Anda di halaman 1dari 8

SITUASI PENYAKIT SEPTICHAEMIA EPIZOOTICA SESUDAH

TAHUN 2000

OLEH:
FIRDHA HANAN NIFA
NIM. 062024253002

PROGRAM STUDI MAGISTER


ILMJU PENYAKIT DAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2021
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Septicaemia epizootica (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS) di Indonesia


dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida B:2.
Penyakit ini telah lama dikenal di Indonesia sebagai penyakit yang merugikan secara
ekonomi, sehingga dimasukkan sebagai salah satu jenis penyakit hewan menular
strategis Septicaemia epizootica merupakan penyakit menular pada ruminansia
terutama ternak sapi dan kerbau, yang bersifat akut dan fatal. Ternak muda biasanya
lebih peka dibandingkan dengan ternak yang dewasa. Gejala penyakit SE yang
menyolok adalah demam disertai gangguan pernapasan dan oedema pada daerah
submandibula yang meluas ke daerah leher dan dada. Bakterimia pada kerbau terjadi
setelah 12 jam hewan terinfeksi dan hewan kerbau lebih peka daripada sapi. Pengobatan
terhadap infeksi yang disebabkan oleh bakteri dapat dilakukan dengan pemakaian
antibiotik yang tepat. Antibiotik dapat menghambat pertumbuhan bakteri
(bakteriostatik) atau menghancurkan sel-sel bakteri (bakterisida). Pengunaan dosis
antibiotik yang kurang tepat dan pemakaian yang terlalu sering akan menimbulkan
keadaan yang disebut dengan resisten (Cantona, 2020).

Penyakit ngorok ini sering menimbulkan kematian yang tinggi (90 persen).
Penularannya biasa terjadi pada ternak yang dilepas ditempat-tempat pengembalaan,
masuknya bibit (kuman) pada tubuh ternak melalui selaput lendir alat pernapasan dan
pencernaan, bisa juga melalui luka-luka pada kulit. Gejala penyakit ini adalah
timbulnya suara ngorok, selaput lendir mulut kering kemerahan dan membengkak,
lidah membengkak menggantung keluar, terjadi pembengkakan pada daerah kepala dan
leher, bila ditekan terasa sakit, ternak seperti demam, lesu, denyut nadi cepat, bulu
badan berdiri, otot bergetar, napas cepat dan tidak mau makan.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut.


1. Bagaimana situasi penyakit septichaemia epizootica di Indonesia sesudah
tahun 2000?
2. Apakah penyakit septichaemia epizootica menimbulkan kerugian ekonomi
yang berarti bagi Indonesia?

1.3 Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui situasi penyakit


septichaemia epizootica di Indonesia setelah tahun 2000 beserta kerugian-kerugian
yang ditimbulkannya.
BAB 2 PEMBAHASAN

Ada beberapa laporan yang telah dipublikasi oleh media masa tentang
kejadian penyakit SE di berbagai daerah di Indonesia. Pada Tabel 1 dapat dilihat
kejadian penyakit SE di beberapa daerah. Kejadian penyakit SE yang menyerang hewan
sapi dan kerbau telah terjadi tiap tahun di daerah Propinsi NTT. Kasus biasanya
terjadi karena cakupan vaksinasi yang masih rendah (KOMPAS, 9 Februari
2006). Kematian pada kerbau juga sering terjadi di daerah Propinsi Sumatera Utara,
Jambi, Bengkulu dan Riau.

Tabel 1. Kejadian Penyakit SE di Indonesia menurut Natalia dan Priadi (2010)

Putra (2006); Ashari dan Januari (2007) melaporkan pada tahun 2001 ternak di Aceh
teridentifikasi positif penyakit SE sekitar 67,03%, tahun 2002 sekitar 46,4% sedangkan pada
tahun 2004 teridentifikasi sekitar 3,02%. Setiawan dan Sjamsudin (1988) menyatakan bahwa
kerbau dan sapi sangat peka terhadap penyakit SE. Ashari dan Juarini (2007) menyatakan
bahwa kematian ternak Aceh Barat sebanyak 10% karena penyakit SE dan kematian dari
penyakit ini diasumsikan rata-rata tiap tahun minimal sebesar 6%.

Pada tahun 2013 juga terdapat laporan ternak mati di Gayo Lues, Aceh yang diduga
terinfeksi penyakit septichaemia epizootica. Ratusan ekor ternak masyarakat Kabupaten Gayo
Lues (Galus) mati, terutama sapi dan kerbau yang tersebar di 11 kecamatan. Diperkirakan,
dari akhir 2013 sampai awal 2015, sebanyak 690 ekor ternak mati, sebagian besar kerbau.
Kabid Peternakan Galus, Imran, mengatakan bahwa sebagian ternak mati di kandang, diduga
terserang penyakit. Ternak yang mati terserang penyakit Septicimea Epizootica (SE) setelah
dilakukan uji coba di laboratorium. Dia mengatakan tanda-tanda hewan mulai terkena penyakit,
seperti mulut mengeluarkan busa dan berbuih, selain itu selera makan ternak terus berkurang.
Imran menyatakan petugas peternakan sudah melakukan berbagai upaya untuk mencegah
penyebaran penyakit SE atau ngorok, tetapi belum maksimal (Natalia, 2010).

10 Kerbau Mati Diserang Ngorok di Kabupaten Aceh Barat

Sebanyak 10 ekor kerbau milik warga di Kecamatan Arongan Lambelek dan Kaway
XVI dalam dua pekan terakhir mati mendadak akibat serangan penyakit SE. Berdasarkan data
diperoleh Serambi pada 15 Agustus 2015 lalu, enam ekor kerbau milik warga Desa Cot Buloh,
Kecamatan Arongan Lambelek ditemukan mati mendadak. Sementara empat kasus yang sama
juga ditemukan di Desa Pasi Meugat, Kecamatan Kaway XVI dua hari lalu.

Menurutnya Kasi Pencegahan Pemberantasan Penyakit (P3) Hewan Distannak Aceh


Barat drh Mukharuddin penyebab kerbau mati dalam jumlah besar itu karena diserang penyakit
ngorok akut. Apalagi dari fakta yang ditemukan kerbau milik petani tersebut tidak divaksin.

Muktaruddin mengatakan upaya vaksin oleh tim Keswan masih terus dilakukan ke
desa-desa sehingga penyebaran penyakit ngorok tidak meluas. Sejauh ini dari laporan yang
masuk ke Distannak terdapat 10 ekor kerbau mati akibat serangan SE. “Masyarakat peternak
atau yang memiliki kerbau yang belum divaksin untuk segera divaksin sehingga terhindar dari
penyakit SE. Langkah vaksin kita lakukan supaya kerbau mati mendadak tidak lagi terjadi,”
ujar Mukharuddin.

Kasus Septichaemia Epizootica di Kabupaten Timur Tengah Utara

Munculnya kasus SE di Kabupaten Timur Tengah Utara tahun 2014,


tepatnya desa Hauteas Barat mengindikasikan bakteri Pasteurella multocidatetap
bersirkulasi di alam. Faktor yang sangat mendukung munculnya kasus SE tersebut
adalah tidakdilakukannya vaksinasi SE selama tahun 2013 hingga saat terjadinya kasus,
sehingga mengakibatkan sapi tidak memiliki antibodi dan sangat rentan terhadap serangan
SE. Tingginya angka kematian ternak ini disebabkan karena terjadi penularan dari
hewan yang terinfeksi/mati sebelumnya. Seperti diinformasikan oleh masyarakat
setempat bahwa sistem pemeliharaan ternak tersebut masih dilakukan secara
tradisional, (diliarkan), kebutuhan pakan tidak tercukupi, sehingga bila terjadi penyakit
pada satu ekor ternak akan sangat berpotensi menularkan pada ternak lainnya.
Penularan penyakit biasanya dipengaruhi oleh faktor stres, kepadatan hewan,
manajemen pemeliharaan yang tidak baik dan musim (Carter and Alwis 1989).

Meskipun kasus penyakit SE terjadi setiap saat, namun penyakit umumnya


terjadi dan berkembang selama musim penghujan dimana hewan banyak mengalami
stres karena dipekerjakan (Carterdan Alwis, 1989). Kondisi stres dimusim penghujan
tersebut di atas menyebabkan peningkatan daya tahan hidup kuman dalam induk
semang dan peningkatan jumlah organisme dalam lingkungan basah. Dalam kondisi
induksemang yang lemah, organisme dalam hewan carrier bertahan dankepekaan hewan
terhadap penyakit meningkat. Hewan dengan kondisi yang buruk dan keengganan
pemilik hewan untuk melakukan vaksinasi juga berperan terhadap peningkatan
kejadian penyakit (Agustini dkk., 2014)
BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kasus penyakit Septichaemia Epizootica / Haemoragic Septichaemia merupakan


penyakit yang masih sering muncul di Indonesia. Penyakit ini sering menimbulkan
kerugian berupa penurunan produktivitas serta mengakibatkan kematian pada ternak.
Peran pemerintah dalam pengawasan penyakit ini cukup penting untuk mengurangi angka
kematian akibat penyakit ini.

3.2 Saran

Pencegahan penyakit ini dengan cara vaksinasi adalah suatu hal yang penting.
Pengawasan terhadap keberhasilan vaksinasi harus terus dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Agustini, N.L.P1, Supartika, I.K.E,2dan Joni Uliantara, I.G. A. 2014. Laporan Kasus
Septicaemia Epizooticapada Sapibali Di Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa
Tenggara Timurtahun 2014. Buletin Veteriner, BBVet Denpasar. Vol. 24 (85): 1

Cantona, Mario H., M. U.E. Sanam , T. Utami , T. C. Tophianong , A. Y.N Widi. 2020.
Evaluasi Titer Antibodi Pasca Vaksinasi Septicaemia Epizootica pada Sapi Bali Di Kota
Kupang. Jurnal Kajian Veteriner. Vol. 8(1): 69-80

Natalia, Lily dan Adin Priadi. 2010. Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam
Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar. 53-67

Anda mungkin juga menyukai