BAB I
DEFINISI
Infeksi opportunistik (IO) adalah infeksi oleh organisme yang biasanya tidak
menyebabkan penyakit tetapi pada keadaan tertentu misal; gangguan sistem imun)
menjadi patogenik. Dalam tubuh kita membawa banyak organisme seperti bakteri,
parasit, jamur, dan virus. Sistem kekebalan yang sehat mampu mengendalikan
kuman ini. Tetapi bila sistem kekebalan dilemahkan oleh penyakit HIV atau obat
tertentu. Kuman ini mungkin tidak terkendali lagi dan menyebabkan masalah
kesehatan.
Hampir semua penyakit dapat menjadi Infeksi Opportunistik (IO) pada penderita
HIV jika sistem imun lemah. Berikut ini adalah Infeksi opportunistik (IO) HIV yang
paling sering antara lain:
1 Koordinasi
Sub Kabag/Kabid Wadir
Koordinator
BAB II
RUANG LINGKUP
Panduan pelayanan Infeksi Opportunistik (IO) ini di peruntukkan bagi seluruh unit
kerja yang terkait dengan pelayanan HIV yaitu:
Unit rawat jalan
Unit rawat inap
Instalasi Gawat Darurat
Farmasi
Laboratorium
2 Koordinasi
Sub Kabag/Kabid Wadir
Koordinator
BAB III
TATA LAKSANA
A. Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik tersering (40%) pada infeksi
HIV dan menjadi penyebab kematian paling tinggi pada ODHA. 1,28 Infeksi TB dan
HIV saling berhubungan, HIV menyebabkan progresivitas infeksi TB menjadi TB
aktif, sebaliknya infeksi TB membantu replikasi dan penyebaran HIV serta
berperan dalam aktivasi infeksi HIV yang laten. Sebagian besar orang yang
terinfeksi kuman TB tidak menjadi sakit TB karena mempunyai sistem imun yang
baik, dan dikenal sebagai infeksi TB laten. Infeksi TB laten tersebut tidak infeksius
dan asimtomatis, namun dengan mudah dapat berkembang menjadi TB aktif pada
orang dengan sistem imun yang menurun, seperti pada ODHA.
Pasien TB dengan HIV positif atau ODHA dengan TB disebut sebagai pasien
ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TBHIV di
dunia adalah sebanyak 14 juta orang, dengan 3 juta pasien terdapat di Asia
Tenggara. Epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB
sehingga pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa upaya
pengendalian HIV.
Sebagian besar infeksi TB menyerang jaringan paru, namun dapat juga
menyerang organ lain yang disebut TB ekstraparu. Gejala klinis TB paru adalah
batuk berdahak 2-3 minggu atau lebih yang dapat disertai darah, sesak nafas,
badan lemas, berat badan menurun, malaise, keringat malam dan demam meriang
lebih satu bulan. Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik, yang
sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (>
10%). Gambaran radiologis dada dapat dijumpai infiltrat fibronoduler pada lobus
paru atas dengan atau tanpa kavitasi.
infeksi TB dapat terjadi pada jumlah CD4 berapapun, namun pasien dengan
jumlah CD4 pertimbangan menghindari interaksi OAT dengan ARV, toksisitas obat,
kepatuhan minum obat dan juga mencegah terjadinya IRIS.
B. Diare Kriptosporidial
Diare merupakan salah satu masalah yang sering dijumpai pada ODHA, yaitu
didapatkan pada 30-60% kasus di negara maju dan mencapai 90% di negara
berkembang. Parasit protozoa Kriptosporidium menjadi patogen utama dari diare
kronis pada kelompok tersebut, dengan penyebab terbanyak adalah
Cryptosporidium parvum (71.4%). Kriptosporidiosis termasuk dalam penyakit
terkait AIDS sesuai panduan CDC yang umumnya terjadi saat jumlah sel T CD4 <
200 sel/µl Gambaran klinis kriptosporidiosis adalah diare kronis (>1 bulan)
dengan kotoran yang cair, dehidrasi, nyeri perut dan penurunan berat badan.
4 Koordinasi
Sub Kabag/Kabid Wadir
Koordinator
1.1 Pencegahan Diare Kriptosporidial
Kriptosporidiosis ditularkan dari tertelannya ookista melalui penyebaran fekal
oral dari manusia ke manusia atau hewan ke manusia Penyebaran ini terjadi
melalui kontak langsung atau melalui air yang terkontaminasi. Anak-anak di pusat
penitipan merupakan salah satu reservoir, begitu pula dengan kucing dan anjing
yang masih kecil. Didapatkan pula wabah kriptosporidiosis terkait air minum
publik dan kolam renang, yang diperkirakan karena parasit sangat resisten
terhadap klorinasi. Kontak seksual, terutama kontak yang melibatkan hubungan
rektal, juga merupakan cara penyebaran organisme ini.
Pasien HIV dapat mengurangi kemungkinan terkena kriptosporidia dengan
menghindari paparan terhadap sumber penularan tersebut. Pasien harus waspada
bahwa banyak dari sumber air yang dapat terkontaminasi sehingga
direkomendasikan untuk merebus air sebelum diminum.
C. Kandidiasis Mukokutaneus
Spesies Kandida merupakan komensal yang sangat umum, dan didapatkan pada
75% populasi dari rongga mulut maupun saluran genitalia. Kandidiasis
orofaringeal merupakan IO tersering pada penderita HIV, mencapai 80-90% kasus
pada masa pre-ART. Sebagian besar kasus disebabkan oleh Candida albicans dan
paling sering didapatkan pada jumlah sel T CD4< 200 cell/µL. Kandidiasis
orofaringeal bermanisfestasi sebagai plak atau patch berwarna putih seperti krim
yang dapat dikerok dengan punggung skalpel dan menampakan jaringan mokusa
berwarna merah cerah dibawahnya. Manofgestasi ini disebut sebagai
psedomembran dan paling sering didapatkan pada palatum durum, mukosa gusi
atau bukal serta permukaan dorsal lidah.
5
Sub Kabag/Kabid Wadir Koordinasi
Koordinator
Kemoprofilaksis primer dengan flukonazol efektif untuk menurunkan
frekuensi kandidiasis namun pemberian jangka panjang berbiaya mahal, terkait
dengan toksisitas dan interaksi obat serta menyebabkan terbentuknya ragi yang
resisten azol. Tambahan pula, Kandida hampir tidak pernah menyebabkan
penyakit invasif. Kandidiasis mukosal dapat diterapi dengan segera pada sebagian
besar kasus, sehingga sebagian besar klinisi tidak merekomendasikan profilaksis
primer untuk kandidiasis. Terapi pemeliharaan jangka panjang setelah kandidiasis
akut membaik juga tidak direkomendasikan oleh sebagian besar ahli dengan alasan
yang sama. Profilaksis sekunder dengan flukonazol atau itrakonazol dapat
dipertimbangkan pada pasien yang sering mengalami relaps atau dengan penyakit
sangat berat.
D. Ensefalitis Toksoplasmik
Komplikasi kelainan neurologi pada pasien HIV didapatkan lebih dari 40%, dengan
angka kematian yang sangat tinggi. Toksoplasmosis serebri adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi protozoa Toxoplasma gondii varian gondii atau gatii di
dalam sistem saraf manusia. Organisme ini merupakan parasit intraselluler yang
menyebabkan infeksi asimptomatik pada 80% manusia sehat, tetapi menjadi
berbahaya pada penderita HIV/AIDS. Ensefalitis merupakan manifestasi utama
toksoplasmosis dan paling sering berasal dari reaktivasi infeksi laten.
Toksoplasmosis merupakan penyebab infeksi SSP yang sering pada pasien
HIV/AIDS dan biasanya didapatkan pada jumlah CD4 <200 sel/µL. Gejala
klinisnya meliputi demam, nyeri kepala dan defisit neurologis fokal.
Berdasarkan pandangan praktis, keputusan mengenai profilaksis toksoplasma
sangat dipengaruhi oleh propilaksis PCP, yang tercetus pada sel T CD4 yang lebih
tinggi (<200sel/µL). profilaksis terhadap toksoplasma dapat dihentikan dengan
aman bila pasien telah menunjukan respon terhadap ART dengan jumlah CD4 yang
meningkat >200 sel/µL paling sedikit selama 3 bulan. Profilaksis harus diberikan
kembali bila jumlah limfosit T CD4+ selanjutnya turun di bawah 100 sel/µL.
Profilaksis sekunder atau terapi pemeliharaan jangka panjang untuk
toksoplasmosis menggunakan TMP-SMX 960 mg/hari PO atau pirimetamin 25-50
mg/hari PO + klindamisin 3-4 x 300-450mg/hari PO asam folinat dan harus
dilanjutkan seumur hidup selama CD4 200/mm3 selama paling sedikit ≥6 bulan.
4,39 Profilaksis harus diberikan kembali bila jumlah limfosit T CD4 turun di bawah
200 sel/µL.4
6
Sub Kabag/Kabid Wadir Koordinasi
Koordinator
Panduan CDC untuk terapi ensefalitis toksoplasmik adalah kombinasi pirimetamin
(dosis pertama 200 mg PO dilanjutkan 3x25 mg/hari) + sulfadiazin 4x1500 mg PO
+ leukovorin 3x10-20 mg/hari PO selama 6 minggu.24 Pilihan pengobatan yang
tersedia di Indonesia adalah kombinasi pirimetamin dan klindamisin 3-4 x 300-450
mg/hari PO disertai suplemen asam folinat 10-20 mg/hari yang diberikan selama 6
minggu.
E. Pneumonia Pneumocystis
Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP) disebabkan oleh jamur Pneumocystis
jirovecii yang banyak ditemukan di lingkungan. Taksonomi organisme ini telah
berubah, yang awalnya dikenal dengan sebutan Pneumocystis carinii saat ini hanya
ditujukan untuk pneumosistis yang menginfeksi binatang pengerat. Spesies yang
menginfeksi manusia diberi nama Pneumocystis jirovecii, walaupun untuk
singkatannya masih digunakan istilah PCP seperti sebelumnya.
Infeksi awal P. jirovecii umumnya terjadi pada masa kanak-kanak awal dan
PCP terjadi akibat reaktivasi fokus infeksi laten atau akibat paparan baru melalui
udara. Gambaran klinis PCP terkait HIV berupa demam, batuk tidak berdahak dan
dispnea. Radiografi dada merupakan landasan diagnostik dan menunjukkan
opasitas bilateral, simetris, interstitial atau granuler.
Insiden PCP telah menurun signifikan sejak digunakannya profilaksis dan ART
secara luas. Sebelumnya, PCP didapatkan pada 70-80% pasien dengan AIDS
dengan angka mortalitas 20-40% walaupun telah mendapat pengobatan. Hampir
90% kasus terjadi pada jumlah sel T CD4+ 200 sel/µL faktor lain yang terkait
dengan peningkatan risiko PCP meliputi episode PCP sebelumnya, kandidiasis oral,
pneumonia bakteri rekuren, penurunan berat badan serta viraload palsma yang
tinggi.
7
Sub Kabag/Kabid Wadir Koordinasi
Koordinator
Profilaksis sekunder harus dilanjutkan seumur hidup pada pasien HIV yang
bertahan hidup setelah episode PCP, kecuali bila pasien memulai ART dan jumlah
limfosit T CD4 meningkat >200 sel/mm3 selama ≥3 bulan. Profilaksis PCP harus
diberikan kembali bila jumlah limfosit T CD4 turun di bawah 200 sel/mm3 akibat
kegagalan ART maupun ketidakpatuhan.
8
Sub Kabag/Kabid Wadir Koordinasi
Koordinator
BAB IV
DOKUMENTASI
DIREKTUR,
YULIASTUTI SARIPAWAN
9 Koordinasi
Sub Kabag/Kabid Wadir
Koordinator