Anda di halaman 1dari 10

2.

4 Pemeriksaan Kualitas Air Limbah Rumah Pemotongan Hewan


2.4.1 Air Limbah Rumah Pemotongan Hewan
Rumah Potong Hewan (RPH) adalah suatu bangunan atau komplek bangunan
dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi
konsumsi masyarakat umum (Lubis et al., 2018). Setiap kabupaten/kota harus
mempunyai RPH yang memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan oleh menteri
pertanian. Untuk menyediakan daging yang Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH),
RPH harus memenuhi persyaratan teknis yang meliputi fisik (bangunan dan peralatan),
sumber daya manusia, dan prosedur teknis pelaksanaannya, kegiatan pemotongan hewan
di RPH terdiri atas penerimaan dan penampungan, pemeriksaan ante-mortem, persiapan
penyembelihan, penyembelihan, pengulitan, pengeluaran jeroan, pemeriksaan post-
mortem, pembelahan karkas, pelayuan karkas, dan pengangkutan karkas. Praktik
pemotongan hewan di RPH dapat dinilai berdasarkan Good Slaughtering Practices (GSP)
(Lubis et al., 2018).
Kegiatan pemotongan hewan di RPH menghasilkan produk samping
berupalimbah RPH. Limbah RPH terdiri atas limbah cair, limbah padat, dan limbah
udara. Limbah padat berupa kotoran hewan, sisa-sisa kandang, irisan karkas, serta
bangkai hewan mati. Limbah udara dapat berupa bau kotoran hewan, bau urin, serta asap
yang berasal dari pembakaran hewan mati atau karkas yang diafkir. Sedangkan limbah
cair RPH sendiri adalah limbah yang berbentuk cair dengan karakteristik mudah mengalir
yang sering kali menimbulkan permasalahan lingkungan (Rosyidi, 2017). Menurut
Budiyono et al (2011), air limbah RPH adalah limbah organik biodegradable yang terdiri
atas darah, sisa-sisa pencernaan, urin, dan pencemar lainnya yang dihasilkan dari proses
pencucian.
Limbah cair RPH berasal dari : (1) perkantoran dan laboratorium yang dialirkan
pada septic tank dengan ukuran tertentu dengan memperhitungkan sifat kerembesan
tanah, sehingga tidak berpengaruh buruk pada lingkungan, (2) pencucian jeroan,
pencucian kamar potong, berupa sisa-sisa darah, air kencing hewan, dan air kotor yang
merupakan sisa-sisa penggunaan air pada saat proses produksi, sebaiknya dialirkan pada
saluran yang selalu terpelihara dan selanjutnya ditampung dalam kolam oksidasi sebelum
dibuang pada kali/sungai yang ada. Air yang dibuangpada badan kali atau sungai tidak
boleh mengubah baku mutu awal sungai tersebut, (3) pencucian kandang peristirahatan,
kandang isolasi, (4) alat generator listrik, sisa-sisa pemakaian oli pada peralatan
pemotongan hewan atau mesin diesel, tidak diperkenankan dibuang dan sebaiknya
ditampung untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar pada tungku pembakaran, dan (5) air
bekas pendinginan karkas.
Pembuangan limbah RPH di area terbuka dan badan air dapat mencemari
lingkungan dan menimbulkan penyakit yang dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat
yang bertempat tinggal di sekitar RPH. Limbah cair RPH mengandung larutan darah,
protein, lemak dan padatan tersuspensi yang menyebabkan tingginya bahan organik dan
nutrisi, tingginya variasi jenis dan residu yang terlarut ini akan memberikan efek
mencemari sungai dan badan air (Kundu et al., 2013). Berdasarkan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 2 tahun 2006, setiap penanggungjawab usaha
dan/atau kegiatan RPH wajib melakukan pengolahan air limbah sehingga mutu air limbah
yang dibuang atau dilepas ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah RPH.

