Anda di halaman 1dari 9

LAMPIRAN

KEPUTUSAN DIREKTUR RSUD DOKTER SOEDARSO


NOMOR : / RSDS / 2022
TENTANG PEMBERLAKUAN PANDUAN INFEKSI OPORTUNISTIK (IO) PADA RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH DOKTER SOEDARSO

PANDUAN INFEKSI OPPORTUNISTIK

BAB I
DEFINISI

Infeksi opportunistik (IO) adalah infeksi oleh organisme yang biasanya tidak
menyebabkan penyakit tetapi pada keadaan tertentu misal; gangguan sistem imun)
menjadi patogenik. Dalam tubuh kita membawa banyak organisme seperti bakteri,
parasit, jamur, dan virus. Sistem kekebalan yang sehat mampu mengendalikan
kuman ini. Tetapi bila sistem kekebalan dilemahkan oleh penyakit HIV atau obat
tertentu. Kuman ini mungkin tidak terkendali lagi dan menyebabkan masalah
kesehatan.

Hampir semua penyakit dapat menjadi Infeksi Opportunistik (IO) pada penderita
HIV jika sistem imun lemah. Berikut ini adalah Infeksi opportunistik (IO) HIV yang
paling sering antara lain:

1. Kandidiasis : infeksi jamur pada mulut, tenggorokan dan vagina


2. CMV (cytomegalo virus) : infeksi virus yang menyebabkan penyakit mata yang
dapat menimbulkan kebutaan.
3. Herves simpleks virus HVS: menyebabkan herpes pada mulut dan kelamin
4. Malaria
5. Mycobaterium avium complex (MAC) infeksi bakteri yang dapat menyebabkan
demam berulang, seluruh badan terasa tidak enak, masalah pencernaan,
kehilangan berat badan yg berlebihan
6. Pneumocytis carinii pneumonia: infeksi jamur yang dapat menyebabkan
pneumonia (radang paru) yang gawat.
7. Toksoplasmosis: infeksi protozoa yang menyerang otak
8. Tuberculosis: infeksi bakteri yang menyerang paru, dan dapat menyebabkan
meningitis.

1 Koordinasi
Sub Kabag/Kabid Wadir
Koordinator
BAB II
RUANG LINGKUP

Panduan pelayanan Infeksi Opportunistik (IO) ini di peruntukkan bagi seluruh unit
kerja yang terkait dengan pelayanan HIV yaitu:
 Unit rawat jalan
 Unit rawat inap
 Instalasi Gawat Darurat
 Farmasi
 Laboratorium

2 Koordinasi
Sub Kabag/Kabid Wadir
Koordinator
BAB III
TATA LAKSANA

Pasien yang dinyatakan HIV dilakukan pemeriksaan laboratorium sesuai keluhan


pasien. Bila hasil laboratorium menunjukan sesuatu yang mungkin berhubungan
dengan jenis infeksi opportunistik tertentu, maka segera dilakukan konsultasi pada
SMF terkait IO tersebut.
Pencegahan dan Penatalaksanaan Spesifik Infeksi Oportunistik yang Tersering
pada Penderita HIV di Indonesia.

A. Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik tersering (40%) pada infeksi
HIV dan menjadi penyebab kematian paling tinggi pada ODHA. 1,28 Infeksi TB dan
HIV saling berhubungan, HIV menyebabkan progresivitas infeksi TB menjadi TB
aktif, sebaliknya infeksi TB membantu replikasi dan penyebaran HIV serta
berperan dalam aktivasi infeksi HIV yang laten. Sebagian besar orang yang
terinfeksi kuman TB tidak menjadi sakit TB karena mempunyai sistem imun yang
baik, dan dikenal sebagai infeksi TB laten. Infeksi TB laten tersebut tidak infeksius
dan asimtomatis, namun dengan mudah dapat berkembang menjadi TB aktif pada
orang dengan sistem imun yang menurun, seperti pada ODHA.
Pasien TB dengan HIV positif atau ODHA dengan TB disebut sebagai pasien
ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TBHIV di
dunia adalah sebanyak 14 juta orang, dengan 3 juta pasien terdapat di Asia
Tenggara. Epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB
sehingga pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa upaya
pengendalian HIV.
Sebagian besar infeksi TB menyerang jaringan paru, namun dapat juga
menyerang organ lain yang disebut TB ekstraparu. Gejala klinis TB paru adalah
batuk berdahak 2-3 minggu atau lebih yang dapat disertai darah, sesak nafas,
badan lemas, berat badan menurun, malaise, keringat malam dan demam meriang
lebih satu bulan. Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik, yang
sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (>
10%). Gambaran radiologis dada dapat dijumpai infiltrat fibronoduler pada lobus
paru atas dengan atau tanpa kavitasi.
infeksi TB dapat terjadi pada jumlah CD4 berapapun, namun pasien dengan
jumlah CD4 pertimbangan menghindari interaksi OAT dengan ARV, toksisitas obat,
kepatuhan minum obat dan juga mencegah terjadinya IRIS.

1.1 Pencegahan Koinfeksi TB-HIV


Pencegahan paparan terhadap infeksi TB di fasilitas pelayanan kesehatan
dapat dilakukan dengan menempatkan pasien TB atau yang dicurigai TB secara
terpisah dari pasien lain terutama pasien HIV. Pusat pelayanan kesehatan,
pelayanan paru rumah sakit, lembaga permasyarakatan, penampungan tuna
wisma atau populasi imigran tertentu dapat menjadikan pasien berisiko tinggi
terpapar M.tuberculosis. Pasien dapat dikonseling mengenai risiko aktivitas
tersebut dan manfaat penggunaan masker untuk mencegah penularan.
Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan memberikan terapi pada infeksi
TB laten. Pasien HIV yang pertama kali diidentifikasi, harus dites akan adanya
infeksi M. tuberculosis, salah satunya dengan tes kulit tuberkulin (tuberculin skin
test/TST). Semua pasien HIV, tanpa mempertimbangkan umur, dengan hasil tes
positif untuk infeksi M. tuberculosis namun tanpa adanya bukti TB aktif dan tanpa
riwayat terapi untuk TB aktif atau laten harus diterapi sebagai infeksi TB laten.
3 Koordinasi
Sub Kabag/Kabid Wadir
Koordinator
Terapi pilihan untuk TB laten adalah isoniazid 300 mg/hari peroral (PO) selama 9
bulan, dengan efektivitas dan tolerabilitas yang baik serta toksisitas yang jarang.
Rejimen alternatif dapat menggunakan rifampin 600 mg/hari PO atau rifabutin
selama 4 bulan. Kombinasi rifampin ditambah pirazinamid selama 2 bulan telah
terbukti bermanfaat, namun didapatkan hepatotoksisitas berat dan kematian pada
beberapa pasien HIV yang mendapatkan rejimen ini, sehingga rejimen ini tidak
dipergunakan.
Pencegahan relaps atau rekurensi dengan terapi pemeliharaan jangka panjang
tidak diperlukan karena TB jarang kambuh setelah menyelesaikan rejimen terapi
secara lengkap, dengan catatan organisme penyebab sensitif terhadap agen
kemoterapi yang digunakan.

1.2. Penatalaksanaan Koinfeksi TB-HIV


Prinsip penatalaksanaan pasien koinfeksi TB-HIV adalah pemberian pengobatan TB
dengan segera. Pengobatan TB pada pasien yang belum pernah mendapat ART
adalah memulai OAT terlebih dahulu, selanjutnya baru ART. Inisiasi ART dapat
dimulai setelah pengobatan TB ditoleransi dengan baik, dengan rekomendasi paling
cepat 2 minggu dan paling lambat 8 minggu setelah OAT dimulai, tanpa
menghentikan OAT. Inisiasi ART dalam 2-4 minggu setelah OAT dapat menekan
perkembangan infeksi HIV, namun memiliki insiden efek simpang dan terjadinya
reaksi paradoksikal IRIS yang lebih tinggi. Inisiasi ART dalam 4-8 minggu setelah
OAT memiliki kelebihan dapat membedakan obat spesifik penyebab efek simpang,
menurunkan risiko IRIS dan meningkatkan kepatuhan pasien. Inisiasi ART harus
dimulai dalam 2 minggu setelah mulai pengobatan TB pada pasien dengan CD4 <
50 sel/μL.
Pengobatan TB pada pasien yang sedang dalam pengobatan ART dapat
dimulai minimal di rumah sakit yang petugasnya telah dilatih TB-HIV, untuk
memantau adanya interaksi obat ataupun terjadinya IRIS. Pemberian ART tetap
dilanjutkan.
Pemberian OAT pada TB-HIV pada dasarnya sama dengan pengobatan TB
tanpa HIV/AIDS yaitu kombinasi beberapa jenis obat dengan dosis dan waktu yang
tepat. Rejimen OAT diberikan selama 6 bulan, terdiri dari isoniazid (INH) 300 mg
PO, rifampin (RIF) 450 mg atau rifabutin PO, pyrazinamide (PZA) 3x500 15 mg PO
dan ethambutol (EMB) 3x250 mg PO setiap hari selama 2 bulan fase inisial,
dilanjutkan dengan INH 600 mg PO dan RIF 450 mg PO 3 kali seminggu selama 4
bulan fase lanjutan. 6 Rejimen ART yang direkomendasikan pada koinfeksi TB-HIV
adalah rejimen dengan efavirenz 600 mg PO sebagai pilihan Non-Nucleoside
Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI). Nevirapin tidak dipilih sebagai NNRTI
karena rifampisin dalam OAT dapat menurunkan kadar nevirapin dalam darah.
Terapi antiretroviral yang dapat digunakan adalah zidovudin atau tenofovir +
lamivudin + efavirenz. Setelah OAT selesai, efavirenz dapat diganti dengan
nevirapin.

B. Diare Kriptosporidial
Diare merupakan salah satu masalah yang sering dijumpai pada ODHA, yaitu
didapatkan pada 30-60% kasus di negara maju dan mencapai 90% di negara
berkembang. Parasit protozoa Kriptosporidium menjadi patogen utama dari diare
kronis pada kelompok tersebut, dengan penyebab terbanyak adalah
Cryptosporidium parvum (71.4%). Kriptosporidiosis termasuk dalam penyakit
terkait AIDS sesuai panduan CDC yang umumnya terjadi saat jumlah sel T CD4 <
200 sel/µl Gambaran klinis kriptosporidiosis adalah diare kronis (>1 bulan)
dengan kotoran yang cair, dehidrasi, nyeri perut dan penurunan berat badan.

4 Koordinasi
Sub Kabag/Kabid Wadir
Koordinator
1.1 Pencegahan Diare Kriptosporidial
Kriptosporidiosis ditularkan dari tertelannya ookista melalui penyebaran fekal
oral dari manusia ke manusia atau hewan ke manusia Penyebaran ini terjadi
melalui kontak langsung atau melalui air yang terkontaminasi. Anak-anak di pusat
penitipan merupakan salah satu reservoir, begitu pula dengan kucing dan anjing
yang masih kecil. Didapatkan pula wabah kriptosporidiosis terkait air minum
publik dan kolam renang, yang diperkirakan karena parasit sangat resisten
terhadap klorinasi. Kontak seksual, terutama kontak yang melibatkan hubungan
rektal, juga merupakan cara penyebaran organisme ini.
Pasien HIV dapat mengurangi kemungkinan terkena kriptosporidia dengan
menghindari paparan terhadap sumber penularan tersebut. Pasien harus waspada
bahwa banyak dari sumber air yang dapat terkontaminasi sehingga
direkomendasikan untuk merebus air sebelum diminum.

1.2. Penatalaksanaan Diare Kriptosporidial


Tidak ada obat yang diketahui efektif untuk mencegah penyakit atau rekurensi.
Gejala kriptosporidiosis didapatkan menghilang seiring dengan membaiknya status
imun setelah pemberian ART sehingga ART perlu terus dilanjutkan untuk
mencegah relaps. Beberapa data menyatakan bahwa rifabutin atau klaritromisin
saat digunakan untuk mencegah penyakit M. avium juga akan mengurangi insiden
kriptosporidiosis, namun data tersebut belum cukup meyakinkan untuk
merekomendasikan obat untuk tujuan ini. Pasien dengan diare yang sangat berat
perlu ditambahkan agen anti-kriptosporidia untuk memastikan ART dapat
diabsorpsi dengan cukup. Dapat digunakan paromomisin 4x500 mg/hari PO atau
2x1 g/hari PO selama 12 minggu, dipadukan dengan azitromisin 500 mg/hari PO
maupun digunakan sendiri. Alternatif terapi lain yang dapat dipakai adalah
nitazoksanid 2x500 mg/hari PO selama 3 hari hingga 12 minggu. Terapi suportif
yang penting dilakukan meliputi hidrasi, koreksi elektrolit, antimotilitas dan
suplementasi nutrisi.

C. Kandidiasis Mukokutaneus
Spesies Kandida merupakan komensal yang sangat umum, dan didapatkan pada
75% populasi dari rongga mulut maupun saluran genitalia. Kandidiasis
orofaringeal merupakan IO tersering pada penderita HIV, mencapai 80-90% kasus
pada masa pre-ART. Sebagian besar kasus disebabkan oleh Candida albicans dan
paling sering didapatkan pada jumlah sel T CD4< 200 cell/µL. Kandidiasis
orofaringeal bermanisfestasi sebagai plak atau patch berwarna putih seperti krim
yang dapat dikerok dengan punggung skalpel dan menampakan jaringan mokusa
berwarna merah cerah dibawahnya. Manofgestasi ini disebut sebagai
psedomembran dan paling sering didapatkan pada palatum durum, mukosa gusi
atau bukal serta permukaan dorsal lidah.

1.1 Pencegahan Kandidiasis Mukokutaneus


Kandida sangat banyak terdapat di lingkungan. Semua manusia dikolonisasi
oleh organisme ini sehingga pencegahan paparan Kandida bukan merupakan
langkah yang akan berhasil untuk mengurangi insiden penyakit Kandida. Kandida
yang resisten flukonazol sering ditemukan pada tempat pelayanan kesehatan,
sehingga perlu penggunaan barrier pencegahan untuk mengurangi superinfeksi
pada pasien.

5
Sub Kabag/Kabid Wadir Koordinasi
Koordinator
Kemoprofilaksis primer dengan flukonazol efektif untuk menurunkan
frekuensi kandidiasis namun pemberian jangka panjang berbiaya mahal, terkait
dengan toksisitas dan interaksi obat serta menyebabkan terbentuknya ragi yang
resisten azol. Tambahan pula, Kandida hampir tidak pernah menyebabkan
penyakit invasif. Kandidiasis mukosal dapat diterapi dengan segera pada sebagian
besar kasus, sehingga sebagian besar klinisi tidak merekomendasikan profilaksis
primer untuk kandidiasis. Terapi pemeliharaan jangka panjang setelah kandidiasis
akut membaik juga tidak direkomendasikan oleh sebagian besar ahli dengan alasan
yang sama. Profilaksis sekunder dengan flukonazol atau itrakonazol dapat
dipertimbangkan pada pasien yang sering mengalami relaps atau dengan penyakit
sangat berat.

1.2. Penatalaksanaan Kandidiasis Mukokutaneus


Rekomendasi terapi untuk kandidiasis oral berupa suspensi nistatin kumur 4x4-6
ml PO, flukonazol kapsul 4x100-400 mg/hari PO atau itrakonazol 4x200 mg/hari
PO yang diberikan selama 7-14 hari, sedangkan untuk kandidiasis esofagus dapat
diberikan flukonazol 4x200 mg/hari PO atau intravena (IV), itrakonazol 4x200
mg/hari PO maupun amfoterisin B 0,6-1 mg/kg/hari IV selama 14-21 hari.
Golongan azol merupakan pilihan utama untuk kandidiasis oral dan esofageal
karena efektif dan risiko relaps yang rendah.
Strategi yang paling penting untuk penanganan pasien HIV dengan kandidiasis
adalah pemberian ART yang dimulai segera setelah didapatkan gejala kandidiasis.
Kandidiasis jarang dilaporkan menyebabkan IRIS.

D. Ensefalitis Toksoplasmik
Komplikasi kelainan neurologi pada pasien HIV didapatkan lebih dari 40%, dengan
angka kematian yang sangat tinggi. Toksoplasmosis serebri adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi protozoa Toxoplasma gondii varian gondii atau gatii di
dalam sistem saraf manusia. Organisme ini merupakan parasit intraselluler yang
menyebabkan infeksi asimptomatik pada 80% manusia sehat, tetapi menjadi
berbahaya pada penderita HIV/AIDS. Ensefalitis merupakan manifestasi utama
toksoplasmosis dan paling sering berasal dari reaktivasi infeksi laten.
Toksoplasmosis merupakan penyebab infeksi SSP yang sering pada pasien
HIV/AIDS dan biasanya didapatkan pada jumlah CD4 <200 sel/µL. Gejala
klinisnya meliputi demam, nyeri kepala dan defisit neurologis fokal.
Berdasarkan pandangan praktis, keputusan mengenai profilaksis toksoplasma
sangat dipengaruhi oleh propilaksis PCP, yang tercetus pada sel T CD4 yang lebih
tinggi (<200sel/µL). profilaksis terhadap toksoplasma dapat dihentikan dengan
aman bila pasien telah menunjukan respon terhadap ART dengan jumlah CD4 yang
meningkat >200 sel/µL paling sedikit selama 3 bulan. Profilaksis harus diberikan
kembali bila jumlah limfosit T CD4+ selanjutnya turun di bawah 100 sel/µL.
Profilaksis sekunder atau terapi pemeliharaan jangka panjang untuk
toksoplasmosis menggunakan TMP-SMX 960 mg/hari PO atau pirimetamin 25-50
mg/hari PO + klindamisin 3-4 x 300-450mg/hari PO asam folinat dan harus
dilanjutkan seumur hidup selama CD4 200/mm3 selama paling sedikit ≥6 bulan.
4,39 Profilaksis harus diberikan kembali bila jumlah limfosit T CD4 turun di bawah
200 sel/µL.4

Pemberian ART menurunkan insiden ensefalitis toksoplasmik dan harus


segera dimulai begitu pasien stabil secara klinis (biasanya sekitar 2 minggu setelah
mendapat terapi toksoplasma untuk menurunkan risiko IRIS).

1.1. Penatalaksanaan Ensefalitis Toksoplasmik

6
Sub Kabag/Kabid Wadir Koordinasi
Koordinator
Panduan CDC untuk terapi ensefalitis toksoplasmik adalah kombinasi pirimetamin
(dosis pertama 200 mg PO dilanjutkan 3x25 mg/hari) + sulfadiazin 4x1500 mg PO
+ leukovorin 3x10-20 mg/hari PO selama 6 minggu.24 Pilihan pengobatan yang
tersedia di Indonesia adalah kombinasi pirimetamin dan klindamisin 3-4 x 300-450
mg/hari PO disertai suplemen asam folinat 10-20 mg/hari yang diberikan selama 6
minggu.

E. Pneumonia Pneumocystis
Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP) disebabkan oleh jamur Pneumocystis
jirovecii yang banyak ditemukan di lingkungan. Taksonomi organisme ini telah
berubah, yang awalnya dikenal dengan sebutan Pneumocystis carinii saat ini hanya
ditujukan untuk pneumosistis yang menginfeksi binatang pengerat. Spesies yang
menginfeksi manusia diberi nama Pneumocystis jirovecii, walaupun untuk
singkatannya masih digunakan istilah PCP seperti sebelumnya.
Infeksi awal P. jirovecii umumnya terjadi pada masa kanak-kanak awal dan
PCP terjadi akibat reaktivasi fokus infeksi laten atau akibat paparan baru melalui
udara. Gambaran klinis PCP terkait HIV berupa demam, batuk tidak berdahak dan
dispnea. Radiografi dada merupakan landasan diagnostik dan menunjukkan
opasitas bilateral, simetris, interstitial atau granuler.
Insiden PCP telah menurun signifikan sejak digunakannya profilaksis dan ART
secara luas. Sebelumnya, PCP didapatkan pada 70-80% pasien dengan AIDS
dengan angka mortalitas 20-40% walaupun telah mendapat pengobatan. Hampir
90% kasus terjadi pada jumlah sel T CD4+ 200 sel/µL faktor lain yang terkait
dengan peningkatan risiko PCP meliputi episode PCP sebelumnya, kandidiasis oral,
pneumonia bakteri rekuren, penurunan berat badan serta viraload palsma yang
tinggi.

1.1. Pencegahan pneumonia pneumocystis


Infeksi P. jiroveci terutama menyebar dari manusia ke manusia, walaupun
mungkin terdapat sumber di lingkungan. Pencegahan paparan dapat diupayakan
dengan mengisolasi pasien HIV yang rentan dari individu yang menderita PCP
walaupun keefektifannya belum diketahui.
Kemoterapi telah terbukti mencegah PCP dan memperpanjang kelangsungan
hidup pada pasien HIV. Pasien dengan jumlah sel T CD4 <200 sel/mm3 atau <14%,
serta pasien dengan riwayat PCP dan kandidiasis orofaringeal harus diberikan
kemoprofilaksis PCP.
Kortrimoksasole forte (960 mg) PO satu tablet perhari merupakan agen
profilaksis pilihan. Agen ini lebih efektif dibandingkan agen lainya, dapat
ditoleransi dengan baik dan memiliki aktivitas profilaksis tambahan terhadap
toksoplasma dan beberapa bakteri termasuk salmonella spp. Dan streptococcus
pneumoniae. Pasien yang tidak dapat mentoleransi TMP-SMX dan bila toksisitas
tidak mengancam jiwa, seringkali dapat dengan sukses melalui desensitisasi
bertahap dengan rejimen oral.
Dapson 2x50 mg/hari PO atau depson 50 mg/hari + perimetamin 50
mg/minggu PO merupakan alternatif TMP-SMX yang memiliki keberhasilan tinggi.
Pentamidin aerosol 300mg/bulan dan atovakuon 1.500 mg/hari PO juga dapat
menjadi alternatif, namun pentamidin memerlukan fasilitas khusus dan
menginduksi batuk, sedangkan atovakuon mahal dan absorpsinya tergantung
makanan.
Profilaksis terhadap PCP dapat dihentikan dengan aman bila psien telah
menunjukan respon terhadap ART dengan jumlah CD4 yang meningkat > 200
sel/µL, paling sedikit selama 3 bulan. Profilaksis harus diberikan kembali bila
jumlah limfosit T CD4 selanjutnya turun dibawah kadar tersebut.

7
Sub Kabag/Kabid Wadir Koordinasi
Koordinator
Profilaksis sekunder harus dilanjutkan seumur hidup pada pasien HIV yang
bertahan hidup setelah episode PCP, kecuali bila pasien memulai ART dan jumlah
limfosit T CD4 meningkat >200 sel/mm3 selama ≥3 bulan. Profilaksis PCP harus
diberikan kembali bila jumlah limfosit T CD4 turun di bawah 200 sel/mm3 akibat
kegagalan ART maupun ketidakpatuhan.

1. 2. Penatalaksanaan Pneumonia Pneumocystis


Terapi pilihan untuk PCP adalah TMP-SMX (TMP 15-20 mg/kg/hari + SMZ 75- 100
mg/kg/hari) IV dibagi dalam 3-4 dosis selama 21 hari. Terapi alternatif dapat
digunakan klindamisin 3-4 x 600-900 mg IV atau 4x300-450 mg PO + primakuin
15-30 mg/hari PO selama 21 hari bila pasien alergi terhadap sulfa.23 Pasien
dengan PCP berat dianjurkan pemberian kortikosteroid berupa prednison 2x40 mg
PO selama 5 hari pertama, selanjutnya 40 mg/hari pada hari 6-10, kemudian 20
mg/hari dari hari 11-21. Metilprednisolon IV diberikan dengan dosis 75% dosis
prednison.
Inisiasi ART segera lebih dipilih pada pasien dengan PCP walaupun waktu
inisiasi yang optimal masih belum bisa ditentukan. Penderita HIV yang akan
memulai ART dengan CD4<200 sel/mm3,dianjurkan untuk diberikan TMP-SMX
dengan ART, Mengingat bahwa banyak obat ART mempunyai efek samping serupa
dengan efek samping TMP-SMX.
Kejadian efek samping TMP-SMX cukup tinggi, berupa ruam kulit ( termasuk
sindrom Stevens-johson), demam, leukopenia, trombositopenia, azotemia, hepatitis,
hiperkalemia, mual dan muntah, pruritus dan anemia. Terapi suportif dan
simptomatis terhadap efek tersebut perlu di usahakan sebelum menghentikan
TMP-SMX.
Infeksi oportunistik yang terjadi sebagai konsekuensi dari turunnya jumlah sel T
CD4+ pada pasien yang terinfeksi HIV merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas sehingga perlu dilakukan tindakan pencegahan dan penatalaksanaan
yang tepat. Lima IO tersering di Indonesia adalah tuberkulosis, diare
kriptosporidial, kandidiasis mukokutaneus, ensefalitis toksoplasmik serta
pneumonia Pneumocystis. Intervensi terhadap IO yang paling bermakna adalah
pemberian ART, di samping terapi antimikrobial spesifik untuk IO. Angka kejadian
IO menurun drastis sejak diperkenalkannya kombinasi ART yang efektif dan
diimplementasikannya profilaksis IO sehingga meningkatkan harapan dan kualitas
hidup penderita HIV. Pemberian ART di sisi lain juga berpotensi menimbulkan IRIS
sehingga perlu dipertimbangkan dalam menentukan dimulainya rejimen ART,
terutama pada pasien yang juga mendapat terapi.

8
Sub Kabag/Kabid Wadir Koordinasi
Koordinator
BAB IV
DOKUMENTASI

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 270/Menkes/SK/III/2007 Tentang Pedoman


Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas
Pelayanan kesehatan Lainya.

DIREKTUR,

YULIASTUTI SARIPAWAN

9 Koordinasi
Sub Kabag/Kabid Wadir
Koordinator

Anda mungkin juga menyukai