Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN BAGIAN RUMAH POTONG HEWAN

RUMINANSIA (RPH R)

STUDI KASUS
KEPUTUSAN ANTEMORTEM DAN POSTMORTEM
Senin, 28 Juni 2021

Disusun Oleh:

Kelompok A2 Subkelompok 2
PPDH Periode I Semester 2 Tahun Ajaran 2020/2021

Irena Ivania, SKH B0901201018


Nada Nursaffana Ramadhani, B0901201032
SKH
M. Azka Mubarok, SKH B0901201043

Dosen Pembimbing:
Dr Drh Herwin Pisestyani, MSi

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2021
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Seiring dengan berkembangnya zaman, kesadaran masyarakat akan konsumsi


pangan yang sehat semakin meningkat. Hal tersebut menyebabkan tuntutan akan
kualitas dan mutu yang baik dari bahan pangan juga meningkat. Daging sapi
merupakan komoditas penting bagi masyarakat Indonesia sebagai bahan pangan
sumber protein hewani yang sangat penting guna mencukupi kebutuhan gizi
masyarakat. Daging yang baik dan sehat untuk dikonsumsi yaitu daging yang aman
dan halal berasal dari Rumah Potong Hewan (RPH) dengan sistem pemotongan yang
halal, bersih, lapisan luar kering, sudah ditiriskan, aroma tidak amis dan asam,
daging masih elastik, dan tidak ada memar (Suryana 2007). Berdasarkan Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah
Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant), RPH
merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh,
dan halal, serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan: pemotongan hewan secara
benar, (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan,
dan syariah agama); pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (antemortem
inspection) dan pemeriksaan karkas dan jeroan (postmortem inspection) untuk mencegah
penularan penyakit zoonotik ke manusia; pemantauan dan surveilans penyakit hewan
dan zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan antemortem dan pemeriksaan
postmortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan
menular dan zoonosis di daerah asal hewan.
Pemotongan hewan merupakan hal krusial dalam menentukan status ASUH
(Aman, Sehat Utuh, dan Halal) dari daging yang dihasilkan oleh Rumah Potong
Hewan. Berdasarkan UU 95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan
Kesejahteraan Hewan, pemotongan hewan potong yang dagingnya diedarkan harus
dilakukan di Rumah Potong Hewan yang memenuhi persyaratan teknis yang diatur
oleh Menteri dan menerapkan cara yang baik. Salah satu cara yang perlu diterapkan
tersebut adalah melakukan pemeriksaan hewan. Pemeriksaan antemortem dilakukan
untuk memastikan bahwa hewan potong yang akan dipotong sehat dan layak untuk
dipotong. Pemeriksaan postmortem dilakukan untuk memberikan jaminan bahwa
karkas, daging, dan jeroan yang dihasilkan aman dan layak dikonsumsi serta
mencegah beredarnya bagian yang berasal dari pemotongan hewan sakit. Dokter
hewan memiliki peranan yang penting terutama dalam hal pengawasan produk
pangan asal hewan salah satunya di RPH. Pengawasan dilakukan oleh dokter hewan
pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan jangkauan tugas pelayanannya dalam rangka
penyelenggaraan kesehatan hewan. Dokter hhewan di RPH bertanggung jawab dalam
memastikan ketersediaan pangan hewani dalam lingkup kesehatan masyarakat
veteriner, yaitu menghasilkan produk hewani yang ASUH melalui pengambilan
keputusan antemortem dan postmortem yang tepat. Oleh karena itu, studi kasus
diperlukan oleh mahasiswa Program Pendidikan Dokter Hewan (PPDH) untuk
mendapatkan pemahaman yang komprehensif dalam pengambilan keputusan
antemortem dan postmortem di Rumah Potong Hewan.

Tujuan

Studi kasus keputusan antemortem dan postmortem bertujuan untuk menambah


pengetahuan mahasiswa PPDH FKH IPB University mengenai teknik pemeriksaan
antemortem dan postmortem, pengambilan keputusan antemortem dan postmortem,
serta melakukan tindakan dan penanganan terhadap hewan yang teridentifikasi
penyakit di Rumah Potong Hewan.

STUDI KASUS

Studi Kasus Keputusan Antemortem


Dalam 1 kandang penampungan di RPH terdapat populasi sapi yang
mengalami ngorok, anoreksia ringan. Sebagian mengeluarkan eksudasi
seromukus hingga mukopurulen yang berasal dari hidung dan mulut.
Peningkatan frekuensi respirasi juga teramati meningkat dengan tipe respirasi
abdominal. Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut diidentifikasi bahwa
kawanan sapi tersebut menderita Septicemia Epizootica. Apa kebijakan
pemotongan terhadap sapi tersebut? uraikan alasan diambilnya kebijakan
pemotongan terhadap sapi tersebut. Tindakan apa yang harus diterapkan di
RPH?

Studi Kasus Keputusan Postmortem


Apa kebijakan postmortem terhadap organ dan karkas tersebut?uraikan alasan
diambilnya kebijakan peredaran organ dan karkas tersebut.
Tindakan apa yang harus diterapkan di RPH?
Gambar 1 Studi kasus postmortem

PEMBAHASAN

Kasus 1 Keputusan Antemortem

Septicaemia epizootica (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS) di Indonesia


dikenal sebagai penyakit ngorok yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida
(Kementan 2013). Penyakit ini merupakan penyakit menular pada ruminansia
terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat perakut, akut dan fatal (Ara et al.
2016). Septicaemia epizootica (SE) secara ekonomis sangat merugikan karena dapat
menyebabkan turunnya produktifitas ternak hingga kematian ternak (Farooq et al.
2007). Penyakit Septicaemia Epizootica (SE) menunjukan gejala-gejala yang muncul
seperti ngorok pada malam hari, leher bengkak, keluar eksudat dari mulut, keluar
eksudat dari hidung, tidak nafsu makan, tidak minum dan suhu tubuh panas. Kelenjar
limfe membengkak, terjadi perdarahan di bawah kulit, usus dan jantung serta terdapat
cairan kuning pekat di rongga dada. Di dunia penyakit ini banyak menyebar di
daerah Asia yang memiliki curah hujan yang tinggi seperti Indonesia, Philippina,
Thailand dan Malaysia ( Belutowe 2015). Penularan Septiaemia epizootica dapat
terjadi akibat infeksi bakteri kedalam tubuh hewan melalu tenggorokan. Hewan sehat
akan tertular oleh hewan sakit atau pembawa melalui kontak atau melalui makanan,
minuman dan alat yang tercemar. Faktor predisposisi dari penyakit Septiaemia
epizootica adalah stress. Pemberian pakan yang berkualitas rendah, kedinginan,
anemia, kandang yang penuh dan kondisi pengangkutan yang melelahkan dapat
memicu terjadinya infeksi tersebut (Kementan 2014). Untuk mengurangi stress akibat
kandang yang penuh, rumah potong hewan harus sesuai dengan Permentan Nomor 13
Tahun 2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit
Penanganan Daging yakni kandang penampungan harus memiliki daya tamping 1.5
kali dari rata-rata jumlah pemotongan hewan setiap hari, memiliki ventilasi, dan
penerangan yang baik (Kementan 2010)
Kebijakan pemotongan terhadap penyakit Septicaemia epizootica adalah
apabila terdapat sapi yang menunjukan gejala klinis di kandang koloni, maka
dilakukan pemeriksaan fisik pada sapi. Lalu dilakukan isolasi untuk memisahkan sapi
sakit dengan sapi yang sehat agar tidak terjadi penularan. Tindakan selanjutnya
adalah membuat keputusan antemortem berdasarkan hasil pemeriksaan. Keputusan
yang dapat diambil terhadap kasus Septicaemia epizootica adalah sapi diizinkan
untuk segera disembelih dengan syarat yaitu dalam pengawasan dokter hewan, organ
yang menunjukan lesi patologis diafkir, pemotongan sapi dilakukan diakhir atau
setelah sapi sehat, kawanan sapi lainnya dalam koloni yang sama juga harus segera
dipotong. Menurut Kementan (2014) apabila sapi menunjukkan gejala klinis penyakit
bersifat sistemik, dan dapat membahayakan kesehatan manusia atau menunjukkan
gejala klinis akibat keracunan makanan atau adanya tindakan mekanis, maka bagian
daging tertentu yang tidak layak dikonsumsi diafkir dan dilakukan pengawasan secara
khusus pada pemeriksaan postmortem secara terpisah dengan penilaian/rekomendasi
dapat dikonsumsi bersyarat atau ditolak sama sekali. Septicaemia epizootica bersifat
akut dan memiliki mortalitas yang tinggi. Pasteurella multocida dapat menularkan
hewan yang sehat melalui makanan, minuman dan alat yang tercamar akibat eksreta
hewan penderuta yang jatuh.
Tindakan yang harus diterapkan di rumah potong hewan adalah melakukan
pelaporan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan
Hewan asal ternak, mengenai kejadian timbulnya penyakit Septicaemia epizootica.
Menyarankan kepada Bupati, Walikota asal ternak untuk mengeluarkan surat
keputusan tentang penutupan daerah dan pembatasan lalu lintas ternak didalam
wilayahnya. Terhadap ternak sakit harus dilakukan pengamatan mendalam dan
pengambilan sampel uji laboratorium. Tindakan pencegahan dilakukan terhadap lalu
lintas ternak rentan, isolasi seluruh ternak yang bersentuhan dengan hewan sakit dan
dilakukan sanitasi dengan penghapus hamaan dan desinfeksi selama menunggu hasil
laboratorium dan keputusan diagnosa. Apabila ditemukan hasil laboratorium positif
zoonosis berbahaya, maka segera bekerjasama dengan Dinas setempat yang
berwenang di bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, untuk
dilakukan tindakan sesuai prosedur yang berlaku (Kementan 2014).

Kasus 2 Keputusan Postmortem


Cysticercosis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing pita atau
Cycsticercus, Kelas Eucestoda, Ordo Cyclophyllidea, Famili Taeniidae, Genus
Taenia. Penyebab penyakit adalah parasit cacing stadium atau fase metacestoda dari
cacing pita. Cacing pita dewasa hidup dalam usus manusia, dapat tumbuh hingga
mencapai dua sampai delapan meter. Dikenal 2 jenis cacing pita, yaitu Taenia solium
(pada babi) dan Taenia saginata (pada sapi). Cacing pita stadium larva dari T.solium
yang terdapat dalam daging babi disebut Cysticercus cellulose, sedangkan stadium
larva dari T.saginata yang terdapat dalam daging sapi disebut Cysticercus bovis atau
C. innermis. Cystircercosis adalah penyakit zoonosis pada manusia sebagai induk
semang (host) ke sapi melalui telur dalam segmen yang keluar bersama feses
(Kementan 2012).
Bovine cysticercosis adalah infeksi larva Taenia saginata yang disebut
Cysticercus bovis pada sapi. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit parasit tropis
yang terabaikan dan bersifat zoonosis. Bentuk dewasa dari larva ini berupa cacing
pita, menyebabkan taeniasis pada manusia. Kelangsungan hidup cacing pita
memerlukan manusia sebagai inang definitif dan ternak sapi sebagai inang antara.
Cacing pita T. saginata ditemukan pada usus manusia, sementara bentuk larva atau
kistanya yaitu C. bovis menginfeksi otot sapi. Manusia terinfeksi cacing pita bila
mengonsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau dimasak kurang matang yang
mengandung C. bovis. Sebaliknya, sapi terinfeksi larva cacing pita bila menelan telur
T. saginata yang dikeluarkan manusia lewat feses (Prakashbabu et al. 2018). Infeksi
C. bovis pada sapi ditemukan hampir di seluruh dunia (Taresa et al. 2011).
Kejadiannya tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga di negara-negara industri
yang telah maju (Konyaev et al. 2017). Dampak ekonomi yang disebabkan oleh
penyakit ini merugikan berbagai pihak. Kerugian terbesar dialami oleh industri
daging, karena daging yang terinfeksi harus dimusnahkan, tidak boleh dikonsumsi
(Laranjo Gonzalez et al. 2016) Cacing pita T. saginata juga ditemukan hampir di
seluruh dunia. Parasit zoonosis ini memiliki pola epidemiologi yang khas,
dipengaruhi oleh etnis dan budaya masyarakatnya dengan perkirakan kasus sekitar
50-77 juta di seluruh dunia (Tamirat et al. 2018). Cacing T. saginata merupakan
cacing pita dengan ukuran yang sangat panjang, yaitu 4-8 meter, kadang-kadang
sampai 15 meter (Alemneh et al. 2017). Cacing ini dapat menyebabkan obstruksi
usus yang berdampak fatal pada manusia (Wani et al. 2018).
Upaya penanggulangan zoonosis tersebut sebenarnya tidak sulit, salah satunya
dengan memutus siklus hidup parasit dengan menekan sumber infeksinya pada sapi.
Permasalahannya adalah sampai saat ini data epidemiologi kejadian bovine
cysticercosis pada sapi di Indonesia tidak ada atau belum pernah dilaporkan. Hal ini
akibat sulitnya melakukan diagnosis sistiserkosis pada hewan hidup. Umumnya
diagnosis sistiserkosis dilakukan setelah hewan disembelih (post mortum) dengan
menemukan parasitnya (sistiserkus) melalui pemeriksaan kesehatan daging. Berikut
merupakan contoh gambar daging sapi yang diduga terdapat infestasi cysticercus
bovis.
Gambar 1 Daging sapi yang terinfestasi cysticercus bovis

Menurut Gonzalez et al. (2006) menyebutkan bahwa sistiserkus kadang-


kadang dapat dideteksi pada otot di sekitar pipi dan pada lidah sapi dengan
melakukan palpasi, teraba adanya benjolan/nodul di bawah jaringan kulit atau
intramuskuler. Daerah otot yang menjadi predileksi kista Taenia saginata adalah otot
lurik, otot masseter, jantung, dan diafragma. Berdasarkan pemeriksaan postmortem di
RPH yang ditemukan adanya karkas dengan nodul-nodul jaringan berwarna putih
sehingga mengindikasikan adanya infestasi dari cysticercus bovis, maka RPH tersebut
melalui dokter hewan yang berwenang menjalankan kebijakan yakni jika karkas yang
ditemukan positif cysticercus dalam jumlah cukup banyak dan bersifat masif maka
direkomendasikan untuk dimusnahkan. Sedangkan jika yang terinfeksi ringan maka
salah satu bagian karkas yang dinilai mengandung infestasi cysticercus bovis tersebut
dieliminasi, tetapi bagian karkas yang secara klinis tidak ditemukan infestasi, tetap
diedarkan dengan ketentuan sebelum diedarkan daging tersebut dipanaskan/dimasak
secara matang terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Hal ini supaya proses pemanasan
akan menghilangkan dan mengeliminasi infestasi cysticercus bovis yang masih ada.
Menurut Permentan (2010) pada BAB II bagian 1 tentang Persyaratan Teknis
RPH nomor 3 menyebutkan bahwa RPH merupakan unit pelayanan masyarakat
dalam penyediaan daging yang (ASUH) aman, sehat, utuh, dan halal, serta berfungsi
sebagai sarana untuk melaksanakan pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan
zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-
mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular
dan zoonosis di daerah asal hewan. Berdasarkan hal tersebut, maka tindakan yang
harus diterapkan oleh RPH dalam penyedia daging yang ASUH yang terdapat suatu
penyakit hewan dan zoonosis adalah melakukan pelaporan hasil pemeriksaan
antemortem dan postmortem kepada atasan (kepala RPH) secara kooperatif,
melaksanakan pemantauan dan surveilans terhadap penyakit yang ditemukan, dan
perlu dilakukan pemeriksaan secara ketat pada ternak sapi yang dipotong di Rumah
Potong Hewan (RPH) untuk mencegah meluasnya penyakit pada hewan lain yang
rentan maupun pada manusia. Monitoring dan surveilans dilakukan dengan mengirim
sampel daging ke Laboratorium untuk mengetahui perkembangan penyakit
sistiserkosis.

SIMPULAN

Kebijakan rumah potong hewan ruminansia sebelum pemotongan hewan yang


terinfeksi Septicaemia epizootica perlu dilakukan untuk mencegah penularan
penyakit tersebut. Sapi yang menunjukan gejala klinis diizinkan untuk segera
disembelih dengan syarat dan dalam pengawasan dokter hewan dengan organ yang
menunjukan lesi patologis diafkir. Tindakan yang harus diterapkan di rumah potong
hewan adalah melakukan pelaporan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi
Peternakan dan Kesehatan Hewan asal ternak, mengenai kejadian timbulnya penyakit
Septicaemia epizootica. Keputusan postmortem pada daging yang menunjukkan
cysticercus dalam jumlah cukup banyak dan bersifat masif maka direkomendasikan
untuk dimusnahkan. Sedangkan, daging yang terinfeksi ringan dilakukan eliminasi
pada bagian daging yang dinilai mengandung infestasi cysticercus. Bagian daging
yang secara klinis tidak ditemukan infestasi, tetap diedarkan dengan ketentuan
sebelum diedarkan daging tersebut dipanaskan/dimasak secara matang terlebih
dahulu sebelum dikonsumsi. Tindakan yang harus diterapkan di rumah potong hewan
adalah melakukan pelaporan kepada atasan (Kepala RPH) secara kooperatif,
melaksanakan pemantauan dan surveilans terhadap penyakit yang ditemukan, perlu
dilakukan pemeriksaan secara ketat dan pengiriman sampel daging pada ternak sapi
dan babi yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) untuk mencegah meluasnya
penyakit pada hewan lain yang rentan maupun pada manusia.

DAFTAR PUSTAKA

[DitjenPKH]. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014. Manual


Penyakit Hewan Mamalia. Jakarta (ID): DitjenPKH.
[Kementan] Kementrian Pertanian. 2013. Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular
Strategis (PHMS). Jakarta (ID): Kementrian Pertanian.
[Kemntan] Kementerian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Republik
Indonesia Nomor 13/Permentan/Ot.140/1/2010 Tentang Persyaratan Rumah
Potong Hewan Ruminansia Dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting
Plant). Jakarta (ID): Kementerian Pertanian.
Alemneh T, Adem T, Akeberegn D. 2017. Mini Review on Bovine Cysticercosis.
Journal of Healthcare Communications. 2: 2-15
Ara MS, Rahman MT, Akhbar M, Rahman M, Nazir KHMNH, Ahmed S, Hossen
ML, Khan MFR, Rahman MB. 2016. Molecular detection of P.multocida Type
B causing haemorrhagic septicemia in cattle and buffaloes of Bangladesh.
Progressive agriculture. 27(2):175-179.
Belutowe YS. 2015. Diagnosa penyakit septicaemia epizootica pada sapi ternak
dengan teorema bayes. Jurnal Teknologi Terpadu. 1(2): 50-54.
Farooq U, Hussain M, Irshad H, Badar N, Munir R, Ali Q. 2007. Status
Haemorrhagic Septicaemia Based On Epidemiology In Pakistan. Pakistan
Vet.J. 27(2):67-72.
Gonzalez LM, Villalobos N, Montero E, Morales J, Sanz RA, Muro RA, Harrison LJ,
Parkhouse RM and Garate T. 2006. Differential molecular identification of
Taeniid spp. and Sarcocystis spp. cysts isolated from infected pigs and cattle.
Veterinary Parasitology 142: 95-101
Guimarães-Peixoto RPM, Pinto PSA, Santos MR, Zilch TJ, ApolinaArio PF, Silva A,
Juanior. 2018. Development of the Multi-Epitope Chimeric Antigen rqTSA-25
from Taenia saginata for Serological Diagnosis of Bovine Cysticercosis. PLoS
Negl Trop Dis 12(4): 63-71
Kementerian Pertanian. 2012. Informasi Dan Diskripsi Singkat Penyakit Phms
(Penyakit Hewan Menular Strategis): Booklet PHMS. Balai Besar Penelitian
Veteriner Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian
Konyaev SV, Nakao M, Ito A, Lavikainen A. 2017. History of Taenia saginata
Tapeworms in Northern Russia. Emerging Infectious Diseases 23(12): 2030-
2037.
Laranjo-Gonzalez M, Devleesschauwer B, Trevisan C, Allepuz A, Sotiraki S,
Abraham A, Afonso MB, Blocher J, Cardoso L, da Costa JMC, Dorny P,
Gabriël S, Gomes J, Gómez-Morales MA, Jokelainen P, Kaminski M, Krt B,
Magnussen P, Robertson LJ, Schmidt V, Schmutzhard E, Smit GSA, Šoba B,
Stensvold CR, Stariè J, Troell K, Rataj AV, Vieira-Pinto M, Vilhena M,
Wardrop NA, Winkler AS, Dermauw V. 2017. Epidemiology of Taeniosis /
Cysticercosis in Europe, a Systematic Review: Western Europe. Parasites &
Vectors 10: 349.
Prakashbabu BC, Marshall LR, Crotta M, Gilbert W, Johnson JC, Alban L, Guitian J.
2018. Risk-Based Inspection as a Cost Effective Strategy to Reduce Human
Exposure to Cysticerci of Taenia saginata in Lowprevalence Settings. Parasites
& Vectors 11: 257.

Anda mungkin juga menyukai