Oleh
Rafiqah Azzahra
2210312022
Kelompok 1
Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas
2023/2024
LYMPHOMA
1.2 Klasifikasi
Limfoma malignum diklasifikasikan menjadi limfoma malignum Hidgkin dan Limfoma
malignum non-Hodgkin. Keduanya memiliki manifestasi yang mirip, namun karakteristik dan
tatalaksananya berbeda. Linfoma Hodgkin dan non-Hodgkin dibedakan secara histopatologis;
pada limfoma Hodgkin ditemukan sel Reed Sternberg
A. Limfoma Hodgkin
Klasifikasi Limfoma Hodgkin
Faktor risiko untuk penvakit ini adalah infeksi virus;infeksi virus onkogenik diduga berperan
dalam menimbulkan lesi genetik,virus memperkenalkan gen asing ke dalam sel target. Virus-
virus tersebut adalah virus Epstein-Barr, Sitomegalovirus, HIV dan Human Herpes Virus-6
(HHV-6). Faktor risiko lain adalah defisiensi imun, misalnya pada pasien transplantasi organ
dengan pemberian obat imunosupresif atau pada pasien cangk:ok sumsum tulang. Keluarga dari
pasien Hodgkin (adik-kakak) juga mempunyai risiko untuk terjadi penyakit Hodgkin.
Epidemiologi
Limfoma Hodgkin lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan (1,3-1,4:1).
umumnya terjadi pada usia 15-34 tahun dan di atas 55 tahun. lnsidensnya 2.8 kasus per I00.000
individu. Pada tahun 2011 terdapat 8.830 kasus baru dan 1.300 kasus kematian akibat limfoma
Hodgkin (National Cancer Institute, 2011)
5. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan darah tepi, dapat ditemukan anemia, eosinofilia, serta peningkatan LED;
- Pemeriksaan fungsi hati: peningkatan alkali fosfa- tase dan ikterus kolestatik merupakan
gejala para- neoplastik tanpa keterlibatan hati;
- Pemeriksaan penanda kolestasis lain (seperti gam- ma GT). untuk mendeteksi adanya
obstruksi bilier ekstrahepatik karena pembesaran KGB portahepa- tis:
- Peningkatan ureum/ kreatinin (karena obstruksi ureter);
- Hiperurisemia (karena peningkatan tum-over aki- bat tumor). hiperkalsemia (karena
produksi limfo- toksin oleh jaringan limfoma). peningkatan lactate dehydrogenase/LDH
(menggambarkan massa tu - mor dan turn over). serta poliklonal hipergama- glob ulin
emia.
- Foto toraks: limfadenopati hilar/mediastinal, efusi pleura. Obstruksi aliran limfatik
mediastinal dapat menyebabkan efusi chylous (seperti susu);
- USG abdomen: kurang sensitif dalam mendiagnosis adanya limfadenopati;
- CT-scan abdomen: limfadenopati retroperitoneal. mesenterik, portal;
- CT-scan toraks: abnormalitas parenkim paru dan mediastinal.
6. Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan histopa- tologi kelenjar getah bening. dengan gambaran
khas sel-sel Reed Sternberg. Karakteristik sel ini adalah adanya 2 buah nukleus yang merupakan
bayangan cermin satu sama lain (mirror-image nuclei).
Diagnosis Banding
Limfoma non-Hodgkin, kanker paru, toksoplasmosis, tuberkulosis.
7. Tata Laksana
Meliputi kemoterapi dan radioterapi, bergantung
staging dan faktor risiko. Indikasi terapi menurut Ger- man Hodgkin's Lymphoma Study Group
adalah massa mediastinal yang besar, ekstranodal. peningkatan laju endap darah (> 50 mm/jam
pada kasus tanpa gejala; > 30 mm/jam pada kasus dengan gejala), dan tiga atau lebih regio yang
terkena.
- Radioterapi, meliputi extended field radiotherapy (EFRT), involved field radiotherapy
(IFRT), serta ra- dioterapi pada limfoma residual dan Bulky disease;
- Kemoterapi, yang direkomendasikanialah ABVD (adriamisin, bleomisin, vinblastin,
dakarbazin) dan Stanford V (mekloretamin, adriamisin, vinblastin, vinkristin, bleomisin,
etoposid. prednison, G-CSF).
Klasifikasi
Penggolongan histologis LNH merupakan masalah yang rumit dan sukar, yang kerap
mengunakan istilah-istilah yang dimaksudkan untuk tujuan yang berbeda beda sehingga
tidakmemungkinkandiadakannya perbandingan yangbermakna antara hasil hasil berbagai pusat
penelitian. Perkembangan tersebut dapat dilihat pada tabel .1
Perkembangan terakhir klasifikasi yang banyak dipakai dan diterima dibanyak pusat kesehatan
adalah formulasi praktis (Workinq Formulation/WF) dan REAL/ WHO. Working Formulation
menjabarkan karakteristik klinis dengan deskriptif histopatologis, namun belum
menginformasikan jenis sel limfosit B atau T, maupun berbagai patologis klinis yang baru. WF
membag LNH atas derajat keganasan rendah, menengah dan tinggi yang mencerminkan sifat
agresifitas mereka. Klasifikasi WHO/REAL beranjak dari karakter imunofenotip (sel B, sel Tdan
sel NK) dan analisa "lineage" sel limfoma. Klasifikasi terakhir ini diharapkan menjadi patokan
baku dan cara berkomunikasi di antara ahli hematologi-onkologi medik.
Hal yang perlu dicatat adalah 25% pasien LNH menunjukkan gambaran sel limfoma yang
bermacam macam pada satu lokasi yang sama; maka dalam hal ini pengobatannya harus
berdasarkan gambaran histologis yang paling dominan. Ole karena itu diagnosis klas fikasi LNH
harus selalu berdasarkan biopsi KGB dan bukan evaluasi sitologi atau biopsi sumsum tulang
semata.
Etiologi dan Faktor Resiko
Sebagian besar LNH tidak diketahui penyebabnya. Faktor risiko yang berhubungan dengan
terjadinya LNH meliputi imunodefisiensi, virus Ebstein-Barr (EBY). paparan herbisida atau
pelarut organik, diet tinggi lemak hewani, merokok, dan paparan ultraviolet. EBY DNA
ditemukan pada 95% limfoma Burkit endemik, lebih jarang pada limfoma Burkit sporadik.
Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya LNH, antara lain:
Imunodefisiensi: 25% kelainan herediter langka yang berhubungan dengan terjadinya LNH
antara lain adalah: severe combined immunodeficiency, hypogamma globulinemia, common
variable immunodeficiency, Wiskott- Aldrich syndrome, dan ataxia-telangiectasia. Limfoma
yang berhubungan dengan kelainan-kelainan tersebut seringkali dihubungkan pula dengan Virus
Epstein-Barr (EBV) dan jenisnya beragam, mulai dari hiperplasia poliklonal sel B hingga
limfoma monoklonal.
Agen Infeksius: EBV DNA ditemukan pada 95% limfoma Burkit endemik, dan lebih jarang
ditemukan pada limfoma Burkit sporadik. Karena tidak pada semua kasus limfoma Burkit
ditemukan EBV, hubungan dan mekanisme EBV terhadap teriadinya limfoma Burkit belum
diketahui. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan faktor lingkungan dapat
meningkatkan jumlah prekursor yang terinfeksi EBV dan meningkatkan risiko terjadinya
kerusakan genetik. Virus Epstein-Barr (EBV) juga dihubungkan dengan posttransplant
lymphoproliferative disorders (PTLDs) d a n AIDS-associated lymphomas.
PaparanLingkungan dan Pekerjaan: Beberapa pekerjaan yang sering dihubungkan dengan
risiko tinggi adalah peternak serta pekeria hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan adanya
paparan herbisida dan pelarut organik.
Diet dan Paparan Lainnya: risiko LNH meningkat pada orang yang mengonsumsi makanan
tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan ultraviolet.
Epidemiologi
Lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan (1,4: 1). Umumnya terjadi pada usia di
atas 50 ta- hun. rata-rata usia 65 tahun. lnsidensnya 12-15 kasus per I00.000 individu.
Seperti sel darah lainnya, sel limfosit dalam kelenjar limfe juga berasal dari sel-sel induk
multipotensial di dalam sumsum tulang. Sel induk multipotensial pada tahap awal
bertransformasi meniadi sel progenitor limfosit yang kemudian berdiferensiasi melalui dua jalur.
Sebagian mengalami pematangan dalam kelenjar timus untuk menjadi sel limfosit T, dan
sebagian lagi menuju kelenjar lime atau tetap berada dalam sumsum tulang dan berdiferensiasi
menjadi sel limfosit B.
Apabila ada rangsangan oleh antigen yang sesuai maka limfosit T maupun B akan
bertransformasi menjadi bentuk aktifdan berproliferasi. LimfositT aktif menjalankan fungsi
respon imunitas selular, sedangkan limfosit Baktif menjadi imunoblas yang kemudian menjadi
sel plasma yang membentuk imunoglobulin. Terjadi perubahan morfologi yang mencolok pada
perubahan ini, dimana sitoplasma yang sedikit/kecil padalimfosit B "tua" menjadi bersitoplasma
banyak/ luas pada sel plasma, perubahan ini terjadi pada sel limtosit B disekitar atau di dalam
centrum germinativum; sedangkan limfosit Taktif berukuran lebih besar dibanding limfosit
T"tua". (Gambar 2 )
Perubahan sel limfosit normal meniadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada
salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam proses transformasi
menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Hal yang perlu diketahui
adalah proses in terjadi di dalam kelenjar getah bening, dimana sel limfosit tua berada diluar
centrum germinativum sedangkan imunoblas berada di bagian paling sentral dari centrum
germinativum Beberapa perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: 1). Ukurannya
makin besar; 2). Kromatin inti menjadi lebih halus; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein
permukaan sel mengalami perubahan (reseptor ).
Hal mendasar lain yang perlu dingat adalah bahwa sel yang berubah menjadi sel kanker
seringkali tetap mempertahankan sifat dasarnya. Misalnya sel kanker dari limfosit tua tetap
mempertahankan sifat mudah masuk aliran darah namun dengan tingkat mitosis yang rendah,
sedangkan sel kankerdari imunoblas amatjarang masuk ke dalam aliran darah, namun dengan
tingkat mitosis yang tinggi.
Manifestasi Klinis
Pembesaran kelenjar getah bening, malaise umum, demam tinggi (> 38 °C), keringat malam,
penurunan berat badan 10% dalam waktu 1 bulan, keluhan anemia, keluhan organ (lambung,
keterlibatan cincin Waldey- er: suara serak). Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya
pembesaran kelenjar getah bening (KGB). ke- lainan atau pembesaran organ, dan performace
status yang bervariasi (ECOG/WHO, Karnofsky).
Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorium, seperti darah perifer lengkap, fungsi hati, dan fungsi ginjal
juga dilaku- kan sama seperti limfoma Hodgkin;
- Pencitraan CT-scan/USG abdomen untuk mengeta- hui adanya pembesaran KGB
paraaorta abdominal atau massa tumor dalam abdomen, foto toraks untuk mengetahui
adanya pembesaran KGB mediastinum;
- Pemeriksaan THT unruk mengetahui keterlibatan cincin Waldeyer;
- Gastroskopi untuk melihat keterlibatan lambung; Bone scan untuk mengetahui
keterlibatan tulang.
Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemerissaan histopatologi dan sitologi, yang
membedakannya dengan limfoma Hodgkin, yaitu tidak adanya sel Reed Sternberg.
Diagnosis Banding
Limfoma Hodgkin, kanker paru, toksoplasmosis, tuberkulosis.
Tatalaksana
- Derajat keganasan rendah: kemoterapi obat tunggal/ganda (per oral), radioterapi paliatif
- Derajat keganasan menengah:
o stadium I-IIA: radioterapi atau kemoterapi parenteral kombinasi
o stadium IIB-N: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk
tujuan paliatif;
o Derajat keganasan tinggi: kemoterapi parenteral kombinasi (lebih agresif),
radioterapi hanya berperan untuk tujuan paliatif
LNH Indolen
Indolen, Stadium I dan Stadium II, Kontrol penyakit jangka panjang atau perbaikan masa bebas
penyakit (disease free survival)secara bermakna dapatdicapai pada sejumlah pasien LNH indolen
stadium I atau stadium I| dengan menggunakan dosis radiasi 2500-4000 cGy pada lokasi yang
terlibat atau pada lapangan yang lebih luas yang mencakup lokasi nodal yang berdekatan.
(termasuk sistem KGB terkait dengan ekstra nodal yang terlibat)
Standarpilihan terapi: 1). Radioterapi 2). Kemoterapi dengan radioterapi3). Radioterapi Extended
(regional) untuk mencapai nodal yang bersebelahan. 4). Kemoterapi saia atau "Wait and see" jika
radioterapi tidak dapat dilakukan. 5). Radioterapi limfoid subtotal/ total (jarang). Radioterapi
luas tak meningkatkan angka kesembuhan dan dapat menurunkan toleransi terhadap kemoterapi
laniutan nantinya
Indolen, Stadium II/III/IV, Pengelolaan optimal LNH
indolen stadium laniut masih kontroversial dan masih
melalui berbagai penelitian klinis. Pilihan terapi standar:
- Tanpa terapi/Wait and see: pada pasien asimtomatik dilakukan penundaan terapi dengan
observasi.Pasien stadium laniut dapat diobservasi dan dilaporkan tidak memengaruhi
harapan hidup. Remisi spontan dapat terjadi. Terapi diberikan bila ada gejala sistemik,
perkembangan tumor yang cepat dan komplikasi akibat perkembangan tumor.(misalnya:
obstruksi atau efusi)
- Rituximab (antibodi monoklonal anti CD20; Rituxan, Mab Thera) sebagai terapi lini
pertama, diberikan tunggal atau kombinasi. Rituximab merupakan antibodi monoklonal
(anti CD20) kimera yang telah disetujui untuk terapi LNH indolen yang relaps atau
refrakter. Obat in bekerja dengan cara aktivasi antibodi-dependent sitotoksik T-sel,
mungkin melalui aktivasi komplemen dan memperantarai sinyal intraseluler:
o Untuk LNH indolen, dihasilkan O R 50% dengan lama respons bertahan sekitar 1
tahun. Pada large cell lymphoma, dihasilkan respons sekitar 30%. Kombinasi
kemoterapi dengan rituximab bersifat sinergis.
o Dosis baku rituximab 375 mg/mg VI setiap minggu selama 4 sampai 8 minggu
dan dosis maksimum yang bisa ditoleransi belum ditentukan. Terapi ulang
memberikan respons 40%.Efek samping berupa demam dan menggigil biasa
dijumpai terutama pada infus pertama kali. Efek samping yang fatal (seperti
anafilaksis, ARDS dan sindrom lisis tumor) pernah juga dilaporkan terutama pada
pasien dengan sel limfoma dalam sirkulasi atau CLL
- Purine nucleoside analogs (Fludarabin atau 2-klorodoksiadenosin: kladribin) memberikan
respons sampai 50% pada pasien yang telah diobati/ kambuh.
- Alkylating Agent Oral (dengan atau t a p a steroid)
o Siklofosfamid
o Klorambusil
- Kemoterapi Kombinasi. Terutama untuk memberikan hasil yang cepat. Biasanya
digunakan kombinasi klorambusil atau siklofosfamid plus kortikosteroid, dan fludarabin
plus mitoksantron.Kemoterapi tunggal atau kombinasi menghasilkan respons cukup baik
(60-80%). Terapi diteruskan sampai mencapai hasil maksimum. Terapi maintenance
tidak meningkatkan harapan hidup, bahkan dapat memperlemah respons terapi berikut
dan mempertinggi efek leukemogenik
Beberapa protokol kombinasi antara lain:
- Antibodi Monoklonal Radioaktif. Angka respons berkisar antara 50-80% pada kasus
yang pernah diterapi. Sediaan yang tersedia antara lain :131- anti CD20 (tositumomab,
Bexxar®) dan 90Y-anti CD20 (Ibritumomabtiuxetan, Zevalin ®), digunakan pada pasien
relaps dengan/tapa keterlibatan sumsum tulang minimal (< 25%). Suatu penelitian acak
yang membandingkan tuxetan vs rituximab menunjukan tingkat respon pengobatan (80%
vs 55%) dan remisi lengkap (30% vs 15%) untuk keuntungan radio imuno-
konjugasi.
- Kemoterapi intensif dengan / tanpatotal-body irradiation diikuti dengan transplantasi
sumsum tulang/stem cell perifer autologous atau allogenic/ PBSCT (masih dalam
evaluasi klinis).
- Kemoterapi dibandinqkan dengan kemoterapidiikuti anti-idiotype vaccine (penelitian fase
III) IFN-a. Penggunaan IFN-alpha pada limfoma folikular sampai sekarang belum jelas.
Hasil beberapa penelitian menunjukkan efek potensiasi angka respons, perpanjangan
waktu remisi dan kemungkinan pengaruhnya pada harapan hidup.
- Radioterapi paliatif. Diberikan pada kasus tumor besar (bulky) atau untuk mengurangi
obstruksi dan nyeri.
Konversi histologis. LNH indolen yang bertransformasi menjadi agresif memiliki prognosis
jelek dan dapat melibatkan sistem saraf pusat (terutama: meningen). Biasanya memberikan
respons terapi yang baik cengan protokol pengobatan LNH derajat keganasan menengah atau
tinggi. Kemoterapidosis tinggi dan transplantasi sel induk untuk kasus ini harus
dipertimbangkan.
Primary Cutaneous B-Cell Lymphoma (CBCL). Didefinisikan sebagai limfoma tanpa
penyebaran ekstrakutan pada waktu didiagnosis dan selama paling sedikit 6 bulan berikutnya.
Penyebaran ke kaki memberikan prognosis yang lebih jelek. CBCL yang terlokalisir diobati
dengan radioterapi, juga untuk yang multifokal. Kemoterapi dicadangkan untuk kasus dengan
lesi anatomik "non-contiguous" atau penyebaran ekstrakutan.
Terapi eksperimental. Beberapa antibodi monoklonal dengan target antigen CD23, CD19,
CD20, CD22 atau untuk beberapa antigen yang lebih umum sifatnya seperti CD5, CD25, CD80,
CD40.
- Alemtuzumab (Campath - 1H), antibodi terhadap CD52 untuk terapi CLL, prolimfositik
leukemia dan beberapa jenis limfoma sel .T
- Imunotoksin
- Vaksin idiotipe
- Antisense oligonukleotida Inhibitor selektif
- Transplantasi sumsum tulang autologus atau dukungan terapi sel induk perifer, setelah
kemoterapi dosis tinggi sedang diteliti secara mendalam.
- Transplantasi sumsumtulang alogenik atautransplantasi sel induk. Dianjurkan pada pasien
usia muda yang refrakter dengan donoryang masih ada ikatan keluarga dan digunakan
sebagai cadangan terakhir.
LNH Agresif
LNH Intermediate/High Grade Terlokalisir. Non bulky stadium AI dan |IA, dengan
keterlibatan ekstranodal (E), dapat diterapi dengan regimen yang mengandung doksorubisin
(CHOP/CHVmP/BV) minimal 3 siklus, dilanjutkan dengan involved field radiotherapy (IFRT)
(ekuivalen dengan 3000 cGy dalam 10 fraksi). Kombinasi kemoterapi dan radioterapi pada
stadium awal memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan kemoterapi saja.
Stadium I-II (Bulky), I dan IV. diterapi dengan CHOP sikluslengkap atau CHVmP/BV 8 siklus
(dalam penelitian). Untuk daerah "bulky" IFRT dapat diberikan guna meningkatkan lokal
kontrol. Mc Kelvey melaporkan pada kasus yang diterapi dengan regimen CHOP 50% sampai
71% pasien mencapai remisi lengkapdan 75% diantaranya bertahan hidup lebih dari tiga tahun.
Harrvanto R dan Diumhana melaporkan di Indonesia kejadian remisi dan kesintasan ini lebih
rendah, belum diketahui faktor pasti penvebabnva. Penelitian secara acak terhadap protokol
CHOP(generasi pertama) dibandingkan dengan beberapa protokol generasi |I/III seperti: m-
BACOD, MACOP-B, dan ProMACE-CYtaBOM oleh The Inter Group Study melaporkan tidak
ada perbedaan bermakna dari sudut angka harapan hidup dan masa bebas penyakit. Harapan
hidup aktuarial berkisar antara 40% sampai 45%. Dengan demikian protokol CHOP tetap
merupakan protokol baku terapi awal LNH agresif. Selain itu, hasil GELA study (Coiffier et al)
menunjukkan bahwa para pasien usia tua dengan LNH agresif, penambahan rituximab pada
setiap siklus CHOP meningkatkan overall survival dalam 3 tahun dari 49% menjadi 62% bila
dibandingkan dengan CHOP saja. Selain itu, regimen yang sama dapat menghasilkan "disease
control" (cure) sekitar 30-40% pada pasien stadium lanjut LNH derajat keganasan menengah dan
tinggi
LNH intermediate/high grade yang refrakter/ relaps:
- pasien refrakter yang gagal mencapai complate respons diberikan terapi salvage dengan
radioterapi jika area yang terkena tidak ekstensif. Terapi oilihan bila memungkinkan
adalah kemoterapi salvage dikuti dengan transplantasi stem cell autologus/PBSCT
- Kemoterapi salvage terdiri dari high-dose sitosin arabinose, kortikosteroid dan sisplatin
dengan atau tanpa etoposid. Pilihan lain ICE, MINE, dan yang lain seperti CEPP/B,
EVA, miniBEAM, VAPEC Bdan infus EPOCH.
- Kemoterapi dosis tinggi dengan radioterapi dikuti PBSCT
- Allogenic BMT
MCL (Mantle Cell lymphoma) agresif. Terapi yang diberikan adalah Hyper CVAD alternating
dengan metotreksat dosis tinggi plus sitarabin dosis tinggi. Rituximab ditambahkan untuk
regimen ini. Pasien <65 tahun dipertimbangkandilakukantransplantasi autologus atau alogenik
setelah dua atau empat siklus kemoterapi. Siklus regimen ini diulang setiap 21 hari. Protokol
Leiden khususnya untuk stadium I dan IV, mengikuti "European Intergroup Trial" yang
membandingkan mieloablatif radiokemoterapi diikuti dengan transplantasi sumsum tulang atau
dosis pemeliharaan dengan INF-a setelah tercapai remisi dan sitoreduksi dengan kemoterapi
yang mengandung kombinasi antrasiklin
Terapi induksi 1: (R-Hyper VCAD)
Rituximab 375 mg/m2 VI hari | dan 8 Siklofosfamid 300mg/m2 IV setiap 12 jam hari l-3
Vinkristin 2 mg IV hari ke 4 dan 1
Doksorubisin 25 mg/m2, infus selama 24 jam hari ke 4 dan 5
Deksametason 40 mg IV atau PO, hari l-4 dan hari ke 11-14
Granulosit Colony-stimulatina factor (G-CSF), 5ug/ kg VI atau SC setiap hari, dimulai hari ke 6
sampai neutropil >4500/uL
Terapi Induksi 2: (dimulai setelah pulih dari siklus 1) Rituximab 375mg/m? iv infus hari 1
Metotreksat 200 mg/mg iv bolus hari 1, dikuti 800mg/m2 infus VI selam 24 jam; berikan larutan
VI alkalin
Leukovorin, 50mg PO diberikan 24jam setelah infus metotreksat selesai dikuti 15mgPO setiap
6jam total 8 dosis (dosis disesuaikan berdasarkan kadar serum metotreksat)
Sitarabin 3000mg/m? iv selama 1jam setiap 12 jam total 4 dosis dimulai hari ke 2 (dosis
dikurangi men iadi 1000mg/m? perdosis untuk pasien >60 tahun
dengan serum kreatinin lebih dari 1,5mg/dl)
Limfoblastik limfoma. Terapi sama dengan AL (misal: protokol ALL-4 .) Pasien dengan
prognosis jelek dipertimbangkan untuk transplantasi sumsum tulang awal atau regimen
kemoterapi awal yang lebih intensif. Universitas Stanford mengusulkan regimen:
Terapi induksi 1 bulan
Profilaksis susunan saraf pusat (SSP) 1 bulan Terapi konsolidasi 3 bulan
Terapi maintenance 7 bulan.
Regimen
- Siklofosfamid 400 mg/m2 PO untuk 3 hari pada minggu 1, 4,9,12, 15 dan 18
- Doksorubisin 50 mq/m? iv pada minggu 1,4,9,12,15 dan 18
- Vinkristin 2 mg IV mingqu 1,2,3,4,5,6,9, 12, 15, dan 18
- Prednison 40 mg/m2 setiap hari selama 6 minggu (tapperingoff), dilanjutkanselama 5 hari
pada minggu 9, 12,15,dan 18
- Profilaksis SSP dengan radioterapi whole-brain (2400cGy dalam 12 fraksi) dan
metotreksat intratekal (12 mg setiap kali untuk 6dosis) diberikan antara minggu 4 dan 9.
- L-asparaginase 6000 U/m2 (maximum 10.000 U) untuk 5 dosis pada awal peberian
profilaksis SSP.
- Terapi maintenance terdiri dari metotreksat (30 mg/ m2 PO setiap minggu) dan 6-
merkaptopurin (75 mg/ m2 PO setiap hari) dari minggu 23 sampai 52.
Difuse Small Cleaved Cell/Burkitt's Limfoma. Terapi jenis ini sama dengan limfoma agresif
(sel besar difus) stadium lanjut; mengunakan regimen kombinasi yang agresif. Pasien dengan
limfoma jenis ini mempunyai risiko 20-30 % selama perjalanan hidupnya untuk menyebar ke
SSP; pemberian metotreksat intratekal (4- 6 kali) direkomendasikan untuk semua pasien.
Beberapa pusat kesehatan mempertimbangkan konsolidasi dengan transplantasi sum sum tulang
Komplikasi
- Akibat penyakitnya langsung: penekanan pada organ, khususnya jalan napas dan usus
- Akibat efek samping pengobatan
o Radioterapi dapat meningkatkan risiko kega- nasan sekunder (khususnya tulang,
payudara, melanoma, sarkoma, lambung, dan tiroid) ;
o Kemoterapi dapat menyebabkan mielosupresi, mudah terserang infeksi;
o Radioterapi dan kemoterapi dapat menyebab- kan infertilitas.
LEUKIMIA
1. Leukimia Mieloblastik Akut
Definisi dan Klasifikasi
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi
neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid. Bila tidak diobati,
penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa mingqu sampai
bulansesudahdiagnosis. Sebelum tahun 1960an pengobatan LMA terutama bersifat paliatif, tetapi
sejak sekitar 40 tahun yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara cepat dan dewasa ini
banyak pasien LMA yang dapat disembuhkan dari penyakitnya. Kemajuan pengobatan LMA ini
dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih baik, kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan
cangkok sumsum tulang dan terapi suportif yang lebih baik seperti anti biotik generasi baru dan
transfusi komponen darah untuk mengatasi efek sampinq pengobatan. Selain i t seiak sekitar 2
dekade tahun yang lalu juga telah dikembangkan teknik diagnostik leukemia dengan cara
immunophenotyping dan analisis sitogenetik yang menghasilkan diagnosis yang lebih akurat.
Epidemiologi
Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32%dari seluruh kasus leukemia.
Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada anak (15%). Insidens LMA
umumnva tidak berbeda dari masa anak- anak hingga masa dewasa muda. Sesudah usia 30 tahun,
insidensi LMA meningkat secara eksponensial sejalan dengan meningkatnya usia. Insidens LMA
pada orang yang berusia 30 tahun adalah 0,8%, pada orang yang berusia 50tahun 2,7%, sedang
pada orang yang berusia di atas 65 tahun adalah sebesar 13,7%. Secaraumum tidak didapatkan
adanya variasi antar etnik tentang insidensi LMA, meskipun pernah dilaporkan adanya insidens
LMA tipe M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali lebih besar pada ras Hispanik yang t i n g g a ldi Amerika
Serikat dibandingkan dengan ras Kaukasia
Manifestasi Klinis
Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien LMA tidak selalu dijumpai
leukositosis. Leukositosis teriadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang 15% pasien mempunyai
angka leukosit yang normal dan sekitar 35% pasien mengalami netropenia. Meskipun demikian,
sel- sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus LMA.
Oleh karena itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di darah tepi
sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang yang diduga
menderita LMA.
Tanda dan gejala utama LMA adalah adanyarasa lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan
oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana disebutkan di atas. Perdarahan biasanya
terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa
epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada
kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3.
Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah peri rektal, sehingga organ-
organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan demam.
Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebihdari 100 ribu/mm3), sering terjadi
leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena
maupun arteri. Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang
sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak napas, nyeri dada dan priapismus. Angka
leukosit yang sangat tinggi juga sering menimbulkan gangguan metabolisme berupa
hiperurisemia dan hipoglikemia. Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit yang berproliferasi
secara cepat dalam jumlah yang besar. Hipoglikemia teriadi karena konsumsi gula in vitro dari
sampeldarah yang akan diperiksa, sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang asimptomatik
karena hipoglikemia tersebut hanya teriadi in vitro tetapi tidak in vivo padat ubuh pasien
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/ gejala yangbervariasi tergantung organ yang di
infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis vaitu berupa benjolan
yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan
menyebabkan nodul di bawah kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan
menimbulkan nyeri tulang yanq spontan atau dengan stimulasi ringan. Pembengkakan gusi
sering dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel blast kedalam gusi. Meskipun jarang, pada
LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah menings dan untuk penegakan
diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil melalui
prosedur pungsi lumbal.
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis
Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, morfologi sel dan
pengecatan sitokimia. Seperti sudahdisebutkan, seiak sekitar dua dekade tahun yang lalu
berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru: immunophenotyping dan analisissitogenetik.
Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli hematologi
Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri dari 8
subtipe (MO sampai dengan M7, Tabel 2). Klasifikasi inidikenal dengan nama klasifikasi FAB
(French American British). Klasifikasi FAB hingga s a t ini masih menjadi diagnosisdasar LMA.
Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B(SBB) dan
mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan hasil positif
pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4 dan M6.
Pemeriksaan penentuan imunofenotip adalah suatu teknik pengecatan modern yang
dikembangkan berdasarkan reaksi antigen dan antibodi. Diketahui bahwa permukaan membran
sel-sel darah mengekspresikan antigen yang berbeda-beda tergantung dari jenis dan tingkat
diferensiasi sel-sel darah tersebut. Sebagai contoh sel limfosit mengekspresikan antigen yang
berbeda dengan sel granulosit maupun sel trombosit dan eritrosit. Demikian pula limfosit B
mempunyai ekspresi antigen yang berbeda dengan limfosit .T Selain itu sel-sel blast
mengekspresikan antigen yang berbeda dengan sel-sel leukosit yang lebih matur seperti
promielosit dan mielosit. Bila antigen yang terdapat di permukaan membran sel tersebut dapat
didentifikasi dengan antibodi yang spesifik, maka akan dapat dilakukan identifikasijenis sel dan
tingkat maturitasnya yang lebih akurat. Identifikasi sel dengan teknik immunophenotyping
biasanyadiberi label CD (cluster of differentiation). Saat ini terdapat lebih dari 200 CD yang
menjadi penanda berbagai jenis dan tingkat
maturitas sel-sel darah. Selain berfungsi sebagai alat diagnosis, teknik immunophenotyping juga
mempunyai nilai prognostik dan terapi. Sebagai contoh, pasien LMA yang mengekspresikan
CD7 mempunyai prognosis yang jelek sedang pasien LMA yang mengekspresikan CD2
mempunyai prognosis yang lebih baik. Saat ini juga sedang dikembangkan terapiantibodi yang
secara spesifik mempunyai target terapi CD33, gemtuzumab osagamicin, yang diindikasikan
bagi pasien LMA usia lanjut yang mengekspresikan CD33.
Analisis sitogenetik pada keganasan hematologi telah dimulai seiak awal 1960 dan berkembang
lebih pesat sejak awal 1980an. Terdapat 2 kelainan dasar sitogenetik pada LMA: kelainan yang
menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom dan kelainan menyebabkan
perubahan yang seimbang tanpa menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom.
Kelainan pertama dapat berupa kehilangan sebagian dari materi kromosom (delesi/ del) atau
hilangnya satu materi kromosom secara utuh (monosomi). Penambahan materi kromosomjuga
dapat bersifat sebagian (duplikasi/d) atau bertambahnya satu atau lebih materi kromosom secara
utuh (trisomi, tetrasomi).Kelainan kedua berupa perubahan kromosom seimbang dalam bentuk
perubahan resiprokal antara dua atau lebih kromosom (translokasi/t) atau perubahan pada
berbagai bagian dalam satu kromosom (inversi/ inv).
Kelainan sitogenetik t (8,21), t (15,17), inv (16)/t dan translokasi 11q23 merupakan kelainan
sitogenetik yang dijumpai pada 21%-28% pasien LMA dewasa. Kelainan
sitogenetik lain yang dijumpai dalam jumlah cukup signifikan pada pasien LMA adalah trisomi,
delesi dan kelainan karyotype yang kompleks (mempunyai kelainan sitogenetik 3 atau lebih).
Kelainan sitogenetik pada pasien LMA mempunyai nilai prognostik. Pasien dengan kelainan
sitogenetik: t (15;17), inv (16), t (16;16) atau del (16g) dan t (8;2-) yang tidak disertai del(9g)
atau kelainan karyotype yangkompleks mempunyai prognosis yangbaik (favourable); pasien
dengan kelainan sitogenetik +8, Y-, +6, del (12p) atau karyotype yang normal mempunyai
prognosis yang sedang (intermediate), sedangkan pasien dengan kelainan sitogenetik-5 ataudel
(5q)-7 atau del (7q), inv (3q), del (9q), t (9;22) dan karyotype yang kompleks mempunyai
prognosis yang buruk (unfavourable). Profil kelainan stogenetik pada pasien LMA juga
mempunyai implikasi terhadap terapi sebab dewasa ini, meskipun m a s h kontroversial, telah
dikembangkan strategi terapi pada pasien LMA berdasarkan profil sitogenetik pasien (lihat
terapi).
Berdasarkan profil kelainan sitogetik pasien, WHO mengajukan usulan perubahan klasifikasi
LMA, yang telah diadcpsi di banyak negara. Pada tabel 2 dapat
dilihat kesepadanan diagnosis LMA berdasarkan klasifikasi FAB dan analisis sitogenetik
Diagnosis Banding
Leukemia limfoblastikakut (ALL). Auer rods khas pada AML, tetapi tidak pada ALL.
Tatalaksana
Penatalaksanaan dapat berupa kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum tulang
serta terapi suportif, seperti pemberian antibiotik dan transfusi komponen darah, bila diperlukan.
Pasien dengan LMA sebaiknya dirujuk ke Poliklinik Hematolo- gi-Onkologi Medik untuk
mendapatkan penatalaksa- naan lebih komprehensif.
Epidemiologi
Keiadian leukemia mielositik kronis mencapai 20% dari semua leukemia pada dewasa, kedua
terbanyak stelah leukemia limfositik kronik. Pada umumnya menyerang usia 40-50 tahun,
walaupun dapat ditemukan pada usia muda danbiasanya lebih progresif. Di Jepang kejadiannya
meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, demikian juga di Rusia
setelah reaktor atom Chernobil meledak.
Manifestasi Klinik
Dalam perjalanan penyakitnya, LGK dibagi menjadi 3 fase, yakni: fase kronik, fase akselerasi
dan fase krisis blas. Pada umumnya saat pertama diagnosis ditegakkan, pasien masih dalam fase
kronis, bahkan sering kali diagnosis LGK ditemukan secara kebetulan, misalnya saat persiapan
para operasi, dimana ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala-gejala infeksi.
Padafasekronis, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau merasa cepat kenyang akibat
desakan limpa terhadap lambung. Kadang timbul nyeri seperti diremas di perut kanan atas
akibat. Keluhan lain sering tidak spesifik, misalnya: rasacepat lelah, lemah badan, demam yang
tidak terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung
lama. Semua keluhan tersebutmerupakan gambaranhipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel
leukemia. Apabila dibuat urutan berdasarkan keluhan yang diutarakan oleh pasien, maka seperti
terlihat pada tabel 1
Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau mengalami akselerasi.
Bila saat diagnosa ditegakkan, pasien berada pada fase kronis, maka kelangsungan hidup
berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun. Ciri khas fase akselerasi adalah: leukositosis yang sulit
dikontrol oleh obat-obat mielosupresif, mieloblas di perifer mencapai 15-30%, promielosit
>30%, dan trombosit <100.000/mm?. Secara klinis, fase ini dapat diduga bila limpa yang tadinya
sudah mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertambah berat, timbul
petekie, ekimosis. Bila disertai demam, biasanva ada infeksi.
Pemeriksaan Penunjang
Hematologi rutin. Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun, lekosit
antara 20-60.000/mm3. Persentasi eosinofil dan atau basofil meningkat. Trombosit biasanya
meninqkat antara 500-600.000/mm3. Walaupun sangat jarang, pada beberapa kasus dapat normal
atau trombositopenia.
Apus Darah Tepi Eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya
polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan
Eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya polikromasi eritroblas
asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit,
persentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian juga persentasi eosinofil dan atau
basofil
Apus Sumsum Tulang Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasipersentasi eosinofil
dan atau basophil dari sel-sel leukemia, sehingga rasio mieloid: eritroid meningkat. Megakariosit
juga tampak lebih banyak.Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa stromasumsum tulang
mengalami fibrosis.
Karyotipik Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding - technique), saat ini teknik
ini sudah mulai ditinggalkan dan peranannya digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen
Insitu Hybridization) yang lebih akurat. Beberapa aberasi kromosom yang sering ditemukan pada
LGK, antara lain:
+8, +9, +19, +21, i(17).
Pemeriksaan laboratorium lain. Sering ditemukan hiperurikemia.
Diagnosis
Hematologi rutin: leukositosis (umumnya berkisar antara 20.000-60.000/ mm3) , peningkatan
persentase eosinofil dan basofil, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun, trombosit
berkisar antara 500.000- 600.000/mm3 (pada beberapa kasus dapat normal atau trombositopenia,
namun sangatjarang);
Apus darah tepi: polikromatofil, tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri
granulosit, peningkatan persentase sel mielosit, metamielosit, basofil, dan eosinofil;
Apus sumsum tulang: gambaran hiperselular, pe- ningkatan jumlah megakariosit;
Karyotyping: hilangnya sebagian lengan panjang kromosom 22 (kromosom Philadelphia/Ph);
Sitogenetika fluorescence in situ hybridization (FISH), ditemukan translokasi resiprokal antara
lengan panjang kromosom 22 dengan lengan panjang kromosom 9.
Diagnosis Banding
Trombositosis esensial, leukimia mieloblastik akut, sindrom mielodisplasia
Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan LGK adalah untuk mencapai remisi hematologik komplit maupun remisi
sitogenetik komplit (berkurangnya ekspresi gen BCR-ABL atau protein yang dihasilkannya),
serta re- misi molekular komplit (hilangnya atau berkurangnya kromosom Ph).
l. Hidroxyurea, merupakan terapi pilihan untuk in- duksi remisi hematologi. Dosis 30
mg/KgBB/hari per oral, diberikan dosis tunggal atau dibagi dalam 2-3 dosis. Apabila kadar
leukosit > 300.000/mm3, dosis dapat ditingkatkan hingga maksimal 2,5 g/ . hari. Penggunaan
dihentikan dahulu apabila leu- kosit<8.000/mm3atautrombosit< IOO.OOO/mm3. Efek
mielosupresif berlangsung dalam beberapa hari sampai minggu setelah pengobatan dihenti- kan .
2. Busulfan (Myleran®), dosis 4-8 mg/ hari per oral, maksimal 12 mg/ hari. Terapi harus
dihentikan apabila leukosit berkisar antara 10.000-20.000/ mm3, dan dimulai kembali setelah
leukosit > 50.000/mm3 Bila leukosit sangat tinggi, sebaiknya disertai dengan pemberian
allopurinol dan dukun- gan hidrasi yang baik. Obat ini dapat menyebab- kan fibrosis paru dan
supresi sumsum tulang yang berkepanjangan. Busulfan dikontraindikasikan pada perempuan
hamil.
3. Imatinib mesylate, untuk mencapai remisi he- matologik, remisi sitogenetik, dan remisi
biologis molekular. lmatinib menghambat aktivitas tirosin- kinase dari fusi gen BCR-ABL. Obat
ini diindikasi kan sebagai terapi lini pertama. Pasien pada fase akselerasi/krisis blast kurang
sensitif terhadap imatinib dan hasilnya tidak sebaik bila dibandingkan dengan fase kronis.
Namun pada pasien yang baru didiagnosis LGK, terapi imatinib memberikanhasil yang lebih
baik bila dibandingkan dengan interferon (remisi hematologik lengkap: 97% vs 69%; remisi
sitogenetik lengkap: 76% vs 14%;progresi menuju fase akselerasi/krisisb/ast: 3% ~ vs 8,5%). Hal
tersebut melatarbelakangi Food and Drug Administration (FDA) merekomendasikan penggunaan
imatinib mesylate untuk semua fase LGK.
4. Interferon alfa, untuk mencapai remisi sitogenetik.
5. Cangkok sumsum tulang merupakan terapi definitive LGK, dapat memperpanjang remisi
hingga lebih dari 9 tahun. Namun prosedur ini tidak dilakukan pada LGK dengan pemeriksaan
kromosom Ph negative atau BCR ABL negative
Komplikasi
Sindrom Lisis Tumor
Klasifikasi
Klasifikasi Imunologi
- Precursor B-Acute Lymphoblastic Leukaemia (ALL)- 70%: common ALL (50%), null
ALL, pre-B AL
- T-ALL (25%)
- B-ALL (5%)
Definisi subtipe imunologi in berdasarkan atas ada atau tidak adanya berbagai antigen
permukaan sel. Subtipe imunologi yang paling sering ditemukan adalah common ALL. Null cell
ALL berasal dari sel yang sangat primitif dan lebih banyak pada dewasa. B-ALL merupakan
penyakit yang jarang, dengan morfologi L3 yang sering berperilaku sebagai limfoma agresif
(varian Burkitt).
Epidemiologi
Insidensi LLA adalah 1/60.000 orang per tahun, dengan 75% pasien berusia kuranq dari 15
tahun. Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banvak ditemukan pada pria daripada
perempuan. Saudara kandung dari pasien LLA mempunyai risiko empat kali lebih besar untuk
berkembang menjadi LLA, sedanqkan kembar monozigot dari pasien LLA mempunyai risiko
20% untuk berkembang menjadi LLA.
Kelainan yang lain yaitu -7, +8, dan karyotipe hipodiploid berhubungan dengan prognosis yang
buruk; sedangkan t(10;14) dan karyotipe hiperdiploid tinggi berhubungan dengan prognosis yang
baik. Mekanisme umum lain dari pembentukan kanker adalah hilangnya atau inaktivasi gen
supresor tumor yang mempunyai peranan penting dalam mengontrol progresi siklus sel, misalnya
p16(INK4A) dan p15(INK4B). Kejadian yang sering adalah deles, mikrodelesi, dan penyusunan
kembali gen (gene rearrangement) yang melibatkan p16(INK4A) dan p16(INK4B). Kelainan
ekspresi dari gen supresor tumor Rb dan p53 ternyata lebih sering terjadi. Kelainan yang
melibatkan dua atau lebih gen-gen ini ditemukan pada sepertiga pasien LLA dewasa.
Manifestasi Klinis
Presentasi klinis LLA sangat bervariasi. Pada umumnya gejala klinis menggambarkan kegagalan
sumsum tulang atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel limfoblas
ganas di sumsum tulang menyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah perifer dan gejala
klinis dapat berhubungan dengan anemia, infeksi, dan perdarahan. Demam atau infeksi yang
jelas dapat ditemukan pada separuh pasien LLA, sedangkan gejala perdarahan pada sepertiga
pasien yang baru didiagnosis LLA. Perdarahan yang berat jarang terjadi.
Gejala-gejala dan tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan:
- Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada
- Anoreksia
- Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel leukemia)
- Demam, banvak berkeringat (gejala hipermetabolisme)
- Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis, atau sepsis. Penyebab yang paling
sering adalah stafilokokus, streptokokus, dan bakteri gram negatif usus, serta berbagai
spesies jamur.
- Perdarahan kulit (petechiae, atraumatic ecchymosis), perdarahan qusi, hematuria,
perdarahan salurancerna, perdarahan otak
- Hepatomegali
- Splenomegali
- Limfadenopati
- Massa di mediastinum (sering pada LLA sel T)
- Leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah (gejala tekanan tinggi intrakranial),
perubahan dalam status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII,
kelainan neurologik fokal
- Keterlibatan organ lain: testis, retina, kulit, pleura, perikardium, tonsil
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk konfirmasi diagnostik LLA, klasifikasi
prognostik dan perencanaan terapi yanq tepat, yaitu :
Hitung Darah Lengkap (Complete Blood Count) dan Apus Darah Tepi
Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis. Hiperleukositosis
(>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat melebihi 200.000/mm3. Pada
umunya teriadi anemia dan trombositopenia. Proporsi sel blas pada hitung leukosit bervariasi
dari Osampai 100%. Kira-kira sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit kuranq dari
25.000/mm3
Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang
Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasidiagnosis dan klasifikasi, sehingga semua
pasien LLA harus menjalani prosedur ini. Spesimen yang didapat harus diperiksa untuk analisis
histologi, sitogenetik dan immunophenotyping. Apus sumsum tulang tampak hiperselulardengan
limfoblas yang sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang
seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat tidakberhasil,
sehingga touch imprint dari jaringan biopsi penting untuk evaluasi gambaran sitologi.
Sitokimia
Gambaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang kadang-kadang
tidakdapat membedakan LLA dari leukemi mieloblastik akut (LMA). Pada LLA, pewarnaan
Sudan black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase
adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari prekursor granulositik, yang
dapat dideteksi pada sel blas LMA. Sitokimia juga berguna untuk membedakan precursor B dan
B-ALL dari T-ALL. Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit Tyang ganas,
sedangkan sel Bdapat memberikan hail yang positif pada pewarnaan periodic acid Schiff (PAS).
TdT yang diekspresikan oleh limfoblas dapat dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase
atau flowcytometry.
Sitogenetik
Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik berhubungan dengan
subtipe LLA tertentu, dan dapat memberikan informasi prognostic (tabel 1). Translokasi t(8;14),
t(2;8), dan t(8;22) hanya diterrukan pada LLA sel B, dan kelainan kromosom ini menvebabkan
disregulasi dan ekspresi yang berlebihan dari gen c-myc pada kromosom 8. Beberapa kelainan
sitogenetik dapat ditemukan pada LLA atau LMA, misalnva kromosom Philadelphia, t(9;22)
(q34;q11) yang khas untuk leukemia mielositik kronik dapat juga ditemukan pada <5% MA
dewasa dan 20-30% LLA dewasa.
Biologi Molekular
Teknik molecular dikeriakan bila analisis sitogenetik rutin gagal, dan untuk mendeteksi t(12;21)
yang tidak terdeteksi dengan sitogenetik standar. Teknik ini juga harus dilakukan untuk
medeteksi gen BC-ABL yang mempunyai prognosis buruk
Diagnosis
Pendekatan diagnosis LLA dewasa :
- Anamnesis
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan laboratorium
o Hitung darah lengkap, apus darah tepi, pemeriksaan koagulasi, kadar fibrinogen,
kimia darah, golongan darah ABO dan Rh, penentuan HLA
- Foto toraks atau computed tomography
- Pungsi lumbal
- Aspirasi dan biopsi sumsum tulang :
o Pewarnaan sitokimia, analisis sitogenetik, analisis imunofenotip, analisis
molekular BCR-ABL
Diagnosis Banding
- Limfositosis, limfadenopati dan hepatosplenomegali yang berhubungan dengan infeksi
virus dan limfoma
- Anemia aplastic
Tatalaksana
Keberhasilan terapi LLA terdiridari kontrol sumsum tulang dan penyakit sistemiknya, juga terapi
atau pencegahan SSP. Hal ini dapat tercapai dengan kombinasi pemberian kemoterapi dan terapi
pencegahan SSP (kemoterapi intratekal dan/atau sistemik dosis tinggi, dan pada beberapa kasus
dengan radiasi kranial). Lama rata-rata terapi LLA bervariasi antara 1 , 5 - 3tahun dengan tujuan
untuk eradikasi populasi sel leukemia. Terapi LLA dibagi meniadi:
- Induksi remisi Terapi Induksi Remisi
Tuiuan dari terapi induksi remisi adalah mencapai remisi
komplit hematologik (hematologic complete remission/ CR), vaitu eradikasi sel leukemia
vanq dapat dideteksi secara morfologi dalam darah dan sumsum tulang dan kembalinya
hematopoiesis normal. Tulang punggung terapi induksi remisi adalah p r e d i s o n dan
vinkristin. Terapi ini biasanya terdiri dari predison, vinkristin, dan antrasiklin (pada
umumnya daunorubisin) dan juga L-asparginase. Tambahan obat seperti siklofosfamid,
sitarabin dosis konvensional atau tinggi, merkaptopurin dapat diberikan pada beberapa
regimen.
Terapi dengan prednison dan vinkristin menghasilkan CR pada sekitar 50% pasien LLA
de novo. Penambahan antrasiklin memperbaiki CR menadi 70-85%. Daunorubisin
biasanya diberikan seminggu sekali, tapi beberapa penelitian memberikan d o s i
intensifikasi (30-60mg/ m2 2-3 hari). Dosis intensifikasi berhubungan dengan mortalitas
yang tinggi, sehingga diperlukan terapi suportif intensif dan pemberian faktor
pertumbuhan (granulocyte colony-stimulating factor/GSCF). GSCF tidakmemperbaiki
CR tapi mempersingkat lama neutropenia 5-6 hari dan menurunkan insidens infeksi.
Penambahan L-asparginase tidak memperbaikifrekuensi dan durasi CR.
- Intensusfikasi atau konsolidasi
Setelah tercapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi (early
intensification) yang bertujuan untuk mengeliminasi sel leukemia residual untuk
mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang resisten obat. Terapi inijuga dilakukan 6
bulan kemudian (late intensification). Studi Cancer and Leukemia Group Bmenunjukkan
durasi remisi dan kelangsungan hidup yang lebih baik pada pasien LLA yang mencapai
remisi dan mendapat 2 kali terapi intensifikasi (earlyd a n late intensification) daripada
pasien yang tidak mendapat terapi intensifikasi. Berbagai dosis mielosupresi dari obat
yang berbeda diberikan
tergantung protokol yang dipakai.
- Profilaksis susunan saraf pusat
Profilaksis SSP sangat penting dalam terapi LLA. Sekitar 50%-75% pasien LLAyang
tidak mendapat terapi profilaksis in akan mengalami relaps pada SSP. Profilaksis SSP
dapat terdiri dari kombinasi kemoterapi intratekal, radiasi kranial dan pemberian sistemik
obat yang mempunyai bioavalibilitas SSP yang tinggi seperti metotreksat dosis tinggi dan
sitarabin dosis tinggi saja tidak memberikan proteksi ssp yang baik. Kemoterapi
intratekal + kemoterapi sistemik dosis tinggi tanpa radiasi kranial yaitu antara 0%-11%
- Pemeliharaan jangka panjang
Terapi ini terdiri dari 6-merkaptopurin tiap hari dan metotrksat seminggu sekali selama 2-
3 tahun. Pada LLA anak terapi ini memperpanjang disease-free survival, sedangkan pada
dewasa angka relaps tinggi
Transplantasi sumsum Tulang
Pada pasien LLA yang mempunyai risiko tinggi untuk relaps dilakukan transplantasi
sumsum tulang alogenik pada remisi komplit yang pertama. Risiko tinggi untuk relaps
yaitu:
- Kromosom Philadelphia
- Perubahan susunan gen MLL
- Hiperleukositosis
- Gagal mencapai remisi komplitdalam waktu 4 mirgqu
-
Pasien LLA dewasa yang mengalami relaps setelah mencapai remisi komplit harus
menjalani transplantasi sumsum tulang alogenik begitu remisi kedua tercapai.
Terapi untuk B-ALL
Kebanyakan B-ALL tidak dapat diterapi dengan regimen LLA konvensional. Karena
kecepatan proliferasi sel-sel leukemia- nya tinggi, maka diberikan terapi
hyperfractionation dari siklofosfamid dosis tinggi dan metotreksat dosis tinggi. Saat in
tidak ada terapi yang efektif untuk B-ALL yang refrakter atau relaps.
Manifestasi Klinis
Pada awal diagnosis, kebanyakan pasien LLK tidak menunjukkan gejala (asimptomatik). Pada
pasien dengan gejala, paling sering ditemukan limfadenopati generalisata, penurunan berat
badan, dan kelelahan. Gejala lain meliputi hilangnya nafsu makan dan penurunan kemampuan
latihan/olahraga. Demam, keringat malam, dan infeksi jarang teriadi pada awal penyakit tetapi
semakin nyata sejalan dengan perjalanan penyakitnya. Akibat penumpukan sel B neoplastik,
pasien yang asimtomatik pada saat diagnosis pada akhirnya akan mengalami limfadenopati,
splenomegali dan hepatomegali.
Predisposisi infeksi yang berulang seperti pneumonia, herpes simplex labialis, dan herpes zoster
dapat terjadi. Cepat kenyang dan/atau rasa tidak enak pada abdomen dapat berhubungan dengan
pembesaran limpa. Perdarahan mukokutan dan/atau petekie dapat disebabkan oleh
trombositopenia. Kelelahan dan keletihan dapat disebabkan karena anemia, pada 10% pasien LK
didapatkan anemia hemolitik autoimun.
Duapuluh sampai 30% pasien tidak menunjukkan kelainan fisik. Limfadenopati adalah gejala
yang paling sering ditemukan, didapatkan pada 87% pasien yang simptomatik pada saat
diagnosis. Sekitar 50% pasien mengalami limfadenopati dan/atau hepatosplenomegali.
Pembesaran limfonodi dapat terlokalisir atau merata dan bervariasi dalam ukuran. Splenomegali
dan/atau hepatomegali ditemukan pada 25-50% kasus. Infiltrasi pada kulit, kelopak m a t
a ,jantung, pleura, paru, dan saluran cerna umumnya
jarang dan timbul pada akhir perialanan penyakit. Seialan dengan perjalanan penyakit,
limfadenopati masif dapat menimbulkan obstruksi lumen termasuk ileus obstruksi. disfagia
uropatiobstruktif, edema ekstremitas bawah, dan obstruksi usus parsial. Timbulnva efusi pleura
atau asites berhubungan dengan prognosis yang buruk
Diagnosis
Tandapatognomonik LK adalahpeningkatan jumlahlekosit dengan limfositosis kecil sekitar 95%.
Untuk menegakkan diagnosis sebaiknya dilakukan pemeriksaan gambaran darah tepi secara hati-
hati dan cermat. Gambaran darah tepi tampak limfositosis dengan gambaran limfosit kecil matur
dan smudge cell yang dominan; imunofenotip khas limfosit (CD5+, CD19+, CD20+,
CD23+,FMC7-/+, DAN CD22-/+); dan infiltrasi limfosit ke sumsum tulanq (> 30% limfosit).
Infiltrasi limfosit ke sumsum tulang bervariasi dalam 4 gambaran yaitu interstitial (33%),
nodular (10%), campuran interstitial dan nodular (25%) serta infiltrasidifus (25%). Meskipun
telah didapatkan limfositosisdan infiltrasi
limfosit ke sumsum tulanq belum berarti pasti LK. Leukemia Limfositik Kronik dapat
didiagnosis jika ditemukan peningkatan absolut limfosit di dalam darah (>5000/uL) dan
morfologi serta imunofenotipnya
menunjukkan gambaran khas. KlasifikasiFrance-America-British (FAB) membagi tiga
tipe morfologi berdasarkanperbandingan limfositatipikal di dalam darah, vaitu :
1. LLK tipikal terdiri dari lebih 90% limfosit kecil
2. LK tipe prolimfositik (sel prolimfositik 11-54%)
3. LK atipikal yang ditandai dengan morfologi sel limfosit yang heterogen tetapi proporsi
prolimfosit kurana dari 10%
Kriteria ini tidak selalum menetap . Pada kasus LLKatipikal,
gangguan limfoproliferatif lainnya harus dipertimbangkan dulu sebelum membuat diagnosis LK
atipikal: oleh karena itu analisis imunofenotipsel Bneoplastik, data sitogenetik dan
molekulardapat bermanfaat.
Diagnosis Banding
Leukemia prolimfositik (Sel prolimfosit > 54%), Hairy cell leukemia, Limfoma limfositik kecil,
Mantlecell lymphoma, Makroglobulinemia Waldenstrom, Mieloma sel plasma, Leukemia sel
Tkronik, Leukemia LGL, Leukemia sel T dewasa, Limfoma sel Tkutan/kulit
Tata Laksana
Tujuan terapi pada kebanyakan pasien LLK adalah meredakan gejala dan memperpanjang
kelangsungan hidup. Tetapi pada pasien lebih muda dengan faktor risiko buruk, pendekatan
eksperimental dengan tujuan penyembuhan yang dipilih.
Indikasi terapi adalah :
- Kegagalan sumsum tulang yang progresif yang citandai dengan memburukya anemia dan
atau trombositopenia
- Limfadenopati yang progresif (> 10 cm) Splenomegali masif (>6 cm) atau nyeri pada
limpa
- Limfositosis progresif (dalam 2 bulan meningkat 50%)
- Gejala sistemik yaitu penurunan berat badan >10% dalam 6 bulan, suhu badan > 38°C
selama > 2 minggu, fatigue, keringat malam.
- Sitopenia autoimun
Pencegahan
Banyak tipebkanker dapat dicegah dengan modifikasi gaya hidup, tetapi untuk pasien LLK
diketahui sangat sedikit faktor risiko dan tidak dapat dihindari sehingga tidak dapat dilakukan
tindakan pencegahan.
Komplikasi
Infeksi, merupakan komplikasi dan penyebab utama kematian. S.pneumoniae, S.aureus dan
H.influenzae merpakan organism yang sering dijumpai pada pasien LLK yangtidak
diberikanterapi imunosupresi. Telah teriadi perubahan spektrum penyakit dan bakeri penyebab
pada pasien-pasien vanq diberikan preparat imunosupresan. Yaitu meliputi baik bakteri gram
negatif maupun bakteri oportunistik seperti Candida, Mycobakterium tuberculosis, Listeria,
P.carini, Cytomegalovirus, Aspergillus dan virus herpes. Pasien LK yang berusia lebih dari 65
tahun dan/ atau dengan stadium lanjutmempunyai risiko lebih tinggi terhadap infeksi dan
biasanya membutuhkan terapi suportif untuk profilaksis.
Hipogamaglobulinemia, dijumpai lebih dari 66% pasien pada akhir penvakit ini. S e m a kelas
immunoglobulin (IgG, IgA, dan IgM) biasanya menurun, meskipun juga dijumpai hanya satu
atau dua immunoglobulin saja yang turn. Penurunan gamaglobulin dan neutrofil yang sangat
bermakna menyebabkan kerentanan pasien terhadap infeksi bakteri.
Transformasi Menjadi Keganasan Limfoid yang Agresif. Terjadi sekitar 10-15%. Yang tersering
adalah sindroma Richter (5%)d a n Leukemia prolimfositik. Pasien dengan sindroma Richter
(limfoma sel besar) sering didapatkan limfadenopati dan hepatosplenomegali yanc progresif,
demam, nyeri abdomen, penurunan berat badan, anemia dan trombositopenia progresif, dengan
peninakatan limfositosis perifer dan LDL secara cepat. Pasien-pasien i n mempunyai
kelangsungan hidup rata-rata 6 bulan. Pasien dengan transformasi leukemia prolimfositik
menunjukkan anemia progresif, trombositopenia, limfadenopati, prolimfosit pada darah tepi
(>55%), hepatosplenomegali, wasting syndrome, dan meningkatnya resistens terhadap terapi.
Transformasi LK yang lain meliputi LLA, leukemia sel plasma, mieloma multiple dan limfoma
Hodgkin.
Komplikasi Akibat Penyakit Autoimun meliputi tes anti globulin direct yang positif (Coomb's
test), anemia hemolitik, trombositopenia,neutropenia, neutropenia dan aplasia sel darah merah
murni (aplasia pure red cell) atau agranulositosis. Tes antiglobulin direct positif hingga 20%
pasien LK selama perjalanan penyakitnya. Hemolisis klinis dijumpai pada 50% kasus.
Trombositopenia autoimun teriadi pada 2% pasien LLK.
Keganasan sekunder. Lokasi tersering meliputi kulit (melanoma dan karsinoma), paru dan
saluran cerna. Hal ini dianggap sebagai konsekuensi terapi imunosupresi yang poten. Gangguan
atau keganasan hematologi lainnya juga dilaporkan mempunyai hubungan dengan LK.
LIMFADENITIS/LIMFADENOPATI
Definisi dan Klasifikasi
Kondisi dimana terjadi pembengkakan atau pembesaran kelenjar getah bening. Limfadenopati
merupakan adanya ketidaknormalan pada kelenjar getah bening, baik dari jumlah, ukuran,
maupun konsistensinya. Terdapat beberapa klasifikasi dari limfadenopati, yang biasa digunakan
oleh para klinisi adalah limfadenopati generalisata dan limfadenopati lokalisata. Dikatakan
limfadenopati generalisata bila kelenjar getah bening membesar pada dua atau lebih daerah yang
tidak berdekatan, sedangkan limfadenopati lokalisata bila pembesaran kelenjar getah bening
hanya ada pada satu lokasi saja
Etiologi, Epidemiologi dan Faktor Resiko
Etiologi dan Faktor Resiko
Infeksi, seperti infeksi telinga, infeksi pada gigi atau gusi (seperti gingivitis), faringitis,
infeksi kulit, campak, mononukleosis, Tuberkulosis, HIV.
Penyakit autoimun, seperti lupus dan rheumatoid arthritis.
Kanker, seperti limfoma dan leukemia.
Penggunaan obat-obatan, seperti obat antikejang (misalnya phenytoin) atau vaksin
tifus.
Epidemiologi
Angka kejadian limfadenopati di Amerika Serikat belum diketahui, tetapi diperkirakan
limfadenopati pada anak-anak berkisar 38-45%. Dari studi di Belanda terdapat 2.556 kasus
limfadenopati yang tidak dapat dijelaskan dan 10% dirujuk kepada subspesialis, 3,2%
membutuhkan biopsi, dan 1,1% mengalami keganasan. Studi kedokteran keluarga di Amerika
Serikat, tidak ada dari 80 pasien dengan limfadenopati yang tidak dapat dijelaskan yang
mengalami keganasan. Dan 3 dari 238 pasien yang mengalami keganasan dari limfadenopati
yang tidak dapat dijelaskan. Pasien usia >40 tahun : <40 tahun dengan limfadenopati yang tidak
dapat dijelaskan memiliki risiko keganasan 4% : 0,4%
Manifestasi Klinis
Limfadenopati menimbulkan gejala berupa pembengkakan atau pembesaran kelenjar getah
bening. Pembengkakan tersebut dapat diketahui dengan munculnya benjolan di bawah kulit,
yang bisa terasa nyeri atau pun tidak.
Selain benjolan, penderita limfadenopati juga dapat merasakan gejala lain. Gejala lain yang
muncul dapat berbeda-beda, tergantung penyebab, lokasi pembengkakan kelenjar getah bening,
dan kondisi pasien. Di antaranya adalah:
Ruam kulit
Lemas
Demam
Berkeringat ketika malam
Berat badan turun
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium limfadenopati terutama dilihat dari riwayat dan pemeriksaan fisik
berdasarkan ukuran dan karakteristik lain dari nodul dan pemeriksaan klinis keseluruhan pasien.
Diantaranya adalah complete blood cell count (CBC) with differential, erythrocyte sedimentation
rate (ESR), lactate dehydrogenase (LDH), specific serologies based on exposures and symptoms
[B. henselae, Epstein-Barr virus (EBV), HIV], tuberculin skin testing (TST).
Pemeriksaan fisik : menentukan lokasi, menentukan apakah limfadenopati lokalisata atau
generalisata dapat mempersempit pemeriksaan. Ukuran pada servikal dan aksila nodul limfa
biasanya <1cm. Inguinal nodul limfa biasanya ukurannya <1,5 cm. Servikal nodul limfa >2cm.
Nyeri di kelenjar getah bening. Konsistensi (nodul yang keras dan tidak terasa sakit biasanya
adalah tanda-tanda kanker metastatik atau penyakit granulomatosa. Nodul yang kuat dan lunak
dapat menyiratkan limfoma. Mobilitas, limfadenopati akibat infeksi dan penyakit kolagen
vaskular biasanya bebas bergerak di wilayah subkutan. Nodul bergerak karet dikaitkan dengan
limfoma.
Biopsi, biopsi eksisi merupakan gold standar dari pemeriksaan limfadenopati namun tidak semua
layanan kesehatan yang dapat melaksanakannya. Biopsi aspirasi jarum halus merupakan
penunjang yang cukup baik dalam menggantikan jika pusat layanan kesehatan memiliki
keterbatasan sarana dan tenaga medis.
Pemeriksaan radiologi diantaranya yaitu ultrasonografi bisa berguna untuk diagnosis dan monitor
pasien dengan limfadenopati, terutama jika mereka memiliki kanker tiroid atau riwayat terapi
radiasi saat muda. Magnetic Resonance Imaging (MRI), peningkatan gadolinium, dan rangkaian
supresi lemak telah memungkinkan akurasi yang sebanding. Juga, deteksi MRI dari invasi arteri
karotis oleh penyebaran ekstrakapsular tumor dari nodul sering kali lebih unggul daripada
CECT. CT-Scan, pemeriksaan CT nodul limfa dilakukan bersamaan selama pemeriksaan CT
terhadap sebagian besar tumor suprahyoid dan infrahyoid atau peradangan.
Diagnosis
Dokter awalnya akan melakukan pemeriksaan riwayat penyakit dan gejala yang muncul. Dokter
akan melakukan sesi tanya jawab, memberikan pertanyaan ke pasien terkait kondisi yang
diderita, seperti bagaimana dan sejak kapan pembengkakan kelenjar getah bening dialami.
Kemudian dokter akan melakukan pemeriksaan berupa pengamatan terhadap ukuran dan tekstur
benjolan.
Setelah itu, prosedur medis juga dapat dijalani untuk memastikan kondisi pasien. Beberapa
prosedur yang digunakan untuk mendiagnosis limfadenopati meliputi:
Tes darah. Dokter akan menjalankan tes hitung darah lengkap atau complete blood
count (CBC) untuk melihat kemungkinan infeksi.
CT scan atau MRI. Kedua tes ini dapat dilakukan dengan disuntikkan zat pewarna
kontras sebelumnya. Beri tahu dokter apabila memiliki riwayat alergi terhadap zat
tersebut. Pemindaian ini berfungsi untuk mendeteksi sumber infeksi dan juga tumor.
Biopsi. Dokter akan mengambil sampel dari kelenjar getah bening yang bermasalah, dan
kemudian akan diperiksa di bawah mikroskop.
Tatalaksana
● Infeksi. Pengobatan terhadap infeksi tergantung dari jenis infeksinya sendiri. Infeksi bakteri
adalah salah satu penyebab limfadenopati. Pengobatan limfadenopati yang disebabkan oleh
adanya infeksi bakteri dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik.
● Penyakit autoimun. Apabila pembengkakan kelenjar getah bening disebabkan oleh penyakit
autoimun, seperti rheumatoid arthritis, maka pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
obat imunosupresif, seperti kortikosteroid. Untuk rasa sakit yang dirasakan, dapat diberikan obat
pereda rasa sakit, seperti ibuprofen atau naproxen.
● Kanker. Pengobatan limfadenopati yang disebabkan oleh kanker dilakukan dengan mengatasi
kanker itu sendiri. Tergantung jenis kanker dan kondisi pasien, metode pengobatan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi kanker berupa operasi, radioterapi, atau kemoterapi
POLISITEMIA FERA
Definisi dan Klasifikasi
Polisitemia vera ( P ) merupakan suatu penvakit kelainan pada sistem mieloproliferatif yang
melibatkan unsur-unsur hemopoetik dalam sumsum tulang secara progresif, kronik terjadi karena
sebagian populasi eritrosit berasal dari satu klon sel induk darah yang abnormal. Berbeda dengan
keadaan normalnya, sel induk darah yang abnormal in tidak membutuhkan eritropoietin untuk
proses pematangannya (eritropoietin serum <4 mU/ml), hal ini jelas membedakannya dari
eritrositosis atau polisitemia sekunder di mana eritropoietin tersebut meningkat secara fisiologis
(sebagai kompensasi atas kebutuhan oksigen) yang meningkat biasanya pada keadaan dengan
saturasi oksigen arterial yang rendah, atau eritropoietin tersebut meningkat secara non fisiologis
(tidak wajar) sebagai sindrom paraneoplastik yang dijumpai daripada manifestasi neoplasma lain
yang mensekresi eritropoietin. Berdasarkan beberapa penelitian,4,5.6 pada polisitemia vera
ditemukan adanya mutasi pada gen Janus Kinase 2 (JAK2v67p exon 14) pada kromosom 9p24
(4-7) yang menyebabkan teriadinya pertumbuhan sel induk darah Yang tidak membutuhkan
eritropoietin.
Klasifikasi eritrositosis tergantung volume sel darah merah (red cell mass) (eritrositosis relatif
atau Polisilemia dengan Polisitemia aktual). Polisitemia terbagi dalam polisitemia primer
(Polisitemia Vera dan Polisitemiafamilia primer) dan Polisitemia yang dipengaruhi oleh produksi
eritropoeitin (Polisitemia Sekunder)
Etiologi, Epidemiologi dan Faktor Resiko
Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab teriadinya Polisitemia Vera tidakdiketahui, tetapi pada pendekatan penelitian yang
didefinisikan adanya kelainan molekul. Salah s a t penelitian sitogenetika menunjukkan adanya
kariotipe abnormal di sel induk hemopoisis pada pasien denganPolisitemia Vera dimana
tergantung dari stadium penyakit, rata-rata 20% pada pasien Polisitemia Vera s a
tterdiagnosissedang meningkat 80% setelah diikuti lebih dari 10 tahun. Beberapa kelainan
tersebut sama dengan penyakit mielodisplasia sindrom vaitu : delesi 20q (8,4%), delesi 13q
(3%), trisomi 8 (7%), trisomi 9 (7%), trisomi 1q (4%), delesi 5q atau monosomi 5 (3%),delesi 7q
atau monosomi 7 (1%).
Pengirim transduksi sinyal merupakan elemen penting dalam fisiologi tubuh
manusia.Eritropoiesis yang tergantung eritropoetin (EPO) melibatkan molekul- molekul
tambahan dan regulator yakni EPO receptor (EPOR), Janus kinase 2, Signal Transducers and
Activators of Transcription (STATs; STAT1, STAT3,STAT5), S r (family of tyrosine kinases)
homology 2 (SH2) domain- containing protein tyrosine phosphatases (SH-PTPs; SH-PTP1, SH-
PTP2), S c phosphoinositide 3 kinase, dan mitogen-activated protein kinase.Adanya defek pada
salah satu molekul tersebut memungkinkan mendasari terjadinya proliferasi eritroidyang tidak
bergantung pada eritropoietin (EPO).
Pada penelitian secara in vitro, sel progenitoreritroid pada polisitemia vera yang dibiakkan secara
in vitro akan membentuk koloni tanpa adanya eritropoeitin, dan sel eritroid dan myeloid dari
pasien PV sensitif terhadap beberapa growth factor yang berbeda. Berdasarkan beberapa
penelitian, ditemukan adanya mutasi pada gen Janus Kinase 2 (JAK2vs exon 14) pada kromosom
9p24 (4-7) yang menyebabkan terjadinya sensitivitas tersebut. JAK2 adalah tirosin kinase non-
membran yang diketahui terlibat dalam jalur transduksi sinyal untuk beberapa growth factor.
Mutasi gen ini terjadi pada 95% pasien PV. Adanya mutasi gen JAK2. v617F telah diadopsi
WHO meniadi salah satu kriteria untuk polisitemia vera (tabel 3). Selain itu, penurunan
alelJAK2.v617Fmerupakan salah satu kriteria yang digunakan oleh European LeukemiaNet
(ELN) Working Group untuk menilai respons terapi pada pasien PV. Hal ini juga mash menjadi
kontroversi karena berdasarkan penelitian Kuriakose et al respons hematologi pada PV seringkali
tidak dikuti oleh respons molekular berupa perubahan penurunan alel JAK2 v617-
Epidemiologi
PolisitemiaVera biasanya mengenai pasien berumur 40-60 tahun, rasio perbandingan antara pria
dan perempuan adalah 2:1 dan dilaporkan i n s i d e polisitemiavera adalah 2,3 per 100.000
populasi dalam setahun. Keseriusan penyakit Polisitemia Vera ditegaskan bahwa faktanya
survival median pasien sesudah terdiagnosis t a p adiobati 1,5-3 tahun sedang yang dengan
pengobatan lebih dari 10 tahun
Manifestasi Klinis
Gejala awal dari PV sangat minimal dan tidak selalu ada kelainan walaupun telah diketahui
melalui tes laboratorium. Gejala awal yang teriadi biasanya sakit kepala (48%), telinga
berdenging (43%), mudah lelah (47%), gangguan daya ingat, susah bernapas (26%), darah tinggi
(72%), gangguan penglihatan (31%), rasa panas pada tangan atau kaki (29%), gatal (pruritus)
(43%), juga terdapat perdarahan dari hidung, lambung (stomach ulcer) (24%) atau sakit tulang
(26%).
