Anda di halaman 1dari 9

Jurnal Veteriner September 2015 Vol. 16 No.

3 : 325-333
ISSN : 1411 - 8327
Terakreditasi Nasional SK. No. 15/XI/Dirjen Dikti/2011

Produksi dan Karakterisasi Antibodi Monoklonal


Anti-Cysticercus cellulosae
(PRODUCTION AND CHRACTERIZATION OF MONOCLONAL
ANTIBODIES AGAINST CYSTICERCUS CELLULOSAE)

Ida Bagus Ngurah Swacita1, I Made Damriyasa2,


Nyoman Sadra Dharmawan2, Nyoman Mantik Astawa3,
Ida Ayu Pasti Apsari4, Ida Bagus Made Oka4, I Wayan Masa Tenaya5

1
Lab Kesehatan Masyarakat Veteriner, 2Lab Patologi Klinik Veteriner,
3
Lab Virologi Veteriner, 4Lab Parasitologi Veteriner,
5
Balai Besar Veteriner Denpasar
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana,
Jln. Sudirman, Denpasar, Bali. Telepon (0361) 223791
Email : ngurah.swacita@gmail.com

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah membuat dan mempelajari karakteristik antibodi monoklonal anti-
Cysticercus cellulosae. Sampel antigen dibuat dari larva T.solium (C.cellulosae) kemudian digunakan
mengimunisasi mencit Balb/c. Mencit tersebut diukur respon imunnya dengan uji Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA), selanjutnya sel limfosit digunakan untuk pembuatan antibodi monoklonal
(AbMo). Limfosit asal mencit yang memproduksi antibodi terhadap antigen C.cellulosae, difusikan dengan
sel mieloma (NS1). Hasil fusi antara kedua sel ini menghasilkan hibridoma yang selanjutnya diskrining
dengan uji ELISA. Sel hibridoma yang hanya menghasilkan AbMo dipakai untuk produksi AbMo dalam
jumlah besar secara in vitro. Karakteristik AbMo anti-C.cellulosae diuji dengan ELISA dan Western blotting.
Mencit yang diimunisasi dengan antigen C.cellulosae menunjukkan respons imun dengan membentuk
antibodi terhadap C.cellulosae. Berdasarkan hasil fusi, diproduksi sebanyak 51 klon sel hibridoma dan
setelah diskrining, ternyata hanya tiga klon sel hibridoma yang secara konsisten menghasilkan AbMo
anti-C.cellulosae. AbMo tersebut diberinama sesuai lubang tempat tumbuhnya pada plat mikro ELISA,
yaitu BE6, BE7, dan EE9. AbMo ini mampu melacak antigen C.cellulosae dari cairan larva dan mengenali
pita protein antigen dengan berat molekul 78 kDa.

Kata-kata kunci : Cysticercus cellulosae, mencit, AbMo, karakteristik.

ABSTRACT

The purpose of this study is to make a monoclonal antibody against- Cysticercus cellulosae and its
characterization. Samples antigen prepared from T. solium larvae (C. cellulosae) was then used to immunize
Balb/c. The immune response of mice assessed by ELISA test, then the lymphocytes of mice used for the
production of monoclonal antibodies (MoAb). Origin lymphocytes of mice that produce antibodies against
C. cellulosae antigen, fused with myeloma cells (NS1). Results fusion of two cells produces hybrid cells
called hybridomas; cells are then screened by ELISA test. Hybridoma cells that produce only MoAb, used
to produce large quantities in vitro. Characterization of MoAb against-C.cellulosae was tested by using
ELISA and Western blotting. Mice were immunized with C.cellulosae antigen showed an immune response
producing antibodies to C.cellulosae. Based on the results of fusion, produced a total of 51 hybridoma cell
clones and after being screened, only three clones of hybridoma cells that produced MoAb against–
C.cellulosae. MoAb produced, named after the hole where the growth of the ELISA micro plate, the BE6,
BE7, and EE9. Characteristics of this MoAb capable of tracking cellulosae of fluid larvae and recognize
antigen protein bands with molecular weight 78kDa.

Keywords : Cysticercus cellulosae, mice, monoclonal antibody, characteristics

325
I.B. Ngurah Swacita, et al Jurnal Veteriner

PENDAHULUAN (Rajshekhar dan Chandy, 1997; Sawhneyet al.,


1998; Cruz et al., 1999; Ito el al., 2003; Singhi
Taeniasis adalah infeksi yang disebabkan dan Singhi, 2004; Arimbawa et al., 2004; Towns
oleh cacing pita dewasa, sedangkan cysticercosis et al., 2004; Hawk et al., 2005).
adalah infeksi yang disebabkan oleh larva cacing Dalam siklus hidupnya, cacing pita pada
pita, baik pada hewan maupun manusia. manusia umumnya disebabkan oleh Taenia
Taeniasis dan cysticercosis merupakan penyakit solium, dan hewan yang berperan sebagai inang
penting pada manusia, dan masih banyak antara adalah babi (Galan-Puchades dan
ditemukan di berbagai negara, terutama di Feuntes, 2000). Larva cacing pita yang
negara-negara yang sedang berkembang ditemukan pada babi disebut cysticercus (cacing
termasuk Indonesia (Rajshekhar et al., 2003). gelembung). Manusia dapat terinfeksi bila
Tingkat kejadian infeksi cacing pita pada makan daging terinfeksi yang tidak dimasak
manusia di Indonesia tergolong tinggi, sempurna (Galan-Puchades dan Feuntes, 2000;
tertutama di daerah miskin dengan tingkat Suroso et al., 2006; Sudewi et al., 2008; Assa et
sanitasi lingkungan rendah, tidak tersedianya al., 2012; Dharmawan et al., 2012).
jamban keluarga, serta adanya akses ternak Untuk mencegah penularan penyakit dari
babi makan tinja manusia (Assa et al., 2012; ternak ke manusia, maka sangat diperlukan
Dharmawan et al., 2012). Taeniasis atau adanya metode pemeriksaan daging yang
cysticercosis bersifat endemis di beberapa daerah murah, sensitif, dan spesifik. Pemeriksaan
di Indonesia. Di Kabupaten Jayawijaya Papua, daging yang diterapkan saat ini oleh instansi
dilaporkan tingkat kejadian infeksi taeniasis terkait adalah secara inspeksi (Direktorat
pada manusia mencapai 8% dan infeksi Kesmavet, 2005). Metode tersebut mempunyai
cysticercosis mencapai 32% (Subahar et al., sensitivitas yang sangat rendah, sehingga
2001; 2005, Cai et al., 2006). Prevalensi peluang memberikan hasil negatif palsu cukup
cysticercosis pada manusia di Papua saat ini tinggi, terutama pada ternak dengan intensitas
masih menduduki urutan tertinggi di dunia infeksi yang rendah. Belakangan ini banyak
(Rajshekhar et al., 2003; Margono et al., 2006; dikembangkan uji serologi untuk melacak
Suroso et al., 2006; Wandra et al., 2006). keberadaan C.cellulosae dengan mendeteksi
Laporan penelitian cysticercosis working group keberadaan antibodi terhadap cacing tersebut
di Papua menunjukkan bahwa prevalensi (Sudewi et al., 2008). Uji tersebut kerap
taeniasis atau cysticercosis sejak 37 tahun yang memberikan hasil positif palsu, karena sering
lalu tidak terjadi penurunan. Prevalensi terjadinya reaksi silang dengan parasit lain
tertinggi ditemukan di Jayawijaya dan Panai serta keberadaan antibodi akan tetap terdeteksi
(Wandra et al., 2006). Assa et al., (2012) walaupun parasitnya sudah tidak ada pada
melaporkan bahwa rataan seroprevalensi ternak tersebut. Oleh karena itu, perlu tersedia
cysticercosis di Papua 40,54% dengan kasus metode diagnostik untuk melacak keberadaan
terbesar ditemukan di Distrik Asolokobal 92,8% C.cellulosae dengan menerapkan prinsip
dan terendah di Distrik Wamena Kota 5,8%. imunologis untuk melacak antigen parasit
Demikian pula di daerah lainnya seperti di tersebut dengan menggunakan antibodi
beberapa desa di Bali, Sumatera Utara, dan monoklonal (Artama, 1999; Astawa, 2002;
Papua merupakan wilayah endemis taeniasis di Astawa et al., 2004). Tujuan penelitian ini
Indonesia (Sutisna et al., 2000; Morgono et al., adalah memproduksi antibodi monoklonal anti-
2006; Wandra et al., 2003, 2006; Subahar et C.cellulosae dan mempelajari karakteristiknya.
al., 2005; Suroso et al., 2006; Sudewi et al., 2008;
Assa et al., 2012; Dharmawan et al., 2012).
Seroprevalensi cysticercosis pada masyarakat METODE PENELITIAN
Bali relatif tinggi yaitu 5,2-21,0%, sedangkan
prevalensi infeksi taeniasis berkisar antara 0,4- Penyiapan Antigen C. cellulosae
23,0% (Wandra et al., 2006). Di wilayah ini, Cysticercus cellulosae dibersihkan dari sisa
cysticercosis selain menyerang babi juga lemak dan daging babi, kemudian dicuci dengan
merupakan salah satu penyebab kematian pada larutan PBS yang mengandung antibiotik (PBS-
manusia akibat migrasi larva T.solium Ab). Larva ditimbang sebanyak 10 g, digerus
(C.cellulosae) ke otak yang dikenal dengan nama sampai halus dengan mortar, kemudian
neurocysticercosis. Kejadian neurocysticercosis ditambahkan larutan PBS-Ab perlahan-lahan
telah banyak dilaporkan di berbagai negara sampai volumenya 100 mL. Suspensi C.

326
Jurnal Veteriner September 2015 Vol. 16 No. 3 : 326-333

cellulosae disentrifus dengan kecepatan rendah sel hybrid yang disebut sel hibridoma. Tujuh
(1000 rpm selama lima menit), supernatannya hari setelah fusi, sel hibridoma dibiakan dalam
ditampung, kemudian diukur kadar proteinnya, media DMEM-HT sampai muncul klon
selanjutnya dialiquot, disimpan dalam freezer hibridoma yang menghasilkan antibodi terhadap
(-20oC) sampai digunakan untuk imunisasi antigen cysticercus.Skrining klon hibridoma
mencit. yang menghasilkan AbMo khas antigen
C.cellulosae dilakukan dengan ELISA
Imunisasi Mencit Balb/c menggunakan antigen cysticercus. Hibridoma
Imunisasi mencit dilakukan seperti metode yang terbukti menghasilkan AbMo terhadap
yang dilakukan Astawa (2002). Dalam hal ini, cysticercus kemudian diklon ulang dengan cara
mencit diimunisasi empat kali dengan skema pengenceran terbatas sesuai dengan prosedur
berikut. Suspensi antigen C. cellulosae, 45 hari McKearn (1980). Kloning ulang dilakukan agar
sebelum fusi, diemulsikan dalam Freund’s diperoleh klon hibridoma yang dimulai dari satu
complete adjuvant, kemudian disuntikkan sel sehingga antibodi yang diproduksinya benar-
kepada empat ekor mencit masing-masing benar monoklonal, yaitu hanya mengenali satu
dengan dosis 0,2 mL secara intraperitoneal. jenis epitop. Sel hibridoma tersebut kemudian
Antigen yang sama 30 dan 15 hari sebelum fusi diisolasi (AbMo stok) dan dipakai untuk
diemulsikan dalam Freund’s incomplete menyiapkan AbMo dalam jumlah besar.
adjuvant kemudian disuntikan pada empat ekor
mencit yang sama masing-masing dengan dosis Karakteristik AbMo Anti-C.cellulosae
0,2 mL secara intraperitoneal. Seminggu setelah
penyuntikan ke tiga, mencit kembali diimuni- Penentuan Kekhasan AbMo Anti-C.
sasi dengan antigen yang sama tetapi tidak cellulosae dengan ELISA. Antigen C.
diemulsikan dalam adjuvant pada empat ekor cellulosae dan plasma babi normal (kontrol
mencit dengan dosis 0,2 mLsecara intraperi- negatif) diencerkan dalam coating buffer (15mM
toneal. Pengambilan serum mencit dilakukan Na2CO3, 35mM NaHCO3 pH 9,6), selanjutnya
seminggu setelah mencit diimunisasi terakhir, sebanyak 100 µL antigen dimasukan ke dalam
dan pengukuran respons imunnya dilakukan setiap lubang plat mikro ELISA dan diinkubasi
dengan enzyme linked immunosorbent assay pada suhu 4oC semalam. Pencucian dilakukan
(ELISA). Mencit yang menunjukkan respons dengan Phosphate Buffer Saline (PBS) yang
imun dengan nilai optical density (OD) tertinggi berisi 0,05% Tween 20 (PBS-T) sebanyak tiga
digunakan untuk produksi antibodi monoklonal. kali, selanjutnya ke dalam setiap lubang plat
mikro ELISA ditambahkan 100 µL blocking
Pembuatan Antibodi Monoklonal (AbMo) buffer (5% susu skim dalam PBS-T). Setelah
Mencit yang telah diimunisasi selama 45 diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit, susu
hari yang diambil serumnya dan menunjukkan skim dibuang, kemudian ditambahkan 100 µL
adanya antibodi terhadap cysticercus serta AbMo ke dalam setiap lubang plat mikro ELISA
memiliki titer tertinggi, di-booster dengan dan diinkubasikan kembali pada suhu 37oC
suspensi antigen cysticereus yang sama tanpa selama 60 menit. Pencucian kembali dilakukan
adjuvant berturut-turut pada hari kelima, seperti di atas, dan kemudian ditambahkan 100
keempat, dan ketiga sebelum dilakukan fusi µL anti-mouse IgG-horse radish peroksidase
dengan sel mieloma. Sel limfosit asal mencit (Bio-Rad USA, pengenceran 1: 2000 dalam PBS-
yang kebal (menghasilkan antibodi) terhadap T) ke dalam setiap lubang plat mikro ELISA
cysticercus sebanyak 108 difusikan dengan 2x107 dan diinkubasikan kembali pada suhu 37oC
sel mieloma (NS1) menggunakan polyethylene selama 60 menit. Setelah pencucian seperti di
glycol (PEG) 45%. Sel hasil fusi kemudian atas, ditambahkan 100 µL substrat TMB (Bio-
disuspensikan dengan medium selektif Dulbeco Rad, USA) ke dalam setiap lubang plat mikro
Modified Essential Medium- Hypoxanthine ELISA. Kepekatan warna substrat kemudian
Aminopterin Thymine (DMEM-HAT) yang dibaca dengan multi scan spectrophotometer
mengandung 106 sel feeder/ mL media dan sel menggunakan filter 405nm.
selanjutnya dibiakan dalam plat mikro biakan
sel 96 sumuran pada suhu 37oC. Media selektif Penentuan Kekhasan AbMo Anti-
tersebut membunuh sel mieloma, tetapi tidak C.cellulosae dengan Westernblotting.
membunuh sel mieloma yang berfusi dengan Protein cysticercus diencerkan dalam sample
limfosit. Sel yang berfusi tersebut menghasilkan reducing buffer (SDS 2,3%, mercapto-ethanol

327
I.B. Ngurah Swacita, et al Jurnal Veteriner

5%, Tris-HCl 0,0625 M. pH. 6,0, gliserol 10%, optical dencity respons imun mencit yang
bromophenol blue 0,001%) dan dianalisis dengan diimunisasi dengan antigen C. cellulosae (1,1001
Sodium Dodecylsulphate- Polyacrylamide Gel ± 0,2478a) lebih tinggi bila dibandingkan dengan
Electrophoresis (SDS-PAGE). Protein mencit yang tidak diimunisasi (0,683 ± 0,0556b),
cysticercus yang telah dipisahkan dalam gel dan secara statistika menunjukkan perbedaan
kemudian ditransfer ke membran nitroselulosa. yang sangat nyata (P<0,01). Respons imun
Membran nitroselulosa dipotong kecil-kecil dan merupakan aktivasi dari klon limfosit mencit
direaksikan dengan AbMo. Adanya ikatan yang dapat mengenali antigen C. cellulosae yang
antara AbMo dengan protein cysticercus telah pernah terpapar sebelumnya karena
divisualisasikan dengan penambahan anti- perlakuan imunisasi secara berulang.
mouse IgG alkaline phosphatase dan substrat Fase awal dari respons imun adalah
BCIP/NBT. mengenali antigen dan ekspansi klon yang
Pemurnian AbMo dengan Kolom diperlukan, fase berikutnya adalah deferensiasi
Agarose Protein A. Kolom agarose protein-A dari sel yang memberi respons dan rekrutmen
dipasang pada statif, kemudian dicuci dengan serta aktivasi sistem efektor (misalnya produksi
wash buffer 10 mL, selanjutnya dicuci dengan antibodi), aktivasi dari sel makrofag, dan
binding buffer 10 mL. Antibodi monoklonal pembentukan sel sitotoksik. Imunisasi mencit
yang dimurnikan, dicampur dengan binding dengan antigen C. cellulosae dapat
buffer 1:1, kemudian disentrifus dengan menimbulkan respons imun selular maupun
kecepatan 10.000 g selama lima menit, humoral. Limfosit T yang bertanggung jawab
selanjutnya AbMo tersebut dimasukan ke dalam untuk respons imun selular, dirangsang untuk
kolom, ditunggu sampai habis menetes pada memproduksi sejumlah zat yang diperlukan
tanda resin. Kolom dicuci dengan 10 mL binding untuk memacu berbagai reaksi, sedangkan
buffer, kemudian kolom diisi 5 mL Elution aktivasi sel B mengakibatkan sel tersebut
buffer (diencerkan 5 kali dengan PBS). Fraksi berproliferasi dan berdiferensiasi kemudian
elusi (eluet) ditampung setiap 1 mL dalam memproduksi antibodi. Respons imun sekunder
eppendorf dan segera ditambahkan 50 µL pada mencit umumnya timbul lebih cepat dan
neutralisation buffer. Eluet yang mengandung lebih kuat daripada respons imun primer. Hal
AbMo ditentukan dengan ELISA, dan hasilnya ini disebabkan adanya sel T dan sel B memori
dibaca pada spectrophotometer menggunakan serta antibodi yang tersisa. Masuknya antigen
filter 450 nm. Kolom dicuci dengan 10 mL C. cellulosae pada imunisasi berikutnya, sudah
elution buffer dan diikuti dengan 5 mL akuades dikenali oleh sel B spesifik secara lebih efisien
yang mengandung 0,02% sodium azide. Jika dan dapat bertindak sebagai antigen-presenting
sisa larutan tinggal 2 mL di atas resin, kolom cell (APC). Karena jumlah sel T dan sel B lebih
ditutup dan disimpan pada suhu 4oC. Data hasil banyak dibandingkan sel lainnya, maka
pembuatan AbMo dan karakteristiknya, kemungkinan untuk berinteraksi dengan
dijelaskan secara deskriptif. antigen C. cellulosae lebih besar sehingga titer
antibodi terhadap C. cellulosae juga cepat
meningkat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Fusi Sel Limfosit yang Telah
Respons Imun Mencit yang Diimunisasi Imunisasi dengan Antigen C. cellulosae
dengan Antigen C. cellulosae dengan Sel Mieloma (NS1).
Sampel larva cacing pita babi (C. cellulosae) Hasil fusi antara sel limfosit mencit dengan
diambil dari Kabupaten Karangasem, Provinsi- sel mieloma membentuk sel hibridoma.
Bali. Sampel larva dibuat antigen suspensi C. Pengamatan pertumbuhan sel hibridoma baru
cellulosae 10% dalam larutan PBS-Ab, dialiquot tampak mulai hari ke-10 setelah fusi (Gambar
dalam eppendorf, kemudian diukur kadar 1). Jumlah sel hibridoma yang diproduksi
proteinnya dengan Quibit Fluorometer dan sebanyak 51 klon, dan selanjutnya diskrining
hasilnya didapatkan sebesar 467 µg/mL. dengan ELISA. Hasil skrining menunjukkan
Program imunisasi pada mencit dilakukan hanya 10 klon yang memberikan hasil
empat tahap dan setelah proses imunisasi reaktivitas kuat.
selesai, serum mencit diambil, kemudian diukur Skrining dengan ELISA didapatkan 10 klon
respons imunnya dengan ELISA. sel hibridoma yang menghasilkan reaktivitas
Uji statistika menunjukkan bahwa rataan kuat terhadap C. cellulosae. Klon sel hibridoma

328
Jurnal Veteriner September 2015 Vol. 16 No. 3 : 326-333

tersebut terus ditumbuhkan dalam media cacing itu diperoleh, maka AbMo juga diuji
DMEM-HT, dan akhirnya hanya tiga yang dengan cairan tubuh (plasma/ekstrak jaringan)
secara kontinyu tetap menghasilkan AbMo babi. Banyak peneliti menggunakan antigen
anti-C. cellulosae. Semua AbMo yang berhasil yang tidak dimurnikan untuk mengimunisasi
diproduksi, bereaksi hanya dengan antigen C. mencit dalam pembuatan AbMo (Astawa et al.,
cellulosae. Antibodi monoklonal tersebut perlu 2004). Namun, yang lebih penting adalah metode
dikarakteristik lebih lanjut, antara lain yang dipakai untuk melacak sel hibridoma yang
meliputi penentuan kekhasan AbMo anti-C. menghasilkan antibodi terhadap antigen yang
cellulosae dengan ELISA, penentuan berat diinginkan. Banyak peneliti menggunakan uji
molekul protein antigen C. cellulosae yang ELISA untuk skrining AbMo karena sangat
bereaksi dengan AbMo, dan pemurnian AbMo. sederhana dan dapat dipakai untuk melacak
Antibodi monoklonal yang dihasilkan oleh sel sampel dalam jumlah besar (Ohnishi et al.,
hibridoma, diberinama sesuai dengan lubang 2005, Astawa et al., 2004). Setiap hasil positif
tempat klon sel hibridoma tersebut ditemukan, dengan ELISA, harus diuji lebih lanjut dengan
yaitu BE6, BE7, dan EE9. uji yang lain seperti uji Western blotting agar
Antibodi monoklonal terhadap C. cellulosae semua antibodi yang diperoleh benar-benar
dapat dibuat dengan cara memfusikan sel bereaksi secara khas terhadap C. cellulosae.
mieloma (sel tumor) dengan sel limfosit mencit
yang telah dikebalkan dengan antigen C. Karakteristik AbMo Anti-C.cellulosae
cellulosae. Dalam hal ini mencit Balb/c dikebal- Dalam penelitian ini diperoleh tiga AbMo
kan dengan antigen C. cellulosae asal babi. yang bereaksi secara khas dengan antigen
Beberapa faktor penting yang menentukan C.cellulosae. Karakteristik AbMo tersebut
keberhasilan produksi AbMo antara lain antigen disajikan berikut ini.
yang dipakai untuk imunisasi mencit, metode
skrining yang dipakai untuk melacak sel hibri- Penentuan KekhasanAbMo Anti-C.
doma yang menghasilkan antibodi terhadap cellulosae dengan ELISA. Dari 10 klon sel
antigen C. cellulosae, dan kualitas pertumbuh- hibridoma yang dikembangkan, ternyata hanya
an sel mieloma (Astawa, 2002; Tenaya, 1997). tiga yang menghasilkan antibodi monoklonal
Dalam penelitian ini antigen yang dipakai (AbMo) khas anti-C. cellulosae (Gambar 2). Pada
untuk imunisasi mencit adalah protein Gambar 2 ditunjukkan bahwa supernatan yang
C.cellulosae yang diekstrak dengan PBS dan menghasilkan AbMo adalah BE6 dengan titer
digerus dengan mortar. Dengan cara seperti ini di atas 27 , BE7 dengan titer di atas 27 dan EE9
diperoleh protein C. cellulosae yang larut dalam dengan titer 23.
air, sehingga sebagian besar protein yang Kemampuan AbMo untuk melacak antigen
diperoleh adalah protein larva. Respons imun C. cellulosae yang diperoleh dari daging babi
mencit yang muncul setelah imunisasi, terinfeksi, dilakukan dengan ELISA. Dalam hal
sebagian besar merupakan antibodi terhadap C. ini AbMo diencerkan berkelipatan dua. Dua
cellulosae. Antigen yang sama juga dipakai AbMo yaitu BE6 dan BE7 memiliki reaktivitas
dalam ELISA untuk melacak sel hibridoma yang kuat (+++) dengan titer di atas 27 (OD 405nm)
menghasilkan antibodi terhadap C. cellulosae. dan satu AbMo (EE9) bereaktivitas sedang (++)
Namun, untuk menghindari adanya sel dengan titer 23.
hibridoma yang mengahasilkan antibodi Metode skrining merupakan faktor yang
terhadap jaringan normal inang (babi) asal larva penting bagi seleksi sel hibridoma yang

Tabel 2. Karakteristik antibodi monoklonal anti-C. cellulosae.

Nama ELISA Western blotting


AbMo AntigenC. Titer Plasma Antigen Plasma Ekstrak
Cellulosae babi C. cellulosae babi daging babi

BE6 +++ 27 - 78 kDa - -


BE7 +++ 27 - 78 kDa - -
EE9 ++ 23 - - - -

Keterangan : +++ = positif kuat; ++ = positif sedang; — = negatif

329
I.B. Ngurah Swacita, et al Jurnal Veteriner

Gambar 1. Pertumbuhan klon sel hibridoma pada media DMEM-HT (Sel hibridoma ( ) nampak
seperti sekelompok buah anggur umur 10 hari kiri, 20 hari kanan)

menghasilkan antibodi terhadap larva cacing antigen asal babi. Namun, dengan ELISA
pita T. solium. Dalam penelitian ini antigen menggunakan plasma babi normal, hibridoma
yang dipakai dalam ELISA untuk skrining yang menghasilkan antibodi terhadap cairan
hibridoma adalah cairan larva cacing pita T. daging babi dapat disingkirkan.
solium yang diperoleh dari daging babi
terinfeksi. Dengan antigen tersebut ELISA
dipastikan melacak antibodi terhadap antigen
larva cacing maupun terhadap antigen daging
babi yang secara normal terdapat dalam cairan
larva. Hal tersebut karena imunisasi mencit
dengan antigen yang juga berasal dari cairan
larva yang sudah tentu juga mengandung

Gambar 3. Reaktivitas AbMo dengan cairan


larva (C.cellulosae) dan cairan
plasma, serta ekstrak daging normal
asal babi. (Marker (A); AbMoBE6
dan BE7 (B, C) bereaksi dengan pita
Gambar 2. Pengukuran Titer AbMo Anti-C. protein 78 kDa; AbMo EE9 (D);
Cellulosa. Titer AbMo BE6 dan BE7 cairan plasma babi sehat (E); ekstrak
di atas 27; EE9 23; AC6, EC1, DC1, daging babi sehat (F) menunjukkan
BG8 negatif reaksi negatif).

330
Jurnal Veteriner September 2015 Vol. 16 No. 3 : 326-333

Penentuan KekhasanAbMo Anti-C.cellu- selanjutnya. Pada uji Western blotting, kedua


losae dengan Western blotting AbMo tersebut bereaksi secara spesifik hanya
Pada uji Western blotting, tidak semua dengan antigen C.cellulosae, dan keduanya tidak
AbMo yang diproduksi bereaksi dengan antigen bereaksi dengan cairan plasma maupun sel
C. cellulosae asal babi. Dua AbMo yaitu BE6 normal. Hasil ini menunjukkan bahwa AbMo
dan BE7 mengenali pita protein C. cellulosae anti-C.cellulosae dapat dihasilkan melalui
dengan bobot molekul 78 kDa, sedangkan satu imunisasi pada mencit menggunakan antigen
AbMo (EE9) tidak mengenali pita protein C. yang relatif tidak dimurnikan. Penggunaan
cellulosae. Ketiga AbMo tidak bereaksi dengan antigen kasar bagi keperluan imunisasi untuk
cairan plasma dan ekstrak daging babi normal memproduksi antibodi juga telah dilaporkan
(Gambar 2). Satu AbMo yang tidak bereaksi oleh Pantophlet et al. (2001). Isotipe antibodi
pada uji Western blotting mungkin disebabkan yang terbentuk akibat imunisasi atau infeksi
oleh tidak dikenalinya antigen larva cacing pita agen penyakit dipengaruhi oleh jenis antigen,
yang telah mengalami denaturasi pada frekuensi imunisasi, dan jumlah pengulangan
penyiapan antigen untuk uji Western blotting. imunisasi. Secara umum antigen berupa
Dalam penyiapan antigen untuk uji Western molekul protein lebih mampu menginduksi
blotting, antigen larva cacing pita telah antibodi tipe IgG terutama jika dilakukan
mengalami denaturasi dengan SDS dan imunisasi berulang (booster). Namun, pada
mercapto ethanol. Ini berbeda dengan ELISA imunisasi primer, antigen protein dapat juga
yang menggunakan antigen tidak didenaturasi menghasilkan antibodi dengan klas IgM
dengan senyawa tersebut. Belum diketahui (Chauvin et al., 1995). Imunisasi yang terlalu
spesifisitas pita protein yang dikenali oleh AbMo sering dan dalam waktu lama dengan imunogen
yaitu 78 kDa. Uji masih harus dilakukan untuk protein yang memiliki imunogenitas sedang
menentukan apakah pita protein tersebut khas atau rendah, umumnya menghasilkan antibodi
larva cacing pita T. solium, atau juga klas IgG1 (Zang et al., 2004). Pemurnian AbMo
ditemukan pada larva cacing pita lainnya, dilakukan dengan teknik kromatografi afinitas
seperti larva cacing pita T. hidatigena yang menggunakan kolom yang berisi matriks
sering dijumpai pada babi dan larva cacing pita protein-A agarose. Protein-A merupakan protein
T. saginata yang umum ditemukan pada sapi. permukaan bakteri yang mempunyai afinitas
Dengan indirect ELISA, AbMo mampu kuat dengan bagian Fc molekul antibodi. Namun
melacak antigen larva cacing pita T. solium afinitas protein terhadap IgG berbeda di antara
dengan reaktivitas kuat (BE6 dan BE7). Satu subklas IgG dan di antara spesies hewan
AbMo (EE9)menunjukkan reaktivitas sedang. (Yamamuto et al., 1995). Menurut Nagaoka
Reaktivitas AbMo dalam ELISA yang hasilnya dan Akaike, (2003), protein A umumnya
beraneka ragam menunjukkan bahwa memiliki afinitas tinggi terhadap IgG2a dan
kemampuan sel hibridoma untuk mensekresi IgG2b mencit dan memiliki afinitas sedang
AbMo juga berbeda-beda. Dalam beberapa sampai rendah terhadap IgG1 mencit. Dengan
penelitian juga menunjukkan bahwa AbMo yang kolom tersebut AbMo (IgG) yang berikatan
dihasilkan oleh klon hibridoma juga mempunyai dengan protein A tertahan dalam matriks,
reaktivitas, afinitas, dan titer yang berbeda- sedangkan yang bukan IgG dan tidak berikatan
beda. dengan protein A akan lewat bersama eluet.
Molekul IgG dalam matriks kemudian dielusi
Pemurnian AbMo dengan Kolom Agarose dengan larutan asam. Eluet diambil lima kali
Protein-A setiap satu mL dan diuji dengan ELISA. Hasil
Antibodi monoklonal dimurnikan menggu- pemurnian menunjukkan bahwa kedua AbMo
nakan kolom agarose protein-A dan hasil (BE6 dan BE7) dapat dimurnikan dengan
pemurniannya (eluet) ditampung dalam protein-A agarose dengan titer paling tinggi
eppendorf yang berisi masing-masing 1 mL. pada eluet I dan II (27), sedangkan pada eluet III
Eluet tersebut kemudian diuji ELISA untuk sedikit mengandung AbMo; eluet IV dan V tidak
mengetahui eluet ke berapa AbMo muncul dan mengandung AbMo. Antibodi monoklonal yang
berapa titernya? belum dimurnikan memiliki optical density
Pemurnian AbMo dilakukan terhadap BE6 lebih tinggi (1,440-1,800) bila dibandingkan
dan BE7, karena hanya kedua AbMo tersebut dengan eluet 1 dan 2 (1,255-1,651). Hal tersebut
yang memberikan reaksi spesifik pada uji terjadi karena AbMo masih mengandung fraksi
Western blotting untuk pengembangan uji protein lainnya yang berasal dari fetal calf serum

331
I.B. Ngurah Swacita, et al Jurnal Veteriner

(FCS) pada saat ditumbuhkan dalam media Astawa NM, Hartaningsih N, Dharma DMN,
DMEM-HT yang mengandung FCS 20%. Supartika E, Tenaya IWM. 2004.
AntibodiMonoklonal dan Diagnosis
Imunopatologi Penyakit Jembrana pada
SIMPULAN Sapi Bali. Lokakarya Upaya Pencegahan
Dan Diagnosis Penyakit Jembrana Pada
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat Sapi Bali, 1 Des 2004. Hotel Patra Jasa,
disimpulkan bahwa telah berhasil diproduksi Kuta, Bali.
antibodi monoklonal anti- C.cellulosae yang
Cai X, Zheng Y, Lou Z, Jing Z, Hu Z, Lu C.
diberi nama BE6, BE7 dan EE9. Karakterisasi
2006. Immunodiagnoisis of Taeniasis in
AbMo ini mampu melacak antigen C.cellulosae
China. The Journal of Applied Research 6:
pada cairan larva dan dapat mengenali protein
69-76.
antigen C.cellulosae dengan bobot molekul 78
kDa. Chouvin A, Bouvet G, Boulard C. 1995. Humoral
and Cellular Immune Response to Fasciola
hepatica Experimental Primary and
SARAN Secondary Infection in Sheep. Int J Parasitol
25(10): 1227-1241.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut Cruz ME, Schantz, PM, Cruz I, Preux
untuk menentukan apakah pita protein khas PM,BanitezW, Tsang VC, Fermoso DM.
C. cellulosae juga ditemukan pada larva cacing 1999. Epilepsi and neurocycercosis in an
pita lainnya. Andean community. Int J Epidemiol 29:
799-803.
UCAPAN TERIMA KASIH Dharmawan NS, Swastika K, Putra I M,
Wandra T, Sutisna P, Okamoto M, Ito A.
Dalam kesempatan ini penulis 2012. Present situation and problem of
mengucapkan terima kasih kepada Dikti/Rektor cysticercosis in animal in Bali and Papua.
Universitas Udayana atas bantuan dana J Veteriner 13(2): 154-162.
penelitiannya dan Kepala BBV Denpasar-Bali Direktorat Kesmavet. 2005. Pedoman Teknis
atas bantuan dan fasilitas laboratoriumnya Pemeriksaan Antemortem dan Postmor-
untuk tempat penelitian. tem di Rumah Pemotongan Hewan.
Jakarta. Ditjen Bina Produksi Peternakan,
Deptan. Hal 1-16
DAFTAR PUSTAKA
Galan-Puchades MT, Feuntes MV. 2000. The
Arimbawa M, Kari IK, Laksminingsih NS. 2004. Asian taenia and the possibilty of
Neurocysticercosis. Pediatrica Indonesiana cysticercosis. The Korean Journal of
44 (7-8): 165 - 170. Parasitology 28: 1-7.
Artama WT. 1999. Antibodi Monoklonal dan Hawk MW, Shahlaie K, Kim KD, Theis JH.
Rekombinan Antibodi serta Aplikasi-nya 2005. Neurocysticercosis: a review. Surg
dalam Imunoterapi. Prosiding Seminar Neurol 63: 123-32.
Bioteknologi, Bogor. Hal. 79 - 95. Ito A, Nakao M, Wandra T. 2003. Human
Assa I, Satrija F, Lukman DW, Dharmawan NS, taeniasis and cysticercosis in Asia. Lancet
Dorny P. 2012. Faktor Risiko Babi yang 362: 1918-1920.
Diumbar dan Pakan Mentah Memper-tinggi Margono SS, Wandra T, Swasono MF, Murni S,
Prevalensi Sistiserkosis. J Veteriner 13(4): Craig, PS, Ito A. 2006. Taeniasis/
345-352. cysticercosis in Papua (Irian Jaya),
Astawa NM. 2002. Antibodi monoklonal sebagai Indonesia. Parasitol Inter 55: S 143-148.
reagen diagnostik yang spesifik untuk
infeksi avian reovirus. J Veteriner 3: 133-
139.

332
Jurnal Veteriner September 2015 Vol. 16 No. 3 : 326-333

McKearn TJ. 1980. Cloning hybridomas by beberapa Desa di Kabupaten Jaya Wijaya,
limiting dilution in liquid phase. In Papua. Jurnal Ilmiah Makara vol. 9 Online
Monoclonal antibodies : new dimension in : http://www.research.ui.ac.id/Diakses
biological analysis. (Kennet RH, McKearn Januari 2008.
TJ, Bectol KB Eds). New York. Plennum
Sudewi AAR, Wandra T, Artha A, Nkouawa A,
Press. P 374.
and Ito A. 2008. Taenia solium cysticercosis
Nagaoka M, Akaike T. 2003. Single Amino Acid in Bali, Indonesia : Serology and mtDNA
Substitution in the Mouse IgG1 Fc Region analysis. Trans R Soc Trop Med Hyg 102:
Induce Drastic Enhanment of the Affinity 96-98
to Protein A. Oxford Journal 16 (4): 243-
Suroso T, Margono SS, Wandra T, Ito A. 2006.
245.
Challenges for Control of Taeniasis/Cysti-
Ohnishi K, Sakaguchi M, Kaji Tohiro. 2005. cercosis in Indonesia. Parasitol Inter 55: 161-
Immunological Detection of Severe Acute 165
Respiratory Syndrome Corona Virus by
Sutisna P, Kapti IN, Allan JC, Rodriguez RC.
Monoclonal Antibodies. Jpn J Infect Dis 58:
2000. Prevalensi taeniosis dan sistiserkosis
88-94.
di Banjar Pamesan, Desa Ketewel, Gianyar,
Pantophlet R, Brade L, Brade H. 2001. Bali. Majalah Kedokteran Udayana 31: 226-
Generation and Serological Characterization 234.
of Murine Monoclonal Antobodies Against
Tenaya I WM. 1997. Production and Charac-
O Antigens from Actinobacter Refference
terization of Monoclonal Antibody
Strains. Clin Diag Lab Immunol 8: 825-827.
Against a 72 kDa Protein of Serpulina
Rajshekhar V, Chandy MJ. 1997. Validation of pilosicoli Strain 1648. Thesis. Perth.
diagnostic criteria for solitary cerebral Murdoch University. Pp: 90-101.
cysticercus granuloma in patients
Towns JM, Hoffman CJ, Kohn MA. 2004.
presenting with seizures. Acta Neurol
Neurocysticercosis in Oregon 1995-2000. J
Scand 96: 76-81.
of Emerg Infec Dis 10(3): 508-510.
Rajshekhar V, Joshi DD, Doanh NQ, Ven De N,
Wandra T, Ito A, Yamasaki H, Suroso T,
Xiaonong Z. 2003. Taenia solium taeniasis/
Margono SS. 2003. Taenia solium
cysticercosis in Asia: epidemiology, impact
cysticercosis, Irian Jaya, Indonesia. J of
and issues. Asia Trop 87: 53-60
Emerg Infec Dis 9(7): 884-885.
Sawhney IM, Singh G, Lekhra OP, Mathuriya
Wandra T, Depary AA, Sutisna P, Margono SS,
SN, Parihar PS, Prabhakar S. 1998.
Suroso T, Okamoto M, Craig PS, Ito A.
Uncommon presentations of neurocysti-
2006. Taeniasis in cysticercosis in Bali and
cercosis. J Neurol Sci 154: 94-100.
North Sumatera, Indonesia. Parasitol Inter
Singhi P, Singhi S. 2004. Neurocysticercosis in 55: S155-S160.
children. J Child Neurol 19: 482-492.
Yamamuto S, Omura M, Hirata H. 1995.
Subahar R, Hamid A, Purba W, Wandra T, Isolation of Porcine, Canine, and Feline IgG
Karma C, Sako Y, Margono SS, Craig PS, by Affinity Chromatography Using Protein
Ito A. 2001. Taenia solium infection in Irian A. Vet Immunol Immunolpathol 9(2): 195-
Jaya (West Papua), Indonesia: a pilot 200.
serological survey of human and porcine
Zang W, Moreau E, Huang W, Chauvin A. 2004.
cysticercosis in Jayawijaya District. Trans
Comparison of Humoral Response in Sheep
R Soc Trop Med Hyg 95: 388-390.
to Fasciola hepatica and Fasciola gigantica
Subahar R, Hamid A, Purba F, Widarso, Ito A, Experimental Infection. Parasite 11: 153-
Margono SS. 2005. Taeniasis/sistiserkosis 159.
di antara beberapa anggota keluarga di

333

Anda mungkin juga menyukai