Anda di halaman 1dari 17

Acute Lymphoblastic Leukaemia pada Laki-Laki Berusia 3 Tahun

Aurellia Celine
102018113
Kelompok D3
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Email: aurellia.2018fk113@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Leukemia adalah keganasan organ pembuat darah, sehingga sumsum tulang


didominasi oleh limfoblas yang abnormal. Leukemia limfoblastik akut adalah keganasan
yang sering ditemukan pada masa anak-anak dan dianggarkan 25-30% dari seluruh
keganasan pada anak. Kejadian ini lebih lebih sering ditemukan pada anak laki-laki daripada
anak perempuan, dan terbanyak pada anak usia 3-4 tahun. Faktor resiko terjadi leukimia
adalah faktor kelainan kromosom, bahan kimia, radiasi faktor hormonal, infeksi virus. Anak-
anak yang mengidap penyakit ini umumnya akan menunjukkan gejala klinis seperti pucat,
lemas dan sesak napas yang diakibatkan oleh anemia. Pengobatan dan terapi penyakit ini
dapat dilakukan dengan transfusi sel darah merah, transfusi trombosit, pemberian antibiotik
dan kemoterapi.

Kata kunci: Leukemia limfoblastik akut, keganasan darah.

Abstract

Leukemia is the malignancy of blood-producing organs, so the bone marrow is


dominated by abnormal lymphoblasts. Acute lymphoblastic leukemia is a malignancy that is
often found in childhood and is budgeted for 25-30% of all malignancies in children. This
event is more often found in boys than girls, and most in children aged 3-4 years. Risk factors
for leukemia are chromosomal abnormalities, chemicals, hormonal factor radiation, viral
infections. Children who suffer from this disease will generally show clinical symptoms such
as pallor, weakness and shortness of breath caused by anemia. Treatment and therapy of this
disease can be done by red blood cell transfusion, platelet transfusion, administration of
antibiotics and chemotherapy.

Keywords: Acute lymphoblastic leukemia, blood malignancy.


Pendahuluan

Leukemia adalah sekumpulan penyakit yang ditandai oleh adanya akumulasi leukosit
abnormal dalam sumsum tulang dan darah. Sel-sel abnormal ini menyebabkan timbulnya
gejala karena kegagalan sumsum tulang (yaitu anemia, neutropenia, trombositopenia) dan
infiltrasi organ (misalnya hati, limpa, kelenjar getah bening, meningens, otak, kulit, atau
testis). Leukemia Limfoblastik akut adalah bentuk akut dari leukemia yang diklasifikasikan
menurut cell yang lebih banyak dalam sumsum tulang yaitu berupa limfoblas. Pada keadaan
leukemia terjadi proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk leukosit
yang lain dari pada normal, jumlahnya berlebihan dan dapat menyebabkan anemia,
trombositopenia, dan diakhiri dengan kematian. Faktor penyebab LLA tidak diketahui, tapi
dimungkinkan karena interaksi sejumlah faktor: neoplasia, infeksi, radiasi, keturunan, zat
kimia, mutasi gen. Leukemia akut cepat terjadi dan lambat penyembuhannya, dapat diakhiri
dengan kematian bila tidak segera diobati. LLA sering ditemukan pada anak-anak (82 %)
daripada umur dewasa dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki daripada anak
perempuan.

Anamnesis

Anamnesis merupakan tahap awal dari rangkaian pemeriksaan pasien dan bisa
membantu 70% dalam penegakkan diagnosis. Setelah mendapatkan identitas pasien, bisa
ditanyakan keluhan utama. Pada kasus dengan pasien yang lemas, lelah, atau pucat bisa
ditanyakan lebih lanjut sejak kapan, kapan pertama kali terjadi, dan kira-kira apakah pasien
ada dugaan pemicu dari gejalanya. Kemudian juga bisa ditanyakan apakah lelah dirasakan
sepanjang waktu atau setelah melakukan kegiatan tertentu. Lalu perlu juga ditanyakan gejala
fisik lainnya yang bisa mengarah ke penyakit organik lainnya seperti demam, penurunan
berat badan, hilangnya nafsu makan, keringat malam, atau yang lainnya beserta onset
terjadinya gejala tersebut. Untuk menyingkirkan kemungkinan adanya gangguan pada sistem
urogenital bisa ditanyakan apakah ada nyeri pada saat berkemih. Penting juga ditanyakan
riwayat penyakit keluarga, riwayat nutrisi, riwayat pemakaian obat, ataupun masalah
psikologis untuk menyingkirkan diagnosis penyakit psikiatrik.1

Pada kasus yang dicurigai merupakan leukemia, perlu ditanyakan apakah pasien
sering terpapar dengan radiasi, kemudian juga apakah pasien mempunyai riwayat penyakit
yang berkaitan dengan virus, terutama virus influenza dan varicella. Ditanyakan juga apakah
pasien ada mengalami perdarahan.1

Pada skenario ini, pasien merupakan seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dengan
keluhan bintik-bintik kebiruan di kaki sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan disertai dengan
demam yang hilang timbul dan naik turun sejak 2 minggu yang lalu. Pasien pucat, lemas,
mual, dan tidak mau makan sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga mempunyai riwayat batuk
pilek ringan yang hilang timbul sejak 3 hari yang lalu dan gusi berdarah. Tidak ada BAB
hitam, BAK teh, ataupun mimisan. Untuk RPD pasien belum pernah sakit berat/dirawat di RS
sebelumnya dan juga tidak ada riwayat transfusi darah sebelumnya. Keluarga pasien tidak
ada yang mempunyai riwayat kelainan darah/transfusi berulang. Untuk riwayat nutrisi pasien
makan 3x1 porsi/hari dengan menu seimbang, namun 1 bulan terakhir hanya makan 3x/hari
dan hanya 3-4 suap.

Pemeriksaan Fisik

Selanjutnya untuk mengkonfirmasi dugaan dan menegakkan diagnosis, dilakukan


pemeriksaan fisik. Selain pemeriksaan kesadaran dan keadaan umum biasa dilakukan
pemeriksaan head to toe. Pada inspeksi perlu dilihat apakah ada memar atau tanda-tanda
perdarahan seperti petechiae, ekimosis, atau purpura. Pada pasien lelah/lemas juga dilakukan
pemeriksaan mata khususnya pada konjungtiva dan sklera untuk melihat apakah ada anemia
sekaligus menyingkirkan diagnosis banding infeksi hepatobilier (sklera ikterik). Bila pasien
mengeluh keluhan pada saluran pencernaan, nyeri, atau demam lebih baik dilakukan
pemeriksaan pada abdomen untuk melihat apakah ada pembesaran organ.2

Pada pemeriksaan fisik pasien tampak lemas, pucat, dan rewel. Untuk hasil TTVnya
didapatkan suhu pasien 38.7ºC, frekuensi napas 40x/menit, frekuensi nadi 130x/menit, dan
tekanan darah 90/60 mmHg. Kemudian untuk konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik. KGB
servikal, aksila, dan inguinal teraba 2 cm multiple, tidak nyeri. Hepar teraba 4 jari BAC dan
lien teraba pada S2. Pada ekstremitas atas dan bawah positif petechiae dan purpura.

Pemeriksaan Penunjang3,4

1. Hitung Darah Lengkap dan Apus Darah


Darah lengkap adalah uji darah yang dilakukan untuk mengevaluasi kesehatan
secara menyeluruh dan mendeteksi kelainan seperti anemia, infeksi dan leukemia.
Komponen yang diperiksa pada darah lengkap adalah sel darah merah, sel darah
putih, hemoglobin, hematokrit dan platelet
Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis.
Hiperleukositosis (>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat
melebihi 200.000/mm3. Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi
sel blas pada hitung leukosit bervariasi dari 0 sampai 100%. Kira-kira sepertiga pasien
mempunyai hitung trombosit kurang dari 25.000/mm3.
2. Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang
Prosedur diagnostik untuk mendapatkan sampel dari jaringan lunak didalam
tulang. Sum-sum tulang adalah jaringan lunak yang ditemukan pada rongga interior
tulang yang merupakan tempat produksi sebagian sel darah baru.
Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan klasifikasi,
sehingga semua pasien LLA harus menjalani prosedur ini. Spesimen yang didapat
harus diperiksa untuk analisis histologi, sitogenetik dan immunophenotyping. Apus
sumsum tulang tampak hiperselular dengan limfoblas yang sangat banyak, lebih dari
90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang seluruhnya digantikan oleh
sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch
imprint dari jaringan biopsy penting untuk evaluasi gambaran sitologi.
3. Sitokimia
Metode pewarnaan tertentu yang hasilnya lebih spesifik daripada
menggunakan morfologi sel blas pada apusan darah tepi dan maupun aspirasi cairan
sumsum tulang. Gambaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum
tulang kadang-kadang tidak dapat membedakan LLA dari leukemi mieloblastik akut
(LMA). Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase akan memberikan
hasil yang negative. Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada
granula primer dari precursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas LMA.
Sitokimia juga berguna untuk membedakan precursor B dan B-ALL dari T-ALL.
Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan sel B
dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan periodic acid Schiff (PAS). TdT
yang diekspresikan oleh limfoblas dapat dideteksi dengan pewarnaan
imunoperoksidase atau flow cytometry.
Differential Diagnosis

1. Anemia Aplastik
Anemia aplastik merupakan suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang
dikarakterisasi dengan adanya pansitopenia perifer, hipoplasia sumsum tulang dan
makrositosis oleh karena terganggunya eritropoesis dan peningkatan jumlah fetal
hemoglobin. Insiden penyakit anemia aplastik di dunia tergolong jarang, berkisar 2-6
kasus per 1 juta penduduk pada negara-negara Eropa. Namun di Asia dikatakan
bahwa insiden penyakit ini lebih besar yaitu berkisar 6-14 kasus per 1 juta penduduk.
Anemia Aplastik dapat terjadi pada semua golongan usia, serta dapat diturunkan
secara genetik ataupun didapat. Insiden anemia aplastik didapat mencapai puncak
pada golongan umur 20-25 tahun, sedangkan jumlah tertinggi kedua berada pada
golongan usia diatas 60 tahun. Rasio anemia aplastik pada pria dan wanita adalah 1:1,
namun perjalanan penyakit serta manifestasi klinis pada pria lebih berat dibandingkan
wanita.5

Anemia aplastik merupakan penyakit yang akan diderita seumur hidup,


sehingga diperlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga dan lingkungan
dalam pengelolaan penyakit ini. Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang
penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat membantu memperbaiki
hasil pengobatan, serta diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas hidup
pasien.6

2. AML (Akut Myeloid Leukemia)7


AML merupakan leukemia yang terjadi pada seri myeloid, meliputi neutrofil,
eosinofil, monosit, basofil, megakariosit dan sebagainya. Sel-sel blast dalam jumlah
yang signifikan di darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus AML. AML
merupakan jenis penyebab leukemia akut terbanyak pada neonatus, kemudian
menurun dan stabil hingga masa remaja dan berlanjut pada usia dewasa khususnya
usia 55 tahun. Laki-laki dan perempuan terserang AML secara seimbang. ALL lebih
cepat memberikan respons pengobatan dibandingkan AML. Tetapi, ALL lebih cepat
menyebabkan kekambuhan daripada AML. Pada pemeriksaan fisik AML jarang
ditemukan organomegali, tetapi kadang ada gangguan penglihatan karena perdarahan
fundus oculi. Pemeriksaan fisik lain memberikan hasil yang sama dengan ALL.
Tetapi pada pemeriksaan gambaran darah tepi (GDT) pada AML dapat ditemukan
mieloblas yang mengandung batang Auer dan penurunan jumlah granulosit absolut.
Pada ALL, GDT yang ditemukan adalah peningkatan leukosit, limfositosis, dan
penurunan pada jumlah trombosit, neutrofil dan eritrosit.

Gambar 1. Batang auer.8


3. Sindrom mielodisplasia/ Myelodysplastic syndrome (MDS)9,10
Myelodysplastic syndrome (MDS) merupakan kumpulan berbagai gangguan
klonal sel stem hematopoietik yang ditandai dengan adanya sitopenia, displasia dan
cenderung bertransformasi menjadi leukemia mieloid akut (Acute myeloblastic
leukemia/ AML). Displasia dapat terjadi pada ≥1 seri sel mieloid yang menyebabkan
terjadinya hematopoiesis inefektif dengan jumlah sel blast <20% baik di darah tepi
maupun di sumsum tulang. Myelodysplastic syndrome dapat terjadi pada semua usia,
termasuk anak-anak, namun paling sering ditemukan pada orang tua, dengan usia
rata-rata 70 tahun serta lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita.MDS
jarang terjadi sebelum usia 50 tahun, penderita MDS yang berusia <50 tahun biasanya
mempunyai riwayat terpapar radiasi atau kemoterapi sebelumnya.
Penderita MDS dapat asimtomatik dan diagnosis dilakukan secara kebetulan
ketika melakukan pemeriksaan darah rutin. Kebanyakan pasien mengalami gejala
yang berhubungan dengan anemia, infeksi dan perdarahan. Infeksi pada MDS
dihubungkan dengan terjadinya neutropenia. Gejala perdarahan kulit dan mukosa
pada MDS disebabkan oleh trombositopenia atau disfungsi trombosit. Pada
pemeriksaan fisik dapat terlihat pasien pucat dan mengalami petechiae atau purpura.
Hepatomegali atau splenomegali terdapat pada 5-10% pasien.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium hitung darah lengkap/complete
blood count(CBC) pasien MDS memiliki jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit yang rendah, serta peningkatan sel blast leukemia abnormal. Lalu dapat
dilanjutkan dengan biopsi sumsum tulang untuk menentukan jumlah dan jenis sel
yang ada serta jumlah aktivitas hemopoiesis (pembentukan darah) yang terjadi.
Meskipun jumlah darahnya rendah, pada sebagian besar kasus MDS sumsum tulang
sangat aktif tetapi terjadi peningkatan jumlah sel imatur yang tidak normal dalam
bentuk, penampilan, dan ukurannya. Selain itu, produksi sel darah biasanya
ditemukan sangat tidak efisien (haematopoiesis tidak efektif). Persentase sel blast (sel
punca abnormal) yang terlihat di sumsum tulang (dan terkadang di dalam darah)
menggambarkan tingkat keparahan MDS.

Working Diagnosis

1. Leukimia Limfoblastik Akut (LLA)11


- Leukemia adalah Adalah keganasan klonal dari sel-sel precursor limfoid. Lebih dari
80% kasus, sel-sel ganas berasal dari limfosit B, dan sisanya merupakan leukemia sel
T. Leukemia ini merupakan bentuk leukemia yang paling banyak pada anak-anak.
Walaupun demikian 20% dari kasus LLA adalah dewasa. Jika tidak diobati, leukemia
ini bersifat fatal.
LLA sendiri adalah kanker anak yang paling sering dan mencapai lebih kurang
33% dari keganasan pediatrik. Leukemia limfoblastik akut (LLA) berjumlah kira –
kira 75% dari semua kasus, dengan insidensi tertinggi pada umur 4 tahun. Leukimia
limfoblastik akut dapat digolongkan menjadi tiga kelas berdasarkan morfologi
limfosit di darah tepi dan sum-sum tulang yaitu L1, limfosit berukuran kecil
predominate dengan inti bundar, sedikit sitoplasma, dan anak inti yang jelas. L2,
terdiri dari sel yang berukuran lebih besar dan sitoplasma yang lebih banyak, inti yang
ireguler, dan anak inti yang jelas. L3, sel besar dengan banyak sitoplasma, inti bulat,
dan anak inti yang jelas. Tipe L1 paling sering ditemukan pada anak-anak, namun
juga dapat terjadi pada dewasa. Sedangkan tipe L2 dan L3 lebih sering ditemukan
pada dewasa dan memiliki prognosis yang jauh lebih buruk.
Selain itu, terdapat klasifikasi lain berdasarkan imunologi yang menggunakan
antibodi monoclonal LLA dibagi menjadi sel T, sel B, sel pre B transisional, sel pre
B, dan sel pre B awal. Sekitar 95 persen anak yang menderita ALL memiliki jenis pre
B awal.
Etiologi12

            Etiologi leukemia anak tidak diketahui dan kemungkinan bersifat multifaktoral.


Faktor genetik dan lingkungan memegang peranan penting. Terdapat banyak translokasi
kromosom non acak rekuren pada sel leukemia. Translokasi dapat menyebabkan
pembentukan gen baru, yang ekspresinya dapat menghasilkan protein baru dengan
kemampuan bertransformasi. Faktor lingkungan yang dapat meningkatkan resiko seperti
paparan terhadap agen kemoterapi tertentu, khususnya inhibitor topoisomerase II. Radiasi
pengion, orang yang selamat dari ledakan bom atom Hiroshima dan Nagasaki mempunyai
resiko relatif keseluruhan 9,1 untuk berkembang menjadi ALL. Paparan dengan benzene
kadar tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang, kerusakan kromosom dan leukemia.

Epidemiologi13

            Setiap tahunnya, 2.500 – 3.000 kasus baru terjadi pada anak di Amerika Serikat.
Penyakit ini menyerang 40 dari 1 juta anak di bawah usia 15 tahun. Saudara kandung dari
pasien ALL mempunyai resiko empat kali lebih besar untuk berkembang menjadi ALL.
Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun lebih tinggi 1,15 kali pada laki-laki dibandingkan
perempuan. Ditemukan pada anak kulit putih dibandingkan kulit hitam.

Patofisiologi14,15

Pada leukemia terjadi kelainan pada gugus sel (klonal), kelainan proliferasi, kelainan
sitogenetik, kelainan morfologi dan kegagalan diferensiasi. Sebagian besar ALL mempunyai
homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari setiap pasien. Hal ini memberi dugaan
bahwa populasi sel leukemia itu berasal dari sel tunggal yang berproliferasi hingga mencapai
jumlah populasi sel yang dapat terdeteksi. Akut Limfoblastik Leukemia terjadi dikarenakan
oleh adanya perubahan abnormal pada progenitor sel limfosit B dan T. Pada ALL,
kebanyakan kasus disebabkan oleh adanya abnormalitas dari sel limfosit B. Banyak faktor
yang mempengaruhi terjadinya ALL seperti faktor genetika, imunologi, lingkungan, dan
obat-obatan. ALL terjadi karena pada sel progenitornya mengalami abnormalitas. 

Faktor genetika mempunyai peranan paling penting dalam proses terjadinya ALL.
Pada beberapa penelitian menyatakan bahwa terjadi gangguan pada gen ARID5B dan IKZF
yang ternyata berperan dalam regulasi transkripsi dan diferensiasi sel limfosit B. Selain
peranan genetik, faktor lingkungan seperti radiasi dan beberapa bahan kimia, infeksi, serta
imunodefisiensi juga berpengaruh. Paparan terhadap radiasi meningkatkan angka kejadian 
karena menyebabkan adanya gangguan terhadap sel-sel darah yang berada di sumsum tulang.
Peranan infeksi terhadap kejadian ALL masih dalam proses pengembangan oleh karena
adanya tumpang tindih antara usia anak-anak terkena infeksi dengan insidens puncak dari
ALL.

Anak-anak dengan penyakit imunodefisiensi yang diobati dengan obat-obatan yang


bersifat imunosupresif mempunyai resiko tinggi untuk mengalami keganasan terutama
limfoma. ALL bisa saja muncul tetapi jarang. Adanya perkembangan sel kanker pada pasien
immunocompromised berhubungan dengan infeksi.

Gejala Klinis16

Pada umumnya gejala klinis menggambarkan kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan
ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsum tulang
menyebabkan kurangnya sel normal di darah perifer dan gejala klinis dapat berhubungan
dengan anemia, infeksi, dan perdarahan. Gejala dan tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan
pada pasien ALL, yaitu:

 Anemia: mudah lelah, letargi, kulit pucat, pusing, sesak napas dan nyeri dada saat
aktivitas
 Anoreksia
 Perdarahan kulit (petechiae, atraumatic ecchymosis), perdarahan mukosa, perdarahan
gusi, hematuria, perdarahan saluran cerna, perdarahan otak
 Infeksi (bakteri, virus, jamur) yang tidak kunjung sembuh atau terus berulang
 Demam, banyak berkeringat (gejala hipermetabolisme)
 Hepatomegali, splenomegali (akibat infiltrasi organ oleh sel-sel leukemia)
 Limfadenopati (di sisi leher, di selangkangan, atau di area ketiak)
 Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel leukemia)
 Leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah (gejala tekanan tinggi
intrakranial), perubahan status mental, kelumpuhan saraf kranial.
Tatalaksana17,18

Cara pengobatan yang dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI terhadap
leukemia limfositik akut ialah dengan menggunakan protocol sebagai berikut:

1. Induksi
Sistemik :
a. VCR (vinkristin): 2 mg/m2/minggu, intravena diberikan 6 kali.
b. ADR (adriamisin): 40mg/m2/2 minggu intravena diberikan 3 kali dimulai pada hari
ketiga pengobatan
c. Prednisone 50mg/m2/hari peroral diberikan selama 5 minggu kemudian tapering off
selama 1 minggu.

SSP Profilaksis: MTX (metotreksat) 10mg/m2/minggu intratrakeal, diberikan 5 kali


dimulai bersamaan dengan atau setelah VCR pertama. Radiasi cranial: dosis total 2.400
rad dimulai setelah konsolidasi terakhir (siklofosfamid).

2. Konsolidasi
a. MTX: 15 mg/m2/hari intravena diberikan 3 kali dimulai satu minggu setelah VCR
keenam, kemudian dilanjutkan dengan :
b. 6-MP (6-merkaptopurin): 500 mg/m2/hari peroral diberikan 3 kali
c. CPA (siklofosfamid) 800mg/m2/kali diberikan pada akhir minggu kedua dari
konsolidasi
3. Rumat
Dimulai satu minggu setelah konsolidasi terakhir (CPA) dengan :
a. 6-MP: 65 mg/m2/hari peroral
b. MTX: 20 mg/m2/minggu peroral dibagi dalam 2 dosis

4. Reinduksi
Diberikan tiap 3 bulan sejak VCR terakhir. Selama reinduksi obat-obat rumat
dihentikan.
a. VCR: dosis sama dengan dosis induksi, diberikan 2 kali
b. Prednison dosis sama dengan dosis induksi diberikan 1 minggu penuh dan 1 minggu
kemudian tapering off
SSP: MTX intratrakeal, dosis sama dengan profilaksis, diberikan 2 kaliSSP: MTX
intratrakeal, dosis sama dengan profilaksis, diberikan 2 kali.
5. Imunoterapi
BCG diberikan 2 minggu setelah VCR kedua pada reinduksi pertama. Dosis 0,6 ml
intrakutan, diberikan pada 3 tempat masing–masing 0,2 ml. Suntikan BCG diberikan 3
kali dengan interval 4 minggu. Selama pengobatan ini, obat–obat rumat diteruskan.

6. Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun remisi terus menerus.

Pungsi sumsum tulang ulangan rutin dilakukan setelah induksi pengobatan (setelah 6
minggu).

Tatalaksana pada leukemia bisa kuratif dan suportif. Penanganan suportif adalah
dengan mengobati penyakit penyerta dan juga komplikasi yang menyertai leukemia seperti
pemberian transfusi darah, obat anti jamur, pemberian antibiotik, pendekatan nutrisi yang
baik, dan terapi psikososial. Sedangkan terapi kuratif bertujuan untuk membunuh sel
leukemia dengan kemoterapi dengan kombinasi beberapa obat sitostatika yang cara kerjanya
adalah dengan mempengaruhi sintesis atau fungsi DNA dari sel leukemia. 

Berdasarkan risiko relapsnya, pengobatan ALL diklasifikasikan menjadi pengobatan


untuk risiko standar dan tinggi. Pasien digolongkan kedalam risiko standar apabila
terdiagnosis pada usia 1-10 tahun dengan jumlah leukosit <50 x 10 3/µL, risiko tinggi apabila
berusia >10 tahun, jumlah leukosit >50 x 103/µL, terdapat massa di mediastinum, terdapat
keterlibatan SSP dan testis, atau jumlah limfoblas absolut pada sirkulasi adalah 1000/mm 3.
Klasifikasi ini yang nantinya menentukan protokol kemoterapi yang digunakan, yaitu:

 Protokol kemoterapi risiko standar

Terdiri atas fase induksi selama 6 minggu dan fase konsolidasi selama 5 minggu
kemudian dilanjutkan dengan fase pemeliharaan.

 Protokol kemoterapi risiko tinggi

Terdiri dari fase induksi selama 6 minggu, fase konsolidasi selama 6 minggu, dan fase
reinduksi selama 4 minggu, baru kemudian dilanjutkan ke fase pemeliharaan. Jenis
obat yang digunakan juga lebih banyak dan fase kemoterapi lebih lama.
Dimana pada fase induksi obat yang bisa diberikan adalah vincristine, doksorubisin, L-
asparaginase, methotrexate, deksametason. Pada fase konsolidasi: vincristine, L-asparaginase,
dan doksorubisin. Pada fase maintenance bisa diberikan dexametason, vincristine,
methotrexate.

Tujuan dari penanganan ALL adalah untuk mencapai complete remission (CR) yang
ditandai dengan hilangnya semua gejala fisik dan kelainan sumsum tulang dan restorasi
hematopoiesis normal (neutrofil 1500 sel/mm 3 dan trombosit >100.000 sel/mm3). Setelah
dicapai CR, pasien dipertahankan dalam CR kontinu dan pasien anak dianggap sembuh
setelah CR kontinu dicapai selama 5-10 tahun.

Selain terapi medikamentosa bisa juga dilakukan transplantasi sumsum tulang,


transfusi darah (PRC untuk mempertahankan Hb >10 g/dL dan trombosit konsentrat bila
terjadi perdarahan), untuk mencegah/mengatasi infeksi bisa dicegah kontak dengan penderita
penyakit menular atau antibiotik IV spektrum luas pada pasien dengan febrile neutropenia,
dan untuk mencegah hiperurisemia bisa diberikan allopurinol 10 mg/kg/hari dibagi menjadi 3
dosis. Selain itu pasien juga bisa diminta untuk diet makanan yang lunak dengan gizi
seimbang, menjaga kebersihan kulit, mulut, dan gigi.

Untuk mencegah terjadinya gejala sisa yang menyebabkan disabilitas dan bagi pasien
yang mempunyai penyakit sekunder atau komplikasi bisa diberikan terapi okupasi. Ini
bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan anak dalam beraktivitas sehari-hari,
meningkatkan perkembangan keterampilan, dan juga mengurangi dampak komplikasi
penyakit. Contohnya seperti latihan fisik dan kardiovaskular seperti bermain bola dan
aktivitas fisik lainnya.

Komplikasi19

1. SSP leukemia
Keterlibatan SSP merupakan salah satu kompikasi fatal LLA. Leukemia SSP adalah
invasi sel leukemik pada leptomeninges (arachnoid dan piamater) dan tahap akhir
leukemia SSP terjadi apabila massa sel yang besar telah mendestruksi membran  pial-
glial sehingga akhirnya menginfiltrasi parenkim otak.
2. Testicular leukemia
Pembengkakan testis dan eritema skrotum yang disebabkan infiltrasi sel leukemik ke
testis. Merupakan pembesaran testis yang tidak nyeri.
3. Keterlibatan tulang dan sendi
Terjadi infiltrasi sel leukemik ke periosteum dan sumsum tulang.
4. Infeksi
Penurunan produksi darah terutama sel darah putih (neutropenia) dapat menekan
imunitas seluler sehingga tidak ada pencegahan terhadap infeksi.
5. Pendarahan
Pendarahan yang mengancam jiwa sering terjadi pada leukemia akut dan menjadi
masalah yang serius. Komplikasi pendarahan mengakibatkan mortalitas 7-10% pada
pasien leukemia akut yang terjadi dalam beberapa hari atau minggu pertama setelah
diagnosis. Penyebab tersering pendarahan pada leukemia adalah trombositopenia.
Berkurangnya jumlah trombosit pada leukemia biasanya merupakan akibat dari
infiltrasi ke sumsum tulang. Selain trombositopenia, pendarahan dapat juga akibat
disfungsi trombosit, kelainan hepar dan fibrinolisis.
6. Febrile neutropenia
Demam yang terjaid pada pasien neutropenia berat (<500)
7. Sindrom lisis tumor
Terjadi dalam keadaan hiperleukositosis (leukosit >100.000) akan menyebabkan
viskositas darah meningkat, terjadi agregasi serta thrombus sel blas pada
mikrosirkulasi akibat ukuran sel blas yang lebih besar disbanding sel leukosit matur
serta tidak mudah berubah bentuk yang menimbulkan terjadinya oklusi yang disebut
leukostasis. Leukostasis akan menyebabkan perfusi yang buruk dan terjadi hipoksia,
metabolisme anaerob, asidosis laktat, akhirnya akan menimbulkan kerusakan dinding
pembuluh darah dan perdarahan. Leukostasis ini akan menyebabkan terjadinya
penghancuran sel abnormal berlebihan yang bisa berlangsung secara spontan atau
setelah terapi sitostatika. Lisis sel tumor menyebabkan terjadinya pelepasan kalium
secara cepat, asam urat yang berasal dari asam nukleat dan fosfat intraselular ke
ekstraselular. Dengan demikian terjadilah keadaan hiperkalemia, hiperurisemia,
hiperfosfatemia dengan hipokalsemia sekunder. Pada keadaan ini harus dipantau
terjadinya sindrom lisis tumor yang dapat mengakibatkan gangguan metabolik dan
gagal ginjal akut.
Prognosis

Kemungkinan seorang pasien untuk mencapai kesembuhan jangka panjang berdasarkan pada
sejumlah variabel biologik memiliki variasi yang besar. Kebanyakan pasien LLA dewasa
dapat mencapai remisi tapi tidak sembuh dengan kemoterapi saja, dan hanya 30% yang
bertahan hidup lama. Usia memiliki arti penting sekitar 70-90% anak dapat mengharapkan
kesembuhan, sedangkan pada orang dewasa, persentase ini turun secara bermakna sampai
kurang dari 5% di atas usia 65 tahun. Bayi juga memiliki prognosis yang kurang baik.19

Kesimpulan

Pasien tersebut menderita Acute Lymphoblastic Leukaemia (ALL), yang merupakan


jenis keganasan yang paling sering ditemui pada anak-anak, terutama menyerang anak usia
<15 tahun. Hal ini ditandai dengan gejala anemia sedang sampai berat, granulositopenia, dan
trombositopenia. Diagnosis ditegakan dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
yang terutama adalah hiperseluleritas sum-sum tulang dan ditemukannya sel blas pada darah
tepi. Penatalaksanaan ALL meliputi terapi terhadap kanker dan terapi suportif yang termasuk
di dalamnya pencegahan terhadap berbagai komplikasi. Prognosis ALL sendiri tergantung
dari penatalaksanaan dan usia pasien ALL.
Daftar Pustaka

1. NC H. LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT PADA DEWASA DENGAN


MULTIPLE LIMFADENOPATI. Medula (Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung). 2014;2(1).

2. Longo D. Harrison's hematology and oncology. 2nd ed. US: McGraw-Hill Education;
2013
3. Fianza PI. Leukemia limfoblastik akut. Dalam: Sudoyo AW, Setioyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam volume II. Edisi ke-5.
Jakarta: InternaPublishing; 2009.h.1266-74.
4. Sudiono H, Iskandar II, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta: Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UKRIDA;2009.
5. Bakta, IM. Hematologi Klinik ringkas. Jakarta : Buku Kedokteran EGC; 2003. 98-
109.
6. Anemia Aplastik Berat dengan Komplikasi Febril Neutropenia dan Perdarahan pada
Perempuan Usia 20 Tahun [Internet]. 2019 [cited 7 April 2021];6(1). Available from:
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/agro/article/viewFile/2278/pdf
7. Agus S, et al. Caspase-3 aktif di leukemia mielositik akut (lma) dan leukemia
limfoblastik akut (lla). Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical
Laboratory. 2013;19(3):141-5.
8. Timothy CC, Megan P.. Myeloid neoplasms and acute leukemia who (2016)
[Internet]. WHO; 2018 [cited 6 April 2021]. Tersedia dari:
https://imagebank.hematology.org/collection/61328

9. Parmawati NKA, Herawati S, Wande IN. Myelodysplastic syndrome (MDS) in a


child who transformed to acute myeloid leukemia with myelodysplasia-related
changes (AML-MRC). Bali Medical Journal. 2019; 8(2). 358-62p.

10. Agustin BN, Maani H, Desywar. Gambaran hematologi pasien myelodysplastic


syndrome di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2019; 8(3).
500-5p.
11. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Marcellus SK, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke 6. InternaPublishing. Jakarta; 2014. Hal. 2648-58, 2673-9,
2685-702.

12. Karen JM, Robert MK, Hal BJ, Richard EB. Nelson ilmu kesehatan anak esensial.
Edisi Ke-6. Singapore: Elsevier; 2018. 642-645
13. Kemenkes RI. Pedoman Penemuan Dini Kanker Pada Anak [Internet]. Kementrian
Kesehatan RI Direktorat Jenderal PP & PL Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak
Menular; 2011 [cited 6 April 2021]. Tersedia dari:
http://p2ptm.kemkes.go.id/uploads/2016/10/Pedoman-Penemuan-Dini-Kanker-Pada-
Anak.pdf
14. Adilistya T. Patofisiologi dan Diagnosis Infiltrasi Leukemia Limfoblastik Akut ke
Sistem Saraf Pusat. YARSI Medical Journal [Internet]. 2017 [cited 7 April
2021];25(2):115. Available from:
https://www.researchgate.net/publication/331092412_Patofisiologi_dan_Diagnosis_In
filtrasi_Leukemia_Limfoblastik_Akut_ke_Sistem_Saraf_Pusat
15. Anderson S. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2009. 170.
16. Fianza PI. Leukemia limfoblastik akut. Dalam: Sudoyo A.W, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S,editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. 6 thed.
Jakarta: Interna Publishing;2014. 2683-92p. 
17. Yenni. REHABILITASI MEDIK PADA ANAK DENGAN LEUKEMIA
LIMFOBLASTIK AKUT. JURNAL BIOMEDIK (JBM). 2014;6(1).
18. Papadantonakis N, Advani AS. Recent advances and novel treatment paradigms in
acute lymphocytic leukemia. Ther Adv Hematol. 2016;7(5):252–69.
19. A.V. Hoffbrand, J. E. Petit , P.A.H. Moss, Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 2005. 150-160p.

Anda mungkin juga menyukai