungan dengan anemia (misalnya dispnuea saat aktivitas, mudah lelah) atau

insufisiensi renal maka anemia inflamasi kronis tidak memerlukan pengobatan khusus. 7,8

Mekanisme anemia pada penyakit kronik sampai saat ini belum jelas. Hasil pada

beberapa penelitian patogenesis artritis rheumatoid mengindikasikan bahwa banyak faktor

yang terlibat seperti gangguan pelepasan besi oleh sistem fagositik mononuklear, besi

terikat dengan protein pengikat, penurunan respon eritropoietin, dan efek supresif

interleukin terhadap eritropoietis.4 Pada anemia penyakit kronis, sitokin merangsang

produksi protein hepsidin dari respon fase akut dan menghancurkan ferroportin yang

diproduksi oleh hepatosit. Akibatnya, besi tidak dapat diangkut keluar dari eritrosit dan

makrofag. Pada kondisi ini, meskipun besi dalam tubuh cukup, sum-sum tulang tetap

kekurangan zat besi.10

Fisiopatologi anemia yang terjadi pada LES yaitu sitokin dan sel LES mengubah

homeostasis besi; produksi eritropoietin abnormal; respon yang tidak memadai terhadap

sekresi eritropoietin menyebabkan kelainan progenitor eritroid dalam sel dan mengurangi

4
rentang umur eritrosit; hal ini disebabkan oleh efek toksik langung pada progenitor dengan

pembentukan radikal bebas seperti nitrat oksida (NO), dan anion superoksida (O 2).10,11

Perubahan sistem imun menentukan aktivasi limfosit T (CD3+) dan monosit,

diikuti oleh produksi sitokin seperti interleukin 1 (IL-1), interleukin 6 (IL-6), interleukin

10 (IL-10), tumor nekrosis alpha (TNFα) dan interferon gamma (IFNgamma), yang

merangsang penyimpanan besi dalam makrofag dan sintesis dari feritin, yang

menyebabkan penurunan ketersediaan besi untuk eritropoiesis. IFN-gamma, TNFα, dan

IL-1 memiliki efek penghambatan pada proliferasi dan diferensiasi dari progenitor ertiroid.

TNFα dan IFN-gamma menghambat eritropoietin di ginjal. Interleukin 6 dan IL-1

(bertanggung jawab terutama untuk manifestasi sistemik pada LES, termasuk anemia)

adalah sitokin pertama yang ditemukan, terlibat dalam merangsang sekresi hepsidin di

hati.9,10

Gambar 2. Mekanisme patofisiologi yang mendasari anemia penyakit kronik11

Pengobatan penyakit anemia kronis berdasarkan etiologi terdiri dari dua prinsip.

Pertama, anemia umumnya self-destructive, membutuhkan kompensasi peningkatan curah

5
jantung untuk mempertahankan pengiriman sistemik oksigen. Kedua, anemia dikaitkan

dengan prognosis yang lebih buruk sesuai penyakit yang mendasari.11

Pengobatan anemia pada pasien LES ditujukan pada proses penyakitnya, tidak

dianjurkan pemberian terapi besi atau intervensi spesifik lainnya,4 pada kasus dimana

mengobati penyakit dasarnya tidak bisa dilakukan, strategi alternatif diperlukan. 7,11

Tabel 1. Pilihan Terapi untuk Pengobatan Pasien Anemia Penyakit Kronis 11

Pengobatan Anemia Penyakit Dasar Anemia Penyakit Dasar dengan Defisiensi Besi

Pengobatan yang mendasari penyakit yes yes


Transfusi* yes yes
Suplemen Besi no yes≠
Agen eritropoietik yes± yes, pada pasien yang tidak mempunyai
respon dengan terapi besi

*untuk koreksi anemia jangka pendek yang parah atau mengancam jiwa. Efek imunomodulator yang berpotensi
merugian dari transfuse darah masih kontroversial
≠ meskipun terapi besi diindikasikan untuk koreksi anemia penyakit kronis yang berkaitan dengan defisiensi besi
absolut, tidak ada data studi perspektif yang tersedia tentang efek terapi zat besi pada perjalan penyakit yang mendasari
penyakit kronis.
±Koreksi berlebihan pada anemia (hemoglobin >12 g per desiliter) mungkin berpotensi berbahaya bagi pasien;
signifikansi klinis dari ekspresi reseptor eritropoietin pada sel tumor tertentu perlu diinvestigasi.

