Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Anemia merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada penyakit keganasan.
Mekanismenya sangat kompleks, yaitu anemia dapat terjadi sebagai dampak langsung dari
penyakit keganasan atau akibat dari pengobatannya. Angka kejadian anemia pada pasien
dengan penyakit keganasan berkisar antara 35% hingga 95% bergantung pada jenis penyakit
keganasan dan regimen kemoterapi yang dipakai. Radioterapi dan kemoterapi seperti
cisplatin, etoposid, dan kombinasi dari siklofosfamid, metotreksat dan 5-fluorourasil terbukti
dapat menyebabkan anemia derajat sedang sampai berat, oleh sebab itu anemia pada pasien
keganasan sangat membutuhkan penanganan yang baik karena dapat mempengaruhi proses
pengobatan, dan kualitas hidup.

Anemia merupakan suatu gejala yang ditandai dengan rendahnya kadar hemoglobin
(Hb) dalam darah dibandingkan dengan nilai normal pada usia tertentu. Anak yang menderita
penyakit keganasan biasanya akan mengalami anemia (lebih dari 50%) yang terjadi karena
penyakit keganasannya sendiri atau disebabkan oleh terapinya. Jenis penyakit keganasan
pada anak sangat berbeda bila dibandingkan dengan pada orang dewasa. Mayoritas penyakit
keganasan pada orang dewasa adalah karsinoma sedangkan pada anak hampir dua pertiganya
adalah leukemia, limfoma dan tumor otak. Di Divisi Hematologi dan Onkologi Departemen
Ilmu Kesehatan Anak RSCM, sejak tahun 1998-2004 telah tercatat 590 orang pasien dengan
penyakit keganasan dengan tiga penyakit keganasan tersering yaitu leukemia (54%),
retinoblastoma (13%) dan limfoma (10%). Anemia yang berhubungan dengan penyakit
keganasan disebabkan banyak faktor dan salah satunya adalah akibat metastasis tumor ke
sumsum tulang, dan bila tidak ditangani akan berdampak meningkatnya mortalitas dan
efektifitas terapi. Dengan banyaknya anak dengan penyakit keganasan yang bertahan hidup
dan dengan berkembangnya terapi baru, maka anemia menjadi tantangan dalam pengobatan
penyakit keganasan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian dan Epidemiologi Anemia Malignancy
2. Etiologi dan Patofisiologi Anemia Malignancy
3. Tata laksana anemia pada penyakit keganasan
4. Anemia sebagai Konsekuensi dari Kanker
5. Perubahan Produksi Sel Red Terkait dengan Peradangan dan Keganasan
6. Eritroid sumsum Respon untuk Epo
7. Pengobatan AI/Keganasan

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian, epidemiologi, etiologi dan patofisiologi dari anemia
mallignancy
2. Untuk mengetahui sel yang berperan dalam anemia malignancy
3. Untuk mengetahui cara pegobatan anaemia malignancy
BAB II

ISI

A. PENGERTIAN ANEMIA MALIGNANCY (KEGANASAN)

Anemia adalah suatu komplikasi yang sering terjadi pada penderita berbagai jenis
penyakit radang, termasuk kanker. Dalam mekanisme yang telah menangkap sebagian besar
perhatian mencakup perubahan yang sitokin baik di produksi serta di respon terhadap
erythropoietin (Epo), serta perubahan penting dalam metabolisme besi. Terakhir adalah
disebabkan oleh hormon peptida, hepcidin. Ketersediaan Epo manusia rekombinan dan
Derivativesnya (dikenal dengan kelas sebagai erythropoietic Stimulating Agen, ESA).

Tabel 1. Mekanisme berkontribusi terhadap anemia inflamasi / keganasan.

1. Perubahan sitokindimediasi
 Penurunan produksi erythropoietin (EPO)
 Penurunan respon progenitor eritroid untuk EPO
 Perubahan metabolisme besi (defisiensi zat besi relatif)
2. Efek myelosuppressive dari kemoterapi
 Supresi produksi Epo
 Penekanan langsung dari fungsi sumsum
3. Blood Loose
4. Kekurangan nutrisi
5. Hemolisis
 Obat-induced
 Mikroangiopati
 Autoimun

Anemia yang berhubungan dengan penyakit keganasan disebabkan banyak faktor dan
salah satunya adalah akibat metastasis tumor ke sumsum tulang, dan bila tidak ditangani akan
berdampak meningkatnya mortalitas dan efektifitas terapi. Dengan banyaknya anak dengan
penyakit keganasan yang bertahan hidup dan dengan berkembangnya terapi baru, maka
anemia menjadi tantangan dalam pengobatan penyakit keganasan.
Sebuah normositik, anemia normokromik umum pasien dengan berbagai gangguan
inflamasi, termasuk keganasan, dan ada banyak faktor yang berkontribusi (Tabel
1). Bentuk yang paling umum dari anemia terlihat pada pasien dengan kanker atau keganasan
hematologi hasil dari un-derproduction sel-merah anemia hypoproliferative.

1. Anemia Hypoproliferative ditandai dengan rendah Indeks produksi retikulosit dan tidak
adanya sumsum eritroid hiperplasia meskipun signifikan, anemia persisten (Hemoglobin
<10g/dL). Mekanisme yang mengarah pada anemia termasuk gangguan produksi
erythropoietin (EPO), respon gangguan sumsum erythroid untuk Epo, eritropoiesis besi
terbatas (yang dengan sendirinya merusak eritroid pro-liferation) dan kolam berkurang
sel Epo-responsif. Umumnya, anemia kronis yang berhubungan dengan kanker dicirikan
oleh produksi EPO yang tidak memadai Epo untuk diberikan kepada
hemoglobin/hematokrit serta tidak memadai adanya tanggapan kembali dari sumsum
erythroid untuk endogen EPO.
2. Di Selain itu, ada gangguan pelepasan besi dari toko sebagai Hasil peningkatan produksi
hepcidin.

B. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian anemia pada penyakit keganasan bervariasi bergantung pada jenis
penyakit keganasan, stadium dan lamanya penyakit yang diderita, regimen terapi yang
dipakai , dan ada tidaknya infeksi. Lebih dari lima puluh persen pasien dengan penyakit
keganasan akan mengalami anemia. Penelitian di Belgia, melaporkan 79% pasien dengan
penyakit keganasan mengalami anemia, dan membuktikan bahwa anemia setelah kemoterapi
terjadi pada 90% pasien leukemia dan 69% pasien tumor padat. Sitostatik yang dapat
menyebabkan anemia adalah cisplatin, karboplatin, etoposid, doxorubisin dan 5-fluorourasil.
Terapi radiasi juga dapat meningkatkan angka kejadian anemia pada penyakit keganasan, dari
48% sebelum terapi radiasi menjadi 57% sesudah terapi.

Di Divisi Hematologi dan Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM belum
ada data mengenai angka kejadian anemia pada penyakit keganasan yang dihubungkan
dengan jenis penyakit keganasan, stadium penyakit, dan regimen yang dipakai. Namun dari
46 kasus penyakit keganasan yang dirawat pada periode Maret 2004 – Juni 2004 yang terdiri
dari 20 orang pasien leukemia dan 26 orang pasien tumor padat, didapatkan 75% pasien
leukemia dan 57% pasien tumor padat mempunyai Hb kurang dari 10 g/dL.
C. ETIOLOGI

Penyebab anemia pada penyakit keganasan bersifat multifaktorial, Tabel 1


memperlihatkan beberapa etiologi anemia pada pasien dengan keganasan.

Pada penyakit keganasan, anemia terjadi akibat hipoplasi sumsum tulang yang akan
terlihat dari penurunan jumlah retikulosit. Nilai MCV (mean corpuscular volume) dapat
digunakan untuk mem-perkirakan etiologi anemia. Peningkatan nilai MCV menggambarkan
suatu defisiensi nutrisi seperti vitamin B12 dan asam folat atau efek kemoterapi seperti
metotreksat atau hidroksiurea. Penurunan nilai MCV umumnya menunjukkan defisiensi besi
atau anemia karena keadaan inflamasi kronik. Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang dapat
membantu untuk mengevaluasi anemia dengan karena hipoplasi sumsum tulang, serta
membuktikan kurangnya produksi besi atau adanya maturasi megaloblastik. Pemeriksaan ini
juga dapat mengungkapkan adanya atropi lemak serous, hemo-fagositosis, aplasia eritrosit,
mielodisplasia, limfoma, leukemia dan anemia sideroblastik.

Tabel 1. Etiologi Anemia pada Pasien Keganasan

 Kehilangan darah
 Perdarahan, flebotomi iatrogenik
 Defisiensi nutrisi
 Besi, folat, vitamin B12
 Agent kemoterapeutik
 Immune mediated
 Hemolisis, aplasia eritrosit, hemofagositosis
 Metastasis sumsum tulang
 Mielofibrosis
 Nekrosis sumsum tulang
 Hemolisis mikroangiopati
 Tumor, koagulasi intravaskular diseminata, obat-obatan
 Hipersplenisme
 Infeksi
 Inflamasi

D. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi terjadinya anemia terbagi menjadi dua mekanisme yaitu anemia sebagai
akibat efek langsung dari penyakit keganasan dan anemia sebagai akibat terapi pengobatan
sitostatik dan radioterapi.
1. Anemia sebagai akibat efek langsung dari penyakit keganasan

Patogenesis anemia penyakit (Gambar 1) merupakan interaksi antara sel tumor


dengan sistem imun pejamu yang mendorong pengaturan inflamasi sitokin spesifik seperti
interleukin-1 (IL-1), interferon gamma (IFN-γ) dan faktor nekrosis tumor (TNF-α).
Peningkatan kadar sitokin ini akan menekan progenitor eritroid burst-forming unit
erythroid(BFU-E) dan colony-forming unit erythroid (CFU-E) di sumsum tulang,
mengganggu metabolisme besi dan mengurangi produksi eritropoietin (EPO). Kerusakan
ginjal termasuk disfungsi renal oleh zat yang nefrotoksik akan menurunkan respons
eritropoietin (EPO) terhadap anemia terutama saat pemberian kemoterapi. Umur eritrosit
menjadi pendek sedangkan jumlah produksi sel yang baru tidak dapat mengkompensasi. Hal
inilah yang akan menyebab-kan anemia. Perdarahan tumor juga akan menambah berat
anemia.Tumor padat yang bermetastasis ke sumsum tulang sering menimbulkan anemia.
Metastasis merusak sel progenitor, sel-sel sumsum tulang dan menurunkan produksi faktor
pertumbuhan.17 Penelitian di Korea mendapatkan penekanan sumsum tulang pada 53%
pasien leukemia dan 78% pasien tumor padat.
Gambar 1. Patofisiologi anemia pada penyakit keganasan.

Beberapa jenis tumor yang bermetastasis ke sumsum tulang adalah histiositosis sel
langerhans (Letterer-Siwe disease), neuroblastoma, limfoma nonhodgkin, limfoma hodgkin,
retinoblastoma, dan rabdomiosarkoma.

2. Anemia akibat dari terapi penyakit keganasan

Kemoterapi atau radioterapi dapat menyebabkan terjadinya anemia dan pengulangan


siklus kedua terapi ini secara kumulatif akan merusak eritropoiesis. Walaupun sebagian besar
sitostatik mempunyai efek penekanan proliferasi sel pada umumnya di sumsum tulang, ada
beberapa kemoterapi yang mempunyai target eritropoiesis. Sitostatik yang mengandung
platinum (cisplatin dan karboplatin) merupakan penyebab tersering terjadinya komplikasi
anemia sedang sampai berat, hal ini disebabkan efek toksik sitostatika tersebut pada sel renal.
Cisplatin bersifat nefrotoksik terutama pada sel endotel kapiler peritubular yang
menghasilkan eritropoietin. Sekitar 61% pasien yang mendapat cisplatin dan 49% yang
mendapat karboplatin akan mengalami anemia. Selain itu kombinasi dari siklofosfamid,
metotreksat dan 5-fluorourasil dapat merusak sel induk sehingga dapat menyebabkan
terjadinya anemia sedang.

Corazza F dari Belgia membuktikan 90% pasien leukemia dan 69% pasien tumor
ganas yang mendapat terapi cisplatin mengalami anemia. Hal ini dapat dilihat dari kadar Hb
sebelum tranfusi, jumlah tranfusi yang diberikan, dan turunnya kadar Hb per hari (Tabel 2).

Penyakit keganasan yang mendapatkan gabungan terapi berupa radioterapi dan


kemoterapi, akan meningkatkan jumlah transfusi terutama pada pasien yang mendapatkan
cisplatin. Status oksigenisasi sel berhubungan erat dengan respons radioterapi terhadap
tumor. Tumor yang mengalami hipoksia memerlukan dosis radiasi 2,8-3 kali lebih besar dan
bahkan dapat terjadi kegagalan radiasi dibandingkan dengan tumor dengan kadar oksigen
normal. Kemampuan radioterapi dalam eradikasi sel ganas sangat bergantung pada kadar
molekul oksigen dalam tumor, karena oksigen merupakan suatu radio sensitizer penting
dalam penghancuran DNA sel ganas. Radioterapi membentuk radikal bebas dari molekul
oksigen dan menerobos sampai DNA tumor sehingga menyebabkan sel tumor mati.

Hubungan Hb dengan distribusi oksigen ke jaringan merupakan hal yang penting


untuk menentukan hasil pengobatan penyakit keganasan, baik dengan kemoterapi atau
dengan radioterapi. Penelitian di New York mendapatkan 48% pasien dengan anemia (kadar
Hb<12 g/dL) menjadi bertambah anemi (57%) pada akhir radioterapi.

E. MASALAH YANG TIMBUL AKIBAT ANEMIA


1. Kelelahan dan menurunnya kualitas hidup

Kelelahan merupakan keluhan utama pasien dengan anemia pada penyakit keganasan
yang prevalensinya cukup tinggi yaitu bervariasi antara 70% sampai 90%. Kelelahan
mempunyai dampak yang besar pada kualitas hidup pasien, diantaranya lemah, lesu, tidak
berenergi, dan kesulitan dalam memulai atau menyelesaikan pekerjaan.

2. Meningkatnya mortalitas

Secara umum adanya anemia pada pasien kanker akan meningkatkan mortalitas
sebanyak 65%. Anemia pada pasien dengan karsinoma otak dan leher meningkatkan risiko
mortalitas menjadi 75%, sedangkan pada pasien limfoma 67%.

3. Menurunkan efektifitas terapi

Hipoksia pada tumor merupakan salah satu masalah dalam terapi keganasan, selain
membuat tumor menjadi resisten terhadap radioterapi dan beberapa kemoterapi (seperti
siklofosfamid dan karboplatin); hipoksia juga merangsang kinetik proliferasi, posisi siklus sel
dan jumlah sel tumor yang berakumulasi pada fase G (fase histo-patologi) sehingga terjadi
perubahan ekspresi gen ke arah perubahan proteome. Perubahan ini mengatur banyaknya sel
yang akan dihancurkan oleh radiasi atau kemoterapi. Bila hipoksia pada tumor tidak
diperbaiki maka akan terjadi proliferasi sel yang lambat, berhentinya siklus sel dan
peningkatan jumlah sel pada fase G. Hal ini menyebabkan tumor menjadi resisten terhadap
radioterapi dan kemoterapi. Selain itu, hipoksia tumor yang terus menerus akan
meningkatkan progresifitas dan agresifitas penyakit keganasan melalui clonal selectiondan
perubahan gen. Akibatnya diferensiasi dan apoptosis sel berhenti, angiogenesis menjadi
kacau, penyebaran metastasis ke locoregional meningkat yang selanjutnya akan
meningkatkan resistensi terapi dan memperburuk prognosis jangka panjang.

F. TATA LAKSANA ANEMIA PADA PENYAKIT KEGANASAN

Terapi anemia berdasarkan etiologi akan memberikan hasil yang optimal bagi pasien.
Berikut ini adalah tata laksana anemia pada penyakit keganasan berdasarkan penyebabnya.

1. Suplementasi

Bila ditemukan keadaan defisiensi berupa defisiensibesi, folat atau vitamin B12. maka
perlu diberikan suplementasi. Suplemen besi dibutuhkan sebagai terapi kombinasi dengan
recombinant human eritro-poietin (rHuEPO) agar lebih efektif dan efisien dalam
mengkoreksi Hb. Pemberian secara oral lebih disukai walaupun menyebabkan efek samping
berupa rasa mual. Pemberian secara intravena selain tidak nyaman dan mahal, juga dapat
terjadi reaksi anafilaksis.

2. Transfusi eritrosit

Transfusi eritrosit diberikan untuk memenuhi kebutuhan oksigen yaitu pada kasus
anemia akut setelah perdarahan, anemia kronik yang tidak responsif dengan suplementasi
besi dan pada pasien dengan anemia yang berat. Jumlah eritrosit yang dapat diberikan
sebanyak 10-15 mL per kg berat badan dalam empat jam. Pada anak dengan nilai Hb < 5 g/
dL sebaiknya diberikan 4 mL per kg berat badan per kali, dalam empat jam, diselingi
pemberian diuretik untuk mencegah terjadinyaoverload.

3. Recombinant human eritropoietin (rHuEPO)

Salah satu kemajuan yang sangat penting dalam terapi anemia adalah adanya
rHuEPO, yang telah digunakan sejak tahun 1980. Pemberian rHuEPO dapat meningkatkan
eritrosit dan nilai Hb sehingga dapat mengurangi pemberian transfusi darah, mengurangi
gejala kelelahan dan meningkatkan kualitas hidup. Terapi ini juga terbukti aman, efek
samping minimaldan dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh. Sekitar 50%-60% pasien yang
diobati dengan satu siklus pemberian rHuEPO dalam meningkatkan kadar Hb sekitar 2 g/dL.

National Comprehensive Cancer Network merekomendasikan pemberian rHuEPO


pada pasien dengan kadar Hb kurang dari 11 g/dL. Sedangkan The America Society of
Clinical Oncology dan The America Society of Hematology merekomendasikan pemberian
rHuEPO pada pasien dengan nilai Hb=10 g/dL. Dosis rHuEPO yang direkomendasikan oleh
ketiga institusi tersebut adalah 150 U/kg yang diberikan subkutan tiga kali seminggu,
minimal selama empat minggu sebagai dosis awal. Bila dengan dosis awal tidak memberikan
respon yang baik, dosis dapat diting-katkan menjadi 300 U/kg dengan dosis maksimal 40.000
U /minggu. Yang diberikan subkutan tiga kali seminggu selama empat minggu kemudian.

Dalam sebuah penelitian metaanalisis didapatkan 22 buah randomized controlled


trials (RCT) yang melaporkan adanya peningkatan rerata Hb dari 8,6 g/dL menjadi 13,0
g/dL. Beberapa penelitian RCT mendapatkan hal yang sama.

G. ANEMIA SEBAGAI KONSEKUENSI DARI KANKER

Pentingnya anemia pada pasien kanker telah dipelajari secara ekstensif. Studi yang
lebih tua digunakan transfusi sel darah merah kebutuhan sebagai indikator anemia yang
signifikan. Sebagai contoh, studi sering dikutip oleh Skillings et al 9 menunjukkan bahwa di
pasien dengan keganasan, hanya sekitar 19%, secara keseluruhan, menerima transfusi darah
untuk anemia. Namun, 78% dari pasien dengan leukemia dalam studi yang diperlukan
transfusi sel darah merah. Pada pasien dengan tumor padat, orang-orang dengan kanker paru-
paru memiliki frekuensi tertinggi transfusi. Yang menarik, pasien dengan kanker paru-paru
yang ditransfusikan pada tingkat hemo-globin yang relatif tinggi; ini disebabkan mereka
umumnya pada usia yang lebih tua serta kemungkinan lebih tinggi dari penyakit pulmonary
bersamaan. Akhirnya, ada correlation jelas dan bertahap antara jumlah pasien yang
ditransfusi saat dipisahkan oleh tingkat hemoglobin awal sebelum kemoterapi terapi. Dalam
penelitian tersebut, ke-8 pasien yang hemoglobin baseline kurang dari 8,0 g/dL diperlukan
transfusi, sementara hanya 8% dari pasien yang hemoglobin adalah ≥12.0g/dL diperlukan
transfusi.

Hasil ini dapat dibandingkan dengan persyaratan transfusi ulang yang pasien dalam
sidang multicenter berbasis AS dari pengobatan EPO untuk pasien dengan anemia kanker.
Di studi asli, 28% dari lebih dari 300 pasien dengan berbagai non-myeloid transfusi
keganasan diperlukan selama 1 sampai 2 bulan sebelum memasuki studi. Dalam bulan
pertama penelitian, sebelum efek penuh dari terapi EPO terlihat, persentase pasien yang
membutuhkan transfusi naik menjadi 44% pada kelompok yang menerima kemoterapi terapi
berbasis cisplatin dan tetap di 26% pada pasien yang menerima non-cisplatin berbasis terapi.
Penelitian telah menunjukkan bahwa obat berbasis platinum, dalam dan dari diri mereka
sendiri, mengurangi produksi EPO oleh ginjal dengan cara yang berkorelasi dengan disfungsi
tubular obat.

H. PERUBAHAN PRODUKSI SEL RED TERKAIT DENGAN PERADANGAN DAN


KEGANASAN

Fitur yang paling umum dari keganasan terkait anemia adalah fitur dari AI. Fitur-fitur
ini lebih rendah dari perkiraan tingkat sirkulasi EPO dalam menanggapi anemia, perubahan
dalam metabolisme zat besi, dan tumpul respon sel progenitor eritroid untuk EPO semua
contributing ke anemia hypoproliferative. Kunci untuk memahami mekanisme sekitarnya
perubahan ini terletak pada perubahan dalam produksi sitokin proinflamasi several, termasuk
interleukin (IL) -1, IL-6, tumor necrosis factor alpha (TNF), yang interferon (IFN) dan
hepcidin. Sitokin ini diproduksi oleh monocytes, makrofag penduduk, limfosit T, sumsum
tulang sel stroma, sel-sel hati, dan jaringan lainnya.

I. PRODUKSI EPO

Sebuah sistem yang berguna untuk studi regulasi Epo pro-duksi telah baris sel
hepatoma, seperti HEPG2 atau HEP3B, yang, saat terkena hipoksia, meningkatkan produksi
EPO melalui mekanisme transkripsi dan translasi. Dengan menggunakan sistem tersebut,
Faquin et al menunjukkan bahwa ketika sel-sel HEP3B terkena hipoksia dalam presence dari
IL-1, akan terjadi peningkatan EPO mRNA expression dan pelepasan immunoreactive Epo ke
dalam media culture yang tumpul. Hasil yang sama yang diperoleh dengan TNF. Ini bukanlah
efek toksik pada sel karena sel-sel HEP3B menanggapi kombinasi IL-1 dan IL-6 dengan
meningkatkan tingkat Epo mRNA. Degree dari penindasan EPO mRNA tergantung pada
konsentrasi IL-1 ditambahkan ke budaya. Para pekerja ini tidak hanya tergantung konsentrasi
menunjukkan sitokin penekanan akumulasi Epo mRNA tetapi juga tersedia hirarki efek dari
berbagai sitokin dengan IL-1β menjadi lebih penekan dari IL-1α and TNF. Jelkmann et Al
telah tiba pada kesimpulan yang sama dengan menunjukkan bahwa IL-1 mengurangi
produksi EPO oleh ginjal tikus perfusi. Salah satu keunggulan dari keganasan terkait anemia
adalah penurunan tingkat EPO endogen dengan hormat dengan tingkat anemia. Korelasi
terbalik yang diharapkan menjadi-tween tingkat EPO endogen, yang diukur dengan
immunoas katakanlah, hilang di lebih dari 70 pasien dewasa dengan keganasan dari berbagai
jenis, termasuk keganasan hematologi. Di Sebaliknya, pasien dengan besi tanpa komplikasi
defisiensi anemia menunjukkan peningkatan tingkat sirkulasi EPO yang berbanding terbalik
dengan penurunan hemoglobin. Laboratorium dan klinis hasil ini telah menyebabkan
Keyakinan saat produksi EPO tumpul di pasien dewasa dengan keganasan dengan
peningkatan produksi sitokin proinflamasi, yang mengganggu upregulation hipoksia
diinduksi ekspresi gen EPO. Hal ini mungkin tidak benar dalam segala situasi setidaknya
sejak satu laporan menunjukkan bahwa respon gangguan untuk endogen EPO bukan
gangguan produksi EPO dapat mencirikan bisa terkait cer anemia pada anak-anak.

