Anda di halaman 1dari 16

TB-HIV

Oleh : dr. dyah lauqul mizrida


Pendamping : dr. Putri Mega Juwita
Pembimbing : dr. Prastuti, sp.P(K)
 Tuberkulosis pada pasien HIV/AIDS (TB-HIV) sering dijumpai dengan
prevalensi 29-37 kali lebih banyak dibandingkan dengan TB tanpa HIV.
 Penemuan dini TB pada pasien HIV dan deteksi dini HIV pada pasien
TB perlu dilakukan dan diberikan pengobatan segera dengan tata
laksana yang tepat untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan
 Deteksi dini HIV pada pasien TB terdapat pada standar 14 ISTC

PNPK TB Januari 2020


Diagnosis TB pada pasien HIV
1. Gambaran klinis
Gejala klinis tuberkulosis pada AIDS tidak spesifik.
Pada orang dengan HIV AIDS (ODHA) adanya demam dan penurunan berat badan merupakan
gejala yang penting dapat disertai batuk berapapun lamanya, ekspektorasi, batuk darah, nyeri
dada, atau sesak napas, keadaan umum yang cepat memburuk, dan cepat berubah menjadi
bentuk milier.
Tuberkulosis ekstrapulmonal sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS dengan jumlah CD4
rendah (<200 sel/mm3 ) dan secara kilinis tampak jelas penurunan imuniti.
TB ekstra pulmonal yang sering terjadi adalah efusi pleura, limfadenitis TB, peikarditis TB, TB
milier dan meningitis TB.
Adanya Tuberkulosis ekstra paru pada ODHA merupakan tanda penyakitnya sudah lanjut.
2. Pemeriksaan sputum BTA dan TCM TB
Penegakan diagnosis TB pada pasien HIV secara klinis sulit dan
pemeriksaan sputum BTA lebih sering negative, sehingga penegakan
diagnosis TB diutamakan menggunakan Tes Cepat Molekular (TCM)

Tuberkulosis, PDPI 2021

3. Pemeriksaan Biakan M. TB dan uji kepekaan OAT.


4. Foto toraks
Gambaran foto toraks TB pada HIV lanjut gambaran foto toraks sangat
tidak spesifik
Pada pasien TB-HIV infiltrat seringkali di basal, terutama HIV stadium
lanjut dan ditemukan gambaran TB milier.
Pada ODHA terduga TB, pemeriksaan foto toraks dilakukan bersamaan
dengan pemeriksaan BTA dan atau TCM TB.
5. Lipoarabinomannan (LAM)
Lipoarabinomannan (LAM) adalah glikolipid yang terdapat pada dinding
sel semua spesies mikobakteri. Pemeriksaan TB-LAM AG lateral flow
assay (LF-LAM) mendeteksi LAM di urin pasien HIV.
Pemeriksaan ini direkomendasikan WHO untuk mendiagnosis TB pada
pasien HIV rawat inap dengan kadar CD4 ≤200 sel/µL dan pada pasien
yang sakit berat.
Pengobatan OAT pada Pasien TB-