II.1.2 Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi tidak jarang terjadi pada LES, terutama antara remaja atau

wanita muda. Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Esin Beyan dan kawan-kawan

didapatkan kasus Anemia defisiensi besi terdiri dari 17% dan semuanya adalah usia

reproduktif. Namun, anemia defisiensi besi pada penelitian dan anemia terkait kekurangan

vitamin B12, yang di diagnosis pada beberapa kasus tidak secara langsung dikaitkan

dengan LES.12

Anemia dapat mencerminkan kehilangan darah akut atau kronis dari saluran

pencernaan, biasanya ditemukan pada pasien LES yang mendapat obat-obat anti inflamasi

atau steroid), atau mengalami menorrhagia, ditemukan penurunan penggunaan besi.

6
Radioaktivitas pada banyak organ berbeda dari normal, dengan peningkatan kadar

radioaktivitas pada limpa dan hati. Peningkatan jumlah besi yang diabsorpsi tidak

digunakan untuk sintesis hemoglobin melainkan untuk disimpan. Di lain pihak, turnover

besi plasma meningkat pada sebagian besar pasien. Usia eritrosit lebih pendek tanpa

adanya hemolisis.4,8,12

Anemia defisinesi besi didefinisikan sebagai kadar feritin <20µg/dL. Anemia

defisiensi besi disebabkan oleh kekurangan asupan, gangguan penyerapan zat besi,

perdarahan saluran cerna kronik akibat konsumsi kortikosteroid jangka panjang atau

OAINS. Penapisan sumber perdarahan perlu dievaluasi pada pasien LES dengan anemia

defisinesi besi. Anemia defisiensi besi dapat terjadi bersamaan dengan penyakit kronik

berdasarkan kadar feritin dimana diagnosis anemia defisinesi besi kurang memungkinkan

jika hasilnya >20 µg/dL. Soluble transferrin receptor (sTfR) dapat diperiksa untuk

membedakan antara anemia defisiensi murni dan yang disertai anemia penyakit kronik.

Indeks sTfR <1 menunjukkan defisiensi besi fungsional, sedangkan indeks >2

menunjukkan defisiensi besi pada anemia penyakit kronik.5,8

Tatalaksana anemia defisiensi besi adalah mencari sumber perdarahan dan

mengatasinya. Setelah perdarahan dapat ditanganai atau diekslusi, pemberian suplemen

besi oral atau intravena dapat dimulai. Pilihan terapi lain adalah obat peningkat

eritropoiesis, tetapi penggunaannya harus hati-hati karena sedikitnya informasi tentang

keamanan dan efek sampingnya. Jika diberikan obat ini, pasien harus diperiksa kadar

hemoglobinnya pada empat minggu setelah memulai terapi secara berkala. Pemberian obat

ini juga perlu diikuti dengan pemberian suplemen besi secara simultan.5,11

7
Tabel 2 Perbedaan Nilai Laboratorium antara Anemia Penyakit Kronik dan Anemia
Defisien Besi11
Variabel Anemia Penyakit Anemia Defisinesi Anemia Penyakit Kronik dan Anemia
Kronik Besi Defisiensi Besi

Besi Rendah Rendah Rendah


Transferin Rendah atau normal Tinggi Rendah
Saturasi transferin Rendah Rendah Rendah
sTfR Normal atau tinggi Rendah Rendah
Indeks reseptor Normal Tinggi Normal atau tinggi
Transferin/log feritin Rendah (<1) Tinggi (>2) Tinggi (>2)
Kadar sitokin tinggi Normal Rendah

II.1.3 Anemia Sel Sabit

Lupus eritematosus sistemik, merupakan penyakit kronis progresif, gangguan

autoimun yang mempengaruhi banyak sistem organ dengan berbagai manifestasi klinis dan

laboratorium. Penyakit sel sabit merupakan kelainan genetic yang mencakup anemia sel

sabit, hemoglobin sel sabit C, dan talasemia sel sabit. Anemia sel sabit memiliki kelainan

genetik atutosoma resesif yang ditandai oleh produksi hemoglobin S yang abnormal. 15

Insiden LES pada pasien dengan anemia sel sabit tidak diketahui, karena sebagian besar

studi yang diterbitkan adalah laporan kasus.

Manifetasi klinis untuk mendiagnosis anemia sel sabit pada penyakit LES sulit

untuk ditegakkan, karena manifestasi muskuloskeletal, sistem saraf pusat dan ginjal serupa

pada ke dua penyakit. Sekitar 20% dari anemia sel sabit memiliki antibodi ANA positif

dengan titer lebih besar dari 1/160.15,16 Diduga bahwa abnormalitas pada jalur alternatif

dari komplemen pada hemoglobinopati sel sabit dapat menjadi predisposisi untuk menjadi

kelainan kompleks imun, termasuk LES. Namun tidak ada bukti bahwa LES lebih sering

ditemukan pada pasien dengan hemoglobinopati sel sabit. 4

8
II.2 Anemia yang Diperantarai Imun

II.2.1 Anemia Hemolitik Autoimun

Anemia Hemolitik Autoimun (AHA) merupakan penyebab anemia pada 5-19%

pasien LES. Beberapa sindrom klinik terjadi masing-masing diperantarai oleh autoantibodi

(IgG atau IgM) yang berbeda yang menyerang sel darah merah. Akibatnya, sel darah merah

lebih cepat rusak sehingga jumlahnya berkurang pada sirkulasi. Anemia hemolitik

autoimun berkembang secara bertahap pada sebagian besar pasien, namun terkadang dapat

juga berkembang cepat sehingga terjadi krisis hemolitik yang progresif.4

Kriteria ACR dan SLICC mengenali AHA dengan retikulosis sebagai salah satu

kriteria klasifikasi LES, sedangkan kriteria SLICC juga termasuk tes coombs positif

sebagai kriteria, retikulosis adalah salah satu kriteria diagnostik untuk diagnosis AHA. 4,16,18

Patogenesis: Antibodi antieritrosit pada LES terutama tipe IgG hangat. Antibodi

aPL berhubungan dengan coombs positif pada anemia hemolitik dengan pasien SLE.

Antibodi aCL, IgG dan IgM, lebih sering terjadi pada pasien LES dengan AHA. Lang et

al, dalam perbandingan studinya, memberikan bukti yang menggambarkan peran antibodi

aCL pada AHA. Hubungan antara AHA pada pasien dengan LES dan spesifisitas antigen

belum dapat ditentukan.16

Diagnosis AHA dilakukan secara bertahap. Memastikan gambaran morfologi

anemia: AHA adalah anemia hemolitik yang ditandai dengan gambaran normositik atau

makrositik, haptoglobin serum rendah dan hitung retikulosit tinggi. Selain itu hasil

pemeriksaan lain berupa peningkatan enzim laktat dehydrogenase (LDH), bilirubin

indirek, dan urobilinogen urine dapat mengarah ke anemia hemolitik meskipun tidak

spesifik. Membedakan proses hemolisis: proses hemolisis dibedakan menjadi imun dan

9
non imun. Pemeriksaan direct antiglobulin test, seperti tes coombs positif menunjukan

adanya ikatan antibodi (IgG, IgA, IgM) dan atau komplemen (C3d, C3c) di permukaan

eritrosit yang pada konteks anemia hemolisis dapat menentukan diagnosis AHA dan

mengidentifikasi jenis antibodi penyebab hemolisis.4,5

Anemia hemolitik autoimun dibedakan menjadi dua kelompok utama, warm

antibody type dan cold antibody type, berdasarkan suhu optimal reaktivitas antibodi

antieritrosit terhadap antigen di permukaan eritrosis. Warm antibody diperantarai oleh

antibodi yang bereaksi terhadap antigen eritosit pada suhu 37ºC dan menyebabkan

hemolisis pada suhu yang sama. Sementara itu, cold antibody dimediasi IgM dan bereaksi

terhadap antigen eritrosit pada suhu 4ºC tetapi menyebabkan hemolisis pada suhu 37ºC.

sebagian besar pada pasien LES mengalami warm antibody type.4,5

Penurunan Haptoglobin
Langkah 1: Hemolitik Peningkatan hitung retikulosit
Peningkatan LDH dan bilirubin indirek

Langkah 2: Imun direc antiglobulin test (tes combs positif)

WA-AHA (IgG±C3d)
Langkah 3: tipe CA-AHA (C3d)
Antibodi Gabungan

Gambar 3 Bagan: Tahapan Diagnosis AHA

Pengobatan: Terapi lini pertama AHA adalah kortikosteroid, prednisone 1-1,5

mg/kg prednisone setiap hari, pemberian dosis terbagi. Selama pemberian obat, kadar

hemoglobin diharapkan naik dalam waktu tiga minggu. Kortikosteroid dosis tinggi

diberikan bila terjadi AHA berat atau Hb <8g/dL. Pada pasien yang responsif dengan

steroid, respon klinis akan terjadi dalam waktu satu minggu. Stabilisasi hematokrit terjadi

10
dalam 30-90 hari setelah terapi dimulai. Pasien dengan anemia hemolitik berat dan

progresif cepat dapat diberikan metilprednisolon 1 g IV selama 3 hari berturut-turut, diikuti

dengan dosis steroid konvesional. Hitung retikulosit dapat digunakan sebagai indikator

respon terapi dan untuk mendeteksi relaps saat dosis diturunkan. Hitung retikulosit yang

menurun drastis dihubungkan dengan relaps proses hemolitik. Pengobatan lainnya yang

telah dilakukan adalah pemberian azatioprin 2-2.5 mg/kg dikombinasikan dengan

prednisone 10-20 mg/hari pada pasien-pasien yang gagal dengan prednisone. Splenektomi

dilakukan pada pasien dengan AHA tipe hangat idiopatik yang membutuhkan dosis

pemeliharaan prednisone yang tinggi (20mg/hari atau lebih), pasien dengan relaps yang

sering atau yang menunjukkan efek samping yang serius degan terapi steroid. Transfusi,

sebaiknya transfusi darah dihindari, tidak hanya karena risiko penularan penyakit infeksi,

tetapi juga karena pengamatan menunjukkan adanya isoantibodi melawan sel darah merah

pada pasien LES. Pasien yang mendapat transfusi berulang dapat membentuk isoaglutinin

terhadap beberapa antigen eritrosit yang berbeda.4,5,7,16

III. Trombositopenia pada Sistemik Lupus Eritematosus

Trombositopenia didefinisikan dengan hitung trombosit <100.000/mm 3 (kriteria

ACR dan SLICC). Trombositopenia ditemukan pada 10,9-17,9% pasien LES.5,7,16 Sebuah

studi multisenter di Eropa melaporkan trombositopenia terjadi pada 13% pasien LES,

sementara di Asia menunjukkan yang lebih yaitu sekitar 30%. 4

Manifestasi klinis dari trombositopenia pada pasien LES secara umum serupa

dengan yang terlihat pada pasien ITP.

Patogenesis: Tiga mekanisme trombositopenia antara lain gangguan produksi di

sum-sum tulang, sekuestrasi limpa, dan destruksi trombosit yang cepat. Destruksi

11
trombosit di perifer diperantarai oleh antibodi antiplatelet. Sebagian besar pasien LES

dengan trombositopenia mengalami peningkatan kerusakan perifer yang dimediasi oleh

antibodi antiplatelet.5,16 Trombositopenia imun LES, salah satu bentuk primary immune

thrombocytopenic purpura (P-ITP), adalah manifestasi umum pada pasien LES yang

ditandai dengan hitung trombosit <100.000/mm3 tanpa penyebab lain. Pada kelainan ini,

autoantibodi antiplatelet mengikat dan menelan (fagosit) trombosit di limpa. Antibodi

antiplatelet ditemukan pada 60% pasien LES yang sebagian besarnya adalah IgG (60%).

Antigen dari antibodi antiplatelet antara lain glikoprotein IIb/IIIa (GpIIb/IIIa), glikoprotein

membrane (αllaβӠintegrin), glikoprotein Ia/IIa (GpIa/IIa), dan glikoprotein IbIX

(GPIbIX).5,16

Pengobatan, terapi spesifik trombositopenia imun LES serupa dengan ITP dan

diindikasikan untuk trombositopenia simtomatik dengan trombosit <30.000/mm 3. Terapi

lini pertamanya adalah kortikosteroid dosis tinggi dengan pilihan deksametason 40 mg PO

selama 4 hari setiap 2-4 minggu sebanyak 1-8 siklus atau metilprednisolon pulse 30

mg/kg/hari IV, atau prednisolone 0.5-2mg/kg/hari PO selama 2- 4 minggu. Pilihan terapi

berikutnya (dipertimbangkan jika tidak ada respons dengan terapi lini pertama atau terdapat

efek samping yang tidak ditoleransi) diantaranya: azatioprin 1-2 mg/kg (maksimal 150

mg/hari), siklofosfamid 1-2 mg/kg/hari PO selama minimal 5 hari atau 0.3-1 g/m2 IV

sebanyak 1-3 sosis setiap 2-4 minggu. Siklosporin A 4 mg/kg/hari selama 6 hari lalu

dilanjutkan 2.5-3 mg/kg/hari, danazol 200 mg 2-4 kali/hari, dapson, mofetil mikofenolat,

rituksimab, agonis reseptor trombopoietin (TPO), regimen alkaloid vinca dan IVIG serta

splenektomi yang menjadi pilihan terakhir dengan pertimbangan risiko infeksi yang

tinggi.4,5,16

12
III.1 Purpura Trombositopenik Trombotik

Kelainan ini merupakan kelainan yang jarang terjadi pada pasien LES, namun

merupakan komplikasi yang mengancam jiwa. Kelainan ini ditandai dengan demam,

disfungsi ginjal, anemia hemolitik, mikroangiopatik, trombositopenia, dan kelainan

neurologis.4

IV. Kelainan sel Darah Putih pada Sistemik Lupus Eritematosus

IV.1 Leukopenia

Merupakan salah satu ciri dari LES yang terjadi sebagai akibat dari limfopenia,

neutropenia atau kombinasi dari keduanya. Leukopenia terjadi pada sekitar 18-50% pada

pasien LES selama perjalanan penyakit.8 Leukopenia didefinisikan sebagai leukosit

<4000/mm3 pada minimal dua kali pemeriksaan (kriteria ACR) atau <4000/mm 3 pada

minimal satu kali pemeriksaan (kriteria SLICC). 5 Menurunnya surface expression dari

regulatori komplemen protein CD55 dan CD59 telah ditemukan pada leukopeni dengan

LES. Kekurangan protein ini menyebabkan sel menjadi rentan terhadap sistem komplemen

lisis.8

IV.2 Limfopenia

Limfopenia sering terjadi pada pasien LES dengan penyakit yang aktif dan

mempunyai arti patologis yang bermakna. Limfopenia dapat terjadi tanpa leukopenia .

penyebabnya mungkin karena adanya antibodi limfositotosik dan apoptosis limfosit. 4

Prevalensi dari limfopenia pada LES 20% sampai 81% dan derajatnya berkolerasi

dengan aktivitas penyakit. Keduanya T dan limfosit B menurun, sedangkan sel natural

killer meningkat.8 Limfopenia dapat berkembang pada stadium akut pada 84% pasien dan

dihubungkan dengan peningkatan sedimentation rate. Saat diagnosis, limfopenia

13
ditemukan pada 75% pasien, namun pada pemantauan selanjutnya beberapa pasien juga

mengalami limfopenia sehingga secara kumulatif 93% pasien mengalami limfopenia.

Limfosit absolut berkolerasi dengan aktivitas penyakit. Pasien dengan hitung limfosit

absolut kurang 1500 sel/mm3 pada saat diagnosis menunjukkan frekuensi demam,

poliartritis, dan keterlibatan susunan saraf pusat yang lebih tinggi, sementara prevalensi

trombositopenia dan anemia hemolitik lebih rendah. 4

Tatalaksana limfopenia adalah memperbaiki penyakit yang mendasari dengan

pemantauan ketat. Terapi spesifik berupa antibiotik profilaksis terhadap Pneumocystis

jireveci dapat dipertimbangkan untuk kasus limfopenia berat (≤350/mm 3) dengan profil

keamanan yang baik.

IV.3 Neutropenia

Neutropenia didefinisikan sebagai hitung neutrofil <1000 sel/mm 3. Prevalensi

neutropenia pada LES adalah 19-47%. Secara umum, penyebab neutropenia antara lain

proses autoimun, infeksi, atau iatrogenik (terapi imunosupresan azatioprin atau

siklofosfamid).5,13

Tiga mekanisme dari neutropenia pada LES adalah (1) peningkatan penghancuran

dari granulosit; (2) perubahan pada marginal dan splenic fool atau peningkatan marginasi;

dan (3) penurunan produksi sum-sum.13 Neutropenia dapat menjadi salah satu faktor yang

berkonstribusi terhadap komorbiditas infeksi pada LES. Infeksi berulang adalah satu-

satunya konsekuensi signifikan yang diketahui dari neutropenia. Tanda dan gejala dari

infeksi rubor, tumor, kalor dan dolor. Tanda dan gejala yang terjadi adalah infeksi, seperti

demam, kadang tidak ada gejala pada imunokompromise. 13 Neutropenia autoimun

berhubungan dengan antibodi antineutrofil sirkulatorik, sekuestrasi perifer, inhibisi sum-

14
sum tulang, dan apoptosis neutrofil. Penelitian terhadap serum pasien LES menunjukkan

peningkatan aktivitas antibodi IgG pada antineutrofil hingga 2-3 kali dibandingkan

normalnya. Ikatan antara antibodi dan neutrofil meningkatkan opsonisasi dan fagosit

neutrofil oleh sel fagositik lainnya. Penelitian juga mendapati bahwa pasien LES dengan

anti-Ro positif memiliki jumlah neutrofil lebih sedikit dibandingkan LES tanpa anti-Ro.

Antibodi anti-Ro/SSA diketahui berikatan dengan protein 60 kD di membrane neutrofil.

Inhibisi sum-sum tulang dapat diperantarai oleh sel T terhadap colony forming unit (CFU)

granulosit dan monosit. Selain itu, anti G-CSF IgG dan IgM menurunkan sensitivitas sel

myeloid terhadap G-CSF. Pasien LES juga mengalami peningkatan kadar TNF-related

apoptosis-inducing ligand (TRAIL) yang dapat merangsang apoptopsis neutrofil secara

berlebihan. Imunsupresan, keterlibatan sistem saraf pusat, dan trombositopenia merupakan

beberapa faktor risiko indepeden neutropenia pada LES.5,13

Tatalaksana neutropenia ringan adalah memperbaiki penyakit dasarnya dan

pemantauan ketat. Terapi spesifik berupa human recombinant G-CSF (100µg / hari selama

5 hari) dan metilprednisolon pulse 1g/hari IV selama 3 hari dapat dipertimbangkan pada

kasus neutropenia berat, mengancam nyawa, atau disertai infeksi oportunis. Terapi human

recombinant G-CSF dapat meningkatkan jumlah neutrofil dalam dua hari, tetapi juga

memicu kekambuhan gangguan hematologi pada beberapa pasien lainnya.5,13,16

IV. 4 Leukositosis

Penyebab leukosistosis (terutama granulositosis) pada LES adalah infeksi dan

imunosupresan dosis tinggi. Imunosupresan dapat menghambat adesi neutrofil ke sel

endotel. Gambaran pergeseran hitung jenis leukosit ke kiri menandakan adanya infeksi.

Tatalaksana leukositosis disesuaikan dengan penyebabnya. 5,7,8

15
V. Trombosis

Trombosis merupakan salah satu penyebab kematian pada LES selain akibat

penyakit LES aktif, infeksi dan keganasan. Sebuah studi kohort di Eropa pada 1000 pasien

LES melaporkan bahwa 12 dari 45 pasien pada 5 tahun pertama dan 6 dari 23 pasien pada

5 tahun berikutnya meninggal akibat trombosis. Yang dapat menjadi catatan bahwa

trombosis merupakan penyebab kematian utama pada LES setelah 5 tahun. 4 Trombosis

didefinisikan dengan hitung trombosit >400.000/mm3. Kelainan ini lebih jarang

dibandingkan trombositopenia dan berhubungan dengan LES aktif, reaktivitas terhadap

proses inflamasi lainnya, hiposplenisme, antibodi fosfolipid, atau sindrom antifosfolipid.

VI. Lupus Eritematosus Sistemik dan Sindrom Antifosfolipid

Antifosfolipid sindrome (APS) adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai

dengan trombosis vena dan arterial trombosis, sering multipel, dan morbiditas pada

kehamilan (aborsi, kematian janin, kelahiran prematur) karena adanya antibodi

antifosfolipid seperti lupus antikoagulan (LA), antibodi antikardiolipin (aCL), atau anti-

β2-glycoprotein-I antibodies (aβ2-GPI). Antifosfolipid dapat ditemukan pada pasien yang

tidak memiliki bukti klinis atau laboratorium dari kondisi spesifik (APS primer) atau yang

berhubungan dengan penyakit lainnnya terutama LES, tetapi kadang dengan kondisi

autoimun lainnya, infeksi, obat-obatan, dan malignansi.5,18 Trombosis pada pasien LES

hampir selalu dihubungkan dengan sindrom antibodi antifosfolipid. Kejadian trombotik

yang sering terjadi adalah strok, oklusi arteri koronaria, dan emboli pulmoner. 4,18

Manifestasi klinis, deep vein thrombosis dari ekstremitas bawah merupakan

manifestasi yang banyak dilaporkan pada sindroma ini. Selain itu trombosis vena juga

mempengaruhi organ lain seperti superfisial, pelvis, ginjal, pulmonari, hepatik, portal, vena

16
cava inferior, aksila, subklavia, dan vena okular, serta sinus serebral.19 Ciri khas lain dari

APS adalah morbiditas obstetrik. Sebagian besar termasuk manifestasi fetal kematian janin

dan kelahiran prematur. Pasien hamil dengan APS juga menderita pre eklampsia,

eklampsia, sindrom HELLP dan solusio plasenta. Manifestasi pada pasien APS dengan

LES, Graham Hughes pertama kali mendeskripsikan APS pada tahun 1983 dalam

kelompok pasien dengan LES yang memiliki LA dan gambaran klinis trombosis yang

berulang. Sekitar 40% pasien dengan LES memiliki aPL, tapi kurang lebih 40% dari LES

akan terjadi trombotik. Telah diperkirakan APS dapat berkembang hingga 50-60% pada

pasien dengan LES dan aPL. Disisi lain, hanya beberapa pasien dengan APS primer yang

menjadi LES namun ini terjadi dalam jangka waktu yang lama. 5,18

Diketahui bahwa LES terjadi pada wanita dengan perbandingan 9:1 perempuan:

laki-laki, dan umumnya terjadi pada usia subur, antara usia 15 dan 50 tahun. Pada projek

“Euro-Phospolipid” didominasi oleh perempuan (perempuan:laki-laki, 5:1) juga pada

pasien APS, namun lebih banyak pada pasien dengan LES (7:1), dibandingkan APS primer

(3.5:1).18

Kemungkinan adanya sindrom antifosfolipid pada pasien LES harus ditelusuri pada

pasien perempuan muda (kurang dari 40 tahun) yang mengalami strok, perempuan hamil

dengan keguguran berulang atau adanya riwayat trombosis vena. Pemeriksaan

laboratorium ditemukan antibodi antikardiolipin IgG dan IgM positif, atau antikoagulan

lupus positif, biasanya disertai dengan pemanjangan protrombin atau massa protrombin

teraktivasi.4

Kriteria klasifikasi pada APS mengacu pada kriteria yang dibuat di Sapporo (tahun

1999) dan direvisi pada pertemuan di Sydney (tahun 2006). Kriteria klasifikasi ini terdiri

17
dari indikator klinis dan laboratorium (pemeriksaan laboratorium pertama dilakukan

setidaknya 12 minggu dari kemunculan manifestasi klinis). Kriteria klinis, trombosis

vaskular terdapat satu atau lebih episode klinis trombosis arteri, vena atau pembuluh darah

kecil pada jaringan atau organ apapun.5,18

Trombosis harus dikonfirmasi dengan pencitraan atau pemeriksaan Doppler atau

histopatologi, kecuali apabila trombosis tanpa inflamasi pada dinding pembuluh darah.

Morbiditas pada kehamilan, satu atau lebih kematian yang tidak dapat dijeaskan pada fetus

dengan morfologi normal dan usia kehamilan lebih dari 10 minggu dibuktikan dengan

pemeriksaan USG atau dengan pemeriksaan langsungg janin, atau satu atau lebih kelahiran

prematur pada neonatus dengan morfologi normal berusia kurang dari 34 minggu akibat

eklampsia atau preeklampsia berat atau adanya insufisiensi plasenta. Tiga atau lebih

abortus spontan secara berurutan pada usia kehamilan kurang dari 10 minggu dan telah

dibuktikan tidak ada gangguan anatomi atau hormonal pada ibu serta penyebab

kromosomal ayah atau ibu.5,18

Kriteria laboratorium, antibodi antikardiolipin (aCL) IgG dalam serum atau plasma

dengan titer menengah atau tinggi (misalnya >40 GPL atau MPL, atau >99 persentil atau

rerata +3SD dari 40 kontrol pada subjek sehat) pada dua kali pengukuran atau lebih yang

berjarak 12 minggu dengan pemeriksaan standar enzyme linked immunosorbent assay

(ELISA). Antikoagulan lupus dalam plasma dua kali pengukuran atau lebih berjarak 12

minggu terdeteksi sesuai dengan pedoman internasional Society on Thrombosis and

Hemostasis (Scientific Subcommittee on Lupus Anticoagilants/ Phospolipid-Dependent

Antibodies). Antibodi anti β2 glikoprotein I (antibodi β2GP1) IgG dan/atau IgM dalam

18
serum atau plasma terdeteksi pada dua kali pengukuran atau lebih yang berjarak 12 minggu

dengan pemeriksaan ELISA standar.5,18,19

Tatalaksana, pasien LES dengan antibodi APL positif atau riwayat APS obstetrik

tanpa bukti trombosis disarankan pemberian aspirin dosis rendah sebagai profilaksis primer

dengan memperhatikan risiko perdarahan saluran cerna. Hidroksiklorokuin terbukti dapat

menurunkan risiko kejadian trombosis sebesar 1% pada pasien LES dengan APS sehingga

direkomendasikan pada pasien LES dengan APS. Faktor risiko kardiovaskular lainnya

seperti hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, obesitas dan merokok juga harus

dikendalikan. Trombositopenia pada APS umumnya ringan dan tidak memerlukan

intervensi khusus.5,18

Terapi APS dengan trombosis, pasien yang telah mengalami kejadian trombosis

memerlukan terapi antikoagulan jangka panjang karena kejadian trombosis dapat

meningkat setelah terapi dihentikan. Pasien APS dengan episode trombosis vena pertama

kali harus mendapat terapi antikoagulan oral dengan target INR 2.0-3.0, pada kasus dengan

trombosis berulang disarankan target INR lebih tinggi 3-4. Antagonis vitamin K (warfarin)

merupakan antikoagulan oral pilihan jangka panjang. Heparin LMWH atau unfractioned

heparin (UFH) diberikan pada kondisi berisiko tinggi, seperti kehamilan, persalinan,

perioperativ, APS katastropik, atau trombosis berulang yang sudah ditatalaksana dengan

antikoagulan oral. Pada APS katastropik heparin UFH lebih direkomendasikan. Dosis

pemberian heparin untuk pencegahan trombosis pada kondisi berisiko tinggi (perioperatif

dan postpartum) dapat diberikan enoksaparin 40 mg/ hari subkutan, sindrom antifosfolipid

trombotik dapat diberikan enoksaparin 1.5 mg/kg/bb/hari atau 1 mg/kgBB diberikan 2

kali/hari atau UFH 250 unit/kgBB subkutan diberikan 2 kali/hari, terapi alternatif pada

19
trombosis berulang yang sudah mendapat warfarin dosis terapeutik dapat diberikan

enoksaparin 5mg/kgBB/hari atau 1 mg/kgBB diberikan 2 kali/hari.5,18

Terapi APS pada kehamilan, pada pasien LES yang hamil dengan antibodi APL

positif tanpa riwayat keguguran diberikan aspirin dosis rendah (50-100mg/hari) sampai 6

minggu postpartum. Pada pasien LES yang hamil dengan APS, kombinasi UFH atau

LMWH dan aspirin diberikan untuk menurunkan risiko trombosis dan keguguran.

Pemberian dilakukan sampai 6 minggu postpartum, selanjutnya diberikan aspirin.

Pencegahan trombosis dan komplikasi kehamilan pada APS obstetrik ditatalaksana dengan

enoxaparin 40mg/hari atau UFH 5000 unit subkutan 2 kali/hari. Pada saat menjelang

persalinan, aspirin dihentikan tujuh hari sebelum persalinan, sedangkan heparin dihentikan

sesuai dengan waktu paruh heparin yang digunakan.5,18

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Teke Hava Uskudar, Dondu Uskudar Cansu, Cengiz Korkmaz. Detailed features of

hematological involvement and medication-induced cytopenia in systemic lupus

erythematosus patients: single center results of 221 patients. European Journal of

Rheumatology. 2017;4: 87-92

2. Demas L. Kristina, Karen H. Costenbader. Disparities in lupus care and outcomes.

Current Opinion in Rheumatology 2009, 21:102-109

3. PK Sasidharan, Bindiya M, Sajeeth Kumar KG. Systemic Lupus Erythematosus- A

Hematological Problem. J. Blood Disorders Trans 2013, 4:6

4. Djoerban Zubairi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Interna

Publishing FKUI; 2014. P:3392-3398

5. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus

Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia 2019.

6. Hahn Bevra Hannahs. Systemic Lupus erythematosus in Harrison’s Rheumatology 3rd

edition, Newyork: McGraw Hill; 2013. P: 68-83

7. Janoudi Nahid, Ekhlas Samir Bardisi. Haematological Manifestations in Systemic

Lupus Erythematosus. ResearchGate, March 2012

8. Bashal Fozya. Hematological Disorders in Patients with Systemic Lupus

Erythematosus. The Open Rheumatology Journal, 2013, volume 7, 87-95

9. Modjaningrat Ismiana Fatimah, Amaylia Oehadian, Mohammad Ghozali, et al.

Overview of Anemia among Systemic Lupus Erythematosus Patients in Reproductive

Age Women based on Reticulocyte Hemoglobin Equivalent (RET-He) Level and

Reticulocyte Count. Indonesian Journal of Rheumatology 2017; Vol 9 No. 2

21
10. Samohvalov Elena, Sergiu Samohvalov. The Pattern of Anemia in Lupus. Intech 2018

11. Weiss Guenter, Lawrence T. Goodnough. Anemia of Chronic Disease. The New

England Journal of Medicine 2005; 352: 1011-23

12. Beyan Esin, Cengiz Beyan, Mustafa Turan. Hematological Presentation in Systemic

Lupus Erythematosus and its Relationship with Disease Activity. Hematology, June

2007; 12(3): 257-261

13. Sufian Abul Bashar Mohammad Abu, M. A. Kashem, Sarmistha Biswas. Pattern of

Hematological Manifestatioons in Patients with Systemic Lupus Erythematosus

Attending in a Tertiary Care Hospital. Journal Medicine 2017; 18: 86-91

14. Minocha Vinay, Fauzia Rana. Lupus Nephritis in a Patient with Sickle Cell Disease.

Hindawi Publishing Corporation. Case Reports in Hematology. Volume 2013, Article

ID 907950, 4 pages.

15. Maamar Mouna, Zoubida Tazi-Mezalek, Hicham Harmouche, et al. Systemic Lupus

Erythematosus Associated with Sickle-cell Disease: A Case Report and Literature

Review. Journal of Medical Case Reports 2012, 6:366

16. Fayyaz Anum, Ann Igoe, Biji T kurien, et al. Haematological Manifestations of Lupus.

Lupus Science and Medicine 2015; 2:e000078

17. Rouf Abdur, Abdul Ahmad Mohammed Ryhan Uddin, Ehathesamul Hoque, et al.

Pattern of Hematological Manifestations in Patients with Systemic Lupus

Erythematosus Attending in a Tertiary Care Hospital. Chattagram Maa-O-Shishu

Hospital Medical College Journal. Volume 13, Issue 1, January 2014

22
18. Estel- Pons J. Guillermo, Laura Andreoli, Francesco Scanzi, et al. The

Antiphospholipid Syndrome in Patients with Systemic Lupus Erythematosus. Journal

of Autoimmunity xxx 2016, 1-11

19. Statkute Laisvyde, Ann Traynor, Yu Oyama, et al. Antiphospolipid Syndrome in

Patients with Systemic Lupus Erythematosus Treated by Autologous Hematopoietic

Stem Cell Transplantation. Blood, 15 Oktober 2005. Volume 106, Number 8

23

Anda mungkin juga menyukai