Sebagai penyakit progresif, pasien dengan PV mengalami perdarahan atau trombosis.Trombosis
adalah penyebab kematian terbanyak dari PV. Komplikasi lain berupa hiperurisemiayang sekitar
10% berkembang menjadi gout dan peningkatan risiko ulkus peptikum (10%).
Pemeriksaan Penunjang
Eritrosit
Hitung sel jumlah eritrosit dijumpai >6 juta/ml pada pria dan> 5,5 juta/ml pada perempuan, dan
sediaan apus eritrosit biasanya normokrom, normositik kecuali jika terdapat defisiensi besi.
Poikilositosis dan anisositosis menunjukkan adanya transisi ke arah metaplasia myeloid di akhir
perialanan penyakit.
Granulosit
Granulositjumlahnya meningkat terjadi pada 2/3 kasus PV, berkisar antara 12-25 ribu/ml
tetapidapat sampai 60 ribu/ ml. Pada dua pertiga kasus inijuga terdapat basofilia.
Trombosit
Jumlah trombosit biasanva berkisar antara 450-800 ribu/ mi, bahkan dapat >1juta/ml. Sering
didapatkan dengan morfologi trombosit yang abnormal.
B12 Serum
B12 serum dapat meningkat, halini dijumpai pada 35%kasus dan dapat pula menurun hal
inidijumpai pada +30% kasus, dan kadar UB, BC meningkat pada >75% kasus PV1.
Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali terdapat kecurigaan terhadap
penyakit mieloproliferatif lainnya seperti adanya sel blas dalam hitung jenis leukosit.Sitologi
sumsum tulang menunjukkan peningkatan selularitas normoblastik berupa hiperplasi trilinier dari
seri eritrosit, megakariosit, dan mielosit. Sedangkan dari histopatologi sumsum tulang adanya
bentuk morfologi megakariosit yang patologis/abnormal dan sedikit fibrosis merupakan petanda
patognomonik PV.
Pemeriksaan Sitogenetika
Pada pasien PV yang belum mendapat pengobatan Ps3 atau kemoterapi sitostatika dapat
dijumpai karyotip (lihat etiologi). Variasi abnormalitas sitogenetika dapat dijumpai selain
tersebut diatas terutama jika telah mendapatkan pengobatan P53 atau kemoterapi sitostatika
sebelumnya.
Sebagai suatu kelainan mieloproliferatif, PV dapat memberikan kesulitan dengan gambaran
klinis yang hampir sama dengan berbagai keadaan polisitemia lainnya (polisitemia sekunder).
Karena kompleksnya penyakit ini, International Polycythemia Study Group ke-2 menetapkan-
diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria: a). Dari kategori: A, +A,+ Ay,
atau b). Dari kategori: A,+A,+ 2 kategori B.
Diagnosis
Tatalaksana
Prinsip Pengobatan
- Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal kasus (individual) dan
mengontrol eritropoesis dengan flebotomi.
- Menghindari pembedahan elektifpadafaseeritrositik/ polisitemia vana belum terkontrol
Venghindari pengobatan berlebihan (over treatment).
- Menghindari obat mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia muda.
- Mengontrol panmielosisdengan dosistertentufosfor radioaktif atau kemoterapi sitostatika
pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan:
o Trombositosis persisten di atas 800.000/ml, ter- utama jika disertai gejala
trombosis. Leukositosis progresif.
o Splenomegali yangsimptomatik atau menimbulkan sitopenia problematik.
o Gejala sistemik yang tidak terkontrol seperti pruritus yang sukar dikendalikan,
penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.
Prognosis dan Komplikasi
Prognosis
Polisitemia adalah penyakit kronis dengan keseriusan penyakit polisitemia vera ditegaskan
bahwa faktanya survival median pasien sesudah terdiagnosa tanpa diobat 1,5-3 tahun dan yg
dengan pengobatan lebih dr 10 tahun
Komplikasi
Serangan jantung
Stroke
Gagal jantung
Angina pectoris
Myelofibrosis
Acute myelogenous leukemia
MULTIPLE MYELOMA
Definisi dan Klasifikasi
Multiple Myeloma adalah penyakit keganasan sel plasma, dimana sel plasma monoklonal
berproliferasi di sumsum tulang, mengakibatkan kelebihan produksi imunogloblulin monoklonal
(protein M), kerusakan tulang, dan perpindahan garis hematopoietik lainnya.
Manifestasi Klinis
MM harusdifikirkan pada pasiendi atas 40 tahun dengan anemia yang sulit diketahui
penyebabnya, disfungsi ginjal atau adanya lesi tulang (hanya <2% penderita MM berusia
<40 tahun. Penderita MM biasanya dengan gejala anemia, nyeri tulang, fraktur patologik,
tendensi perdarahan, dan atau neuropati perifer. Kelainan in akibat dari tekanan masa tumor atau
sekresi protein atau sitokin oleh sel tumor, atau sel-sel dari produk tumor.
Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak ditemukan
kelainan spesifik. Kadang-kadang terdapat nyeri lokal
bagian-bagian tulang. Panjang tubuh pederita MM yang laniut dapat banyak menurun karena
- Nyeri: terutama nyeri tulang tulang karena fraktur kompresi pada tempat osteopenia atau
karena lesi litik tulang, biasanya tulang punggung. Keadaan ini disebabkan oleh aktifitas
vanq berlebihan dari faktor pengaktif osteoklast (OAF) seperti IL-1B, TNF-B dan atau
LI-6. Faktor-faktor inijuga menghambat aktivitas osteoblastik kompensatori. Nyeri lokal
d a p a tjuga disebabkan olehtekanan tumor pada medullaspinalis dan saraf-sara yang
keluar dari medulla spinal s.
- Gejala anemia : letargi, kelemahan, dispnea, pucat, takhikardia, dst.
- Infeksi berulang : ini berkaitan dengan kekurangan produksi antibodi, dan pada penyakit
lanjut, karena neutropenia
- Nefropati : Fungi ginjal terganggu bila kapasitas absorpsi dari rantai berat haus (lelah)
yang akan menvebabkan nefritis interstisiil dengan rantai berat. Penyebab kedua
nefropati adalah hiperkalsemia dengan hiperkalsiuria, yang menyebabkan pre- renal
azotemia. Hiperkalsemia dapat menvebabkan penimbunan ditubulus renal, yang juga
menyebabkan nefritis interstisiil. Penyebab lain gagal ginjal pada MM adalah seringnya
menggunakan antiinflamasi nonsteroid untuk menatasi nyeri pada MM
- Kecenderungan perdarahan abnormal : protein mieloma mengganggu fungi trombosit dan
faktor pembekuan: trombositopenia terdapat pada penyakit laniut.
- Kadang - kadang terdapat makroglossia, "carpal turnel syndrome" dan diare yang
disebabkan penyakit amiloid.
- "Sindrom hiperviskositas" teriadi pada kurang lebih 10% pasien MM di mana viskositas
plasma sudah 4 kali viskositas plasma normal yanq menyebabkan kelainan pada sirkulasi
sehingga mengakibatkan disfungsi organ serebral, paru, ginjal, mata dan organ-organ
lain, biasanya berupa trombosis dengan purpura, perdarahan, kelainan penglihatan, gejala
SSP dan neuropati, dan payah jantung. Ini diakibatkan poli-merisasi imunoglobin
abnormal dan agak khusus terjadi bila ini IgA, IgM atau IqD.
- Neuropati: umumnya disebabkan oleh kompresi pada medulla spinalais atau saraf kepala.
Polineuropati dapat terjadi oleh karena adanya endapan amiloid pada perineuronal atau
perivaskular (vasa nervorum), tetapi dapat juga karena osteosklerotik mieloma. Kadang-
kadang merupakan bagian dari sindrom POEM (polineuropati, organomegali,
endorinopati, monoklonal gammopati dan perubahan kulit)
Pemeriksaan Penunjang
- Biasanya ada anemia normokrom normositik atau makrositik. Pembentukan "rouleaux"
menonjol pada sebaqian besar kasus (gambar 4). Neutropenia dan trombositopenia
ditemukan pada penyakit lanjut. Sel plasma abnormal nampak dalam filem darah pada
15% pasien. Perubahan leuko-eritroblastik kadang- kadang terlihat.
- Laju endapan eritrosit/LED tinggi
- Peninggian kalsium serum terjadi pada 45% pasien. Terdapat fosfatase lindi serum
normal (kecuali setelah fraktur patologis).
- Urea darah meninggi di atas 14 mmol/L dankreatinin serum meninggi pada 20% kasus.
Deposit berprotein dari proteinuria Bence-Jones, hiperkalsemia, asam urat, amiloid dan
pielonefritis semanya dapat ikut memperberat payah ginjal.
- Albumin serum rendah ditemukan pada penyakit lanjut.
- CRP merupakan petanda adanya IL-6 yaitu faktor pertumbuhan dari mieloma multipel.
- 3-2 mikroglobulin merupakan indikator prognostik yang akan meningkat pada stadium
lanjut dari mieloma multipel.
- Pada darah perifer ditemukan penurunan CD4 ( T helper limfosit) dan peningkatan CD8
(T supresor limfosit).
Diagnosis
Diagnosis MM ditegakkan mulai dari trias diagnostik klasik ( sel plasma, biasanva > 10% + M
protein + lesi litik). Pada 98% pasien protein monoklonal ditemukan dalam serum atau urin atau
keduanya. Para protein serum adalah IgM pada dua-pertiga, IgA pada satu pertiga, dengan jarang
IgM atau IgD atau kasus campuran. Sebab - sebab paraprotein serum lain dimuat pada tabel 2.
Pada kasus yang ragu - ragu, penyelidikan "follow up" akan menunjukkan kenaikan progresif
dalam konsentrasi paraprotein pada mieloma yang tidak diobati. Imunoglobin serum normal
(IgG, IgA, dan IgM) ditekan. Urin mengandung protein Bence-Jones pada dua pertiga kasus. Ini
terdiri atas rantai ringan bebas, baik kappa atau lambda, dari jenis yang sama dengan paraprotein
serum. Akan tetapi, pada15% kasus proteinuria Bence-Jonesada tanpa paraprotein serum
Tatalaksana
Pengawasan terhadap infeksi dan perdarahan
Kombinasi radioterapi dan kemoterapi
Pengobatan dengan menggunakan 3-5 obat yang terdiri dari prednison dan alkeran
Komplikasi :
- Pneumonia
- Bakteremia
- Infeksi Saluran Kemih
- Gagal Ginjal
- Osteoporosis
- Koma