Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN TUTORIAL

BLOK HEMATOIMMUNOLOGY DISEASE


SKENARIO II

KELOMPOK A V
HERNANDIAN RIZKI USODO G0017095
HUBERTUS CORRIGAN G0017097
I MADE ELIAN WIRA PRADIPTA G0017099
ILHAM WAHYU RAMADHAN G0017103
KISENDIA KARUNIA K. G0017121
LATIFAHANNE AGUSTINE G0017123
LULU FARIHA AINULMAR G0017125
LUTHFIANITA FAHRIA SUSILOPUTRI G0017127
MEILANI LAKSITA G0017131
MILLENIA TASYA AISYAH MUSTADI G0017133
MONIKA TESSALONIKA HANNY M P G0017135

TUTOR: YUNIA HASTAMI, dr.,M.MedEd

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SEBELAS MARET


SURAKARTA TAHUN 2018
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
LANGKAH 1
LANGKAH 2
LANGKAH 3
LANGKAH 4
LANGKAH 5
LANGKAH 6
LANGKAH 7
BAB III SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

SKENARIO II

Seorang perpempuan, usia 32 tahun, dating dengan keluhan demam disertai lemas dan
mudah lebam tanpa penyebab yang jelas. Keluhan tersebut sudah dirasakan sejak 2 bulan terakhir.
Akhir-akhir ini kadang mengalami pendarahan hidung. Pasien bekerja sebagai karyawati di sebuah
toko bahan kimia.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan : pucat, suhu aksiler 38,5C, konjungtiva anemis, tidak
didapatkan hipertrofi gingiva. Terdapat limfadenopati generalisata di regio colli, supraklavikula
dan inguinal dekstra et sinistra, multipel, ukuran 2-5 cm, kenyal padat, tidak nyeri tekan, sulit
digerakkan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan hepatomegali dan splenomegali. Hasil
pemeriksaan laboratorium : Hb 7 gr/dL (rujukan = 12-15 g/dL); jumlah lekosit : 125.000 /mm3
(rujukan = 150.000-450.000 /mm3); dari hitung jenis lekosit didapat blast 80%. Dokter merujuk
pasien ke RS untuk pemeriksaan lebih lanjut.
BAB II

DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Langkah I : membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario
Dalam skenario kali ini, kami mengklarifikasi istilah-istilah berikut ini :
1. Blast : Sel darah putih yang belum matang
2. Hipertrofi Gingiva : Pembesaran/pembengkakan otot gusi

B. Langkah II : menentukan atau mendefinisikan masalah


Masalah yang terdapat pada skenario II adalah:
1. Interpretasi pemeriksaan laboratorium ?
2. Interpretasi hasil pemeriksaan fisik ?
3. Hubungan tempat kerja dengan keluhan ?
4. Pemeriksaan lanjutan yang akan dilaksanakan ?
5. Differential diagnosis ?
6. Apa yang menyebabkan jumlah jumlah leukosit sangat tinggi sedangkan jumlah trombosit
dan hemoglobin rendah ?

C. Langkah III : menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan sementara mengenai


permasalahan
1. Interpretasi pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputi 3 jenis pemeriksaan; yaitu
1. Hemoglobin / Haemoglobin (Hb)
2. Leukosit: hitung leukosit (leukocyte count) dan Hitung jenis (differential count)
3. Hitung trombosit / platelet count

1. Hemoglobin (Hb)
Nilai normal dewasa pria 13.5-18.0 gram/dL, wanita 12-16 gram/dL, wanita
hamil 10-15 gram/dL. Nilai normal anak 11-16 gram/dL, batita 9-15 gram/dL, bayi
10-17 gram/dL, neonatus 14-27 gram/dL
Hb rendah (<10 gram/dL) biasanya dikaitkan dengan anemia. Sebab lainnya
dari rendahnya Hb antara lain pendarahan berat, hemolisis, leukemia leukemik,
lupus eritematosus sistemik, dan diet vegetarian ketat (vegan). Dari obat-obatan:
obat antikanker, asam asetilsalisilat, rifampisin,primakuin, dan sulfonamid.
Ambang bahaya adalah Hb < 5 gram/dL.
Hb tinggi (>18 gram/dL) berkaitan dengan luka bakar, gagal jantung, COPD
(bronkitis kronik dengan cor pulmonale), dehidrasi / diare, eritrositosis, polisitemia
vera, dan pada penduduk pegunungan tinggi yang normal. Dari obat-obatan:
metildopa dan gentamisin.
Namun Hb pasien pada scenario termasuk dalam golongan Hb rendah, karna
hemoglobin nya berjumlah 7 gr/dL.