2.4.2 Karakteristik Air Limbah Rumah Pemotongan Hewan


Karakteristik air limbah Rumah Pemotongan Hewan dapat digolongkan menjadi
tiga bagian yaitu (Kusnoputranto, 1985) :

1. Karakteristik Fisik
Karakteristik fisik air limbah erat kaitannya dengan estetika karena sifatnya yang
mudah dilihat dan diidentifikasi secara langsung. Karakteristik fisik air limbah meliputi
bau, suhu, densitas, warna, dan kekeruhan. Bau disebabkan oleh adanya bahan volatile,
gas terlarut, dan hasil samping dari pembusukan bahan organic. Bau yang dihasilkan air
limbah adalah gas hasil peruraian zat organic dalam air limbah seperti H2S. Suhu
menandakan adanya spesies biologi dan tingkat aktivitasnya. Semakin tinggi suhu air,
maka kandungan oksigen terlarut dalam air berkurang dikarenakan aktivitas biologi yang
semakin meningkat (Ginting, 2010). Densitas dapat
memberikan informasi mengenai tingkat densitas air limbah dalam bak
sedimentasi maupun unit lain dalam instalasi pengolahan air limbah. Warna merupakan
ciri kualitatif untuk mengkaji kondisi umum air limbah. Warna sejati adalah warna akibat
masih adanya padatan terlarut setelah penghilangan partikel suspended. Kekeruhan dapat
terjadi karena adanya proses penguraian zat organik yang di lakukan oleh
mikroorganisme (Septiana, 2019). Kekeruhan pada air limbah disebabkan suspended
solid yang tidak segera mengendap seperti koloid, zat organik, jasad renik. Lumpur,
tandah liat, dan lain-lain.

2. Karakteristik Kimia
Kandungan kimia yang terdapat pada limbah dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu
yang mengandung campuran zat kimia anorganik dan zat kimia organik (Septiana, 2019).
Zat organic mencakup zat yang mengandung unsur karbon (C), hidrogen (H), oksigen
(O), dan nitrogen (N) atau pun protein, karbohidrat, minyak, lemak, dan pestisida.
Sedangkan zat kimia anorganik adalah zat yang tidak mengandung unsur yang telah
disebutkan, antara lain besi (Fe), crom (Cr), mangan (Mn), belerang (S), dan logam berat
seperti timbal (Pb).

3. Karakteristik Biologi
Karakteristik biologi dipengaruhi oleh mikroorganisme yang terdapat pada air
limbah. Mikroorganisme yang terdapat pada limbah antara lain yaitu, alga, fungi, bakteri,
protozoa dan mikroorganisme pathogen (Septiana, 2019). Mikroorganisme dapat
berperan penting dalam pengolahan air limbah secara biologis, namun terdapat pula
mikroorganisme yang membahayakan bagi kehidupan apabila mencemari air.

2.4.3 Parameter Standar Air Limbah Rumah Pemotongan Hewan


Menurut Badan Standarisasi Nasional (1999) dijelaskan bahwa kualitas limbah
cair dapat diketahui dengan cara melakukan pengukuran terhadap parameter fisik, kmia,
dan biologis air limbah. Pengukuran Biochemical Oxygen Demands (BOD) dan
Chemical Oxygen Demands (COD) adalah salah satu parameter pengukuran terhadap
kadar organic dari limbah di samping pengukuran terhadap suhu, pH, kandungan logam
berat, tingkat cemaran bakteri dan lainlainnya (Suardana, 2007). Menurut Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2014 tentang baku mutu air limbah diuji dengan
parameter sebagai berikut yaitu BOD, COD, TSS, pH, ammonia, minyak dan lemak.

1. Biochemical Oxygen Demands (BOD)


Kadar BOD merupakan salah satu parameter yang dapat dijadikan tolak ukur
beban pencemaran suatu perairan. Pemeriksaan BOD sangat penting untuk menelusuri
aliran pencemaran karena dapat menentukan beban pencemaran akibat air buangan dan
mendesain sistem pembuangan secara biologis bagi air tercemar. BOD atau Biochemical
Oxygen Demand adalah suatu karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut
yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai atau
mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobic (Yulis dan Febliza, 2018). Prinsip
pengukuran BOD pada dasarnya cukup sederhana, yaitu mengukur kandungan oksigen
terlarut awal (DO0) dari sampel segera setelah pengambilan contoh, kemudian mengukur
kandungan oksigen terlarut pada sampel yang telah diinkubasi selama 5 hari pada kondisi
gelap dan suhu tetap yang sering disebut dengan DO5. Selisih DO0 dan DO5 (DO0 -
DO5) merupakan nilai BOD yang dinyatakan dalam miligram oksigen per liter (mg/L).
Baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan RPH berdasarkan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2014 di antaranya limbah cair memiliki kadar paling
tinggi untuk BOD 100 mg/L. Semakin banyak materi organik yang ada dalam air limbah
RPH, semakin tinggi BOD5.

