Anda di halaman 1dari 8

TUTORIAL MODUL 2 BLOK 3.

03

Fisiologi Sherwood

Nilai normal

- Sel darah putih/leukosit : 7.000/mm3


- Trombosit : 250.000/mm3

Leukimia adalah suatu kanker yang menyebabkan proliferasi SDP yang tidak terkendali sehingga
berkurangnya kemampuan pertahanan terhadap invasi organism easing. Pada leukimia, hitung SDP
dapat mencapai 500.000/mm3, dibandingkan dengan nilai normal 7.000/mm 3, tetapi karena sebagian
besar sel ini abnormal atau imatur, mereka tidak dapat melaksanakan fungsi pertahanan normal.
Konsekuensi merugikan yang lain dari leukimia adalah digantikannya turunan sel darah lain di sumsum
tulang. Hal ini menyebabkan anemia karena eritropoiesis berkurang dan perdarahan internal karena
defisiensi trombosit. Trombosit berperan penting dalam mencegah perdarahan dari kerusakan-
kerusakan kecil yang dalam keadaan normal terjadi di dinding pembuluh darah halus. Karena itu, infeksi
berat dan perdarahan adalah penyebab tersering kematian pada pasien leukimia

1. Hb 7,5 gr/dl, jumlah leukosit 24.500/mm3, jumlah trombosit 67.000/mm3, lemas pucat sudah 6
bulan, konjungtiva anemis, papilla lidah atrofi
a. Patofisiologi trias leukimia (anemia, leukositosis, trombositopenia
BUKU IPD JILID 2 LEUKIMIA MYELOBLAST AKUT
Patogenesis utama LMA adalah adanya blockade maturitas yang menyebabkan proses
diferensiasi sel-sel seri myeloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi
akumulasi di sumsum tulang. Akumulasi blast di sumsum tulang akan menyebabkan gangguan
hematopoesis normal dan akhirnya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang
(bone marrow syndrome) yang ditandai dengan adanya anemia, leukopenia, trombositopenia
1) Anemia : menyebabkan pasien mudah lelah dan kasus yang lebih berat sesak napas
2) Trombositopenia : menyebabkan tanda-tanda perdarahan. Perdarahan biasanya terjadi
dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa
epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali
pada kesus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijum;ai pada kasus LMA
tipe M3.
3) Leukopenia : menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunis dari
flora bakteri normal yang ada di tubuh manusia. Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-
paru, kulit, dan daerah peri rektal sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara
teliti pada pasien LMA dengan demam
4) Leukositosis dimana lebih dari 100.000/mm 3 sering terjadi leukostasis yaitu terjadi
gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena ataupun arteri. Gejala
leukostasis bervariasi tergantung sumbatannya. Gejala yang paling sering dijumpai adalah
gangguan kesadaran, sesak napas, nyeri dada, dan priapismus. Leukositosis juga
menimbulkan gangguan metabolisme berupa hiperurisemia dan hiperglikemia.
Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit yang berproliferasi secara cepat dalam jumlah
yang besar. Hipoglikemia terjadi akibat konsumsi gula in vitro dari sampel darah yang akan
diperiksa sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang asimptomatik karena hipoglikemia
tersebut hanya terjadi in vitro tetapi tidak in vivo pada tubuh pasien
2. Perdarahan lewat hidung
a. Mengapa terjadi epitaksis ? apakah perdarahan dapat terjadi di tempat (organ lain) LIHAT
DIATAS PERDARAHAN AKIBAT TROMBOSITOPENIA
b. Menyusun diagnosis banding dari gejala dan tanda yang diperoleh
3. Wanita berusia 32 tahun
a. Menjelaskan factor presdisposisi leukimia akut
BUKU IPD JILID 2 LEUKIMIA MYELOBLAST AKUT
penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dan pada anak2 (15%). Sesudah usia 30
tahun, insidensi LMA meningkat secara eksponensial sejalan dengan meningkatnya usia.
Insidensi LMA pada orang yang berusia 30 tahun adalah 0,8%, pada orang berusia 50 tahun
2,7% sedang pada orang yang berusia di atas 65 tahun adalah sebesar 13,7%.
4. Suhu 38,5oC, nadi 108x/menit
a. Menjelaskan struktur fisik dan biokimiawi leukosit pada leukimia kut
b. Menjelaskan perubahan fungsi leukosit pada leukimia akut
c. Mengingat kembali proses granulopoiesis
d. Menjelaskan tanda dan gejala leukimia akut, dihubungkan dengan patofisiologi dan perubahan
fungsi leukosit pada leukimia akut
5. Tidak ditemukan pembengkakan
a. Mengapa dokter memeriksa adanya oembengkakan gusi? Apa hubungan antara
pembengkakan gusi dengan penyakit pasien
6. Limfadenopati leher, organomegali
a. Mengapa pada pasien terjadi organomegali dan limfadenopati?
PATOLOGI ROBBINS HAL 474
Hipertofi dan fibrosis itu bisa muncul di organ lain seperti hepar, spleen, dan lymphy glands
karena adanya infiltrasi dari sel-sel malignan. Splenomegaly dan limfadenopatiumumnya kurang
mencolok di AML ini dibandingkan dengan ALL (leukimia limfoblastik akut)
b. Dari gejala dan tanda diatas apa diagnosis bandingnya?
ALL
7. Dirujuk ke rumah sakit
a. Menjelaskan alur penegakan diagnosis leukimia akut (termasuk kriteria merujuk pasien)
b. Menjelaskan macam pemeriksaan penunjang
1) Tes laboratorium
Leukosit nilai normalnya itu tergantung umur dan cenderung meningkat kalau ada infeksi.
Peningkatakn leukosit itu juga cenderung berkaitan dengan peningkatan jumlah leukosit
imatur (shift to the left/pergeseran ke kiri)
 Normal leukosit untuk dewasa: 4.500-11.000
 Infeksi akut : 11.000+, 30.000
 Infeksi virus : 4.000 dan dibawah nya (Kenapa?)

