KELOMPOK A V
HERNANDIAN RIZKI USODO G0017095
HUBERTUS CORRIGAN G0017097
I MADE ELIAN WIRA PRADIPTA G0017099
ILHAM WAHYU RAMADHAN G0017103
KISENDIA KARUNIA K. G0017121
LATIFAHANNE AGUSTINE G0017123
LULU FARIHA AINULMAR G0017125
LUTHFIANITA FAHRIA SUSILOPUTRI G0017127
MEILANI LAKSITA G0017131
MILLENIA TASYA AISYAH MUSTADI G0017133
MONIKA TESSALONIKA HANNY M P G0017135
PENDAHULUAN
SKENARIO II
Seorang perpempuan, usia 32 tahun, dating dengan keluhan demam disertai lemas dan
mudah lebam tanpa penyebab yang jelas. Keluhan tersebut sudah dirasakan sejak 2 bulan terakhir.
Akhir-akhir ini kadang mengalami pendarahan hidung. Pasien bekerja sebagai karyawati di sebuah
toko bahan kimia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan : pucat, suhu aksiler 38,5C, konjungtiva anemis, tidak
didapatkan hipertrofi gingiva. Terdapat limfadenopati generalisata di regio colli, supraklavikula
dan inguinal dekstra et sinistra, multipel, ukuran 2-5 cm, kenyal padat, tidak nyeri tekan, sulit
digerakkan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan hepatomegali dan splenomegali. Hasil
pemeriksaan laboratorium : Hb 7 gr/dL (rujukan = 12-15 g/dL); jumlah lekosit : 125.000 /mm3
(rujukan = 150.000-450.000 /mm3); dari hitung jenis lekosit didapat blast 80%. Dokter merujuk
pasien ke RS untuk pemeriksaan lebih lanjut.
BAB II
A. Langkah I : membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario
Dalam skenario kali ini, kami mengklarifikasi istilah-istilah berikut ini :
1. Blast : Sel darah putih yang belum matang
2. Hipertrofi Gingiva : Pembesaran/pembengkakan otot gusi
1. Hemoglobin (Hb)
Nilai normal dewasa pria 13.5-18.0 gram/dL, wanita 12-16 gram/dL, wanita
hamil 10-15 gram/dL. Nilai normal anak 11-16 gram/dL, batita 9-15 gram/dL, bayi
10-17 gram/dL, neonatus 14-27 gram/dL
Hb rendah (<10 gram/dL) biasanya dikaitkan dengan anemia. Sebab lainnya
dari rendahnya Hb antara lain pendarahan berat, hemolisis, leukemia leukemik,
lupus eritematosus sistemik, dan diet vegetarian ketat (vegan). Dari obat-obatan:
obat antikanker, asam asetilsalisilat, rifampisin,primakuin, dan sulfonamid.
Ambang bahaya adalah Hb < 5 gram/dL.
Hb tinggi (>18 gram/dL) berkaitan dengan luka bakar, gagal jantung, COPD
(bronkitis kronik dengan cor pulmonale), dehidrasi / diare, eritrositosis, polisitemia
vera, dan pada penduduk pegunungan tinggi yang normal. Dari obat-obatan:
metildopa dan gentamisin.
Namun Hb pasien pada scenario termasuk dalam golongan Hb rendah, karna
hemoglobin nya berjumlah 7 gr/dL.
Segala macam infeksi menyebabkan leukosit naik; baik infeksi bakteri, virus,
parasit, dan sebagainya. Kondisi lain yang dapat menyebabkan leukositosis yaitu:
Anemia hemolitik
Sirosis hati dengan nekrosis
Stres emosional dan fisik (termasuk trauma dan habis berolahraga)
Keracunan berbagai macam zat
Obat: allopurinol, atropin sulfat, barbiturat, eritromisin, streptomisin, dan
sulfonamid.
Leukosit rendah (disebut juga leukopenia) dapat disebabkan oleh agranulositosis,
anemia aplastik, AIDS, infeksi atau sepsis hebat, infeksi virus (misalnya dengue),
keracunan kimiawi, dan postkemoterapi. Penyebab dari segi obat antara lain
antiepilepsi, sulfonamid, kina, kloramfenikol, diuretik, arsenik (terapi
leishmaniasis), dan beberapa antibiotik lainnya.
Pasien pada scenario termasuk dalam leukosit tinggi atau leukositosis karna
memiliki jumlah leukosit 125.000 /mm3.
3. Trombosit
Nilai normal dewasa 150.000-400.000 sel/mm3, anak 150.000- 450.000 sel/mm3.
Penurunan trombosit (trombositopenia) dapat ditemukan pada demam berdarah
dengue, anemia, luka bakar, malaria, dan sepsis. Nilai ambang bahaya pada <30.000
sel/mm3.
5. Differential diagnosis
Leukimia akut AML
ALL (banyak didapatkan pada anak-anak
CLL : tanyanya dengan banyak ditemukan limfosit matur (pada usia tua)
AML : sering ditemukan pada usia tua, factor resiko : radiasi.
6. Penyebab jumlah jumlah leukosit sangat tinggi sedangkan jumlah trombosit dan
hemoglobin rendah.
Limfadenitis merupakan bentuk infeksi, sedangkan limfadenopati merupakan
bentul keganasannya.
Stem Cell terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Myeloid
a.) Megakariosit
b.) RB cell
c.) Myeloblas granulosit
2. Lymphoid
a.) Limfosit
b.) NK Cell
Trombositopenia menyebakan inefektifnya megatanositopoesis
Destruksi meningkat
Proliferasi maligna menyebabkan eritrosit menurun
Demam menyebabkan inasktifnya leukositopoesis
Pada keganasan sering didapatkan leukosit immature
Pada infeksi sering ditemukan leukosit mature.
DDx:
AML, ALL,CML,CLL,
Limfadenopati, Limfadenitis
Pemeriksaan penunjang :
sel blast 80%
Diagnosis
Tatalaksana
Pengumpulan informasi telah dilakukan oleh masing-masing anggota kelompok kami dengan
menggunakan sumber-sumber referensi ilmiah seperti buku, jurnal, review, dan artikel ilmiah
yang berkaitan dengan skenario.
G. Langkah VII : melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang diperoleh
1. Penyakit yang menyebabkan epistaksis
Pengertian epistaksis adalah perdarahan yang berasal dari rongga hidung.
Perdarahan ini dapat berasal dari pembuluh darah anterior maupun posterior. Penyebab
dari epistaksis dapat diklasifikasikan oleh faktor lokal dan sistemik. Faktor lokal
contohnya yaitu infeksi hidung, trauma, iatrogenik, neoplasma, dan benda asing. Faktor
sistemik contohnya hipertensi dan trombositopenia. Pada skenario kasus ini epistaksis
yang terjadi disebabkan oleh trombositopenia di mana ditemukan trombosit hanya
berjumlah 40.000 sel/mm3 yang mana angka normal untuk jumlah trombosit yaitu
(150.000 - 450.000 sel/mm3). Ketika trombosit sudah jauh di bawah angka 150.000 maka
fungsi hemostasis akan menjadi terganggu, sehingga apabila ada suatu hal yang
menyebabkan berkurangnya integritas vaskular dan menyebabkan kerusakan dari
vaskular, maka pendarahan tidak dapat dihindari sehingga muncul manifestasi klinis
perdarahan. Karena fungsi trombosit sendiri adalah untuk mempertahankan integritas
pembuluh darah dan pembentukan sumbat trombosit dengan cara adesi, aktivasi, dan
agregasi trombosit.
Kebiasaan makan yang buruk harus dihilangkan seperti, makan saat sedang
merasa sedih, bosan, ataupun dalam tekanan. Dengan cara meningkatkan
kesadaran tentang emosi pribadi di balik pola makan dapat membantu mengganti
kebiasaan makan yang buruk. Kebiasaan lainnya yang harus dihindari yaitu
makan saat menonton televisi atau di dalam mobil, karena hal tersebut membuat
pasien tidak menyadari jumlah makanan yang telah dimakan.
b. Patofisiologi Demam
Aktivitas fisik Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan
nama pirogen.
Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua
yaitu pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh
dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau
mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah endotoksin
lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen
adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh
pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN.
Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan
limfosit walaupun sel lain juga dapat mengeluarkan pirogen endogen jika
terstimulasi (Dinarello & Gelfand, 2005).
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah put ih (monosit,
limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator
inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat
kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN).
Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium hipotalamus
untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005). Prostaglandin yang
terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi
hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari
suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk
meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme
volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi
panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan
suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut (Sherwood, 2001).
Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase
kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu
tubuh yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan
aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan
merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan fase
keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu
yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase
penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan
berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan
berwarna kemerahan.
c. Tata Laksana
i. Non-Farmakologi
Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan
demam:
1. Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan
beristirahat yang cukup.
2. Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat
menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan.
Memakai satu lapis pakaian dan satu lapis selimut sudah dapat memberikan
rasa nyaman kepada penderita.
Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres hangat
efektif terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin
karena akan menyebabkan keadaan menggigil dan meningkatkan kembali
suhu inti
ii. Farmakologi
Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik)
adalah parasetamol (asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat
bereaksi dalam menurunkan panas sedangkan ibuprofen memiliki efek
kerja yang lama (Graneto, 2010). Pada anak-anak, dianjurkan untuk
pemberian parasetamol sebagai antipiretik. Penggunaan OAINS tidak
dianjurkan dikarenakan oleh fungsi antikoagulan dan resiko sindrom Reye
pada anak-anak
3. Patofisiologi Infeksi dan leukemia
a. Infeksi
Mikroorganisme adalah sel mikroskopis yang hidup di lingkungan, di kulit
atau di dalam tubuh. Mereka dapat menyebabkan infeksi jika dua kondisi
terpenuhi:
• mereka berada dalam kondisi yang tepat untuk memungkinkan
pertumbuhan dan reproduksi mereka
• mereka berada di lokasi yang tepat untuk pertumbuhan dan reproduksi
mereka.
Kondisi ini penting karena mikroorganisme yang berbeda memiliki
kebutuhan yang berbeda dan terkadang menuntut pertumbuhan dan reproduksi
mereka. Jika kondisi lingkungan tidak benar, mereka tidak akan berkembang.
Namun, begitu kondisinya tepat bagi mereka, mikroorganisme berlipat ganda
pada tingkat yang menakjubkan dalam jaringan host, menyebabkan kerusakan
atau degenerasi sehingga Tuan rumah menjadi tidak sehat dan tidak bisa
berfungsi dengan baik.
Klasifikasi
1. Limfadenitis Akut non Spesifik
Limfadenitis ini terbatas dalam kelompok kelenjar yang dialiri limfe dari
infeksi lokal atau menyeluruh seperti dalam keadaan infeksi sistemik dan
inflamasi. Pada limfadenitis jenis ini, nodul limfe sembab, berwarna abu-
abu kemerahan, dan menonjol. Dapat ditemukan sentrum germinativum
yang besar yang mengandung banyak mitosis. Secara klinis dapat
ditemukan nyeri tekan dan fluktuasi jika terbentuk abses. Apabila infeksi
terkendali maka kelenjar dapat kembali ke bentuk semula tanpa ada
jaringan parut.
2. Limfadenitis Kronik non Spesifik
Pada jenis limfadenitis ini dapat ditemukan satu dari tiga bentuk berikut:
a) Hiperplasia Folikel
Bentuk ini terjadi pada infeksi atau inflamasi yang memicu aktivasi
sel B yang masuk ke dalam folikel sel B dan membentuk reaksi folikel
atau dikenal sebagai sentrum germinativum.
b) Hiperplasia Parakorteks
Bentuk ini disebabkan oleh reaksi imun yang mengenai daerah sel T.
Pada waktu teraktivasi sel T berubah menjadi sel imunoblas besar
yang berproliferasi sehingga mungkin folikel sel B sampai hilang.
c) Histositosis Sinus
Bentuk ini adalah bentuk yang ditandai dengan melebarnya sinus
limfatik akibat hipertrofi sel endotel yang melapisinya disertai
infiltrasi makrofag. Sering ditemukan pada aliran saluran limbah dari
daerah kanker.
3. Limfadenitis Spesifik
Secara singkat jenis ini disebabkan oleh berbagai penyakit tertentu
contohnya, limfadenitis kronik Spesifik Tuberkulosis.
b. Limfadenopati
Limfadenopati adalah salah satu penyakit kelenjar limfe yaitu ukuran,
jumlah, atau konsistensi yang abnormal dai kelenjar limfe. Salah satu bentuk
limfadenopati adalah limfadenitis yaitu pembengkakan kelenjar limfe yang
diakibatkan oleh reaksi inflamasi. Limfadenopati jinak biasanya dibedakan
berdasarkan beberapa kategori, seperti
1. Folikular
2. Parakortikal/Interfolikular
3. Sinus
4. Nekrosis meluas
5. Granulomatosa
6. Gangguan jaringan ikat
7. Deposit substansi interstitial.
Beberapa bentuk limfadenopati yang sering ditemukan adalah hiperplasia
folikular hiperaktif. Bentuk ini erupakan bentuk paling umum dari limfadenopati
yang biasanya disertai dengan hiperplasia parakortikal dan sinus. Bentuk
limfadenopati ini biasanya ditemukan pada beberapa reaksi autoimun dan infeksi
umum yang sering melibatkan area servikal dan aksila (tempat antigen paling
banyak bermuara).
Pada kasus ini, beberapa faktor yang dapat menyebabkan limfadenopati
antara lain :
1. Melemahnya sistem imun yang disebabkan oleh leukemia pasien, terutama
dikarenakan menurunnya produksi jumlah neutrofil dalam darah yang dapat
dilihat dari jumlah leukosit terukur. Hal ini menyebabkan pasien mudah
terinfeksi penyakit dan dicurigi adanya infeksi sekunder yang menyebakan
limfadenopati.
2. Leukemia merupakan kanker ganas, yang salah satu manifestasinya dapat
menuju limfonodi dan ber-proliferasi disana sehingga membentuk massa
tumor.
.
BAB III
I. SIMPULAN
Dari kegiatan diskusi tutorial skenario II Blok 4.1 Hematoimmunology Disease ini
mahasiswa mampu menjelaskan tentang fisiologi dan pengertian serta pemeriksaan lanjutan dari
penyakit Hematoimmunology. Mahasiswa juga mampu menjelaskan pengertian, etiologi,
patogenesis, patofisiologi, epidemiologi, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang dan
interpretasi dari pemeriksaan penunjang pada kasus skenario II ini.
II. SARAN
Kegiatan tutorial skenario II Blok 4.1 Hematoimmunology Disease ini telah berjalan
dengan baik. Pada saat pertemuan pertama dalam membahas jump 1 sampai dengan jump 5 kami
telah aktif mencurahkan pendapat yang telah kami miliki sebelumnya. Pertemuan kedua pada
skenario 2 juga berjalan dengan baik. Masing-masing anggota kelompok telah mencari dan
mengumpulkan informasi secara mandiri untuk pertemuan kedua ini, sehingga semua pertanyaan
yang belum terjawab di pertemuan pertama serta learning object dapat terjawab.
Dinarello, C.A., Gelfand, J.A., 2005, Fever and Hyperthermia.In: Kasper, D.L., et. al., ed.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. The McGraw-Hill Company. Singapore:,
hal. 104-8.
Kaneshiro, N.K., Zieve, D., 2010, Fever.University of Washington. Dalam:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000980.htm. Dikutip 19 Maret 2019.
Kumar, V., Abbas, A. K., Aster, J. C. (2013). Buku Ajar Patologi Robbins. Singapura: Elsevier
Singapore Pte Ltd. hal.422,423.
Soegijanto et al., 1998, Naskah Lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD.
Partridge, E. (2019). Lymphadenitis. Medscape. [online].
https://emedicine.medscape.com/article/960858-overview. Dikutip 19 Maret 2019.