2. Chemical Oxygen Demands (COD)


Hasil analisa COD merupakan parameter yang menunjukkan banyaknya oksigen
yang digunakan untuk oksidasi secara kimiawi. COD atau Chemical Oxygen Demand
merupakan jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang
terkandung dalam air (Yulis dan Febliza, 2018). Hal ini karena bahan organik yang ada
sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat kalium bikromat pada
kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat sehingga segala macam bahan
organik, baik yang mudah urai maupun yang kompleks dan sulit urai, akan teroksidasi.
Dengan demikian, selisih nilai antara COD dan BOD memberikan gambaran besarnya
bahan organik yang sulit urai yang ada di perairan. Kadar maksimum COD yang
diperbolehkan untuk limbah air RPH adalah 200 mg/L. Kadar COD dan BOD yang
tinggi jika dibuang langsung ke lingkungan akan melebihi kemampuan asimilasi di
dalam aliran air maka bakteri akan tumbuh dengan cepat dan mengkonsumsi semua
oksigen terlarut dan akibatnya akan tercipta kondisi anaerobik. Pengurasan oksigen
terlarut dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan mengakibatkan lenyapnya protozoa dan
ikan (Aini et al., 2017).

3. Total Solid Suspended (TSS)


TSS (Total Suspended Solid) atau total padatan tersuspensi adalah segala macam
zat padat dari padatan total yang tertahan pada saringan dengan ukuran partikel
maksimum 2,0 μm dan dapat mengendap (Wardhani et al., 2015). Zat tersuspensi yang
ada di dalam air terdiri dari berbagai macam zat, misalnya pasir halus, tanah liat, dan
lumpur alami yang merupakan bahanbahan anorganik atau dapat pula berupa bahan-
bahan organik yang melayang-layang di dalam air. Total Suspended Solid (TSS)
merupakan salah satu parameter penting di dalam air limbah yang disebabkan oleh
adanya lumpur, jasad renik, dan pasir halus yang semuanya memiliki ukuran < 1 μm
(Riadi, 2016). TSS dapat menimbulkan pendangkalan pada badan air dan menimbulkan
tumbuhnya tanaman air tertentu dan dapat menjadi racun bagi makhluk hidup lainnya
(Asmadi dan Suharno, 2012). Padatan tersuspensi pada air limbah akan menghalangi
masuknya sinar matahari ke dalam lapisan air. Padahal sinar matahari sangat diperlukan
oleh mikroorganisme untuk melakukan proses fotosintesis. Karena tidak ada sinar
matahari maka proses fotosintesis tidak dapat berlangsung dan dapat mengurangi
produksi oksigen yang dihasilkan oleh tanaman. Akibatnya, kehidupan mikroorganisme
jadi terganggu. Penentuan zat padat tersuspensi (TSS) berguna untuk
mengetahuikekuatan pencemaran air limbah domestik, dan juga berguna untuk penentuan
efisiensi unit pengolahan air (Riadi, 2016). Kadar TSS paling tinggi pada limbah air RPH
disebutkan sebesar 100 mg/L.

4. pH
Secara umum nilai pH air menggambarkan keadaan seberapa besar tingkat
keasaman atau kebasaan suatu perairan (Pamungkas, 2016). Perubahan pH di suatu air
sangat berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, maupun biologi dari organisme yang
hidup di dalamnya. Derajat keasaman diduga sangat berpengaruh terhadap daya racun
bahan pencemaran dan kelarutan beberapa gas, serta menentukan bentuk zat di dalam air
(Ningrum, 2018). Semakin sedikit zat-zat organik diuraikan oleh mikroorganisme maka
pH yang dihasilkan semakin basa dan jika semakin banyak zat-zat organic yang diuraikan
maka semakin asam pH yang dihasilkan (Yulvizar, 2011). pH yang diharapkan untuk
limbah air RPH adalah 6-9.
5. Amonia
Amonia merupakan gas yang tak berwarna dan mudah larut dalam air (dengan
membentuk larutan basa), amonia mudah bereaksi dengan air dan membentuk larutan
amonium hidroksida (Farahdiba et al., 2019). NH3 atau Ammonia muncul sebagai akibat
dari pembusukan jaringan tanaman dan dekomposisi kotoran hewan. Amonia kaya akan
nitrogen dan merupakan bahan pupuk yang baik. Amonia juga merupakan suatu zat yang
menimbulkan bau yang sangat tajam sehingga kehadiran bahan ini dalam air adalah
menyangkut perubahan fisik dari pada air tersebut yang akan mempengaruhi ekosistem di
badan air. Keberadaan senyawa amonia dapat, menyebabkan kondisi toksik bagi
kehidupan perairan. Kadar amonia bebas dalam air meningkat sejalan dengan
meningkatnya pH dan suhu. Kehidupan air terpengaruh oleh amonia pada konsentrasi 1
mg/L dan dapatmenyebabkan mati karena dapat mengurangi konsentrasi oksigen dalam
air. Secara kimia, keberadaan amonia di dalam perairan dapat berupa ammonia terlarut
(NH3) dan ion amonium (NH4+ ). amonia bebas (NH3) yang tidak terionisasi bersifat
toksik bagi organisme akuatik. Pada pH rendah amonia akan bersifat racun jika
jumlahnya banyak, sedangkan pada kondisi pH tinggi amonia akan bersifat racun
meskipun kadarnya rendah. Penurunan kadar oksigen terlarut akan meningkatkan
toksisitas amonia dalam perairan (Kholif dan Ratnawati, 2017). Kadar ammonia paling
tinggi yang diperbolehkan ada di limbah air RPH adalah sebanyak 25 mg./L.

6. Minyak dan Lemak


Lipid (lemak) adalah kelompok senyawa heterogen yang berkaitan baik secara
actual maupun potensial dengan asam lemak (Darmayasa, 2008). Sifat dari lemak secara
umum tidak larut dalam air, sehingga limbah yang mengandung lemak yang terdapat
dalam badan air mempunyai dampak yang cukup besar dalam mengganggu ekosistem
perairan. Lapisan lipid yang ada pada permukaan perairan akan menghalangi masuknya
cahaya dalam badan air sehingga proses fotosintesis berlangsung terhambat dengan
demikian kadar oksigen akan rendah yang akan menyebabkan organsme aerobic akan
mati. Minyak yang meresap ke dalam tanah dapat menyebabkan tertutupnya suplai
oksigen dan meracuni mikroorganisme tanah sehingga mengakibatkan kematian
mikroorganisme tersebut (Pratiwi dan Hermana, 2014). Komponen hidrokarbon jenuh
yang menyusun minyak dapat menyebabkan anastesi dan narcosis pada hewan tingkat
rendah dan kematian pada kadar tinggi. Kadar minyak dan lemak maksimum yang
dikandung oleh air limbah RPH ialah maksimum 15 mg/L.

2.4.4 Dampak Negatif Air Limbah RPH


Untuk memenuhi kebutuhan daging yang Aman, Sehat Utuh dan Halal (ASUH)
maka pemotongan harus dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH).Salah satu
persyaratan teknis yang diatur dalam Permentan No. 13/Permentan/OT.140/1/2010
tentang persyaratan rumah potong hewan ruminansia dan unit penanganan daging (meat
cutting plant) adalah, bahwa lokasi rumah potong hewan tidak menimbulkan gangguan
dan pencemaran lingkungan (Aini et al.,2017). Menurut Kusnoputranto dalam Roniadi et
al.,(2013), dampak negative dari pengolahan air limbah yang tidak baik dapat
menyebabkan terganggunya lingkungan dan kesehatan, salah satunya ialah :