Ditemuin apa aja :

a. Neutropenia : jumlah neutrophil menurun karena peningkatan destruksi neutrophil


dan penurunan produksinya. Ini merupakan hasil dari proses panyakit dan hasil
kemoterapi. Neutropenia meningkatkan risiko infeksi eksogen (lingkungan) dan
endogen (saluran pencernaan, kulit) tergantung tidak keparahan dan lamanya. Pasien
yang menunjukkan neutropenia dan demam biasanya memiliki infeksi dan dirawat
dirumah sakit untuk terapi antibiotic intravena
b. Trombositopenia : terjadi karena penurunan produksi trombosit dan peningkatkan
destruksi trombosit karena leukimia atau kemoterapi. Selain itu, adanya infeksi yang
terjadi dengan neutropenia bisa mensupresi produksi trombosit. Kalau jumlah
trombosit <50.000 maka kemampuan darah untuk pembekuan berkurang,
meningkatkan risiko perdarahan tetapi risiko nya biasanya mulai signifikan kalau
jumlah <20.000, bisa jadi petechiae, nasal bleeding, gingival bleeding, excessive
menstrual flow. Risiko parah kalau jumlah trombosit <5000 bisa jadi CNS
haemorrhage, GI haemorrhage. Untuk memeriksa penyebab defisiensi trombosit ini
bisa dilakukan biopsy sumsum tulang
c. Membedakan leukimia akut dan kronis (gambaran sel darahnya berbagai maturitasi, usia
pasien lebih tua)
Bentuk akut dan kronis berbeda dalam kematangan dan onset sel:
1) Bentuk akut: Onset sering tiba-tiba, dalam beberapa minggu, dan kematian dapat terjadi
dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan tanpa pengobatan. Proliferasi sel
abnormal menyisakan sedikit ruang untuk produksi sel normal. Sel dapat berkembang biak
di hati dan limpa juga, dan mereka dapat menyusup ke organ lain, seperti meninge, gusi,
kelenjar getah bening, dan kulit. Biasanya, perkembangan leukosit berhenti pada fase
blast, sehingga sebagian besar leukosit yang terkena tidak berdiferensiasi atau meledak.
Dengan leukemia akut, jumlah darah putih mungkin tetap rendah karena sel-sel dihentikan
pada tahap ledakan. Bentuk akut dapat terjadi pada orang dewasa dan anak-anak.
2) Bentuk kronis: Onsetnya jauh lebih lambat, seringkali dalam beberapa bulan atau tahun.
Produksi sel normal dapat terjadi juga untuk jangka waktu yang lama, tetapi pada tahap
akhir penyakit kronis, sel-sel abnormal mengganggu produksi sel normal. Mayoritas
leukosit sudah matang. Bentuk kronis jarang terjadi pada anak-anak.
d. Diagnosis pasien pada scenario?
LMA
BUKU ILMU PENYAKIT DALAM JILID 2 HAL 1316

1. Leukimia mieloblastik akut (LMA)


a. Definisi : adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastic dan gangguan
diferensiasi sel-sel progenitor dari sel myeloid
b. Insidensi : penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dan pada anak2 (15%).
Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara eksponensial sejalan dengan
meningkatnya usia. Insidensi LMA pada orang yang berusia 30 tahun adalah 0,8%, pada orang
berusia 50 tahun 2,7% sedang pada orang yang berusia di atas 65 tahun adalah sebesar 13,7%.
Secara umum tidak didapatkan adanya variasi antar entik tentang insidensi LMA
c. Etiologi : pada sebagian besar kasus, etiologic tidak ketahui. Ada beberapa factor presdisposisi
LMA pada populasi tertentu
1) Benzene, suatu senyawa kimia yang banyak digunakan pada industry penyamakan kulit di
Negara berkembang, diketahui merupakan zat leukomogenik untuk LMA
2) Radiasi ionic, ditemukan pada orang-orang yang selamat dr serangan bom atom di Hirosima
dan Nagasaki (1945). Efek mulai tampak sejak 1,5 tahun dan mencapai puncaknya 6/7
tahun setelah pengeboman
3) Trisomy kromosom 21 mpy risiko 10-18 kali lebih tinggi, khususnya LMA tipe M7
4) Pasien dengan sindeom genetic seperti sindrom Bloom dan anemia Fanconi
5) Pengobatan dengan kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. Jenis kemoterapi yang
paling sering memicu timbilnya LMA adalah golongan alkylating agent dan topoisomerase II
inhibitor
d. Pathogenesis
Patogenesis utama LMA adalah adanya blockade maturitas yang menyebabkan proses
diferensiasi sel-sel seri myeloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi
akumulasi di sumsum tulang. Akumulasi blast di sumsum tulang akan menyebabkan gangguan
hematopoesis normal dan akhirnya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang
(bone marrow syndrome) yang ditandai dengan adanya anemia, leukopenia, trombositopenia
5) Anemia : menyebabkan pasien mudah lelah dan kasus yang lebih berat sesak napas
6) Trombositopenia : menyebabkan tanda-tanda perdarahan.
7) Leukopenia : menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunis dari
flora bakteri normal yang ada di tubuh manusia.
8) Leukositosis dimana lebih dari 100.000/mm3

Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar sumsum
tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak, dan sistem saraf
pusat kemudian merusak organ-organi tersebut

e. Tanda dan gejala :


 Tidak selalu dijumpai leukositosis, hanya terjadi pada sekitar 50% kasus LMA sedang 15%
pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% pasien mengalami
neutropenia
 Utama : rasa lelah, perdarahan, dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan
sumsum tulang. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang
sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina.
Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kesus yang disertai dengan DIC.
Kasus DIC ini paling sering dijum;ai pada kasus LMA tipe M3.
 Leukositosis dimana lebih dari 100.000/mm3 sering terjadi leukostasis yaitu terjadi
gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena ataupun arteri. Gejala
leukostasis bervariasi tergantung sumbatannya. Gejala yang paling sering dijumpai adalah
gangguan kesadaran, sesak napas, nyeri dada, dan priapismus. Leukositosis juga
menimbulkan gangguan metabolisme berupa hiperurisemia dan hiperglikemia.
Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit yang berproliferasi secara cepat dalam jumlah
yang besar. Hipoglikemia terjadi akibat konsumsi gula in vitro dari sampel darah yang akan
diperiksa sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang asimptomatik karena hipoglikemia
tersebut hanya terjadi in vitro tetapi tidak in vivo pada tubuh pasien
 Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ
yang diinfiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit menyebabkan leukimia kutis yaitu benjolan
yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedag infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang
akan enimbulkan nyeri tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan. Pembengkakan
gusi sering dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipun
jarang, pada LMA juga dapat dijumai sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel blast ke dalam
gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah
menings dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitology dari cairan
serebro spinal yang diambil melalui prosedur pungsi lumbal
f. Diagnosis
 Ditegakkan berdasarkan PF, morfologi sel, dan pengecatan sitokimia. Ada 2 teknik
pemeriksaan terbaru: immunophenotyping dan analisis sitogenik
 Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, ditetapkan klasifikasi
LMA yang terdiri dari 8 subtipe (M0-M7) yang dikenal sebagai klasifikasi FEB (French
American British)
 Pengecatan sitokimia yang penting adalah Sudan Balck B (SBB) dan mieloperoksidase
(MPO). Keduanya akan memberikan hasil positif pada pasien LMA tipe M1,M2,M2,M4, dan
M6.
 Pemeriksaan penentuan imunofenotip adalah suatu teknik pengecatan moderm yang
dikembangkan berdasarkan reaksi antigen dan antibody. Diketahui bahwa permukan
membrane sel-sel darah merah mengekspresikan antigwn yang berbeda-beda tergantung
jenis dan tingkat diferensiasi sel-sel darah tersbebut. Sel-sel blast mengekspresikan antigen
yang berbeda dengan leukosit yang lebih matur seperti promielosit dan mielosit. Kalau
antigen yang ada di permukaan mebran sel tersebut dapat diidentifikasi dengan antibody
yang spesifik, makan akan dilakukan identifikasi jenis sel dan tingkat maturitas yang lebih
akurat. Identifikasi sel dengan teknik immunophenotyping biasanya diberi label CD (cluster
of differentiation)
 Terdapat 2 kelainan dasar sitogenik pada LMA : kelainan yang menyebabkan hilang
(kehilangan sebagian besar materi kromosom artinya delesi, kalau hilang satu materi
kromosom secara utuh artinya monosomi) atau bertambahnya materi kromosom (bersifat
sebagian artinya duplikasi, kalau secara utuh (trisomy, tetrasomi) dan kelainan
menyebabkan perubahan yang seimbang tanpa menyebabkan perubahan yang seimbang
tanpa menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom (translokasi atau inversi)
g. Klasifikasi WHO untuk LMA (DIBAWAH)
h. Terapi
 Penderita yang mempunyai angka leukosit pra terapi sangat tinggi (>100.000/mm 3)
mungkin memerlukan tindakan leukoparesis emergensi untuk menghindari leukostasis dan
sindrom tumor lisis akibat terapi induksi
 Dilakukan kemoterapi untuk memulihkan hematopoesis normal di sumsum tulang. Ada 2
fase yaitu fase induksi dan fase konsolidasi. Kemoterapi fase induksi bertujuan untuk
mengeradikasi sel-sel leukemic secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit (bila
jumlah sel-sel darah merah di peredaran darah tepi kembali normal serta pulihnya populasi
sel di sumsum tulang termasuk tercapainya jumlah sel-sel blast <5%). Walaupun ada remisi
komplit tidak berarti bahwa sel-sel leukemic telah tereradikasi selutruhnya hanya saja tidak
terdeteksi. Bila dibiarkan bisa berpotensi kekambuhan. Nah, ini dilanjutkan dengan
kemoterapi konsolidasi
 Terapi LMA pada umumnya : terapi standard 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan
regimen sitarabin dan daumorubisin dengan protocol sitarabin 100 mg/m2 diberikan secara
infus kontinu selama 7 hari dan daunorunisin 45-60 mg/m2/hari IV selama 3 hari. Sekitar
30-40% (dosis tunggal) dan 60% (kombinasi) mengalami remisi komplit. Bila terdapat
residual disease pada hari ke-28 pertimbangkan adanya gagal terapi primer dan dilakukan
terapi alternative. Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung pemakaian antrasiklin
merupakan kontra indikasi terutama bila terdapat riwayat miokard infark dan fraksi ejeksi
kurang dari 50%. Pilihan terapi pada kondisi ini adalah High dose cytarabine fora-Q/HDAC.
Regimen terapi yang dipakai pada HDAC adalah sitarabin 2-3 g/m2 infus iv selama 1-2 jam
tiap 12 jam selama 12 dosis atau sitarabin 2-3 g/m2 selama 2 jam setiap 12 jam pada hari
1,3, dan 5.
Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi konsolidasi, transplantasi sel stem
hematopoetik {hematopoetic stem cell transplantion/HSCJ) otolog, atau HSCT alogenik.
Jenis terapi pada pasca remisi ditentukan berdasarkan usia dan faktor prognostik, terutama
profil sitogenetik. Sebagian besar pasien usia muda memberikan respons yang lebih baik
dibanding pasien usia tua.
Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi intensif dan/atau HSCT untuk mencapai
remisi komplit kedua atau hanya diberikan perawatan suportif Pencapaian remisi komplit
kedua tidak begitu dipengaruhi karakter sitogenetik, namun lebih dipengaruhi oleh durasi
remisi komplit pertama, usia, dan ada tidaknya komorbiditas aktif. Durasi median remisi
komplit kedua umumnya kurang dari 6 bulan bila tanpa HSCT dengan disease-fre survival
kurang dari 10 bulan. Survival meningkat bila sebelumnya pasien telah menjalani HSCT
alogenik, namun donor untuk prosedur tersebut umumnya terbatas.
 Terapi leukimia promielositik akut : LPA merupakan predisposisi untuk terjadinya
koagulopati yang dalam hal ini diakibatkan oleh kombinasi antara DIC dan hiperfibrinolisis
primer. Pasien dengan manifestasi koagulopati harus segera mendapat terapi induksi
(ATRA). Pada pasien yang mengalami perdarahan yang tidak terkendali (setelah terapi
transfusi) dapat diberikan e-aminocaproic acid (EACA) dan tranexamide acid. Terapi induksi
LPA terdiri atas kombinasi ATRA plus kemoterapi berbasis antrasiklin. Antrasiklin dapat
menginduksi remisi pada 60-90% pasien bila digunakan sebagai obat tunggal. Sel leukemik
pasien LPA sensitif terhadap antrasiklin karena rendahnya ekspresi Pgp dan petanda
resistensi lainnya pada sel-sel LPA dibanding dengan subtipe LMA lainnya. ATRA adalah
suatu derivatif vitamin A yang mampu menginduksi remisi klinis dengan mengaktifkan
maturasi sel tanpa menyebabkan hipoplasia sumsum tulang. Sebagai obat tunggal ATRA
menginduksi remisi pada 72-81% pasien. Umumnya ATRA mulai diberikan dalam 2-3 hari
pertama pada pasien dengan perdarahan berat untuk mengatasi koagulopati pada LPA
sebelum mulai dengan terapi berbasis antrasiklin. Cara ini akan menyebabkan angka lekosit
menjadi tidak terlalu tinggi lagi. Selain itu cara ini menurunkan insidens sindrom asam
retinoid {retinoic acid syndrome/RAS). Terapi induksi menggunakan ATRA 45 mg/m2/hari
per oral yang terbagi dalam 2 dosis setiap hari sampai remisi komplit plus derivat
antrasiklin, daunorubisin 50-60 mg/m2/hari selama 3 hari atau idarubisin 12 mg/m2/hari
selama 4 hari. Terapi induksi dilanjutkan dengan terapi konsolidasi dengan kemoterapi
berbasis antrasiklin dan terapi pemeliharaan dengan menggunakan ATRA. RAS dapat terjadi
pada 10-15% pasien dan umumnya terjadi 7-14 hari setelah terapi ATRA. RAS jarang terjadi
selama penyembuhan akibat aplasia setelah kemoterapi dan selama terapi pemeliharaan.
RAS adalah suatu sindrom kebocoran kapiler dengan manifestasi demam, distres respirasi,
dan munculnya infiltrat pada paru. Dapat juga terjadi peningkatan berat badan, efusi pleura
atau efusi perikard, dan gagal ginjal. Lekositosis berat merupakan faktor prognostik
walaupun RAS sering juga terjadi pada lekopenia. Bila angka lekosit lebih dari 5.000-
10.000/uL, ATRA dan kemoterapi diberikan bersama-sama pada saat awal terapi. Bila saat
monoterapi ATRA terjadi lekositosis lebih dari 10.000/uL induksi kemoterapi harus segera
dimulai. Tanpa melihat angka lekosit dan kemungkinan sepsis netropenia, bila terdapat
sesak dan infiltrat paru, dengan atau tanpa demam, terapi deksametason harus segera
diberikan (10 mg iv 2 kali sehari). Terapi ATRA dapat dihentikan sampai RAS menunjukkan
perbaikan. Sekitar 20%-30% pasien LPA yang mecapai remisi komplit dengan terapi berbasis
ATRA akan mengalami relaps dan umumnya kelompok pasien ini juga resisten terhadap
terapi ATRA yang berikutnya. Arsenik, suatu racun yang sudah digunakan sebagai obat pada
pengobatan tradisional Cina sejak beberapa abad yang lalu, saat ini diketahui mempunyai
efek pengobatan yang positif pada pasien ATRA yang relaps atau resisten terhadap terapi
ATRA. Salah satu komponen arsen yang sering digunakan di dalam klinik untuk terapi LPA
yang relaps atau resisten terhadap ATRA adalah arsenic trioxide (ATO). Sebagai terapi LPA,
ATO mempunyai mekanisme kerja: memacu degradasi fusi protein PML-RAR (khususnya
protein PML, menginduksi apoptosis, memacu diferensiasi sel - sel leukemik serta
menghambat apaoptosis. ATO umumnya diberikan dengan dosis 0,15 mg per KG BB melalui
infus 3 jam hingga tercapai remisi komplit dengan maksimal pemberian 50 hari. Pada pasien
LPA relaps, terapi ATO menghasilkan respons sebesar 70% hingga 100%.

Anda mungkin juga menyukai