TAHUN 2000
OLEH:
FIRDHA HANAN NIFA
NIM. 062024253002
Penyakit ngorok ini sering menimbulkan kematian yang tinggi (90 persen).
Penularannya biasa terjadi pada ternak yang dilepas ditempat-tempat pengembalaan,
masuknya bibit (kuman) pada tubuh ternak melalui selaput lendir alat pernapasan dan
pencernaan, bisa juga melalui luka-luka pada kulit. Gejala penyakit ini adalah
timbulnya suara ngorok, selaput lendir mulut kering kemerahan dan membengkak,
lidah membengkak menggantung keluar, terjadi pembengkakan pada daerah kepala dan
leher, bila ditekan terasa sakit, ternak seperti demam, lesu, denyut nadi cepat, bulu
badan berdiri, otot bergetar, napas cepat dan tidak mau makan.
Ada beberapa laporan yang telah dipublikasi oleh media masa tentang
kejadian penyakit SE di berbagai daerah di Indonesia. Pada Tabel 1 dapat dilihat
kejadian penyakit SE di beberapa daerah. Kejadian penyakit SE yang menyerang hewan
sapi dan kerbau telah terjadi tiap tahun di daerah Propinsi NTT. Kasus biasanya
terjadi karena cakupan vaksinasi yang masih rendah (KOMPAS, 9 Februari
2006). Kematian pada kerbau juga sering terjadi di daerah Propinsi Sumatera Utara,
Jambi, Bengkulu dan Riau.
Putra (2006); Ashari dan Januari (2007) melaporkan pada tahun 2001 ternak di Aceh
teridentifikasi positif penyakit SE sekitar 67,03%, tahun 2002 sekitar 46,4% sedangkan pada
tahun 2004 teridentifikasi sekitar 3,02%. Setiawan dan Sjamsudin (1988) menyatakan bahwa
kerbau dan sapi sangat peka terhadap penyakit SE. Ashari dan Juarini (2007) menyatakan
bahwa kematian ternak Aceh Barat sebanyak 10% karena penyakit SE dan kematian dari
penyakit ini diasumsikan rata-rata tiap tahun minimal sebesar 6%.
Pada tahun 2013 juga terdapat laporan ternak mati di Gayo Lues, Aceh yang diduga
terinfeksi penyakit septichaemia epizootica. Ratusan ekor ternak masyarakat Kabupaten Gayo
Lues (Galus) mati, terutama sapi dan kerbau yang tersebar di 11 kecamatan. Diperkirakan,
dari akhir 2013 sampai awal 2015, sebanyak 690 ekor ternak mati, sebagian besar kerbau.
Kabid Peternakan Galus, Imran, mengatakan bahwa sebagian ternak mati di kandang, diduga
terserang penyakit. Ternak yang mati terserang penyakit Septicimea Epizootica (SE) setelah
dilakukan uji coba di laboratorium. Dia mengatakan tanda-tanda hewan mulai terkena penyakit,
seperti mulut mengeluarkan busa dan berbuih, selain itu selera makan ternak terus berkurang.
Imran menyatakan petugas peternakan sudah melakukan berbagai upaya untuk mencegah
penyebaran penyakit SE atau ngorok, tetapi belum maksimal (Natalia, 2010).
Sebanyak 10 ekor kerbau milik warga di Kecamatan Arongan Lambelek dan Kaway
XVI dalam dua pekan terakhir mati mendadak akibat serangan penyakit SE. Berdasarkan data
diperoleh Serambi pada 15 Agustus 2015 lalu, enam ekor kerbau milik warga Desa Cot Buloh,
Kecamatan Arongan Lambelek ditemukan mati mendadak. Sementara empat kasus yang sama
juga ditemukan di Desa Pasi Meugat, Kecamatan Kaway XVI dua hari lalu.
Muktaruddin mengatakan upaya vaksin oleh tim Keswan masih terus dilakukan ke
desa-desa sehingga penyebaran penyakit ngorok tidak meluas. Sejauh ini dari laporan yang
masuk ke Distannak terdapat 10 ekor kerbau mati akibat serangan SE. “Masyarakat peternak
atau yang memiliki kerbau yang belum divaksin untuk segera divaksin sehingga terhindar dari
penyakit SE. Langkah vaksin kita lakukan supaya kerbau mati mendadak tidak lagi terjadi,”
ujar Mukharuddin.
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Pencegahan penyakit ini dengan cara vaksinasi adalah suatu hal yang penting.
Pengawasan terhadap keberhasilan vaksinasi harus terus dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Agustini, N.L.P1, Supartika, I.K.E,2dan Joni Uliantara, I.G. A. 2014. Laporan Kasus
Septicaemia Epizooticapada Sapibali Di Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa
Tenggara Timurtahun 2014. Buletin Veteriner, BBVet Denpasar. Vol. 24 (85): 1
Cantona, Mario H., M. U.E. Sanam , T. Utami , T. C. Tophianong , A. Y.N Widi. 2020.
Evaluasi Titer Antibodi Pasca Vaksinasi Septicaemia Epizootica pada Sapi Bali Di Kota
Kupang. Jurnal Kajian Veteriner. Vol. 8(1): 69-80
Natalia, Lily dan Adin Priadi. 2010. Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam
Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar. 53-67