2. Pemeriksaan Fisik
Kelainan pada TB Paru tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
awal permulaan perkembangan penyakit umumnya sulit sekali
menemukan kelainan.
3. Diagnosis
Pada daerah dengan angka prevalensi HIV yang tinggi pada
populasi dengan kemungkinan koinfeksi TB-HIV maka konseling
dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh pasien TB
sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan
prevalensi HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV
diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda-tanda yang
diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan
riwayat risiko terpajan HIV.
Gambaran TB-HIV
Infeksi dini Infeksi lanjut
(CD4 > 200/mm3) (CD4 < 200/mm3)
Dahak mikroskopis Sering positif Sering negatif
TB ekstraparu Jarang Umum/banyak
Mikobakterimia Tidak ada Ada
Tuberkulin Positif Negatif
Foto toraks Reaktivasi TB, Tipikal primer TB
kavitas milier/interstisial
di puncak
Adenopati Tidak ada Ada
hilus/mediastinum
Efusi pleura Tidak ada Ada
4. Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB
tanpa HIV/AIDS
Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi
beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis serta
jangka waktu yang tepat.
Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera diberikan OAT dan
pemberian ARV dalam 8 minggu pemberian OAT tanpa
mempertimbangkan kadar CD4.
Perlu diperhatikan, pemberian secara bersamaan membuat
pasien menelan obat dalam jumlah yang banyak sehingga
dapat terjadi ketidakpatuhan, komplikasi, efek samping,
interaksi obat dan Immune Reconstitution Inflammatory
Syndrome.
Setiap penderita TB-HIV harus diberikan profilaksis
Kotrimoksasol dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal)
selama pemberian OAT.
Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat
berbahaya karena akan menyebabkan efek toksik berat pada
kulit.
Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat
suntik sekali pakai yang steril.
Desensitisasi obat (INH/Rifampisin) tidak boleh dilakukan
karena mengakibatkan efek toksik yang serius pada hati.