FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN SUMEDANG 2014 I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sapi perah merupakan salah satu ternak penghasil susu yang cukup tinggi, untuk mendapatkan produk susu yang tinggi perlu diperhatikan manajemen pemeliharaan dari sapi perah. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan usaha beternak sapi perah yaitu paktor kebersihan, terutama kebersihan lingkungan baik itu kebersihan kandang maupun kebersihan ternak itu sendiri. Lingkungan yang tidak bersih dan kotor dapat mengganggu aktivitas ternak dan juga dapat menimbulkan bibit penyakit terutama pada saat pemerahan susu pada Sapi perah. Salah satu penyakit yang dapat menyerang sapi perah adalah penyakit mastitis. Mastitis adalah penyakit dari ambing yang disebabkan oleh peradangan kelenjar susu. Mastitis merupakan penyakit yang banyak sekali menimbulkan kerugian pada peternakan sapi perah. Kerugian tersebut disebabkan oleh penurunan produksi air susu, ongkos perawatan dan pengobatan, air susu yang harus dibuang karena tidak memenuhi persyaratan dan kenaikan biaya penggantian sapi untuk kelangsungan produksi. Hal-hal tersebutlah yang melatarbelakangi dibuatnya makalah mengenai bagaimana penanganan mastitis pada sapi perah.
1.2. Identifikasi Masalah 1. Faktor apa saja yang mempengaruhi Mastitis. 2. Bagaimana Mekanisme terjadinya Mastitis. 3. Bagaimana Pengendalian Mastitis pada Sapi Perah. 4. Bagaimana Persentase kejadian Mastitis Pada Sapi Perah di Indonesia. 5. Apa saja kerugian akibat Mastitis Pada Sapi Perah di Indonesia.
1.3. Maksud dan Tujuan 1. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi Mastitis. 2. Mengetahui Mekanisme terjadinya Mastitis. 3. Mengetahui Pengendalian Mastitis pada Sapi Perah. 4. Mengetahui Persentase kejadian Mastitis pada Sapi Perah di Indonesia. 5. Mengetahui kerugian akibat Mastitis pada Sapi Perah di Indonesia.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi Mastitis Mastitis berasal dari bahasa Yunani yaitu Matos yang berarti infeksi dan Itis berarti radang. Jadi, Mastitis adalah infeksi yang menyebabkan peradangan ambing pada sapi perah. Biasanya penyakit ini berlangsung secara akut, sub-akut maupun kronis. Mastitis ditandai dengan peningkatan jumlah sel di dalam air susu, perubahan fisik maupun susunan air susu dan disertai atau tanpa disertai perubahan patologis atau kelenjarnya sendiri. Hal tersebut diatas menyebabkan penurunan produksi susu. Perubahan fisik (susu) biasanya meliputi perubahan warna, bau, rasa dan konsistensi. (Subronto, 2003). Proses mastitis hampir selalu dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam kelenjar melalui lubang puting (sphincter puting). Sphincter puting berfungsi untuk menahan infeksi kuman. Pada dasarnya, kelenjar mammae sudah dilengkapi perangkat pertahanan, sehingga air susu tetap steril. Perangkat pertahanan yang dimiliki oleh kelenjar mammae, antara lain : perangkat pertahanan mekanis, seluler dan perangkat pertahanan yang tidak tersifat (non-spesifik). Tingkat pertahanan kelenjar mammae mencapai titik terendah saat sesudah pemerahan, karena sphincter masih terbuka beberapa saat, sel darah putih, antibodi serta enzim juga habis, ikut terperah (Hidayat, 2008). Sapi yang terkena mastitis akut masih bisa diobati dengan memberi antibiotik, sedangkan yang kronis dapat disembuhkan namun kelenjar ambing sudah rusak dan terbentuk jaringan ikat sehingga tidak dapat memproduksi susu. Oleh karena itu, sapi yang terkena mastitis kronis secara ekonomi sangat merugikan dan lebih baik dijual.
2.2. Jenis-jenis Mastitis 2.2.1. Menurut Bentuknya 1. Mastitis catarralis adalah mastitis yang paling ringan. Disini ditemukan radang dan degenerasi pada parenchym (epitel) saluran-saluran air susu besar. 2. Mastitis parenchymatosa adalah radang yang meluas hingga asinus pembentuk air susu, jadi hingga parenchym yang mementuk air susu. 3. Mastistis interstitialis, Radang terutama ditemukan di dalam interstisium (jaringan ikat). 2.2.2. Menurut pembagian patologik anatomik mastitis 1. Mastitis catarrhalis, yakni radang pada saluran susu yang halus. 2. Mastitis parenchymatosa, radang parenchym pembentuk air susu. 3. Mastitis Phlegmonosa , dimaa radang ini meluas dalam jaringan ikat. Oleh karena itu dinamakan jg mastitis interstitialias. Terlihat pada perlukaan dan infesi ambing . 4. Mastitis purulenta (apestomatosa) , disertai pembentukkan abses-abses. 5. Mastitis necriticans memperlihatkan regresi luar biasa dengan nekrosa kering (necrosa koagulasi) 6. Mastitis indurativa , dimana kelenjar digantikan oleh jaringan ikat. Sekresi air susu berhenti ambingnya akan terasa keras, lingkarannya bertambah atau berkurang. Mastitis ini dapat terjadi pada 3 kuartir. 7. Mastitis specifica disebabkan oleh tuberculosis dan aktimikosis (Ressang,1984)
Mastitis klinis ditandai dengan kebengkakkan, panas, rasa sakit, warna ambing kemerahan dan tergantung fungsinya. Mastitis sub-akut perubahan radang ambing tersamar tetapi susunya mengalami perubahan. Kelainan bisa berupa asimetris, bengkak, lesi pada puting susu dan warna merah pada radang hebat. Mastitis kronis terjadi bila infeksi pada ambing berjalan lama dan ditandai dengan adanya atropi ambing. Mastitis sub-klinis tidak ditemukan gejala klinis namun tersifat pada sekresi susunya, deteksi terhadap mastitis sub-akut dengan uji sekresi susunya yang menunjukkan produk infiltrasi seperti leukosit, fibrin dan serum serta perubahan komposisi kimiawi. Ditransferkan sodium klorat dan bikarbonat dari darah ke dalam susu menjadi alkalis. Perubahan susu secara fisis meliputi warna, bau, konsistensi dan rasanya. Warna menjadi putih pucat atau kebiruan, rasa menjadi getir atau agak asin. Bau yang agak harum darisusu menjadi asam, sedangkan konsistensinya menjadi cair dan kadang disertai dengan adanya jonjot atau endapan fibrin dan protein (Damarjati, 2008).
III PEMBAHASAN
2.1. Faktor-faktor Penyebab Mastitis 2.1.1. Faktor Genetik Resistensi atau kepekaan terhadap mastitis pada sapi, kambing atau domba bersifat menurun. Gen-gen yang menurun akan menentukan ukuran dan struktur puting (Swart, et al., 1984). Tuasikal (2003) menyatakan bahwa saat periode kering adalah saat awal kuman penyebab mastitis menginfeksi, karena pada saat itu terjadi hambatan aksi fagositosis dari neutrofil pada ambing. 2.1.2. Faktor Mikroorganisme Menurut Mellenbenger (1997) bahwa berbagai jenis bakteri telah diketahui sebagai agen penyebab penyakit mastitis, antara lain: Streptococcus agalactiae, Str. Disgalactiae, Str. Uberis, Str.zooepidemicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenees dan Pseudomonas aeroginosa. Swart (1984), menyatakan bahwa Staphylococcus adalah bakteri gram positif, bentuk kokus dengan susunan berpasangan atau bergerombol, seperti anggur. Bersifat aerobik atau anaerobik fakultatif, katalase positif, oksidase negatif, bersifat non-motil, tidak membentuk spora. Staphylococcus tumbuh dengan cepat pada beberapa tipe media dan aktif melakukan metabolisme serta melakukan fermentasi karbohidrat. 1. Staphylococcus Staphylococcus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk kokus, diameter 1 m, tidak motil, facultative anaerob, catalase positif, dapat tumbuh pada media yang kurang menguntungkan, dapat menyebabkan infeksi pyogenic. Habitat staphylococcus, hidup normal pada kulit hewan dan manusia. Mereka sering ditemukan pada membrane mukosa traktus respiratorius dan sedikit di saluran urogenital serta saluran pencernaan. Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama mastitis pada sapi perah yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat turunnya produksi susu. Patogenisitas dan virulensi Staphylococcus sp. ditentukan oleh substansi- substansi yang diproduksi oleh organisme ini antara lain adalah enzim ekstraseluler yang dikenal dengan eksoprotein. Staphylococcus aureus memproduksi eksoprotein yang dibagi menjadi 2 kelompok utama yaitu, kelompok enzim antara lain koagulase, lipase, hialuronidase, stafilokinase (fibrinolisin) dan nuklease serta kelompok eksotoksin misalnya leukosidin, eksfoliatif toksin, enterotoksin dan toxic schock syndrome toxin-1 (TSST-1). Hemolisin merupakan eksoprotein yang mempunyai aktivitas baik enzimatis maupun toksin sehingga tidak termasuk dalam klasifikasi ini (Williams et al., 2000). Sitolitiktoksin yang dihasilkan oleh S. aureus adalah , , , dan -hemolisin. Eksoprotein enzimatis ini kemungkinan mempunyai fungsi utama dalam menyokong nutrisi untuk pertumbuhan bakteri, sedangkan eksotoksin berperan dalam menimbulkan berbagai penyakit. 2. Streptococcus Streptococcus agalactiae termasuk dalam genus Streptococcus golongan B. Bakteri ini merupakan bakteri Gram positif. Streptococcus agalactiae merupakan sebagian dari flora normal pada vagina dan mulut wanita pada 5-25 %. Bakteri ini secara khas merupakan -hemolitik dan membentuk daerah hemolisis yang hanya sedikit lebih besar dari koloni (bergaris tengah 1-2 mm). Streptococcus golongan B menghidrolisis natrium hipurat dan memberi respons positif pada tes CAMP (Christie, Atkins, Munch-Peterson), peka terhadap basitrasin. Streptococcus agalactiae mampu bertahan pada inang dalam temperatur tinggi, tergantung dari kemampuannya untuk melawan fagositosis. Isolat dari Streptococcus agalactiae memproduksi kapsul polisakarida. Kapsul polisakarida tersebut tersusun atas galaktosa dan glukosa, berkombinasi dengan 2-acetamido-2- deoxyglucose, N-acetylglucosamine dan pada ujungnya terdapat asam sialik, yang memberikan muatan negatif. Kapsul polisakarida tersebut merupakan faktor virulensi yang penting. Kapsul-kapsul tersebut menghalangi fagositosis dan sebagai komplemen saat tidak ada antibodi. Hasil selanjutnya dihilangkan bersama dengan pengeluaran residu asam sialik, dan kekurangan serum antibodi untuk melengkapi antigen tidaklah opsonik. Meskipun infeksi atau penyerangan bisa saja dihubungkan dengan semua serotype, namun golongan dengan kapsul serotype III mendominasi isolat dari infeksi neonatal (Carter,2004 ; Quinn,2002) 2.1.3. Bentuk puting Ada dan tidaknya lesi pada puting mempengaruhi kejadian mastitis. Hasil penelitian Hidayat (2008) menunjukkan bahwa prevalensi mastitis pada puting pendulous mencapai 77,78%, sedangkan pada puting non pendulous mencapai 50%. Puting yang lesi memungkinkan prevalensi mastitis sebesar 84%, sedangkan pada puting normal sebesar 47,74%. Letak kuartir juga mempengaruhi kejadian mastitis. Kuartir kiri, belakang dan kanan, depan lebih sering mengalami mastitis daripada kedua puting lainnya. Pada kiri belakang, mastitis mencapai 34,3%, sedangkan kanan, depan mencapai 30,06% (Lestari, 2006). 2.1.4. Faktor Umur dan Tingkat Produksi Susu Faktor umur dan tingkat produksi susu sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi susu, maka semakin mengendur pula spinchter putingnya. Puting dengan spinchter yang kendor memungkinkan sapi mudah terinfekesi oleh mikroorganisme, karena fungsi spinchter adalah menahan infeksi mikroorganisme. Semakin tinggi produksi susu seekor sapi betina, maka semakin lama waktu yang diperlukan spinchter untuk menutup sempurna (Subronto, 2003).
2.1.5. Bangsa sapi Faktor bangsa sapi bisa mempengaruhi kejadian mastitis. Dilaporkan oleh (Lestari, 2006) bahwa kejadian mastitis pada sapi persilangan (Crossbreed) lebih besar dari pada sapi lokal 2.1.6. Manajemen dan lingkungan Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi terjadinya radang ambing meliputi: pakan, perkandangan, banyaknya sapi dalam satu kandang, ventilasi, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Pada ventilasi jelek, mastitis mencapai 87,5%, ventilasi yang baik mencapai 49,39% (Hidayat, 2008)
2.2. Mekanisme terjadinya Mastitis Luthvin (2007) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi melalui beberapa tahap, yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme dimana sejumlah mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter), kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang terbuka ataupun karena adanya luka. Gejala klinisnya berupa pembengkakkan ambing dan jika ambing diraba terasa panas. Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya leukosit-leukosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel ambing. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam, dan apabila infeksi terus berlanjut akan terbentuk jaringan ikat sehingga ambing mengeras dan produksi susu terhenti. Masuknya organisme ke dalam puting kebanyakan terjadi karena terbukanya lubang saluran puting, terutama setelah diperah. Infasi ini dipermudah dengan adanya lingkungan yang jelek, opulasi terlalu tinggi, adanya lesi pada puting susu atau karena daya tahan sapi menurun. Fase Infeksi, Terjadinya pembentukan koloni oleh mikroorganisme yang dalam waktu singkat menyebar ke lobuli da alveoli. Fase Infiltrasi, ditandai saat mikroorganisme sampai ke mukosa kelenjar, tubuh akan bereaksi dengan memobilisasi leukosit dan terjadi radang. Adanya radang menyebabkan sel darah dicurahkan ke dalam susu, sehingga sifat fisik serta susunan susu mengalami perubahan. Secara klinis proses radang ambing dapat berlangsung secara akut, sub-akut, kronis (Poeloengan, 2005). Sphincter puting berfungsi untuk menahan infeksi mikroorganisme yang akan masuk ke dalam kelenjar mammae. Kelenjar mammae sebenarnya telah dilengkapi dengan perangkat pertahanan, seperti pertahanan mekanis, seluler dan pertahanan non-spesifik, sehingga air susu tetap steril. Namun, hal itu tidak terjadi pada sapi yang terserang mastitis dan ditempatkan dalam kandang yang kotor dan kekurangan pakan. Selain faktor mikroorganisme, seperti jenis, jumlah dan virulensinya, faktor ternak dan lingkungan juga menentukan mudah tidaknya infeksi ambing pada sapi dalam suatu peternakan. Umur sapi dan tingkat produksi susu juga memengaruhi kejadian mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi susu, semakin mengendur pula sphincter putingnya. Puting dengan sphincter yang kendur memungkinkan sapi mudah terinfeksi mikroorganisme karena sphincter berfungsi menahan infeksi mikroorganisme. Semakin tinggi produksi susu, semakin lama waktu yang diperlukan sphincter untuk menutup secara sempurna. Hal ini lebih parah jika kondisi kandang sangat kotor. Lingkungan dan pengelolaan peternakan juga memengaruhi terjadinya infeksi ambing, seperti pakan, kandang, jumlah sapi dalam satu kandang, ventilasi, sanitasi kandang, dan cara pemerahan susu.
2.3. Pengendalian Mastitis 2.3.1 Cara penularan Penularan mastitis dari seekor sapi ke sapi lain dan dari kuarter terinfeksi ke kuarter normal bisa melalui tangan pemerah, kain pembersih, mesin pemerah dan lalat (Nurdin,2006). Penyakit mastitis menular dari satu sapi ke sapi yang lain atau dari kuarter terinfeksi ke kuarter normal melalui tangan pemerah. Oleh karena itu, sapi yang terkena mastitis hendaknya ditempatkan tersendiri dan diperah paling akhir, dimulai dari kuarter yang sehat kemudian dilanjutkan ke kuarter yang terkena mastitis. 2.3.2. Diagnosis Pengamatan secara klinis adanya peradangan ambing dan puting susu, perubahan warna air susu yang dihasilkan. Uji lapang dapat dilakukan dengan menggunakan California Mastitis Test (CMT), yaitu dengan suatu reagen khusus (Wahyuni, 2005). Subronto (2003) menambahkan diagnosis mastitis bisa dilakukan dengan Whiteside Test. Radang dikatakan subklinis bila gejala klinis radang tidak ditemukan saat pemeriksaan ambing. Pada radang yang bersifat akut, tanda-tanda radang jelas ditemukan, seperti ambing bengkak, panas jika diraba, sakit, warna kemerahan, dan fungsi ambing terganggu. 2.3.3. Kontrol Salasia (2005) mengemukakan bahwa guna mencegah infeksi baru oleh bakteri penyebab mastitis, maka perlu beberapa upaya, antara lain : Meminimalisasi kondisi-kondisi yang mendukung penyebaran infeksi dari satu sapi ke sapi lain dan kondisi-kondisi yang memudahkan kontaminasi bakteri dan penetrasi bakteri ke saluran puting. Air susu pancaran pertama saat pemerahan ditampung di strip cup dan diamati terhadap ada tidaknya mastitis. Pencelupan atau diping puting dalam biosid 3000 IU (3,3 mililiter/liter air). Penggunaan lap yang berbeda untuk setiap ekor sapi, dan pastikan lap tersebut telah dicuci dan didesinfektan sebelum digunakan (Hidayat,2008). Pemberian nutrisi yang berkualitas, sehingga meningkatkan resistensi ternak terhadap infeksi bakteri penyebab mastitis. Suplementasi vitamin E, A dan - karoten serta imbangan antara Co (Cobalt) dan Zn (Seng) perlu diupayakan untuk menekan kejadian mastitis. Mengobati luka bakar dan ambing sapi dengan antibiotik agar tidak terjadi mastitis kronis. Menjaga kebersihan kandang dan tetap memerah sapi di tempat penampungan ternak dan menciptakan kondisi lingkungan yang memungkinkan sapi tidak stres. 2.3.4. Pengobatan Subroto (2003) menyatakan bahwa sebelum menjalankan pengobatan sebaiknya dilakukan uji sensitifitas. Resistensi Staphylococcus aureus terhadap penicillin disebabkan oleh adanya -laktamase yang akan menguraikan cincin - laktam yang ditemukan pada kelompok penicillin. Pengobatan mastitis sebaiknya menggunakan: Lincomycin, Erytromycin dan Chloramphenicol. Disinfeksi puting dengan alkohol dan infusi antibiotik intra mamaria bisa mengatasi mastitis. Injeksi kombinasi penicillin, dihydrostreptomycin, dexamethasone dan antihistamin dianjurkan juga. Antibiotik akan menekan pertumbuhan bakteri penyebab mastitis, sedangkan dexamethasone dan antihistamin akan menurunkan peradangan (Swartz, 2006) Mastitis yang disebabkan oleh Streptococcus sp masih bisa diatasi dengan penicillin, karena streptococcus sp masih peka terhadap penicillin (Subroto, 2003) Dinyatakan oleh Swart (1984) bahwa strategi efektif untuk mencegah dan mengatasi mastitis yang disebabkan oleh Staphilococcus aureus masih sukar dipahami. Dilaporkan oleh Sudarwanto (1999), bahwa bakteri Staphylococcus sp dan Streptococcus sp yang diisolasi dari kasus mastitis sapi telah banyak yang multi resisten terhadap beberapa antibakterial. Penggunaan antibiotik untuk mengatasi mastitis juga telah banyak merugikan masyarakat konsumen, karena susu mengandung residu antibiotik bisa menimbulkan gangguan kesehatan. Dilaporkan oleh Wahyuni dkk (2005), bahwa akibat penggunaan antibiotik pada setiap kasus mastitis yang mungkin tidak selalu tepat, maka timbul masalah baru yaitu adanya residu antibiotika dalam susu, alergi, resistensi serta mempengaruhi pengolahan susu. Mastitis sub-klinis yang disebabkan oleh bakteri gram positif juga makin sulit ditangani dengan antibiotik, karena bakteri ini sudah banyak yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Diperlukan upaya pencegahan dengan melakukan blocking tahap awal terjadinya infeksi bakteri. Nurdin (2006) melaporkan bahwa penggunaan infus intramammaria dengan 120 ml, 5% Povidone-Iodine (0,5% Iodine) setelah susu diperah habis pada 7 ekor penderita mastitis akibat Staphylococcus aureus menunjukkan hasil yang sangat memuaskan, karena 100% (7 ekor) penderita bisa memproduksi susu kembali pada laktasi berikutnya. Sedangkan terapi mastitis dengan infus Chlorhexidine, hanya menghasilkan 71% (5 ekor). Mean milk Weight (kg) pada terapi Iodine lebih besar daripada terapi dengan Chlorhexidine. Sekresi susu dari kuartir yang diberi Iodine tidak mengandung residu pada pemeriksaan 35 hari post infusi, sedangkan pada infusi dengan Chlorhexidine ternyata mengandung residu antibiotik. Lay dan Hastowo (2000) menyatakan bahwa sebelum menjalankan pengobatan sebaiknya dilakukan uji sensitifitas.
2.4. Persentase kejadian Mastitis Pada Sapi Perah Di Indonesia Kejadian mastitis 9598% merupakan mastitis sub-klinis, sedangkan 23% merupakan mastitis klinis yang terdeteksi (Sudarwanto, 1999). Mastitis merupakan salah satu penyakit penting yang terjadi pada sapi perah yang dapat mengakibatkan penurunan roduksi susu hingga 20% (Bannerman et all ,2005). Mastitis sub-klinis merupakan kasus yang paling banyak dan sering terjadi di lapangan pada peternakan sapi perah Sudarwanto (1999). Kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi (95-98%) dan menimbulkan banyak kerugian. Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus merupakan 2 bakteri utama penyebab mastitis sub-klinis. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa S. agalactiae dan S. aureus yang mempunyai hemaglutinin, mempunyai kemampuan adesi pada sel epitel ambing jauh lebih besar dari pada yang tidak mempunyai hemaglutinin. Hemaglutinin diduga sebagai faktor virulen yang penting (sebagai adesin).
2.5. Kerugian akibat Mastitis Pada Sapi Perah Di Indonesia Mastitis merupakan penyakit yang sering terjadi pada sapi perah dan menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi peternakan sapi perah di seluruh dunia (Bannerman and Wall, 2005). Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh mastitis, terutama mastitis sub-klinis, meliputi penurunan produksi dan mutu susu, peningkatan biaya perawatan dan pengobatan, pengafkiran ternak lebih awal serta pembelian sapi perah baru (Subronto, 2003). Mastitis sub-klinis menjadi masalah yang sangat serius bagi para peternak, karena sapi tidak menunjukkan gejala sakit tetapi produksi susu dapat turun dan kualitas susu menjadi berkurang karena adanya kuman tersebut (Salasia et al., 2005). Mastitis sangat merugikan karena mengakibatkan; Produksi susu menjadi turun 25- 30% atau berhenti sama sekali, kualitas susu menjadi turun sehingga tidak dapat dijual atau tidak dapat dikonsumsi, biaya perawatan menjadi meningkat, dan ternak perah diafkir lebih awal (Hidayat, 2008). Produksi susu dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh diantaranya adalah penyakit dan makanan. Permasalahan yang sering menimpa peternaksapi perah adalah penyakit mastitis, dimana 60-90 % sapi perah di Indonesia terserang mastitis. Penyakit ini sangat merugikan karena berdampak pada penurunan produksi susu, penurunan kualitas dan kehadirannya sering kali tidak disadari oleh peternak sehingga peternak baru menyadari kondisi ternaknya setelah penyakit ini parah (Nurdin, 2006). Pengaruh penyakit mastitis terhadap komponen dan pH susu bovine dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Pengaruh Mastitis terhadap Komponen dan PH Susu Bovine Komponen Susu Normal Susu Mastitis Lemak (%) Laktosa (%) Casein (mg/ml) Whey Protein (mg/ml) Na (mg/100 ml) K (mg/100 ml) Cl (mg/100 ml) Ca (mg/100 ml) PH 3,45 4,85 27,9 8,2 57 172,5 80 130 136 6,65 3,2 4,4 22,5 13,1 104,6 157,3 >250 49 6,9 7.0 (Eniza, 2004)
Pada tabel 1 terlihat bahwa susu mastitis kandungan lemak, laktosa dan casein menurun dan kandungan whey protein meningkat. Kandungan mineral Natrium dan Chlorida terlihat meningkat sedangkan Kalium dan Kalsium menurun (Eniza, 2004). Menurut Salasia. (2005), Penyakit mastitis tidak dapat diberantas tetapi dapat diturunkan angka kejadiannya dengan manajemen yang baik pada peternakan sapi perah. Mastitis menyebabkan kerugian ekonomi pada petani dengan beberapa jalan; hasil susu yang menurun, kualitas susu menjadi jelek atau terkontaminasi dengan antibiotika yang mengakibatkan produknya tidak dapat dijual, adanya biaya pengobatan, tingginya angka pengafkiran dan kadang-kadang mengakibatkan kematian. Susu yang diproses dalam home industri juga merugi disebabkan oleh masalah kandungan antibiotika dalam susu yang dapat menurunkan kandungan kimiawi susu dan kualitas susu dari sapi perah penderita mastitis.
IV KESIMPULAN
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya mastitis terdiri dari faktor genetik faktor mikroorganisme, bentuk putting, faktor umur dan tingkat produksi susu, bangsa sapi, manajemen dan lingkungan. 2. Mekanisme terjadinya infeksi pada mastitis terjadi melalui beberapa tahap, yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme dimana sejumlah mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter), kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang terbuka ataupun karena adanya luka. 3. Pengendalian mastitis bisa dilakukan dengan cara mengetahui cara penularan penyakit terlebih dahulu, mendiagnosis pada bagian ambing maupun air susu, kontroling dan pengobatan. 4. Kejadian mastitis 9598% merupakan mastitis sub-klinis, sedangkan 23% merupakan mastitis klinis yang terdeteksi. Mastitis sub-klinis merupakan kasus yang paling banyak dan sering terjadi di lapangan pada peternakan sapi perah. Kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi (95-98%) dan menimbulkan banyak kerugian. 5. Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh mastitis, terutama mastitis sub- klinis, meliputi penurunan produksi dan mutu susu, peningkatan biaya perawatan dan pengobatan, pengafkiran ternak lebih awal serta pembelian sapi perah baru.
DAFTAR PUSTAKA
Bannerman, D. D. and R. J. Wall. 2005. A Novel Strategy for the Prevention of Staphylococcus aureus-Induced Mastitis in Dairy Cows. Information Systems for Biotechnology News Report. Virginia Tech University. USA. 1 - 4.
Damarjati. 2008. Pengaruh Mastitis Terhadap Susu yang Dihasilkan. http://mikrobia .files.wordpress.com. Diakses pada 14 Oktober 2014 pukul 20:07
Hidayat A., drh., 2008. Buku Petunjuk Praktis untuk Peternak Sapi Perah tentang, Manajemen Kesehatan Pemerahan. Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat.
Lestari D. T., 2006. Laktasi Pada Sapi Perah Sebagai Lanjutan Proses Reproduksi. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran.
Luthvin, 2007. Identifikasi Staphylococcus aureus Penyebab Mastitis Dengan Uji Fermentasi Mannitol Dan Deteksi Produksi Asetoin Pada Sapi Perah Di Wilayah Kerja Koperasi Usaha Tani Ternak Suka Makmur Grati Pasuruan. Jurnal Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Air Langga, Jawa Timur.
Nurdin E. dan Mihrani, 2006. Pengaruh Pemberian Bunga Matahari Dan Bioplus Terhadap Produksi Susu Dan Efisiensi Ransum Sapi Perah Freis Holland Penderita Mastiti., Jurnal Agrisistem Vol 2 No 2, Dosen Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang.
Poeloengan M., 2005. Efektivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn) Terhadap Mastitis Subklinis. Jurnal Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Balai Penelitian Veteriner, Bogor.
Salasia O.I.S., Wibowo H.M., Khusnan, 2005, Karakterisasi Fenotipe Isolat Staphylococcus aureus Dari Sampel Susu Sapi Perah Mastitis Subklinis. Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Jurnal Sain Veteriner. Vol. 23 No. 2, Yogyakarta.
Tuasikal; Sugoro B.J.I.; Tjiptosumirat ; Lina M., 2003, Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma pada Pertumbuhan Streptococcus agalactiae sebagai Bahan Vaksin Penyakit Mastitis pada Sapi Perah. Jurnal. Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia, Vol IV. ed-2. P3TIR- Batan. Jakarta.
Swart, R., Jooste, P.J. and Novello, J.C., 1984. Prevalence andtypes of bacteria associated subclinical mastitis in Bloem Fonte in dairy herds. Vet. Assoc. 51, 61.
Sudarwanto M. 1999. Mastitis subklinis dan cara diagnosa. Makalah dalam Kursus Kesehatan Ambing dan Program Pengendalian Mastitis. IKA-IPB (tidak dipublikasikan), Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 309 351.