1. Terhadap badan air atau lingkungan


Kandungan senyawa organik dalam badan air penerima akan meningkat, bila
terjadi kadar parameter menyimpang dari standar, maka akan terjadi penguraian yang
tidak seimbang dan akan menimbulkan kondisi septik (suatu keadaan dimana kadar
oksigen terlarut nol) dan timbul bau busuk (H2S). Kenaikan temperatur,
kenaikan/penurunan pH akan mengganggu kehidupan air, misalnya tumbuhan dan hewan
akan punah. Bila air tersebut mempunyai kesadahan tinggi atau partikel yang mengendap
cukup banyak, hal ini akan mengakibatkan pendangkalan, sehingga dapat menimbulkan
banjir di musim hujan. Selain itu, senyawa beracun/logam berat sangat membahayakan
bagi masyarakat yang mempergunakan air sungai sebagai badan air penerima yang
dipergunakan sebagai sumber penyediaan air bersih. Secara fisik, kimia, dan biologi, air
limbah menjadi sumber cemaran lingkungan yang memberikan dampak bau dan
pemandangan yang tidak baik. Air limbah dapat menimbulkan cemaran pada sumber air
permukaan, air tanah, dan ekosistem sekitar. Selain itu bau kotoran dan jeroan cair yang
tidak sedap dapat menjadi media perkembangan yang baik bagi lalat (Roniadi et al.,
2013). Menurut Aini et al.,(2017) bahaya atau risiko yang ditimbulkan sebagai akibat
dari aktivitas di RPH yang pengelolaan air limbahnya kurang sempurna atau tidak adanya
instalasi pengolahan air limbah (IPAL) memiliki potensi bahaya, di antaranya adanya
bakteri-bakteri patogen penyebab penyakit, meningkatnya kadar BOD, COD, TSS,
minyak dan lemak, pH dan NH3-N.

2. Terhadap kesehatan manusia atau masyarakat


Air memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Air
mengandung zat- zat organik dan anorganik dalam batas-batas tertentu,oleh sebab itu, ada
dua peranan air limbah dalam kehidupan yakni peranan positif dan negatif. Peran positif
apabila air limbah dengan kualitas parameter yang dikandungnya sesuai dengan
kegunaannya antara lain untuk irigasi, perikanan, perkebunan, perindustrian, rumah
tangga, rekreasi dan sebagainya. Peranan negatif air limbah secara umum dikatakan lebih
banyak karena manusia tidak merasa berkepentingan akan mengelola air limbah tersebut.
Air limbah dianggap air yang tidak berguna lagi, oleh karena itu,air limbah dibuang
sembarangan tanpa mempertimbangkan dampak negative yang akan terjadi baik terhadap
sumber alam hayati dan non hayati yang berguna bagi kelangsungan kehidupan. Peranan
negatif tersebut termasuk pengaruhnya terhadap kesehatan manusia dan lingkungannya
baik secara langsung maupun tidak langsung. Badan air penerima air limbahmempunyai
potensi untuk mengganggu kesehatan antara lain gangguan saluran pencernaan,
keracunan makanan, penyakit kulit dan sebagainya. Adapun beberapa penyakit yang
dapat ditularkan melalui air limbah antara lain penyakit amoebiasis, kecacingan,
muntaber, leptospirosis, shigellosis, tetanus dan typus. Selain itu air limbah juga dapat
menjadi media perkembangbiakan mikroorganisme patogen, larva nyamuk, dan serangga
lain yang dapat mentransmisikan penyakit ke manusia serta kehadiran lalat perlu
dihindari karena dapat menjadi vector penyebab penyakit pada manusia (Subadyo, 2017).

2.4.5 Jenis Pengolahan Limbah


Limbah cair RPH mengandung larutan darah, protein, lemak dan padatan
tersuspensi yang menyebabkan tingginya bahan organik dan nutrisi, tingginya variasi
jenis dan residu yang terlarut ini akan memberikan efek mencemari sungai dan badan air
(Kundu et al.,2013). Baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan RPH
berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2014 di antaranya limbah
cair memiliki kadar paling tinggi untuk BOD 100 mg/l, COD 200 mg/l, TSS 100 mg/l,
minyak dan lemak 15mg/l, NH3-N 25 mg/l dan pH 6- 9 (Kementerian Lingkungan
Hidup, 2014). Limbah cair yang dikeluarkan oleh RPH harus dilakukan pengolahan
sebelum dibuang ke lingkungan agar cemaran tidak melebihi baku mutu air limbah.
Selain itu dengan menentukan kandungan dalam limbah dapat ditentukan proses
pengolahan limbah yang dibutuhkan (Herlambang, 2006). Menurut Kusnoputranto
(1983), secara umum jenis pengolahan air limbah RPH dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:

1. Pengenceran (Dilution)
Pengenceran atau dilution air buangan dilakukan dengan menggunakan air jernih
untuk mengencerkan sehingga konsentrasi polutan pada air limbah menjadi cukup rendah
untuk bisa dibuang ke badan-badan air. Pada keadaan-keadaan tertentu pengenceran
didahului dengan proses pengendapan dan penyaringan. Kekurangan yang perlu
diperhatikan dalam cara ini adalah penggunaaan jumlah air yang banyak, kontaminasi
pada badan-badan air,dan pendangkalan saluran air akibat adanya pengendapan. Sama hal
nya dengan Roniadi et al.,(2013) yang menyatakan bahwapengenceran dilakukan dengan
mengencerkan air limbah dengan air jernih sehingga konsentrasi polutan pada air limbah
cukup rendah sehingga aman untuk dialirkan ke badan air. Proses penyaringan dan
pengendapan dapat dilakukan sebelum melakukan pengenceran. Kerugian dari
pengolahan limbah dengan cara ini adalah penggunaan air yang sangat banyak,
kontaminasi pada badan air yang tinggi, dan rawan akan terjadinya pendangkalan pada
saluran air.
2. Irigasi Luas
Irigasi luas umumnya digunakan di daerah luar kota atau di pedesaan karena
memerlukan tanah yang cukup luas yang jauh dari pemukiman penduduk. Air limbah
dialirkan ke dalam parit-parit terbuka yang digali dan merembes masuk ke dalam tanah
permukaan melalui dasar dan dinding parit-parit tersebut. Air limbah RPH yang banyak
mengandung ammonia atau bahan pupuk dapat dialirkan ke lahan pertanian karena
berfungsi untuk pemupukan.

3. Kolam Oksidasi
Kolam oksidasi merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam
mengelola limbah. Kolam oksidasi terdiri dari beberapa kolam yang bertujuan untuk
menjernihkan limbah cair sehingga tidak membahayakan lingkungan (Andiese, 2011).
Empat unsur penting dalam proses pembersihan alamiah di kolam oksidasi adalah sinar
matahari, ganggang, bakteri dan oksigen. Ganggang dengan butir chlorophylnya dalam
air buangan mampu melakukan proses fotosintesis dengan bantuan sinar matahari
sehingga tumbuh dengan subur. Pada proses sintesis dibawah pengaruh sinar matahari
terbentuk O2 (oksigen). Oksigen ini digunakan oleh bakteri aerobik untuk melakukan
dekomposisi zat- zat organik yang terdapat dalam air buangan.Disamping itu terjadi pula
penguraian dan flokulasi zat-zat padat sehingga terjadi pengendapan. Pada gilirannya
kadar BOD dan TSS dari air buangan akan berkurang sampai pada tingkat yang relatif
aman bila akan dibuang ke dalam badan-badan air. Pada bagian akhir kolam oksidasi
ditanami enceng gondok sebelum dibuang ke lingkungan yang berfungsi untuk
meningkatkan kandungan oksigen terlarut (Aini et al.,2017). Efektivitas eceng gondok
terbukti mampu menurunkan nilai COD sebesar 38,1% (Djo et al., 2017).

4. Elektrokoagulasi Aliran Kontinyu


Salah satu penelitian terbaru yang mengolah air limbah secara elektrokoagulasi
dilakukan oleh Kobya et al.,(2006) menunjukkan bahwa efisiensi penyisihan COD
(Chemical Oxygen Demand) 93%. Elektrokoagulasi merupakan proses destabilisasi
suspensi, emulsi dan larutan yang mengandung kontaminan dengan cara mengalirkan
arus listrik melalui air, menyebabkan terbentuknya gumpalan yang mudah dipisahkan.
Untuk elektrokoagulasi, listrik yang dibutuhkan adalah listrik arus searah (DC= direct
current), penghantar listriknya adalah larutan elektrolit, dalam hal ini adalah air yang
akan diolah. Sedangkan elektroda yang digunakan pada umumnya adalah logam besi atau
aluminium yang memiliki sifat sebagai koagulan. Prinsip dasar dari elektrokoagulasi
adalah reaksi reduksi dan oksidasi (redoks). Dalam suatu sel elektrokoagulasi, peristiwa
oksidasi terjadi di elektroda (+) yaitu anoda, sedangkan reduksi terjadi di elektroda (-)
yaitu katoda. Yang terlibat reaksi dalam elektrokoagulasi selain elektroda adalah air yang
diolah yang berfungsi sebagai larutan elektrolit Teknik ini menunjukkan keefektifan
teknologi dalam dalam mengatasi permasalahan lingkungan, terutama untuk mengurangi
permasalahan limbah (Chen, G,2004; Mollah, M.Y.A. et al.,2001; Rajeshwar, K,1994).
Menurut Prabowo et al.,(2012) metode elektrokoagulasi terbukti memberikan hasil
penyisihan COD yang relatif baik karena mendekati 30%, selain hal tersebut metode
elektrokoagulasi juga lebih ramah lingkungan karena tidak menggunakan bahan kimia
yang dapajt mencemari lingkungan. Metode elektrokoagulasi cukup efektif untuk
mengolah limbah minyak dalam air dibandingkan dengan proses koagulasi secara
konvensional.

5. Instalasi Pengolahan Primer dan Sekunder


Instalasi ini biasanya merupakan fasilitas lengkap pengolahan air limbah yang
besar bagi sebuah kawasan pemukiman kota dan industri yang menghasilkan air limbah.
Pengolahan primer biasanya mencakup proses mekanis untuk menghilangkan material
padatan tersuspensi. Sedangkan proses selanjutnya yaitu pengolahan sekunder biasanya
meliputi proses biologi untuk mengurangi BOD di dalam air. Pengolahan primer
merupakan pengolahan limbah yang dilakukan untuk memisahkan kerikil, lumpur, dan
penghilangan zat padat yang terapung (Sugiharto, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh
Parasmita et al.,(2012) dapat dijadikan sebagai salah satu alternative untuk menurunkan
bahan pencemar secara biologis dengan menggunakan mikroba yang dilekatkan pada
kerikil sehingga membentuk biofilter pada kondisi aerob dan anaerob untuk menurunkan
BOD, COD dan TSS pada air lindi dan diperoleh hasil yang mampu menurunkan
kandungan BOD hingga 65% dan menurunkan kandungan COD hingga 29,21%.

2.4.6 Kewajiban RPH Mengelola Limbah


Kewajiban RPH dalam mengolah air limbah untuk menghindari dampak negatif yang
ditimbulkan bagi lingkungan maupun kesehatan wajib memenuhi ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Peraturan Mneteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2006
mengenai Baku Mutu Air Limbah Bagi Kegiatan Rumah Potong Hewan, yakni :

 Membuat saluran pembuangan air limbah yang kedap air sehingga tidak terjadi
perembesan air limbah ke lingkungan.
 Memasang alat ukur debit atau laju alir air limbah dan melakukan pencatatan debit harian
air limbah tersebut.
 Melakukan pencatatan produksi bulanan senyatanya.
 Memisahkan saluran buangan air limbah dengan saluran limpahan air hujan.
 Melakukan swapantau harian kadar parameter baku mutu air limbah, paling sedikit
memeriksa pH dan COD air limbah.
 Memeriksakan kadar parameter baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Menteri ini secara periodik paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
bulan oleh laboratorium yang telah terakreditasi.
 Menyampaikan laporan tentang hasil analisis air limbah dan debit harian sebagaimana
dimaksud dalam huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3
(tiga) bulan kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan Gubernur dan Menteri, serta
instansi lain yang terkait sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai