Anda di halaman 1dari 11

PEMERIKSAAN PADA TERNAK BESAR

Kelompok 7

I Putu Swastu1 (C031201066), Andi Nurul Khatimah1 (C031201048), Aulia Shafwana1


(C031201022), Firani1 (C031201056), Muh. Muslim Abdillah Rusmin1 (C031201075),
Nurafiat Rafiuddin1 (C031201029) dan Oktavia Ningtias Herawati1 (C031201005)

Asisten: Tifal Iffah Ramadani

¹Departemen Diagnosa Klinik Program Studi Kedokteran Hewan (PSKH),


Fakultas Kedokteran,Universitas Hasanuddin

ABSTRAK
Kata kunci:
lengkapimi kata kunci
1. PENDAHULUAN
Seekor hewan dapat dinyatakan sakit karena hewan tersebut menunjukkan kelainan-kelainan
dibandingkan dengan hewan yang sehat. Untuk kepentingan tersebut diperlukan pengetahuan
tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kelainan pada hewan sakit, dikatakan sebagai
pengetahuan dalam pemeriksaan fisik, pengetahua tentang anatomi dan fisiologi hewan secara
memadai menjadi sangat penting. kelainan kelainan yang diperlihatkan oleh hewan sakit dapat
digolongkan menjadi dua yaitu kelainan struktural atau kelainan anatomis dan kelainan fungsional
atau kelainan fisiologis. Secara kuantitatif dan kualitatif, atau kedua duanya kelainan kelainan
structural dan fungsional dinamakan gejala penyakit, tanda penyakit atau symptom (Widodo et al.,
2019).
Tikus putih dan mencit merupakan hewan laboratorium yang sering digunakan karena
kemampuan reproduksi tinggi (sekitar 10-12 anak/kelahiran), harga dan biaya pemeliharaan relatif
murah, serta efisien dalam waktu karena sifat genetik dapat dibuat seragam dalam waktu yang
lebih singkat dibandingkan dengan ternak besar. Selain tikus dan mencit, sering digunakan kelinci
sebagai hewan laboratorium dan bangsa pisces yaitu ikan lele. Genome mencit, sapi, babi dan
manusia sangat mirip, sehingga mencit dapat digunakan sebagai hewan model untuk mempelajari
pengetahuan dasar genetika kualitatif dan kuantitatif maupun metode pemuliaan (Kartika et al.,
2013).
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Data Fisiologis Normal Sapi
Menurut amiano et al (2018), rata-rata frekuensi respirasi ternak sapi Bali betina pada pagi
hari yaitu 21,1 kali per menit, sedangkan pada siang hari yaitu 24,3 kali per menit dan pada sore
hari yaitu 24,5 kali per menit. Rata-rata suhu tubuh ternak sapi Bali betina pada pagi hari yaitu
37,4 C, pada siang hari yaitu 38,1 C dan pada sore yaitu 38,2 C. Rata-rata denyut nadi sapi Bali,
pada pagi hari yaitu 60,3 kali per menit, pada siang hari yaitu 65,2 kali per menit sedangkan pada
sore hari yaitu 63,7 kali per menit. Rata-rata ruminasi pada pagi hari yakni 55,2 kali kunyahan
dalam waktu 31,9 detik, pada siang hari rata-rata ruminasi yakni 55,3 kali kunyahan dalam waktu
31,7 detik sedangkan pada sore hari rata-rata ruminasi yakni 55,3 kali kunyahan dalam waktu 31,8
detik.Status fisiologis ternak sapi Bali yaitu frekuensi pernafasan, suhu tubuh, dan denyut nadi
berada pada kondisi normal. Kondisi suhu lingkungan melebihi batas ambang normal dan ruminasi
pada sapi sangat tinggi kondisi ini tidak menimbulkan gangguan kesehatan.
2.2 Ras Sapi
2.2.1 Sapi Bali
Sapi Bali merupakan salah satu bangsa sapi asli di Indonesia yang merupakan hasil
domestikasi langsung dari Banteng liar. Sapi Bali dikembangkan, dimanfaatkan dan dilestarikan
sebagai sumberdaya ternak asli yang mempunyai ciri khas tertentu dan mempunyai kemampuan
untuk berkembang dengan baik pada berbagai lingkungan yang ada di Indonesia. Sapi bali juga
memiliki performa produksi yang cukup bervariasi dan kemampuan reproduksi yang tetap tinggi.
Sehingga, sumberdaya genetik sapi Bali merupakan salah satu aset nasional yang merupakan
plasma nutfah yang perlu dipertahankan keberadaannya dan dimanfaatkan secara lestari sebab
memiliki keunggulan yang spesifik. Sapi Bali juga telah masuk dalam aset dunia yang tercatat
dalam list FAO sebagai salah satu bangsa sapi yang ada di dunia (Hikmawaty et al., 2014).
2.2.2 Sapi BX
Sapi BX merupakan sapi silangan antara sapi Brahman keturunan Bos indicus dan sapisapi
Eropa yang merupakan kelompok Bos Taurus (Muslim et al., 2013). Sapi BX telah mulai
dikembangkan di Indonesia dan telah beradaptasi dengan lingkungan dan manajemen setempat
sehingga perlu di lindungi dan dilestarikan. Sapi Brahman cross memiliki pertumbuhan yang yang
sangat tinggi (Depison et al., 2020)
2.2.3 Sapi Aceh
Sapi aceh, yang terbentuk dari hasil persilangan antara sapi lokal (Bos sondaicus) dengan
sapi turunan zebu dari India (Bos indicus), merupakan salah satu plasma nutfah sapi potong lokal
di Indonesia. Walaupun laju pertumbuhannya tidak sebesar sapi silangan, sapi potong lokal
mampu menunjukkan produktivitas dan efisiensi ekonomi maksimal pada kondisi terbatas. Sapi
potong lokal unggul dalam efisiensi penggunaan pakan, daya adaptasi terhadap lingkungan
Indonesia (panas, lembab, pakan mutu rendah, ektoparasit dan endoparasit), dan bobot potongnya
lebih sesuai untuk kebutuhan pasar lokal sehingga lebih tepat dan ekonomis dikembangkan pada
pola dan kondisi peternakan rakyat (Armansyah et al., 2011)
2.3 Penentuan Umur Sapi
Menurut Yulianto dan Cahyo (2014), Penentuan umur pada sapi salah satunya dapat dilihat
dengan adanya perubahan dan juga pertumbuhan dari gigi sapi. Cara ini sering digunakan dalam
penentuan umur. Adapun perubahan gigi dan penentuan umur sapi adalah sebagai berikut:
A. Umur dibawah 1 tahun ditandai dengan pertumbuhan gigi susu dan belum ada yang tanggal.
B. Umur 1,5-2 tahun ditandai dengan munculnya gigi seri berjumlah sepasang (2 buah).
C. Umur 2,5-3 tahun ditandai dengan tumbuhnya gigi seri berjumlah dua pasang (4 buah).
D. Umur 3,25-4 tahun ditandai dengan tumbuhnya gigi seri berjumlah tiga pasang (6 buah).
E. Umur 4 tahun ke atas ditandai dengan lengkapnya gigi seri pada sapi berjumlah empat pasang
(8 buah).
F. Sapi berumur sekitar 7 tahun (bila 50% telah aus). Sapi berumur 8 tahun (bila 75% telah aus)
dan bila telah aus semua berumur lebih dari 8 tahun.
Pendugaan umur berdasarkan cincin tanduk dapat dilakukan. Cara ini jarang digunakan karena
kurang akurat karena berdasarkan pakan. Pada musim hujan, diduga ternak sapi akan menerima
pakan sesuai dengan kebutuhannya sehingga pertumbuhan tanduk pun tidak akan terganggu.
Adapun musim kemarau diduga ternak sapi akan menderita kekurangan pakan sehingga
pertumbuhan tanduk tidak akan mencapai diameter yang serupa saat musim hujan. Tanduk baru
akan tumbuh setelah sapi berumur 0,5 tahun. Dasar tanduk akan timbul gelang-gelang. Gelang-
gelang tersebut pada sapi betina akan tampak lebih jelas. Timbulnya gelang- gelang dapat
berhubungan setiap sapi melahirkan (Yulianto dan Cahyo, 2014).
Melihat lepasnya tali pusar hanya digunakan untuk mengingatkan lagi hari atau tanggal
kelahiran pedet dalam jangka kejadian beberapa hari yang telah lewat. Sewaktu lahir, pusar masih
tampak basah dan tidak berbulu. Setelah berumur 3 hari, tali pusar terasa lunak jika diraba, umur
4- 5 hari tali pusar mulai mengering, dan umur 7 hari tali pusar sudah mulai lepas serta sudah mulai
ditumbuhi bulu (Yulianto dan Cahyo, 2014).
2.4 Uji Dalam Pemeriksaan Fisik
2.4.1 Uji Gumba

Gambar 1. Uji gumba (Braun et al., 2020)


Uji gumba atau dikenal dengan sebutan back grip. Metode ini dilakukan dengan cara
menyiapkan ternak yang akan diujikan. Kemudian letakkan tangan pada processus spinous
thoracis caudalis. Kemudian lipat dan tarik area tersebut, mengakibatkan reaksi pada punggung
yang terlihat seperti tenggelam (Braun et al., 2020).
2.4.2 Uji Tinju

Gambar 2. Uji tinju (Braun et al., 2020)


Uji tinju atau dikenal juga dengan pain percussion. Metode ini dilakukan dengan pemeriksa
memukul area retikulum dengan rubber hammer atau dengan kepalan tangan untuk perkusi.
Kemudian merasakan atau mendengarkan gerak peristaltik dari retikulum (Braun et al., 2020).

nd baku copas ji ini sm firani?


2.4.3 Uji Alu

Gambar 3. Uji Alu (Braun et al., 2020)


Uji alu atau pole test dilakukan dengan sebuah tiang panjang dapat ditempatkan di bawah
sapi dan dipegang di setiap ujungnya oleh dua asisten. Dimulai dari xiphoid dan bergerak ke
caudal, tiang ditarik ke atas secara perlahan dan kemudian dibiarkan jatuh secara tiba-tiba. Area
nyeri ditekan dekat retikulum akan menunjukkan reticuloperitonitis traumatis (Braun et al., 2020).
2.5 Penentuan Bobot Badan Dan Status Gizi
Penentuan bobot badan merupakan salah satu faktor penting dalam pemeliharaan sapi
sehingga dapat memudahkan peternak dalam pemeliharaannya, salah satu indikator untuk menilai
pertumbuhan dan perkembangan tersebut adalah dengan mengetahui bobot badan penentuan bobot
badan sapi yang terbaik dan terakurat adalah dengan melakukan penimbangan, namun pada
peternak rakyat di desa-desa belum terdapat timbangan yang berfungsi untuk mengetahui berat
badan ternak, salah satu metode yang dimaksud adalah melalui penerapan rumus-rumus yang telah
ada dengan indikator berupa lingkar dada, panjang badan dan tinggi tubuh ternak. Bila timbangan
tidak tersedia maka pendugaan bobot badan yang paling mendekati keadaan yang sebenarnya
adalah dengan menggunakan pita ukur sebagai alat untuk mengukur lingkar dada, tongkat ukur
untuk mengetahui panjang badan dan tinggi pundak sapi dan melihat postur tubuh sebagai penentu
BCS sapi. Pengukuran BCS dapat dinilai dengan skor, skor 1 sampai skor 5. skor 1
menginterpretasikan tubuh ternak sangat kurus. Skor 2 menginterpretasikan kondisi ternak kurus.
Skor 3 menginterpretasikan kondisi tubuh ternak sedang. Skor 4 menginterpretasikan kondisi
tubuh ternak gemuk. Skor 5 menginterpretasikan kondisi tubuh ternak sangat gemuk (Putra et al.,
2020).
2.6 Pemeriksaan Klinis Pada Sapi
Menurut Pramono (2019) penentuan penyakit ternak terutama yang berkaitan dengan
penyakit menular dapat dilakukan dengan melihat kelainan-kelainan yang terjadi atau disebut juga
dengan gejala klinis, kelainan pasca mati dan pemeriksaan laboratorium. Dari data yang diperoleh
dari pemeriksaan secara klinis, perubahan pasca mati dan ditunjang pemeriksaan laboratorium
sudah dapat memberikan gambaran dalam penentuan penyakit yang menyerang suatu ternak.
Tetapi kadang-kadang dengan mengamati hal-hal diatas tidak cukup, sehingga masih harus
ditambah lagi dengan memperhatikan kejadian secara massal dan memperhatikan kaitan antara
individu ternak dengan ternak yang lain dalam suatu kelompok ternak. Seperti diketahui tujuan
dari pemeriksaan klinis adalah untuk menentukan jenis penyakit yang menyerang suatu ternak
sehingga bisa ditentukan langkah penanganan atau pengobatannya.
2.6.1 Anamnesis
Catatan yang berisi tentang data kesehatan suatu ternak dapat memberikan masukan yang
sangat berharga dalam menentukan penyakit yang menyerang suatu ternak. Catatan kadang-
kadang dapat memberikan kunci dalam penentuan penyakit, tetapi dengan adanya sebuah catatan
tidak boleh melalaikan pemeriksaan secara kronologis dan teliti. Pemeriksaan kesehatan suatu
ternak dapat dimulai dengan mencari informasi bagaimana asal mula terjadinya penyakit tersebut.
Informasi ini dapat diperoleh dari pemilik atau pengelola peternakan terutama yang melakukan
perawatan sehari-hari terhadap ternak. Dengan mengambil informasi dari orang yang merawat
akan didapatkan informasi tentang keadaan sehari-hari ternak.
2.6.2 Urutan Pemeriksaaan
Untuk menentukan suatu penyakit perlu dilakukan pemeriksaan secara sistematik dan
berurutan, yaitu dengan jalan menelusuri atas riwayat kejadian penyakit dan pemeriksaan secara
fisik bagi penderita. Pemeriksaan kesehatan suatu ternak sering mendapatkan bahwa perubahan
yang nampak akibat suatu penyakit sulit untuk dikenali. Hal ini bisa disebabkan keadaan secara
umum yang tidak baik atau sulit ditentukan, pertumbuhan badan yang jelek atau menurun berat
badannya. Pada keadaan demikian penentuan penyakit secara pasti hanya mungkin setelah
dilakukan uji laboratorium secara tuntas. Pemeriksaan umum merupakan pemeriksaan terhadap
keadaan lingkungan yang meliputi tingkat sanitasi lingkungan, konsistensi tinja dan urine dalam
kandang, tingkat pencemaran dan kualitas pakan dan air, pemeriksaan terhadap tanaman beracun
maupun bahan kimia yang mencurigakan, serta kelakuan hewan baik dalam keadaan berdiri
maupun tiduran.
2.6.3 Kondisi Umum Tubuh
Pada pemeriksaan ternak perlu dilakukan pengamatan terhadap kondisi dan sikap tubuh
ternak untuk memastikan adanya perubahan-perubahan terhadap fungsi tubuh. Ternak yang sehat
akan kelihatan tegap dan memiliki respon yang baikterhadap segala rangsangan. Ternak yang
mengalami gangguan fungsi akan menunjukkan respon yang berbeda dibanding dengan ternak
normal bila ada rangsangan. Kelainan-kelainan kondisi ini akan kelihatan pada sikap berdiri,
berjalan, berlari ataupun pada waktu berbaring. Pada waktu ternak berdiri akan terlihat bagaimana
posisi kaki pada waku bertumpu, apakah keempat bertumpu secara sempurna apa ada yang
diangkat, pada waktu berjalan akan terlihat tumpuan kaki kemungkinan adanya kaki yang tidak
menapak dengan sempurna, demikian juga pada waktu berlari. Kaki yang tidak menumpu dengan
sempurna kelihatan ternak akan pincang, tetapi belum tentu yang tidak menumpu dengan sempurna
itu yang mengalami kelainan. Kadang-kadang gerakan itu merupakan perimbangan terhadap
bagian lain yang sakit. Bentuk kaki serta kelainan-kelainan tulang struktur utama tubuh perlu
diamati terhadap adanya kelainan bentuk maupun kelainan posisi.
2.6.4 Nafsu Makan
Nafsu makan merupakan salah satu indikator utama yang bisa diamati untuk menentukan
adanya kelainan pada ternak. Nafsu makan merupakan salah satu naluri ternak untuk
mempertahankan hidupnya. Nafsu makan ini sangat penting karena produksi ternak yang
diharapkan dalam pemeliharaan ternak sangat tergantung pada kualitas dan kuantitas pakan yang
dimakan ternak. Perubahan nafsu makan dibandingkan dengan kebiasaanya merupakan indikasi
adanya kelainan. Peningkatan nafsu makan yang tajan merupakan tanda-tanda yang perlu disikapi
dengan pengamatan yang serius terhadap ternak.Perubahan bisa terjadi mulai dari rongga mulut,
seperti adanya peradangan selaput lendir mulut, gangguan pada lidah, gigi ataupun saluran
pencernaan yang lebih dalam lagi, seperti oesophagus, gangguan pada lambung, atau gangguan
pada ususnya. Pada ternak yang mengalami penurunan nafsu makan perlu diamati bagaimana cara
ternak mengambil pakan, cara mengunyah dan menelan. Pengambilan pakan yang tidak normal
nenandakan adanya kelainan dari organ di rongga mulutnya. Gangguan ini bisa pula diamati
dengan adanya bau busuk dari rongga mulut. Gangguan pada oesophagus akan terlihat adanya
kesulitan pada waktu menelan. Kondisi ini akan berakibat ternak mengurangi aktivitas makan
karena mengalami kesakitan pada waktu menelan yang selanjutnya terjadi penurunan nafsu makan.
2.6.5 Permukaan Kulit
Dengan mata telanjang pada pemeriksaan permukaan kulit dapat diketahui adanya
perubahan-perubahan seperti kerak-kerak, perdarahan, luka, kemerahan, atau kebotakan.
Sedangkan pemeriksaan dengan perabaan dapat memastikan adanya perubahan kulit seperti
adanya benjolan, bintil-bintil, adanya gelembung atau adanya penebalan kulit. Penebalan kulit bisa
terjadi karena beberapa sebab. Penebalan akibat adanya cairan disebut oedema, sedangkan
penebalan yang berisi udara disebut emphysema dan bila penebalan tersebut berisi darah disebut
hydremia.
2.6.6 Turgor Kulit
Turgor atau elastisitas kulit dapat diperiksa dengan cara menarik atau mencubit daerah kulit
yang diperiksa kemudian melepaskannya kembali. Kalau bekas cubitan/tarikan tadi tidak segera
hilang berarti kulit tidak elastis, demikian sebaliknya bila bekas cubitan/tarikan cepat hilang berarti
elastisitas kulit masih bagus. Kekuarngan cairan tubuh akibat diare atau yang lain akan
menyebabkan elastisitas kulit berkurang, demikian pula jika ada penambahan air dikulit elatisitas
kulit juga akan menurun.
2.6.7 Pemeriksaan Selaput Lendir
Pemeriksaan conjungtiva dapat dilakukan dengan cara menggeser ke atas kelopak mata atas
dengan ibu jari, gantikan ibu jari dengan telunjuk dan sedikit ditekan, maka akan tampak conjuctiva
pelpebrarum dan membrana nictitans (pada kuda). Tekan kelopak mata bawah dengan ibu jari,
maka conjuctiva pelpebrarum bawah akan tampak pula. Bandingkan antara conjuctiva kanan dan
kiri, apakah ada perbedaan. Perhatikan apakah ada perubahan warna, apakah lebih basah atau lebih
jering, apakah ada lesi, kotoran, bercak-bercak dan lain-lain.
2.6.8 Cungur
Pemeriksaan moncong sebenarnya adalah pemeriksaan mukosa yang rutin dilakukan pada
pemeriksaan klinis. Apakah suhu normal, warna normal, basah atau kering, semuanya
mengindikasikan kondisi hewan ternak tersebut. Pemeriksaan cungur diperlukan untuk melihat
adanya kelainan-kelainan yang terjadi pada cungur, lubang hidung dan cairan yang keluar dari
lubang hidung. Cungur pada ternak yang sehat alan selalu dalam kondisi basah. Pada ternak yang
menderita demam, cungurnya akan terlihat kering. Dari lubang hidung perlu diperhatikan adanya
leleran hidung atau bau yang tidak sedap. Pengeluaran darah bisa juga terjadi akibat kesalahan
dalam pemeriksaan. Kondisi ini mengharuskan untuk melakukan pemeriksaan terhadap selaput
lendir hidung. Pada penderita sesak napas akan terlihat cuping hidung kembang kempis. Bau tidak
sedap yang timbul perlu ditaindaklanjuti dengan pemeriksaan lanjutan untuk memastikan penyakit
ayng diderita sehingga bisa dilakukan pengobatan.
2.6.9 Suhu Badan
Ternak termasuk hewan berdarah panas, artinya suhu ternak tidak tergantung pada suhu
lingkungan. Pada ternak yang sehat suhunya akan tetap stabil tidak dipengaruhi oleh kondisi
lingkungannya. Untuk mengukur suhu digunakan termometer klinis air raksa. Pemeriksaan
biasanya dilakukan dengan cara memasukkan termometer ke dalam rektum ternak selama 2
menit.Kenaikan suhu badan diatas normal disebut demam, yang bisa bersifat fisiologis ataupun
patologis. Demam patologis adalah kenaikan suhu badan akibat penyakit- penyakit tertentu.
Sedangkan demam fisiologis terjadi akibat adanya penyesuaian suhu karena perubahan
lingkungan.
2.6.10 Denyut Nadi
Pemeriksaan denyut nadi dilakukan dengan cara palpasi. Pada pemeriksaan ini juga
dilakukan penghitungan terhadap denyutan per menit.Denyut nadi pada ternak muda lebih tinggi
daripada ternak yang sudah tua. Denyut nadi bisa mengalami perubahan, terutama pada ternak
betina yang bunting denyut nadinya akan lebih cepat dibandingkan dengan kondisi normalnya.
Pada pemeriksaan ada kemungkinan terjadi peningkatan frekuensi denyut nadi karena ternak
stress, terkejut atau gelisah. Kenaikan frekuensi denyut nadi disebabkan oleh gangguan fungsi
jantung, paru-paru, ternak demam,atau anemia.
2.6.11 Inspeksi
Inspeksi dilakukan dengan cara melihat, mengamati dan memeriksa semua permukaan
tubuh mulai dari lubang hidung, telinga, lesi pada kulit, anus dan semua bagian tubuh secara
seksama. Pengamatan ini untuk melihat bagaimana kondisi selaput lendir yang ada pada mata,
mulut, hidung, vulva dan rektum. Kondisi selaput lendir bisa terlihat kebiruan, kemerahan,
kepucatan atau bahkan bengkak.
2.6.12 Palpasi
Palpasi adalah memeriksa dengan cara meraba semua permukaan tubuh. Dikenal ada dua
cara palpasi yaitu palpasi superfisial dan palpasi profundal. Palpasi superfisial adalah pemeriksaan
dengan cara perabaan didaerah permukaan. Cara palpasi ini digunakan untuk menilai kepekaan
terhadap rasa sakit, keadaan permukaan seperti kasar atau halus, panas atau dingin, proses
peradangan, bengkak, oedema dan emfisema.
2.6.13 Perkusi
Perkusi yaitu memeriksa keadaan suatu organ tubuh dengan bantuan alat perkusi.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengetuk-ngetuk atau memukul-mukulkan alat yang terdiri
atas perkusi hamer dan pleksimeter yang dipukul dan diletakkan langsung pada kulit. Pemeriksaan
ini digunakan dengan membedakan adanya perubahan suara yang terdengar akibat pengetukan
yang dilakukan. Suara hasil ketukan pada paru-paru yang normal akan berbeda dengan suara yang
dihasilkan ketukan pada paru-paru yang mengalami oedema. Pada paru-paru yang normal suara
yang dihasilkan akan terdengar lebih nyaring karena tidak ada cairan dalam alveole paru-paru,
sedangkan pada oedema paru-paru suara yang dihasilkan tidak begitu nyaring karena adanya cairan
dalam alveole paru-paru. Begitu pula pada pemeriksaan akibat adanya gas dalam rumen atau dalam
keadaan timpany maka dengan perkusi akan terdengar suara yang nyaring.
2.6.14 Auskultasi
Auskultasi yaitu memeriksa perubahan-perubahan yang terjadi pada jantung dan paru-paru
dengan cara mendengarkan perubahan suaranya dengan alat bantu. Alat yang digunakan adalah
stetoskop. Untuk melakukan pemeriksaan secara auskultasi pengetahuan tentang lokasi organ
jantung dan paru-paru sangat mutlak untuk dikuasai. Penentuan lokasi yang tepat untuk melakukan
auskultasi akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dalam mengidentifikasi perubahan-
perubahan yang terjadi baik di jantung maupun paru-paru.
2.7 Cara Handling Ternak Besar
Penanganan ternak ruminansia atau yang sering disebut dengan istilah handling adalah
kegiatan perlakuan peternak terhadap ternak dengan baik dan benar. Baik dan benar disini
mengandung arti bahwa perlakuan peternak terhadap ternak tidak menyebabkan stres, cidera,
ternak tercekik, atau yang lebih fatal adalah ternak sampai mati. Dan yang tidak kalah penting pada
saat handling tersebut tidak menyebabkan petugas handling (handler) terinjak. Sebagai contoh
kegiatan handling/ penanganan dalam pemeliharan ternak sapi dan kerbau, yang umum adalah
memindahkan ternak dari suatu tempat ketempat yang lain, melakukan pemotongan tanduk,
pemotongan kuku, recording dengan cara penandaan ternak, melakukan kastrasi, memasang tali
hidung (tali keluh), memandikan ternak, memberi obat dan bahkan kalau dimungkinan kegiatan
menjatuhkan atau merobohkan ternak dan lain sebagainya.Manajemen handling meliputi dua
metode yaitu restraint dan casting. Restraint merupakan suatu metode dalam penanganan hewan
yang bertujuan untuk membatasi atau membuat hewan tidak bisa bergerak dalam keadaan hewan
sadar. Casting merupakan suatu metode perlakuan untuk menjatuhkan/merobohkan hewan dengan
teknik tertentu tanpa menyakiti hewan. Metode casting pada sapi meliputi dua teknik yaitu Rope
Squeeze dan Burley. Teknik Rope Squeeze dilakukan dengan cara membuat ikatan mengelilingi
leher bagian depan (distal menyentuh tulang dada depan) dengan tali yang kuat dan panjang (6 m),
kemudian ujung tali ditarik ke belakang pada pungung depan (thorax) dan dilingkarkan kembali,
ujung tali di tarik ke belakang lagi dan lingkarkan pada bagian perut (tepatkan tali bagian atas pada
titik keseimbangan sapi), kemudian tarik perlahan-lahan tali ke arah belakang sampai sapi rebah
atau roboh. Teknik Burley dilakukan dengan cara manyiapkan tali panjang (6 m) dan bagi sama
panjang (jangan dipotong), kemudian lilitkan kedua ujung tali melalui melalui leher bagian
belakang sapi kemudian disilangkan di antara kaki depan (sternum), kedua ujung ditarik keatas
dan disilangkan di punggung (usahakan pada titik keseimbangan ternak), kemudian kedua ujung
tali ditarik ke bawah melalui selangkang kiri dan kanan ternak (tali lurus jangan disilangkan), dan
tarik perlahan-lahan ke belakang sampai ternak rebah atau roboh (awaluddin et al.,2017).
2.8 Penyakit Yang Menyerang Ternak
Malignant Catarrhal Fever

Gambar 4. Malignant Catarrhal Fever (Damayanti, 2016).


Etiologi
Virus penyebab MCF disebut grup virus MCF (MCFV) termasuk ke dalam genus Macavirus
(Rhadinovirus), famili Herpesviridae, subfamili Gammaherpesvirinae. Secara epidemiologi
molekuler, terdapat 10 jenis virus penyebab MCF yang terdiri dari dua golongan. Kelompok
pertama, 6 jenis virus yang dapat menyebabkan MCF klinis, yaitu virus AHV-1 penyebab WA-
MCF dengan reservoir wildebeest, virus OvHV-2 penyebab SA-MCF dengan reservoir domba,
virus Caprine Herpesvirus-2 (CpHV-2) dengan reservoir kambing, virus MCFV-WTD pada rusa
ekor putih (white-tailed deer), virus MCFV dengan reservoir ibex dan virus Alcelaphine
Herpesvirus-2 (AlHV-2)-like dengan reservoir Jackson hartebeest. Kelompok kedua, terdiri atas
empat jenis virus MCF dengan hewan reservoir roan antelope, oryx, muskox dan aoudad
menyebabkan MCF asimptomatis. Virus penyebab MCF dapat bertahan sampai 13 hari pada
kondisi lingkungan yang lembab dan stabil antara pH 5,5-8,5. Virus akan mati dengan penambahan
disinfektan, antara lain sodium hipokhlorite (3%). Cellassociated virus dapat bertahan di luar sel
selama 72 jam di luar induk semangnya. Penyakit MCF secara umum dapat menyerang sapi dan
hewan ungulata lainnya, termasuk bison, rusa dan babi (Damayanti, 2016).
Cara Penularan
Penularan MCF terjadi terutama karena terjadi kontak langsung antara hewan peka dan
reservoir. Cara penularan dari domba ke sapi belum diketahui dengan pasti dan kemungkinan besar
terjadi melalui sekresi hidung, mata dan vagina. Cara penularan SA-MCF mirip dengan WA-MCF
dimana domba dan wildebeest berperan sebagai reservoir virus. Anak wildebeest memperoleh
virus AIHV-1 baik secara vertikal dari induknya maupun secara horizontal dari sesama anak
wildebeest. Penularan di antara wildebeest adalah melalui aerosol, tertelan limbah, cairan atau bulu
anak wildebeest yang baru lahir. Secara alami MCF tidak ditularkan dari hewan peka ke hewan
peka lainnya tetapi pada infeksi buatan penyakit ini dapat ditularkan dari sapi terinfeksi ke sapi
lainnya menggunakan inokulum darah sejumlah satu liter (Damayanti, 2016).
Gejala Klinis
Manifestasi MCF secara klinis muncul pada hewan peka jika virus MCF ditemukan dalam
jumlah/dosis memadai yang ditularkan oleh hewan reservoir. Penyakit pada umumnya bersifat
akut dengan spektrum gejala klinis yang sering dijumpai berupa demam, eksudat kental dari mata
dan hidung, kekeruhan kornea, diare, dan gejala syaraf. Jumlah virus yang masuk tidak
mempengaruhi derajat keparahan penyakit melainkan berpengaruh pada masa inkubasi, dan
penetapan kapan dapat dideteksi virus MCF pada sel darah putih. Meskipun ada dua bentuk MCF,
secara klinis dan patologis tidak dapat dibedakan. Gejala klinis yang sering dijumpai berupa
demam, eksudat mukopurulenta dari mata dan hidung, hipersalivasi, kekeruhan kornea mata,
diare, pembengkakan limfoglandula superfisial dan gejala syaraf (Damayanti, 2016).
Diagnosis
Diagnosis SA-MCF di lapang ditentukan berdasarkan pada kombinasi data epidemiologis
dan gambaran klinis. Di laboratorium, konfirmasi diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan
patologi anatomi dan histopatologi serta dengan pengujian Polymerase Chain Reaction (PCR).
Untuk WA-MCF diagnosis dapat dikonfirmasi melalui uji serologi dan isolasi virus AIHV-1.
Perkembangan teknik biologi molekuler seperti PCR juga dimanfaatkan untuk mendiagnosis WA-
MCF. Pada WA-MCF isolasi virus dapat dilakukan pada biakan sel sapi yang berasal dari sel dari
organ thyroid, ginjal, paru dan limpa. Keberadaan virus dapat dideteksi dengan pewarnaan
imunofluoresen atau imuno peroksidase, neutralisasi virus (VN) atau dengan mikroskop elektron
(Damayanti, 2016).
Pengendalian
Pengendalian MCF diupayakan dengan mempertimbangkan beberapa aspek epidemiologi
penyakit yang telah diuraikan di atas, antara lain (1) kejadian penyakit MCF di Indonesia hingga
saat ini merupakan jenis. (2) hewan reservoir domba membawa virus penyebab SAMCF tanpa
menunjukkan gejala klinis MCF (Cunha et al. 2008); (3) kasus MCF-like disease dapat terjadi
pada domba dan kambing; (4) belum diketahui jarak yang pasti untuk memisahkan hewan reservoir
dengan hewan peka agar tidak terjadi penularan virus MCF, domba masih dapat menularkan
penyakit ke peternakan bison yang berjarak 1-5 km; (5) domba yang bebas virus SA-MCF berhasil
“diproduksi”; (6) hewan peka yang terinfeksi secara subklinis tidak dapat berubah menjadi kasus
klinis, dan sangat kecil kemungkinan terjadi penularan dari hewan subklinis ke hewan peka
lainnya; (7) secara alami virus MCF tidak pernah dilaporkan ditularkan dari hewan peka yang
sedang terinfeksi ke hewan peka sehat di sekitarnya karena hewan yang tertular MCF merupakan
dead-end hosts; dan (8) kasus MCF klinis muncul pada hewan peka jika jumlah/dosis virus MCF
memadai untuk ditularkan oleh hewan reservoir (Damayanti, 2016).
3. MATERI DAN METODE
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
lengkapi
4.1. Hasil dan Pembahasan
5. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
Armansyah, Teuku, and Tongku Nizwan Siregar Al-Azhar. 2011. Analisis isozim untuk
mengetahui variasi genetik sebagai upaya pemurnian ras sapi Aceh. Jurnal Veteriner
Desember. (12)4 : 254-262.

Awaluddin, Aan., Yudhi Ratna Nugraheni, dan Suluh Nusantoro. 2017.Teknik Handling Dan
Penyembelihan Hewan Qurban.Jurnal Pengabdian Masyarakat Peternakan. 2(2):84-97
Damayanti R. 2016. Penyakit Malignant Catarrhal Fever di Indonesia dan Upaya Pengendaliannya
(Malignant Catarrhal Fever in Indonesia and Its Control Strategy). WARTAZOA. 26(3):
103-114.
Depison, D., Crisdayanti, S., Gushairiyanto, G., & Erina, S. 2020. Identifikasi Karakteristik
Morfometrik Sapi Bali dan Sapi Brahman Cross di Kecamatan Pamenang Barat Kabupaten
Merangin. Jurnal Peternakan Sriwijaya, 9(2), 11-20.
Hikmawaty, H., Gunawan, A., Noor, R. R., & Jakaria, J. (2014). Identifikasi ukuran tubuh dan
bentuk tubuh sapi bali di beberapa pusat pembibitan melalui pendekatan analisis komponen
utama. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, 2(1), 231-237.
Yulianto, P. dan Cahyo S. 2014. Beternak Sapi Limousin. Penebar Swadaya: Semarang.
Amiano, Satata B., dan Imamuel R. 2018.STATUS FISIOLOGIS TERNAK SAPI BALI (Bos
sondaicus) BETINA YANG DIPELIHARA PADA LAHAN GAMBUT
(Physiological Status of Bali Cattle (Bos sondaicus)Maintained on Peatlands). Jurnal AGRI PET.
19(2): 94 - 101
Pramono Udy. 2019. Buku Informasi Memeriksa Fisik Hewan. Direktorat Jendral Guru dan
Tenaga Kependidikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
putra, Andhika., Alfath Rusdhi, dan Fahri Gunawan. 2020. PENENTUAN BOBOT BADAN SAPI
PERANAKAN ONGOLE (PO) JANTAN BERDASARKAN PROFIL BODY
CONDITION SCORE (BCS) DI KECAMATAN HAMPARAN PERAK
KABUPATEN DELI SERDANG. Seminar of Social Sciences Engineering &
Humaniora. 1 (1): 80-91
Braun U, Gerspach C, Ohlerth S, Warislohner S dan Nuss K. 2020. Aetiology, Diagnosis,
Treatment and Outcome of Traumatic Reticuloperitonitis in Cattle. The Veterinary Journal.
255(1). 1-11.

Anda mungkin juga menyukai