HIV
Prinsip tata laksana pengobatan TB dengan HIV sama seperti pasien TB
tanpa HIV, dengan regimen 2RHZE/4RH dan mendahulukan pengobatan
TB.
 Pengobatan ARV dimulai dalam 2-8 minggu setelah OAT pengobatan fase
awal tanpa mempertimbangkan nilai CD4.
 Apabila CD4 ≤50 sel/mm3, maka ARV dimulai pada 2 minggu pertama
OAT fase awal dengan pemantauan
 Pada TB meningitis pemberian ARV diberikan setelah fase intensif selesai.
 Pemberian OAT dan ARV perlu diperhatikan interaksi obat, tumpang
tindih efek samping obat, sindrom pulih imun (SPI) atau immune-
reconstitution inflammatory syndrome (IRIS) dan masalah kepatuhan
pengobatan.
 Pada koinfeksi TB HIV sering ditemukan infeksi hepatitis sehingga mudah
terjadi efek samping obat yang bersifat hepatotoksik.
 Pada ARV lini 1, Efavirenz (EFV) adalah golongan NNRTI direkomendasikan
karena mempunyai interaksi dengan rifampisin lebih ringan dibanding
nevirapine (NVP).
 Obat yang dapat digunakan AZT atau TDF + 3TC + EFV. Setelah OAT selesai,
EFV diganti dengan NVP.
 Pengobatan HIV lini 2 mengandung Lopinavir/Ritonavir (LPV/r), mempunyai
interaksi sangat kuat dengan rifampisin, karena rifampisin mengaktifkan
enzim yang meningkatkan metabolism LPV/r sehingga menurunkan kadar
plasma LPV/r lebih rendah dari minimum inhibitory concentration (MIC)
 Pilihannya adalah mengganti rifampisin dengan streptomisin. Jika
rifampisin tetap dengan LPV/r, terutama pada meningitis TB, dianjurkan
meningkatkan dosis LPV/r menjadi 2 kali dari dosis normal
 Desensitisasi obat (INH, rifampisin) mengakibatkan risiko toksisitas yang
serius pada hepar.
 Kotrimoksazol dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal) selama pemberian
OAT. Diberikan pada semua pasien TB HIV tanpa mempertimbangkan CD4
sebagai pencegahan infeksi oportunistik.
 Pada ODHA tanpa TB, pemberian profilaksis kotrimoksazol direkomendasikan
dengan nilai CD4 <200 sel/mm3.
Rekomendasi Pilihan ARV pada
Pasien TB Paru dengan HIV
Interaksi obat TB dengan ARV (Anti
Retrovirus)
 Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya efek toksik OAT.
 Tidak ada interaksi antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali
Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat
sebagai buffer antasida.
 Interaksi OAT terutama ARV golongan nonnukleotida dan inhibitor protease.
 Rifampisin jangan diberikan bersama nelfinavir karena dapat menurunkan
kadar nelfinavir sampai 82% dan kadar nevirapin sampai 37%
 Pertimbangan pemberian ART segera setelah diagnosis TB adalah angka
kematian pada pasien TB-HIV umumnya pada 2 bulan pertama pemberian OAT.
 Meskipun demikian pemberian secara bersamaan membuat pasien menelan obat
dalam jumlah yang banyak sehingga dapat terjadi ketidakpatuhan, komplikasi,
efek samping, interaksi obat, dan IRIS (Immune Reconstitution Inflamatory
Syndrome).
Pemberian Pengobatan
Pencegahan Tuberkulosis
 Pengobatan Pencegahan Tuberkulosis diberikan sebagai bagian dari upaya
mencegah terjadinya TB aktif pada ODHA.
 PP TB diberikan pada ODHA yang tidak terbukti TB dan tidak mempunyai
kontraindikasi terhadap pilihan obat.
 Ada beberapa pilihan regimen pemberian pengobatan pencegahan
Tuberkulosis menurut rekomendasi WHO :
1. Pengobatan Pencegahan dengan INH (PP INH) selama 6 bulan, dengan
dosis INH 300 mg/hari selama 6 bulan dan ditambah dengan B6 dosis
25mg/hari.
2. Pengobatan Pencegahan menggunakan Rifapentine dan INH, seminggu
sekali selama 12 minggu (12 dosis), dapat digunakan sebagai alternatif.
Dosis yang digunakan adalah INH 15mg/BB untuk usia > 12 tahun
dengan dosis maksimal 900 mg dan dosis Rifapentine 900 mg untuk
usia >12 tahun dan BB > 50 Kg (untuk BB 32 – 50 kg = 750 mg)
The Three I’s untuk TB/HIV