J. ERITROID SUMSUM RESPON UNTUK EPO

Banyak yang telah belajar tentang pengaruh berbagai sitokin inflammatory pada
respon sumsum erythroid untuk EPO. Studi-studi ini telah dilakukan baik secara in vitro dan
in vivo dan telah mengidentifikasi sejumlah berinteraksi mekanisme yang mungkin
berkontribusi terhadap sifat hypoproliferative dari AI. Beberapa yang paling awal penelitian
yang digunakan sumsum tulang sel disedot dari pasien anemia dengan infeksi penyakit
seperti tuberkulosis atau histoplasmosis. ketika tulang sumsum sel patuh dipisahkan dari tidak
patuh sel, dan sel-sel yang tidak patuh ditempatkan ke semipadat menengah dengan EPO, ada
peningkatan yang ditandai dalam jumlah koloni erythroid (dari eritroid pembentuk koloni sel
[CFU-E]) diamati bila dibandingkan dengan budaya Sel-sel sumsum tulang tak terpecah.
Ketika sel-sel adherent ini sama (paling makrofag mungkin) ditambahkan kembali ke budaya
sel yang tidak patuh, erythroid koloni pertumbuhan ditekan secara tergantung banyaknya sel.
Significance, ketika sel-sel patuh dipisahkan dari sumsum pasien non-anemia yang memiliki
inflamasi penyakit ganas, tidak ada peningkatan koloni erythroid pertumbuhan, dan ketika
sel-sel penganut yang digabungkan dalam budaya dengan sel yang tidak patuh, tidak ada
penindasan Pertumbuhan koloni diamati.

Gambar 1. Pengaruh IL-6, IL-1α, dan hipoksia diinduksi erythropoietin tingkat (Epo) mRNA
TNF-αon. sel Hep3B diinkubasi di bawah normoxic (21% O2) atau hipoksia (1% O2) kondisi
ada atau tidak adanya berbagai sitokin, seperti yang ditunjukkan. Aktin sebagai kontrol.
Sebagai tambahan, jumlah EPO diproduksi oleh sel-sel ditentukan di menduplikasi oleh RIA
seperti yang ditunjukkan.

Temuan serupa dengan ini dilaporkan oleh Roodman et al. Peneliti ini menemukan
bahwa pengangkatan sel adherent dari jumlah sumsum tulang mengakibatkan peningkatan
pembentukan koloni erythroid jika sumber sumsum adalah pasien dengan anemia dan
penyakit inflamasi kronis atau malignancy. Berbeda dengan studi Zanjani et al. Namun, ada
itu tidak ada efek penghambatan alogenik terlihat ketika pemeluk sel dari pasien anemia
ditempatkan ke kultur dengan sel yang tidak patuh dari mata pelajaran nonanemia. Juga,
dikondisikan oleh sel-sel yang patuh dari pasien anemia tidak konsisten dalam
kemampuannya untuk menekan erythroid yang normal pembentukan koloni. Namun
demikian, ini mengatur panggung untuk identifikasi faktor larut yang dirilis oleh
monocytes/makrofag dalam kondisi peradangan.

Dua garis penyelidikan telah memberikan wawasan ke dalam proses. Pertama, in vitro
studi oleh Broxmeyer et al dan Means menunjukkan kompleksitas faktor di tempat kerja.
Dalam studi sebelumnya, kelompok yang terakhir menunjukkan bahwa penambahan berbagai
sitokin untuk budaya baik manusia atau murine Sel-sel sumsum tulang menghasilkan
tergantung konsentrasi penekanan pembentukan erythroid koloni.

Efeknya kemungkinan karena aksi pro-apoptosis dari sitokin pada sel. Sel-sel
progenitor yang paling sensitif di bawah ini Kondisi yang CFU-E yang bertentangan dengan
yang lebih primitif eritroid sel meledak pembentuk (BFU-E). Bahwa ini bukan efek toksik
sitokin tertentu pada sel-sel progenitor adalah ditunjukkan oleh pemulihan pertumbuhan
koloni erythroid penuh oleh penambahan konsentrasi tinggi dengan budaya. Demikian pula,
Johnson et al menunjukkan bahwa in vivo administrasi IL-1 untuk tikus mengakibatkan
suppression selektif jumlah CFU-E di sumsum tulang dan limpa. Sekali lagi, penekanan ini
bisa diatasi oleh administrasi hampir simultan EPO dengan binatang. Yang menarik, 48 jam
setelah IL-1 administrasi, ada peningkatan yang ditandai dalam jumlah limpa dan sumsum
BFU-E, granulosit / makrofag koloni-sel pembentuk (GM-CFC), G-CFC dan megakaryocytic
(Meg) -CFC.

Johnson dan rekan kerja pengamatan serupa yang dibuat pada tikus kronis terkena
TNF. Dalam studi ini, nude tikus disuntik dengan sel hamster ovarium Cina yang telah
transfected dengan gen TNF manusia. sel-sel ini menghasilkan tingkat tinggi TNF konstitutif.
dalam
hewan, ada penekanan yang mendalam tentang numbers dari sumsum dan limpa BFU-E dan
CFU-E. Dalam contrast, sumsum dan limpa GM-CFC dan dicampur-sel CFC tidak
terpengaruh.
Sarana dan Krantz memberikan defi-nisi bahkan lebih halus dari jaringan sitokin yang
mungkin terlibat dalam AI. Melalui serangkaian percobaan dimulai dengan sel-sel sumsum
manusia un fraksinasi, peneliti ini menunjukkan bahwa untuk IL-1 untuk menekan eritroid
koloni forma-tion, sel aksesori harus hadir, dan itu adalah acces-sory sel yang dirilis gamma
interferon (γIFN) dalam menanggapi untuk IL-1. Penindasan ini in vitro eritropoiesis adalah
reversibel dengan penambahan konsentrasi tinggi Epo untuk sistem budaya. Sebaliknya, TNF
ditunjukkan untuk menekan di eritropoiesis vitro dengan merangsang pelepasan βIFN dari sel
stroma sumsum. Efek penekanan ini bisa tidak diatasi dengan eksogen Epo. Demikian pula,
αIFN adalah terbukti tidak menekan eritropoiesis langsung, tetapi, lebih tepatnya, untuk
merangsang pelepasan belum menjadi molekul ditentukan dari subset limfosit T. Efek ini
juga tidak reversibel oleh EPO.

Akhirnya, Dallalio et al melaporkan bahwa hepcidin, sendiri dapat menghambat


pembentukan koloni erythroid dalam budaya di Kehadiran konsentrasi Epo rendah. Hasil in
vitro dan praklinis hewan pejantanies menemukan dukungan dalam studi Papadaki et al.
Dalam dua
laporan terkait, peneliti ini menunjukkan bahwa loCally diproduksi TNFαwas terkait dengan
mengurangi numbers progenitor eritroid di sumsum tulang dari pasien dengan rheumatoid
arthritis aktif, dan bahwa jangka panjang budaya sumsum dari pasien gagal untuk mendukung
generasi CFC. Mekanisme hilangnya sel erythroid meningkat apoptosis.

Ketika studi tindak lanjut dilakukan, baik in vitro atau setelah pasien diobati dengan
infliximab, antibodi terhadap TNF, banyak cacat selular yang terbalik, dan pasien di
setidaknya sebagian dikoreksi anemia mereka. TNFαis hanya satu dari sitokin yang terlibat
dalam jaringan yang kompleks dari respon peradangan dan cedera jaringan pada manusia.
Dengan demikian, presence peningkatan konsentrasi sitokin ini, baik sistemik atau lokal,
dapat memiliki klinis yang signifikan efek pada eritropoiesis. Temuan ini, diambil bersama-
sama, menunjukkan penekanan sitokin specific eritropoiesis yang adalah reversibel oleh EPO
dalam beberapa kasus, tetapi tidak semua. Sebagai studi ini diperiksa secara retrospektif,
menjadi jelas mengapa dosis EPO rekombinan manusia yang diperlukan untuk correct
anemia keganasan lebih tinggi dari dosis EPO diperlukan untuk memperbaiki anemia gagal
ginjal kronis. Ini Temuan mungkin juga menjelaskan mengapa subset dari pasien dengan
keganasan terkait anemia tidak menanggapi dosis dari Epo manusia rekombinan yang
digunakan dalam uji klinis ini adalah esensial.

K. PERUBAHAN METABOLISME IRON (BESI)


Karakteristik dari AI adalah pengurangan tingkat zat besi serum. Ini dimediasi oleh
hepcidin, 25-amino acid hormon polypep-pasang yang merupakan pusat perdagangan besi. Di
utama, hepcidin dilepaskan oleh hati dan beredar untuk berinteraksi dengan reseptor seluler,
yang besi saluran ekspor ferroportin, untuk memblokir pelepasan besi dari sel-sel seperti
jaringan macroph-usia dan enterosit jejunum. Namun, hepcidin juga diproduksi di murine dan
human monosit. Dalam monosit murine, produksi hepcidin meningkat dalam menanggapi
bakteri patogen dalam tol seperti reseptor 4 (TLR-4) dengan cara -tergantung.
Jalur ini adalah dis-tinct dari jalur yang mengatur produksi hepcidin di hati murine.
produksi hepcidin diregulasi pada manusia monosit oleh IL-6 dan lipopolisakarida dan dapat
bertindak dalam mode autokrin untuk downregulate ekspresi ferroportin dan, dengan
demikian, ekspor besi dari sel-sel penyimpanan. Efek bersih dari hepcidin, apakah bertindak
melalui mekanisme autokrin atau melalui sirkulasi, adalah perangkap-ping dari besi dalam sel
besi penyimpanan dan blok di penyerapan zat besi dari usus. Hal ini menyebabkan
pengurangan tingkat zat besi serum dan persentase transferin Saturation. Akibatnya, ada
eritropoiesis besi terbatas dan, jika berat, bahkan produksi mikrositik, hipokromik sel merah.
Konsekuensi ini adalah penumpukan bertahap besi di sel-sel sistem retikuloendotelial dan
kenaikan feritin serum.
Peningkatan feritin serum sebenarnya memiliki dua komponen mencerminkan
peningkatan simpanan zat besi dan dalam menanggapi proses inflamasi umum, itu sendiri,
karena feritin merupakan reaktan fase akut. Hal ini terlihat baik oleh Elin et al beberapa tahun
yang lalu. Dengan memberikan injeksi tunggal endotoksin bakteri atau demam Inducing
steroid etiocholanolone untuk relawan normal, ini pekerja menunjukkan penurunan cepat
dalam besi serum dan peningkatan feritin serum. Efek berlangsung hingga 10 hari.
Pengecualian untuk gambaran klinis yang lebih umum mungkin menjadi kasus peradangan
pada anak-anak, di mana permintaan untuk besi untuk mendukung hasil pertumbuhan
kekurangan zat besi yang benar.
Anemia dapat menanggapi besi eksogen meskipun sedang berlangsung diflammation.
Ini menggambarkan sistemik onset remaja kronis arthritis, yang ditandai oleh tingginya
tingkat sirkulasi IL-6, mengurangi produksi besi pada sumsum, sesuai tingkat circulating
EPO dan koreksi anemia dengan besi lentur mentation. Para penulis studi ini tepat
menyimpulkan bahwa fenotipe klinis AI mungkin karena jenis sitokin (s) dirilis dalam
menanggapi peradangan.
Dalam hati, hepcidin ekspresi gen diatur melalui setidaknya dua jalur. Salah satu jalur
tergantung ketersediaan besi dan melibatkan sinyal dari sur-wajah hepatosit melalui
kompleks reseptor BMP. Kompleks sinyal ini juga melibatkan protein seperti hemojuvelin
itu, ketika bermutasi, yang berhubungan dengan besi sindrom kelebihan pada manusia seperti
remaja hemochromatosis. Kemungkinan jalur ini yang juga melibatkan Hfe, yang gen paling
sering bermutasi dalam keturunan hemochromaTosis, dan TFR-2 (transferin reseptor-2).
Sebuah jalur yang diakui kedua yang mengatur ekspresi gen hepcidin adalah IL-6-
dimediasi inflammatory signaling jalur. IL-6 langsung meregulasi ekspresi gen hepcidin.
Kedua jalur tersebut, besi toko/ketersediaan dan IL-6-dimediasi jalur re-tanggapan inflamasi,
datang bersama-sama melalui Smad 4. Baru-baru ini, dan berkaitan dengan penggunaan agen
erythropoietik stimulating (ESA) untuk mengobati AI, laporan dari administrasi EPO
downregulating gen hepcidin mantan pression dalam hati tikus utuh.
Hipoksia dan anemia pada hewan utuh diketahui downregulate hepcidin.
Ketika Epo disuntikkan ke C57BL/6 tikus selama 3 hari, analisis Northern blot dari hati
untuk hepcidin mRNA hampir tidak menunjukkan transkrip 24 jam setelah Epo terakhir
injeksi. Demikian pula, Pinto et al baru-baru ini melaporkan yang Epo menengahi ekspresi
gen hepcidin di terisolasi hepatosit murine dan garis sel hepatoma manusia HepG2 melalui
reseptor Epo sinyal dan melibatkan faktor transkripsi C/EBPα.

L. PENGOBATAN AL/KEGANASAN
Bila mungkin, pendekatan terbaik untuk pengobatan AI adalah pengobatan yang
efektif dari kondisi yang mendasarinya. Bagaimana pernah, yang sering tidak mungkin,
terutama dengan kronis penyakit yang tidak selalu dapat disembuhkan, seperti ginjal kronis
Kegagalan pada pasien dapat dipindahkan atau pasien dengan kanker tidak dapat
disembuhkan. Dalam contoh terakhir, pasien yang menjalani kemoterapi sangat rentan, dan
Diperkirakan lebih dari 50% akan memerlukan satu atau lebih transfusi sel darah merah
sebelum mereka menyelesaikan pengobatan. ESA memiliki telah tersedia untuk pengobatan
kemoterapi-induksi anemia selama 15 tahun, dan penggunaannya telah berubah lanskap
untuk pasien tersebut.
Awal studi dengan ESA difokuskan pada transfusi menghindari-Ance dan itu titik
akhir klinis yang obat disetujui. Target hemoglobin biasanya di 10 sampai 11 g/dL berbagai,
dan insert paket yang disetujui FDA tercermin itu. Ikuti, terbuka label dan berbasis
masyarakat uji berfokus pada kualitas hidup, dan sejumlah dari mereka demonstrated itu,
dengan meningkatnya hemoglobin, ada terus peningkatan kualitas hidup, dengan terbesar
melaporkan kenaikan datang antara 11 dan 12 g/dL. Bagaimana pernah, satu percobaan AS
yang acak dan buta menunjukkan peningkatan hemoglobin dan pengurangan dalam
persyaratan transfusi, tetapi gagal mencapai statistik arti penting bagi peningkatan kualitas
hidup.
Dalam contrast, sidang oleh Littlewood et al, yang juga percobaan double-buta ran-
domized, memang menunjukkan signifikan diperbaik kualitas hidup bagi pasien yang
menerima ESA. Penelitian tersebut juga memiliki hasil berharap menyarankan
meningkatkan kelangsungan hidup pasien, meskipun hasilnya tidak
signifikan secara statistik (P = 0,13; log rank test).
Ini mengatur panggung untuk uji coba lain yang memiliki kelangsungan hidup ata
perkembangan penyakit sebagai titik akhir primer, yang adequately bertenaga, dan terlibat
pasien dengan jenis tumor spesifik. dosis tinggi ESA digunakan untuk menaikkan
hemoglobin ke tingkat hampir normal. Sidang pertama, di kepala dan Kanker leher, menguji
hipotesis bahwa dengan normalisasi hemoglobin, oksigenasi jaringan yang lebih baik akan
tercapai dan tumor akan lebih rentan terhadap terapi radiasi.
Bahkan, hasilnya adalah sebaliknya, dengan kontrol loco-daerah miskin dan miskin bebas
perkembangan kelangsungan hidup dan kelangsungan hidup secara keseluruhan.
Meskipun studi ini memiliki banyak masalah (Tidak sedikit yang merupakan
hemoglobin yang sangat tinggi dicapai pada beberapa pasien), hasilnya fokus perhatian
pada uji coba lain yang sudah berlangsung. Sebagai hasil dari cobaan lainnya menjadi
tersedia, kekhawatiran untuk keselamatan ESA dalam mengobati anemia kanker dan kanker
kemoterapi tumbuh. Baik kelangsungan hidup lebih rendah atau bebas perkembangan kali
kelangsungan hidup lebih pendek kini telah dilaporkan di sejumlah uji coba menggunakan
ESA di kepala dan kanker leher, kanker paru-paru dan kanker payudara (Dan diringkas oleh
Bennett et al) Ini mempunyai menyebabkan peringatan saat FDA-mandat 'kotak hitam' pada
paket menyisipkan untuk semua anggota kelas ESA. Pada saat yang sama bahwa uji coba ini
sedang ditinjau, uji coba lain yang dilakukan untuk melihat efek dari besi parenteral kenyal-
jiwa pada keberhasilan mencapai tanggapan hema-tologic (didefinisikan sebagai ≥2g
peningkatan/dL pada hemo-globin selama periode 16 minggu atau mencapai hemoglobin 12
g/dL).
Penggunaan besi parenteral telah terbukti berulang kali untuk meningkatkan
konsentrasi hemoglobin sementara reduc-ing persyaratan dosis ESA pada pasien dengan
ginjal kronis penyakit. Yang pertama meyakinkan menunjukkan efek positif. Besi parenteral
pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi adalah Auerbach et al. Namun, populasi
dipilih dalam cluded banyak pasien dengan anemia defisiensi besi yang benar. Henry et al
melaporkan hasil positif serupa. Baru saja, tiga penelitian di Eropa telah muncul yang dengan
jelas didemonstrasikan efek menguntungkan dari pemberian suplemen besi parenteral saat
memberikan ESA untuk pasien dengan malas gangguan limfoproliferatif atau dalam
pengaturan kemo-terapi terkait anemia. Dalam setiap kasus, target hemo-globin dicapai
dalam persentase yang lebih besar dari pasien dan dalam waktu yang lebih singkat pada
mereka yang menerima besi dibandingkan dengan mereka pada kelompok kontrol. Dua studi
terakhir yang dipublikasikan secara bersamaan bersama dengan editorial oleh Auerbach
menyarankan intravena yang besi harus menjadi bagian rutin dari manajemen anemia
chemotherapy diinduksi pada pasien kanker.
Tidak ada keraguan bahwa menyediakan besi tambahan parenteral meningkatkan
respon terhadap ESA dalam berbagai pengaturan di mana AI membutuhkan perawatan,
apakah atau tidak diasosiasikan dengan kemoterapi. Tapi itu tidak menjawab pertanyaan
Critical apakah mengurangi dosis ESA dibutuhkanuntuk mencapai target hemoglobin tertentu
akan menghilangkan risiko, baik yang nyata maupun dirasakan, terkait dengan penggunaan
agen ini. Akibatnya, dengan begitu banyak pembatasan baru-baru ini dalam penggunaan ESA
untuk mengelola anemia pada pasien kanker kemoterapi terapi diobati, dan tanpa mengetahui
apakah ada efek samping jangka panjang dari penggunaan besi parenteral pada pasien ini,
masih terlalu dini untuk mempromosikan pedoman.
Pada saat ini, FDA merekomendasikan membatasi menggunakan ESA untuk pasien
yang menerima kemoterapi, yang hemoglobin turun di bawah 10 g/dL (dan yang, oleh karena
itu, mungkin memerlukan transfusi sel darah merah) dan yang tidak menjadi
diperlakukan dengan maksud kuratif. Apa yang masih harus ditentukan
adalah apakah atau tidak penggunaan setiap ESA dibandingkan transfusi support pada
populasi pasien ini mengarah ke hasil yang berbeda.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Anemia adalah suatu komplikasi yang sering terjadi pada penderita berbagai jenis
penyakit radang, termasuk kanker. Dalam mekanisme yang telah menangkap sebagian besar
perhatian mencakup perubahan yang sitokin baik di produksi serta di respon terhadap
erythropoietin (Epo), serta perubahan penting dalam metabolisme besi. Terakhir adalah
disebabkan oleh hormon peptida, hepcidin. Ketersediaan Epo manusia rekombinan dan
Derivativesnya (dikenal dengan kelas sebagai erythropoietic Stimulating Agen, ESA).
Penggunaan besi parenteral telah terbukti berulang kali untuk meningkatkan
konsentrasi hemoglobin sementara reducing persyaratan dosis ESA pada pasien dengan ginjal
kronis penyakit. Yang pertama meyakinkan menunjukkan efek positif. Besi parenteral pada
pasien kanker yang menjalani kemoterapi adalah Auerbach et al. Namun, populasi dipilih
dalam cluded banyak pasien dengan anemia defisiensi besi yang benar. Henry et al
melaporkan hasil positif serupa. Baru saja, tiga penelitian di Eropa telah muncul yang dengan
jelas didemonstrasikan efek menguntungkan dari pemberian suplemen besi parenteral saat
memberikan ESA untuk pasien dengan malas gangguan limfoproliferatif atau dalam
pengaturan kemo-terapi terkait anemia. Dalam setiap kasus, target hemo-globin dicapai
dalam persentase yang lebih besar dari pasien dan dalam waktu yang lebih singkat pada
mereka yang menerima besi dibandingkan dengan mereka pada kelompok kontrol. Dua studi
terakhir yang dipublikasikan secara bersamaan bersama dengan editorial oleh Auerbach
menyarankan intravena yang besi harus menjadi bagian rutin dari manajemen anemia
chemotherapy diinduksi pada pasien kanker.

B. SARAN
Sebaiknya dikenali sejak dini gejala anemia maligancy agar tidak menjadi parah
sehingga cepat ditangani dan diobati oleh dokter ahli anemia malignancy.
DAFTAR PUSTAKA

Abrahamian FM, Wilke E. Anemia, chronic.

www.emedicine.com.

Frenkel EP, Bick RL, Rutherford CJ. Anemia of malig-nancy. Hematol Oncol Clin North Am
1996;10:861-73.

Gordon MS. Managing anemia in the cancer patient:

old problems, future solutions. Oncologist 2002;7:331-41.

Moliterno AR, Spivak JL. Anemia of cancer. Hematol

Oncol Clin North Am 1996;10:345-63.

Armstrong J, Hurria A, Hudis C. Cancer and treatment-related anemia: understanding and


interpreting the lat-est anemia guidelines.

www.medscape.com.

Young G, Toretsky JA, Campbell AB, Eskenazi AE.

Recognition of common childhood malignancies.

www.aafp.org.

Kupfer GM. Childhood cancer, epidemiology.

www.emedicine.com.

Gillespie TW. Anemia in cancer: therapeutic implica-tions and interventions. Cancer Nurs
2003;26(2):119-28.

Anemia & cancer. Dalam: Anemia a hidden epidemic.

www.anemia.org.

Anda mungkin juga menyukai