2. Leukosit (Hitung total)


Nilai normal 4500-10000 sel/mm3
Neonatus 9000-30000 sel/mm3
Bayi sampai balita rata-rata 5700-18000 sel/mm3
Anak 10 tahun 4500-13500/mm3
Ibu hamil rata-rata 6000-17000 sel/mm3
Postpartum 9700-25700 sel/mm3

Segala macam infeksi menyebabkan leukosit naik; baik infeksi bakteri, virus,
parasit, dan sebagainya. Kondisi lain yang dapat menyebabkan leukositosis yaitu:
Anemia hemolitik
Sirosis hati dengan nekrosis
Stres emosional dan fisik (termasuk trauma dan habis berolahraga)
Keracunan berbagai macam zat
Obat: allopurinol, atropin sulfat, barbiturat, eritromisin, streptomisin, dan
sulfonamid.
Leukosit rendah (disebut juga leukopenia) dapat disebabkan oleh agranulositosis,
anemia aplastik, AIDS, infeksi atau sepsis hebat, infeksi virus (misalnya dengue),
keracunan kimiawi, dan postkemoterapi. Penyebab dari segi obat antara lain
antiepilepsi, sulfonamid, kina, kloramfenikol, diuretik, arsenik (terapi
leishmaniasis), dan beberapa antibiotik lainnya.
Pasien pada scenario termasuk dalam leukosit tinggi atau leukositosis karna
memiliki jumlah leukosit 125.000 /mm3.

Leukosit (Hitung Jenis)


Nilai normal hitung jenis
Basofil 0-1% (absolut 20-100 sel/mm3)
Eosinofil 1-3% (absolut 50-300 sel/mm3)
Netrofil batang 3-5% (absolut 150-500 sel/mm3)
Netrofil segmen 50-70% (absolut 2500-7000 sel/mm3)
Limfosit 25-35% (absolut 1750-3500 sel/mm3)
Monosit 4-6% (absolut 200-600 sel/mm3)
Sel Blast > 20% termasuk abnormalitas, seharusnya sel blast tidak ditemukan di
pemeriksaan darah tepi.
Penilaian hitung jenis tunggal jarang memberi nilai diagnostik, kecuali untuk
penyakit alergi di mana eosinofil sering ditemukan meningkat.
Peningkatan jumlah netrofil (baik batang maupun segmen) relatif dibanding
limfosit dan monosit dikenal juga dengan sebutan shift to the left. Infeksi yang
disertai shift to the left biasanya merupakan infeksi bakteri dan malaria. Kondisi
noninfeksi yang dapat menyebabkan shift to the left antara lain asma dan penyakit-
penyakit alergi lainnya, luka bakar, anemia perniciosa, keracunan merkuri (raksa),
dan polisitemia vera.
Sedangkan peningkatan jumlah limfosit dan monosit relatif dibanding netrofil
disebut shift to the right. Infeksi yang disertai shift to the right biasanya merupakan
infeksi virus. Kondisi noninfeksi yang dapat menyebabkan shift to the right antara
lain keracunan timbal, fenitoin, dan aspirin.
Pada kasus ini pasien memiliki nilai blast yang melampaui batas normal yaitu 80%,
yang bisa kemungkinan mengarah ke leukemia.

3. Trombosit
Nilai normal dewasa 150.000-400.000 sel/mm3, anak 150.000- 450.000 sel/mm3.
Penurunan trombosit (trombositopenia) dapat ditemukan pada demam berdarah
dengue, anemia, luka bakar, malaria, dan sepsis. Nilai ambang bahaya pada <30.000
sel/mm3.

Peningkatan trombosit (trombositosis) dapat ditemukan pada penyakit keganasan,


sirosis, polisitemia, ibu hamil, habisberolahraga, penyakit imunologis, pemakaian
kontrasepsi oral, dan penyakit jantung. Biasanya trombositosis tidak berbahaya,
kecuali jika >1.000.000 sel/mm3.
Pasien dalam scenario ini memiliki jumlah trombosit yang sangat rendah atau
trombositopenia yaitu sejumlah 40.000 sel /mm3.

2. Interprestasi Hasil Pemeriksaan Fisik


 Demam disertai lemas : disebabkan oleh Hb yang turun menyebabkan lemas, atau
memungkinkan juga jika dikarenakan infeksi sekunder yang diakibatkan oleh
neutropenia.
 Mudah leba, : disebabkan karena trombositopenia.
 Pendarahan hidung ; disebabkan karena trombositopenia.
 Pucat dan Konjungtiva anemis : disebabkan oleh Hb yang turun, termasuk dalam
anemia syndrome.
 Hipertrofi gingiva negative
 Lymphadenopati generalisata L neutropenia, infiltrasi leukemia ganas
 Hepatosplenomegali : infiltrasi leukemia ganas.

3. Hubungan tempat kerja dengan keluhan


Penyakit ALL dapat diakibatkan oleh:
1. Paparan bahan kimia
2. Paparan Benzen, etilen oksida dan pestisida
3. Merokok pada pasien usia tua
4. Pemeriksaan lanjutan yang dilaksanakan
 Pemeriksaan darah tepi  anemia nomokromik normositik, trombositopenia, sel
blast > 5% dari sel inti
 Pemeriksaan sumsum tulang  hiperseluler, dipenuhi sel blast (minimal 30 %)
 Pemeriksaan Immunophenotyping  membedakan jenis leukemia
 Pemeriksaan sitogenik  kromosom (kelainan / tidak)
 Pemeriksaan MIC (Morphology Immune Cytokimia)  Tipe myeloid / lymphoid.

5. Differential diagnosis
 Leukimia akut  AML
 ALL (banyak didapatkan pada anak-anak
 CLL : tanyanya dengan banyak ditemukan limfosit matur (pada usia tua)
 AML : sering ditemukan pada usia tua, factor resiko : radiasi.

6. Penyebab jumlah jumlah leukosit sangat tinggi sedangkan jumlah trombosit dan
hemoglobin rendah.
Limfadenitis merupakan bentuk infeksi, sedangkan limfadenopati merupakan
bentul keganasannya.
Stem Cell terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Myeloid
a.) Megakariosit
b.) RB cell
c.) Myeloblas  granulosit
2. Lymphoid
a.) Limfosit
b.) NK Cell
 Trombositopenia  menyebakan inefektifnya megatanositopoesis
 Destruksi meningkat
 Proliferasi maligna  menyebabkan eritrosit menurun
 Demam  menyebabkan inasktifnya leukositopoesis
 Pada keganasan sering didapatkan leukosit immature
 Pada infeksi sering ditemukan leukosit mature.

D. Langkah IV : menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan sementara


mengenai permasalahan pada langkah III

Usia, jenis Demam, Lemas,


kelamin Lebam,
pekerjaan Pendarahan

Pemeriksaan fisik & lab (Gejala


leukemia), hepatosplenomegali,
anemia, limfadenopati, hipertrofi
gingiva (-)

DDx:
AML, ALL,CML,CLL,
Limfadenopati, Limfadenitis

Pemeriksaan penunjang :
sel blast 80%

Diagnosis

Tatalaksana

E. Langkah V : merumuskan tujuan pembelajaran


Pertanyaan yang belum dijawab sebelumnya :
1. Penyebab epistaksis?
2. Definisi, patofisiologi, dan tata laksana demam berkepanjangan?
3. Patofisiologi Infeksi dan leukemia?
4. Pengertian lifadenitis dan limfadenopati?
5. Perbedaan karakteristik pebesaran kelenjar limfe?

F. Langkah VI : mengumpulkan informasi baru

Pengumpulan informasi telah dilakukan oleh masing-masing anggota kelompok kami dengan
menggunakan sumber-sumber referensi ilmiah seperti buku, jurnal, review, dan artikel ilmiah
yang berkaitan dengan skenario.

G. Langkah VII : melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang diperoleh
1. Penyakit yang menyebabkan epistaksis
Pengertian epistaksis adalah perdarahan yang berasal dari rongga hidung.
Perdarahan ini dapat berasal dari pembuluh darah anterior maupun posterior. Penyebab
dari epistaksis dapat diklasifikasikan oleh faktor lokal dan sistemik. Faktor lokal
contohnya yaitu infeksi hidung, trauma, iatrogenik, neoplasma, dan benda asing. Faktor
sistemik contohnya hipertensi dan trombositopenia. Pada skenario kasus ini epistaksis
yang terjadi disebabkan oleh trombositopenia di mana ditemukan trombosit hanya
berjumlah 40.000 sel/mm3 yang mana angka normal untuk jumlah trombosit yaitu
(150.000 - 450.000 sel/mm3). Ketika trombosit sudah jauh di bawah angka 150.000 maka
fungsi hemostasis akan menjadi terganggu, sehingga apabila ada suatu hal yang
menyebabkan berkurangnya integritas vaskular dan menyebabkan kerusakan dari
vaskular, maka pendarahan tidak dapat dihindari sehingga muncul manifestasi klinis
perdarahan. Karena fungsi trombosit sendiri adalah untuk mempertahankan integritas
pembuluh darah dan pembentukan sumbat trombosit dengan cara adesi, aktivasi, dan
agregasi trombosit.

2. Definisi, patofisiologi, dan tata laksana demam berkepanjangan


a. Definisi
Disarankan Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal
sehari-hari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di
hipotalamus (Dinarello & Gelfand, 2005). Suhu tubuh normal berkisar antara
36,5-37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal temperature
≥38,0°C atau oral temperature ≥37,5°C atau axillary temperature ≥37,2°C
(Kaneshiro & Zieve, 2010).
Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia.
Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5°C yang dapat
terjadi pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi pada
pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat (Dinarello & Gelfand, 2005).

Kebiasaan makan yang sehat

Kebiasaan makan yang buruk harus dihilangkan seperti, makan saat sedang
merasa sedih, bosan, ataupun dalam tekanan. Dengan cara meningkatkan
kesadaran tentang emosi pribadi di balik pola makan dapat membantu mengganti
kebiasaan makan yang buruk. Kebiasaan lainnya yang harus dihindari yaitu
makan saat menonton televisi atau di dalam mobil, karena hal tersebut membuat
pasien tidak menyadari jumlah makanan yang telah dimakan.

b. Patofisiologi Demam
Aktivitas fisik Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan
nama pirogen.

Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua
yaitu pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh
dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau
mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah endotoksin
lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen
adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh
pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN.
Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan
limfosit walaupun sel lain juga dapat mengeluarkan pirogen endogen jika
terstimulasi (Dinarello & Gelfand, 2005).

Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah put ih (monosit,
limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator
inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat
kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN).
Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium hipotalamus
untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005). Prostaglandin yang
terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi
hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari
suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk
meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme
volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi
panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan
suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut (Sherwood, 2001).

Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase
kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu
tubuh yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan
aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan
merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan fase
keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu
yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase
penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan
berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan
berwarna kemerahan.

c. Tata Laksana
i. Non-Farmakologi
Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan
demam:
1. Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan
beristirahat yang cukup.
2. Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat
menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan.
Memakai satu lapis pakaian dan satu lapis selimut sudah dapat memberikan
rasa nyaman kepada penderita.
Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres hangat
efektif terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin
karena akan menyebabkan keadaan menggigil dan meningkatkan kembali
suhu inti
ii. Farmakologi
Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik)
adalah parasetamol (asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat
bereaksi dalam menurunkan panas sedangkan ibuprofen memiliki efek
kerja yang lama (Graneto, 2010). Pada anak-anak, dianjurkan untuk
pemberian parasetamol sebagai antipiretik. Penggunaan OAINS tidak
dianjurkan dikarenakan oleh fungsi antikoagulan dan resiko sindrom Reye
pada anak-anak
3. Patofisiologi Infeksi dan leukemia
a. Infeksi
Mikroorganisme adalah sel mikroskopis yang hidup di lingkungan, di kulit
atau di dalam tubuh. Mereka dapat menyebabkan infeksi jika dua kondisi
terpenuhi:
• mereka berada dalam kondisi yang tepat untuk memungkinkan
pertumbuhan dan reproduksi mereka
• mereka berada di lokasi yang tepat untuk pertumbuhan dan reproduksi
mereka.
Kondisi ini penting karena mikroorganisme yang berbeda memiliki
kebutuhan yang berbeda dan terkadang menuntut pertumbuhan dan reproduksi
mereka. Jika kondisi lingkungan tidak benar, mereka tidak akan berkembang.
Namun, begitu kondisinya tepat bagi mereka, mikroorganisme berlipat ganda
pada tingkat yang menakjubkan dalam jaringan host, menyebabkan kerusakan
atau degenerasi sehingga Tuan rumah menjadi tidak sehat dan tidak bisa
berfungsi dengan baik.

Sebenarnya bukan keberadaan mikro-organisme yang menjadi masalah,


melainkan fakta bahwa selama pertumbuhan dan reproduksi mereka (serta
bagian dari perlindungan terhadap kekebalan system tubuh) mereka
menghasilkan produk limbah yang dikenal sebagai racun, dan inilah yang
menyebabkan masalah.
Namun, tidak semua mikroorganisme ini menimbulkan masalah bagi
manusia. Sebenarnya, manusia membutuhkan bakteri untuk membantu memecah
makanan dan mencernanya. Bakteri ini dikenal sebagai komensal bakteri.
Agen infeksi dapat berupa eksogen (yaitu, tidak normal ditemukan pada
atau di dalam tubuh) atau endogen (yaitu, yang mungkin secara rutin dibiakkan
dari situs anatomi tertentu tetapi itu tidak biasanya tidak menyebabkan penyakit
pada inang). Infeksi terjadi ketika agen eksogen masuk ke dalam inang dari
lingkungan atau ketika agen endogen menghambat kekebalan inang bawaan
terhadap penyakit. Kerentanan host memainkan peran penting dalam salah satu
pengaturan ini.

Ada banyak jenis mikro-organisme yang dapat menginfeksi manusia, dan


masing-masing membutuhkan kondisi lingkungan yang berbeda untuk bertahan
hidup, tumbuh dan bereproduksi, juga sebagai berbagai mode transfer ke
manusia. Beberapa dari mereka lebih dikenal manusia daripada yang lain, dan
mungkin tiga mikroorganisme yang paling terkenal adalah:
• bakteri
• virus
• jamur.
Tubuh manusia memiliki kemampuan untuk mengendalikan infeksi dengan
sejumlah mekanisme yang berbeda. Pertahanan fisik menghalangi masuknya
bakteri dari lingkungan eksternal dan dari situs yang biasanya terjajah di dalam
tubuh ke area anatomi steril. Ketika pertahanan fisik ini dilanggar, sistem
kekebalan diaktifkan
b. Leukimia
Leukemia adalah penyakit, biasanya leukosit, dalam darah dan sumsum
tulang
Gejala klinis, kematangan sel yang terkena, dan jumlah leukosit total
menentukan apakah leukemia diklasifikasikan sebagai akut atau kronis.
Leukemia akut ditandai dengan gejala berdurasi pendek, banyak sel yang belum
matang terbentuk dalam sumsum tulang dan / atau darah tepi, dan jumlah
leukosit total yang meningkat. Leukemia kronis memiliki gejala berdurasi lama,
sebagian besar berupa sel dewasa di sumsum tulang dan / atau darah tepi, dan
total jumlah leukosit yang berkisar dari sangat tinggi hingga lebih rendah dari
normal. Prognosis kelangsungan hidup pada yang tidak diobati bentuk akut
adalah dari beberapa minggu hingga beberapa bulan, dibandingkan dengan
bentuk kronis yang tidak diobati, yang dapat memiliki prognosis kelangsungan
hidup mulai dari bulan hingga bertahun-tahun setelah diagnosis.
Klasifikasi Prancis-Amerika-Inggris Menggunakan sistem FAB, leukemia
dipisahkan menjadi tiga kelompok leukosit luas:
■ Mielogen
■ Monositik
■ Limfositik
Ketika informasi ini digabungkan dengan tingkat kematangan sel, klasifikasi
tradisional dari jenis utama leukemia leukosit adalah sebagai akut atau kronis
menurut kelompok leukosit, misalnya, akut atau kronis myelogenous, monocytic
akut atau kronis, myelomonocytic akut atau kronis, limfositik akut atau kronis
leukemia (CLL). Bentuk leukemia leukosit yang lebih jarang adalah akut tidak
berdiferensiasi (sel induk), eosinofilik, dan basofilik. Overproliferasi dari
erythrocytic dan megakaryocytic garis sel, baik semata-mata atau dalam
hubungannya dengan kelainan dari garis leukosit, juga ada.
Leukemia akut dan kronis merupakan suatu bentuk keganasan atau maligna
yang muncul dari perbanyakan klonal sel-sel pembentuk sel darah yang tidak
terkontrol. Mekanisme kontrol seluler normal mungkin tidak bekerja dengan
baik akibat adanya perubahan pada kode genetik yang seharusnya bertanggung
jawab atas pengaturan pertubuhan sel dan diferensiasi.
Sel-sel leukemia menjalani waktu daur ulang yang lebih lambat
dibandingkan sel normal. Proses pematangan atau maturasi berjalan tidak
lengkap dan lambat dan bertahan hidup lebih lama dibandingkan sel sejenis yang
normal.
Leukemia dan limfoma yang tidak diobati pada akhirnya berakibat fatal.
Terapi radiasi pada 1920-an menjadi tipe pertama intervensi kuratif. Terapi obat
pertama yang efektif, adrenoglukokortikosteroid dan agen antifolat, ditemukan
pada akhir 1940-an. Obat modern, yang lebih efektif melawan sel-sel ganas dan
kurang toksik bagi pasien, memiliki dampak signifikan pada umur panjang
pasien dengan banyak bentuk leukemia dan limfoma. Baru-baru ini Di masa lalu,
obat-obatan yang diarahkan pada pengobatan di tingkat molekul miliki telah
berhasil diperkenalkan, misalnya, leukemia myelogenous kronis (CML).
Perawatan yang efektif membutuhkan pemilihan mode dan metode perawatan
yang tepat. Pengobatan spesifik membutuhkan diagnosis dan klasifikasi
gangguan yang cepat dan akurat oleh laboratorium klinis.

4. Pengertian lifadenitis dan limfadenopati:


a. Limfadenitis
Limfadenitis merupakan inflamasi atau pembesaran dari kelenjar limfe.
Pembesaran kelenjar limfe dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain
1. Multiplikasi sel di dalam limfonodi, termasuk di dalamnya ada limfosit, sel
plasma, monosit, atau histiosit
2. Infiltrasi sel dari luar limfonodi, seperti sel malignant (metastasis) atau
neutrofil
3. Drainase dari infeksi (misal: abses) ke dalam limfonodi local

Klasifikasi
1. Limfadenitis Akut non Spesifik
Limfadenitis ini terbatas dalam kelompok kelenjar yang dialiri limfe dari
infeksi lokal atau menyeluruh seperti dalam keadaan infeksi sistemik dan
inflamasi. Pada limfadenitis jenis ini, nodul limfe sembab, berwarna abu-
abu kemerahan, dan menonjol. Dapat ditemukan sentrum germinativum
yang besar yang mengandung banyak mitosis. Secara klinis dapat
ditemukan nyeri tekan dan fluktuasi jika terbentuk abses. Apabila infeksi
terkendali maka kelenjar dapat kembali ke bentuk semula tanpa ada
jaringan parut.
2. Limfadenitis Kronik non Spesifik
Pada jenis limfadenitis ini dapat ditemukan satu dari tiga bentuk berikut:
a) Hiperplasia Folikel
Bentuk ini terjadi pada infeksi atau inflamasi yang memicu aktivasi
sel B yang masuk ke dalam folikel sel B dan membentuk reaksi folikel
atau dikenal sebagai sentrum germinativum.
b) Hiperplasia Parakorteks
Bentuk ini disebabkan oleh reaksi imun yang mengenai daerah sel T.
Pada waktu teraktivasi sel T berubah menjadi sel imunoblas besar
yang berproliferasi sehingga mungkin folikel sel B sampai hilang.
c) Histositosis Sinus
Bentuk ini adalah bentuk yang ditandai dengan melebarnya sinus
limfatik akibat hipertrofi sel endotel yang melapisinya disertai
infiltrasi makrofag. Sering ditemukan pada aliran saluran limbah dari
daerah kanker.

3. Limfadenitis Spesifik
Secara singkat jenis ini disebabkan oleh berbagai penyakit tertentu
contohnya, limfadenitis kronik Spesifik Tuberkulosis.

b. Limfadenopati
Limfadenopati adalah salah satu penyakit kelenjar limfe yaitu ukuran,
jumlah, atau konsistensi yang abnormal dai kelenjar limfe. Salah satu bentuk
limfadenopati adalah limfadenitis yaitu pembengkakan kelenjar limfe yang
diakibatkan oleh reaksi inflamasi. Limfadenopati jinak biasanya dibedakan
berdasarkan beberapa kategori, seperti
1. Folikular
2. Parakortikal/Interfolikular
3. Sinus
4. Nekrosis meluas
5. Granulomatosa
6. Gangguan jaringan ikat
7. Deposit substansi interstitial.
Beberapa bentuk limfadenopati yang sering ditemukan adalah hiperplasia
folikular hiperaktif. Bentuk ini erupakan bentuk paling umum dari limfadenopati
yang biasanya disertai dengan hiperplasia parakortikal dan sinus. Bentuk
limfadenopati ini biasanya ditemukan pada beberapa reaksi autoimun dan infeksi
umum yang sering melibatkan area servikal dan aksila (tempat antigen paling
banyak bermuara).
Pada kasus ini, beberapa faktor yang dapat menyebabkan limfadenopati
antara lain :
1. Melemahnya sistem imun yang disebabkan oleh leukemia pasien, terutama
dikarenakan menurunnya produksi jumlah neutrofil dalam darah yang dapat
dilihat dari jumlah leukosit terukur. Hal ini menyebabkan pasien mudah
terinfeksi penyakit dan dicurigi adanya infeksi sekunder yang menyebakan
limfadenopati.
2. Leukemia merupakan kanker ganas, yang salah satu manifestasinya dapat
menuju limfonodi dan ber-proliferasi disana sehingga membentuk massa
tumor.

5. Perbedaan karakteristik pebesaran kelenjar limfe


Pembesaran limfe secara umum disebut sebagai limfadenopati. Pembesaran limfe
sendiri dapat terjadi karena penyebab yang berbeda dan juga menimbulkan manifestasi
klinis yang berbeda. Secara umum berdasarkan penyebabnya, pembesaran limfe dapat
digolongkan menjadi limfadenitis (karena inflamasi) dan pembesaran limfe karena
keganasan.

.
BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

I. SIMPULAN
Dari kegiatan diskusi tutorial skenario II Blok 4.1 Hematoimmunology Disease ini
mahasiswa mampu menjelaskan tentang fisiologi dan pengertian serta pemeriksaan lanjutan dari
penyakit Hematoimmunology. Mahasiswa juga mampu menjelaskan pengertian, etiologi,
patogenesis, patofisiologi, epidemiologi, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang dan
interpretasi dari pemeriksaan penunjang pada kasus skenario II ini.

II. SARAN
Kegiatan tutorial skenario II Blok 4.1 Hematoimmunology Disease ini telah berjalan
dengan baik. Pada saat pertemuan pertama dalam membahas jump 1 sampai dengan jump 5 kami
telah aktif mencurahkan pendapat yang telah kami miliki sebelumnya. Pertemuan kedua pada
skenario 2 juga berjalan dengan baik. Masing-masing anggota kelompok telah mencari dan
mengumpulkan informasi secara mandiri untuk pertemuan kedua ini, sehingga semua pertanyaan
yang belum terjawab di pertemuan pertama serta learning object dapat terjawab.

Kegiatan tutorial kedepannya sebaiknya masing-masing anggota kelompok telah


mempersiapkan materi yang berhubungan dengan topik pada skenario, sehingga semua anggota
kelompok dapat berperan aktif dalam kegiatan tutorial ini dan tidak ada anggota yang hanya diam
memperhatikan. Dari kegiatan tutorial diharapkan mahasiswa dapat berpikir kritis dalam
menghadapi suatu masalah, berpendapat dalam suatu forum diskusi, dan menemukan pemecahan
permasalahan melalui sumber-sumber yang telah teruji kebenarannya.
DAFTAR PUSTAKA

Dinarello, C.A., Gelfand, J.A., 2005, Fever and Hyperthermia.In: Kasper, D.L., et. al., ed.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. The McGraw-Hill Company. Singapore:,
hal. 104-8.
Kaneshiro, N.K., Zieve, D., 2010, Fever.University of Washington. Dalam:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000980.htm. Dikutip 19 Maret 2019.
Kumar, V., Abbas, A. K., Aster, J. C. (2013). Buku Ajar Patologi Robbins. Singapura: Elsevier
Singapore Pte Ltd. hal.422,423.
Soegijanto et al., 1998, Naskah Lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD.
Partridge, E. (2019). Lymphadenitis. Medscape. [online].
https://emedicine.medscape.com/article/960858-overview. Dikutip 19 Maret 2019.

Anda mungkin juga menyukai