 Pada pasien dengan HIV, TB merupakan infeksi oportunistik dan dapat


menyebabkan kematian. WHO telah mengeluarkan strategi (sebelum
pemberian ARV), strategi tersebut dinamakan Three I’s strategy, yaitu:
1. Isoniazid preventif treatment (IPT), jika ada indikasi.
2. Intensified case finding (ICF) untuk menemukan kasus TB aktif.
3. Infection control (IC), untuk pencegahan dan pengendalian infeksi
TB di tempat pelayanan kesehatan.
Immune Reconstitution Inflamatory
Syndrom (IRIS)
 Adalah keadaan dimana respon hiperinflamasi untuk melawan infeksi oportunistik
yang umumnya terjadi pada 6 bulan pengobatan ARV.
 IRIS telah dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada pasien HIV/AIDS

 Patogen oportunistik yang sering dilaporkan adalah sitomegalovirus, mikobakterium,


kriptokokus, virus Epstein-Barr, pneumocystis, virus JC, hepatitis B, dan C
 Tidak ada definisi universal tentang IRIS dan konsensus luas tentang kriteria diagnostik, tetapi
kriteria berikut biasanya harus dipenuhi sebelum diagnosis IRIS pada pasien HIV-positif:
1. Pasien harus HIV-positif.
2. Pasien harus menerima ART dengan penurunan tingkat RNA HIV-1 dari awal atau peningkatan
sel CD4+ dari awal atau keduanya.
3. Gejala klinis harus konsisten dengan proses inflamasi
 ini adalah faktor risiko IRIS:
1. Memulai pengobatan ART pada usia yang lebih muda atau pada
pasien laki-laki telah menunjukkan hubungan dengan peningkatan
risiko pengembangan IRIS.
2. Jumlah sel CD4+T kurang dari 100 sel per mikroliter pada saat
memulai ART.
3. Peningkatan jumlah CD4 yang dipercepat setelah pengobatan
dengan ART.
4. Penekanan virus HIV RNA secara cepat dalam waktu sembilan
puluh hari setelah ART meningkatkan risiko sindrom pemulihan
kekebalan.
5. Infeksi oportunistik laten yang sudah ada sebelumnya dengan
beban antigenik yang tinggi meningkatkan risiko dan keparahan
IRIS.
6. Memulai ART dalam interval waktu yang singkat (30 hari) setelah
menyelesaikan pengobatan untuk infeksi oportunistik.
Patogenesis IRIS pada Terapi ARV
Pasien HIV-positif. memiliki jumlah CD4 rendah infeksi laten yang menyebar Mulai ARV
Peningkatan jumlah CD4+ yang cepat penekanan infeksi penurunan apoptosis dan
redistribusi limfosit dari jaringan limfoid perifer peningkatan cepat awal dalam jumlah sel T
positif CD4+ memori proliferasi klonal dari sel CD4+ peningkatan jumlah sel lebih
lanjut peningkatan sel T positif CD8 ketidakseimbangan antara sitokin anti-inflamasi
dan sitokin pro-inflamasi peningkatan imunitas respon imun seluler spesifik
patogen yang berlebihan penurunan kapasitas sel T regulator mengatur dan
menekan peradangan IRIS

.
Tatalaksana IRIS
 Penatalaksanaan harus fokus pada pengendalian gejala.
 Pengobatan mencakup inisiasi agen anti-mikroba untuk infeksi oportunistik yang mendasari
terkait dengan IRIS.
 Pertimbangan khusus diberikan pada infeksi oportunistik yang melibatkan SSP (misalnya,
meningitis kriptokokus dan tuberkulosis), ART ditunda.
 Penatalaksanaan suportif meliputi
1. Hidrasi
2. Koreksi kelainan elektrolit
3. Optimalisasi status gizi.
 Gejala ringan IRIS, seperti demam dan nyeri diatasi dengan parasetamol atau (NSAID).
 Penyakit SSP seperti IRIS SSP terkait Cryptococcus kemungkinan besar mendapat manfaat dari
penggunaan steroid.
 Untuk pasien dengan SSP berat yang resisten steroid, agen biologis seperti antagonis TNF-alfa
dapat digunakan.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai